Politik Patronase di Masa Omar Al-Bashir bagi Demokrasi di Sudan
Politik | 2024-10-29 00:47:15Apa itu Politik Patronase?
Political patronage atau politik patronase adalah pemberian penghargaan kepada individu atau perusahaan berdasarkan dukungan mereka kepada partai politik yang memerintah. Penghargaan tersebut dapat berupa pengangkatan atau perekrutan seseorang ke jabatan pemerintah. Pejabat terpilih menggunakan penunjukan tersebut untuk memberi penghargaan kepada orang-orang yang membantu mereka memenangkan dan mempertahankan jabatan. Politik patronase bisa terjadi di suatu negara apabila pemimpin negara tersebut tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Politik Patronase tidak hanya bisa terjadi tingkat negara, tetapi juga bisa terjadi di tingkat provinsi, daerah, dan kota.
B. Teori Politik Patronase (Scott,1972)
Patronase politik adalah konsep kekuasaan yang muncul dari hubungan yang tidak setara antara patron dan klien (Scott, 1972). Patron adalah seseorang yang memiliki otoritas dan mengarahkan pelaksanaan kebijakan. Pelanggan/klien diidentifikasi sebagai "pengikut" setia, pekerja birokrasi yang mematuhi aturan patron. Dalam analogi lain, patron adalah majikan (bos) dan pelanggan/klien adalah bawahan. Bentuk politik patronase dapat bervariasi, mulai dari penempatan orang-orang dekat dalam jabatan penting, pemberian kontrak atau lisensi bisnis kepada kelompok tertentu, hingga penempatan keluarga atau kerabat dalam posisi politik atau administratif tertentu.
Dalam praktiknya, patronase sering dijalankan oleh elite politik, dengan tujuan untukmempertahankan kekuasaan mereka dan menjaga kepentingan politik mereka sendiri, tanpamemperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Padahakikatnya, politik patronase terjadi ketika pihak yang berkuasa memberikan dukungan kepada kelompok atau individu tertentu, dengan harapan memperoleh manfaat atau keuntungan sebagai balasannya. Politik patronase memberikan dampak yang merugikan bagi masyarakat, terutama pada kelompok marginal. Praktik politik patronase telah menjadi masalah yang umum terjadi di Afrika selama bertahun-tahun. Praktik ini secara signifikan memengaruhi pembangunan dan demokrasi di Afrika. Salah satu negara yang menerapkan kebijakan patronase dalam pemerintahannya adalah Sudan, sebuah negara di Afrika Utara.
C. Keadaan Demokrasi di Sudan akibat Politik Patronase yang dilakukan oleh Omar Al-Bashir
Sudan adalah sebuah negara republik di Afrika Utara yang terletak di timur laut benua Afrika. Sudan mengalami ketidaksetaraan demokrasi karena adanya praktik politik patronase. Patronase telah menjadi masalah serius dalam politik Sudan selama beberapa dekade. Dalam masa pemerintahan Presiden Omar Hassan Al-Bashir, keluarga dan teman temannya mengendalikan sebagian besar sektor pemerintahan dan sektor bisnis di Sudan.
Pada tahun 1989, Omar Hassan Al-Bashir menguasai pemerintahan dan politik Sudan melalui kudeta dan melakukan politik sentralisasi domestik. Hal ini terlihat dari pusat ekonomi, lapangan pekerjaan, perkembangan pendidikan, dan lain sebagainya hanya berpusat pada Ibukota negara yaitu Khortoum. Dengan adanya sentralisasi domestik ini, akibatnya masyarakat diluar Khortoum atau masyarakat diluar Ibukota akan terpinggirkan atau terjadi marginalisasi penduduk.
Bukan hanya sentralisasi domestik, tetapi juga ada pelonjakan harga kebutuhan dasar masyarakat. Penduduk yang seharusnya mendapatkan semua hak yang sama, pada kenyataannya tidak demikian di bawah pemerintahan Omar Hassan Al-Bashir. Oleh karena itu, masyarakat Sudan kemudian melakukan Gerakan pro-demokrasi di Sudan yang diakibatkan oleh pelonjakan harga kebutuhan dasar yang kemudian memicu keresahan masyarakat di sejumlah wilayah Sudan.
Selain itu, praktik patronase di Sudan dalam masa pemerintahan Omar al-Bashir juga mencakup penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan sumber daya negara untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok pro-pemerintah. Ini sering terjadi melalui praktik korupsi seperti pemotongan anggaran untuk program sosial dan pendidikan swasta. Praktik patronase Sudan juga meningkatkan ketidakstabilan politik dan konflik di negara tersebut, terutama dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perbatasan. Suku-suku yang merasa tidak terwakili dalam pemerintahan pusat seringkali merasa terpinggirkan dan berjuang mempertahankan kepentingannya.
Di bawah pemerintahan Omar Al-Bashir, politik di Sudan ditandai dengan tingkat patronase dan korupsi yang tinggi. Sambil meminggirkan dan mencabut hak-hak lawan-lawannya, Bashir's National Congress Party (NCP) mendistribusikan peluang dan sumber daya kepada para loyalisnya berkat bantuan negara. Kekuasaan Bashir selama hampir 30 tahun dimungkinkan oleh sistem patronase ini, yang juga berkontribusi pada ketidaksetaraan dan kemiskinan yang signifikan.
