Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Jejak Sunyi

Sastra | 2024-10-28 12:51:59
Dokumen id.pngtree.com


Matahari belum sepenuhnya terbit ketika Dira membuka mata. Kamarnya yang sempit di lantai tiga sebuah kos-kosan sederhana di pinggiran Jakarta masih remang. Hanya cahaya samar dari celah ventilasi yang memberikan petunjuk bahwa hari baru telah tiba.
Dira meraih ponselnya. Pukul 04.30. Masih terlalu pagi bagi kebanyakan orang untuk memulai hari, tapi tidak baginya. Inilah rutinitasnya selama dua tahun terakhir – bangun sebelum matahari, ketika dunia masih terlelap dalam keheningan.
"Apa yang sebenarnya kamu kejar, Dira?" Pertanyaan ibunya minggu lalu masih terngiang di telinganya. Dira menghela napas panjang. Kadang ia sendiri ragu dengan jawabannya. Di usianya yang ke-25, teman-temannya sudah mapan dengan karir mereka. Ada yang menjadi manager di perusahaan multinasional, ada yang sudah membeli rumah pertamanya, bahkan ada yang sudah merencanakan pernikahan.
Dengan gerakan yang sudah otomatis, ia merapikan tempat tidurnya, lalu membuka laptop usang pemberian almarhum ayahnya. Laptop itu mungkin bukan yang tercepat, tapi bagi Dira, benda itu adalah partner setianya dalam perjalanan mengejar mimpi. Setiap kali ia menyentuh keyboard-nya yang sudah aus, ia teringat kata-kata terakhir ayahnya.
"Jangan takut pada kesunyian, Nak. Dalam sunyi, kita bisa mendengar suara hati kita paling jelas."
"Hari ini harus selesai," gumamnya pada diri sendiri sambil membuka file proyek aplikasinya. Sebuah aplikasi pembelajaran bahasa daerah yang telah ia kerjakan selama enam bulan terakhir. Bukan proyek besar memang, tapi Dira yakin aplikasi ini bisa membuat perbedaan.
Suara ketikan keyboard memecah kesunyian. Di luar, kota masih tertidur. Sesekali terdengar suara motor lewat atau gonggongan anjing di kejauhan, tapi Dira sudah tenggelam dalam dunianya sendiri – dunia kode dan algoritma yang ia bangun baris demi baris.
Pikirannya berkelana ke percakapan dengan Randi, mantan kekasihnya, enam bulan lalu. "Kamu terlalu idealis, Dira. Hidup tidak semudah itu. Kita butuh stabilitas, butuh kepastian." Kata-kata itu menusuk, lebih karena ada benarnya. Tapi Dira selalu percaya bahwa hidup bukan hanya tentang stabilitas. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar gaji bulanan dan jenjang karir yang jelas.
Pukul 07.00, suara-suara kehidupan mulai terdengar. Anak-anak berangkat sekolah, pedagang mulai berkeliling, dan hiruk-pikuk Jakarta perlahan bangkit. Dira tetap fokus pada layarnya, mengabaikan rasa lapar yang mulai mengganggu. Ibu kos mengetuk pintunya, mengingatkan untuk sarapan.
"Nanti saja, Bu," jawabnya singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Dalam hati, ia tersenyum getir mengingat betapa sering ia melewatkan waktu makan demi proyeknya ini.
Kadang, di malam-malam sunyi, ketakutan itu datang menggerogoti. Bagaimana jika semua ini sia-sia? Bagaimana jika aplikasinya gagal? Bagaimana jika orang-orang benar – bahwa ia terlalu naif, terlalu idealis? Tapi setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat pada anak-anak di kampungnya yang kehilangan identitas budaya mereka karena tidak bisa berbahasa daerah. Ia teringat pada mimpi ayahnya tentang pendidikan yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Waktu terus bergulir. Matahari sudah tinggi ketika Dira akhirnya mengangkat wajah dari laptopnya. Matanya perih, punggungnya pegal, tapi ada kilau kepuasan di wajahnya. Versi beta aplikasinya sudah siap.
"Tinggal testing dan debugging," gumamnya sambil meregangkan badan. Perutnya berbunyi mengingatkan bahwa ia belum makan sejak bangun tadi.
Dira membuka jendela kamarnya, membiarkan angin siang menyapu wajahnya yang lelah. Di bawah, kehidupan kota mengalir seperti biasa. Orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak menyadari bahwa di sebuah kamar sempit di lantai tiga, seseorang baru saja menyelesaikan sesuatu yang mungkin akan mengubah banyak hal.
Enam bulan kemudian.
Suara notifikasi email masuk membangunkan Dira dari tidurnya yang singkat. Matanya yang berat dipaksa terbuka untuk membaca pesan yang masuk.
"Selamat, aplikasi Anda telah terpilih sebagai pemenang dalam Kompetisi Inovasi Digital Nasional 2024..."
Tangannya gemetar membaca email itu berulang kali. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah. Bukan karena hadiah 500 juta rupiah atau kesempatan inkubasi di Silicon Valley yang tertulis di sana. Tapi karena akhirnya, setelah begitu banyak malam-malam sunyi yang ia habiskan sendiri, setelah begitu banyak keraguan dan pertanyaan yang ia telan dalam diam, ada yang melihat apa yang ia lihat – potensi untuk membuat perubahan.
Ponselnya mulai berdering tanpa henti. Berita kemenangannya menyebar dengan cepat. Teman-teman kuliah yang dulu meragukan pilihannya kini mengirim ucapan selamat. Media lokal meminta wawancara. Bahkan ibunya menelpon sambil menangis bangga, mengatakan betapa ia salah telah meragukannya.
Dira berdiri di dekat jendela kamarnya, tempat favorit yang selama ini menjadi saksi perjuangannya. Kota masih sama sibuknya seperti biasa, tapi kali ini ia merasa berbeda. Kesunyian yang selama ini menemaninya telah berbuah manis.
"Ayah," bisiknya pelan, "ternyata benar. Dalam sunyi, aku menemukan suaraku sendiri."Besok, hidupnya akan berubah. Akan ada wawancara, rapat, presentasi, dan segala hiruk-pikuk yang menyertai kesuksesan. Tapi malam ini, untuk terakhir kalinya, ia ingin menikmati kesunyian yang telah membentuknya.
"Terima kasih," bisiknya pada keheningan malam. Karena dalam kesunyian itulah, ia menemukan kekuatan untuk membangun tangga menuju mimpinya, satu anak tangga pada satu waktu.
Di luar, Jakarta mulai tertidur. Tapi di dalam hati Dira, sebuah semangat baru telah terbangun. Kesuksesan memang membuat hidupnya akan menjadi lebih bising, tapi ia tahu – kesunyian yang telah membentuknya akan selalu menjadi bagian dari siapa dirinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image