Kontrak-kontrak senilai jutaan dolar diberikan kepada bisnis yang terhubung dengan NCP, yang merupakan salah satu contoh patronase yang paling terang-terangan di bawah Bashir. Kontrak-kontrak ini sering kali diberikan tanpa proses penawaran yang kompetitif, dan sering kali diberikan kepada bisnis yang tidak memenuhi syarat atau tidak berpengalaman. Sistem kronisme ini tidak melakukan apa pun untuk membantu rakyat Sudan secara keseluruhan dan hanya memperkaya sekelompok orang dalam NCP.
Contoh lebih lanjut dari patronase di bawah Bashir adalah pemberian posisi pemerintah sebagai bentuk dukungan untuk NCP. Terlepas dari kualifikasi mereka, anggota NCP atau sekutunya memegang banyak posisi di pemerintahan. Sulit bagi individu yang memenuhi syarat yang tidak terhubung dengan NCP untuk mendapatkan pekerjaan karena struktur patronase ini.
Di bawah kekuasaan Bashir, patronase merupakan praktik umum yang memiliki banyak dampak buruk. Hal ini memperburuk perpecahan sosial, mendorong korupsi yang merajalela, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, hal ini menyulitkan rakyat Sudan untuk menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah untuk mereka.
Berikut adalah beberapa hal yang lebih spesifik mengenai kebijakan patronase OmarAl-Bashir. Pertama, NCP memiliki kendali penuh atas pemerintah, termasuk pasukan keamanan, pengadilan, dan cabang eksekutif. Akibatnya, NCP memiliki monopoli kekuasaan dan dapat menggunakan otoritas pemerintah untuk mendukung teman dan menghukum penentang. Kedua NCP mendistribusikan peluang dan sumber daya kepada para pengikutnya dengan berbagai cara sambil mempertahankan kendali atas negara. Misalnya, NCP mempekerjakan anggota NCP dan simpatisannya, mengeluarkan kontrak yang menguntungkan untuk bisnis yang berafiliasi dengan NCP, dan mendukung kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan NCP secara finansial. Dan terakhir di bawah otoritas Bashir, patronase yang meluas menyebabkan ketidaksetaraan, kemiskinan, dan korupsi dalam skala besar.
Politik patronase di Sudan memiliki dampak yang sangat buruk terhadap stabilitas politik, demokrasi, dan pertumbuhan ekonomi di Sudan. Kerusuhan politik, perang saudara yang berlangsung, dan stagnasi ekonomi telah melanda negara ini selama bertahun-tahun. Masalah-masalah ini adalah hasil dari struktur politik berbasis patronase di negara ini. Oleh karena itu, salah satu ancaman terbesar bagi pembangunan di Sudan adalah tingginya tingkat korupsi yang merasuki semua aktornya.
D. Rekomendasi Strategi untuk mengatasi Korupsi yang disebabkan oleh Politik Patronase
Untuk mengurangi tingkat korupsi di Sudan, ada beberapa strategi komprehensif yang
bisa digunakan oleh Pemerintah Sudan. Strategi-strategi tersebut terdiri dari :
1) pendekatan akses hukum
langkah pertama bertujuan untuk mencegah korupsi dengan memperkuat aturan hukum (pendekatan legislatif). Harus ada hukuman berat untuk pelaku korupsi. Kemudian juga, meningkatkan ancaman hukuman, baik berupa denda yang signifikan maupun pidana penjara, dapat memberikan efek jera. Serta adanya pengadilan yang Independen, dengan tujuan untuk memastikan bahwa pelaku menerima hukuman yang tepat, pengadilan harus menghindari pengaruh politik dan korupsi. Harus ada penyelidikan dan pengawasan yang kuat. Untuk melakukan penyelidikan, lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau badan antikorupsi harus memiliki sumber daya yang cukup, wewenang yang luas, dan independen. Hal ini membantu mengubah persepsi publik tentang korupsi dari aktivitas berisiko rendah menjadi aktivitas berisiko tinggi.
2) pendekatan akses pendidikan
sosialisasi tentang kejahatan korupsi (pendekatan pendidikan).
3) pendekataan pemberi kerja
memperbaiki kebijakan gaji dengan tujuan mengurangi kemungkinan pemberi kerja melakukan korupsi-pendekatan ekonomi memperkuat peran persaingan di pasar, fase ini bertujuan untuk mengubah persepsi korupsi sebagai aktivitas berpenghasilan rendah.
4) reformasi birokrasi dan administrasi pemerintahan
hal ini dilakukan dengan cara digitalisasi pelayanan publik melalui penggunaan teknologi untuk menggantikan interaksi langsung antara wargadan pejabat pemerintah bisa mengurangi peluang korupsi, misalnya dengan memperkenalkan sistem pelayanan online. Adanya transparansi dan akuntabilitas, setiap proses administratif dan keuangan pemerintah harus dapat diakses dan diaudit oleh publik serta lembaga pengawas.
5) pembatasan kekuasaan dan wewenang pejabat publik
mengurangi monopoli kekuasaan dan memperketat sistem checks and balances di setiap tingkat pemerintahan.
E. Kesimpulan
Korupsi merupakan merupakan salah satu faktor utama penyebab hancurnya demokrasi suatu negara bahkan mengancam kesejahteraan negara tersebut. Mengatasi korupsi dalam sebuah negara tidaklah instan dan mudah, apalagi sudah menjadi behavior dalam aktor-aktor di dalam negara, seperti yang terjadi di Sudan. Sehingga, peran dari semua stakeholder yang ada di Sudan yaitu, pemerintah, masyarakat sipil, badan usaha, akademisi dan media, harus bergerak dengan fungsi masing-masing, sehingga menciptakan suatu regulasi baru, yang lebih adil dan terintegrasi bagi Sudan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.