Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image N.A. Widyanahar

BSI dan Muhammadiyah, Cermin Pengelolaan Ekosistem Bank Syariah di Tengah Rendahnya Pangsa Pasar

Ekonomi Syariah | 2024-10-26 11:09:42

N.A. Widyanahar (Praktisi Keuangan Syariah dan Peneliti Independen)

Pada pertengahan tahun silam, tepatnya 30 Mei 2024, publik dikejutkan oleh pernyataan Muhammadiyah yang berencana menarik dananya dari BSI. Beberapa waktu kemudian masyarakat menyaksikan rangkaian berita terkait langkah-langkah Muhammadiyah dan berbagai pihak sebagai bagian dari tindak lanjut rencana tersebut. Yang cukup mengejutkan dari tindak lanjut rencana tersebut ialah berita kerja sama dengan salah satu bank konvensional terbesar yakni BRI.

Apabila kita tinjau ke belakang, dua minggu sebelum berita tersebut, pada tanggal 13 Mei 2024 dalam sebuah acara perbankan syariah Wakil Presiden Republik Indonesia, KH Ma’ruf Amin, menyampaikan keprihatinannya mengenai pertumbuhan perbankan syariah. Melalui media nasional, Wakil Presiden menyatakan bahwa setan menghalangi orang untuk beralih dari perbankan konvensional ke perbankan syariah. Wakil Presiden mengungkapkan mandeknya market share bank syariah di Indonesia di angka 10 persen, menunjukkan rendahnya minat masyarakat terhadap bank syariah. Padahal perbankan syariah memiliki peranan sangat penting dan diharapkan menjadi jangkar penggerak seluruh ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Permasalahan Muhammadiyah dan BSI seperti memperkuat sinyalemen Wakil Presiden tersebut.

Bagaimana kita menyikapi hal ini dari perspektif kepentingan publik? Tulisan ini mencoba menyajikan apa dan bagaimana langkah yang sebaiknya ditempuh oleh kedua belah pihak, baik bagi masa depan keduanya, maupun bagi ekosistem keuangan syariah.

Sebagaimana diberitakan, peristiwa ini diawali oleh sebuah surat internal yang memicu diskusi terbuka di berbagai platform. Dalam surat tersebut pimpinan Muhammadiyah memerintahkan entitas internal organisasi untuk merasionalisasi penyimpanan dan pembiayaan di BSI, dan memindahkannya ke Bank Bukopin Syariah, Bank Mega Syariah, dan Bank-bank BPD Syariah lainnya. Sejumlah analisis pun bermunculan dari berbagai pihak. Di antaranya ialah BSI tidak memberikan layanan yang memadai kepada Muhammadiyah. Muhammadiyah yang dekat dengan UMKM melihat bahwa BSI lebih banyak melakukan pembiayaan selain UMKM. Selain itu, Muhammadiyah terpapar risiko konsentrasi melalui besarnya proporsi simpanan asetnya di BSI. Apabila terjadi kegagalan sistem BSI, maka berdampak fatal terhadap proses operasional amal usaha Muhammadiyah. Risiko konsentrasi ini terbukti pada peristiwa kegagalan transaksi akibat matinya channel layanan BSI selama beberapa pekan, yang menimbulkan kerugian luar biasa bagi amal usaha pada tahun 2023. Dalam posting media sosial salah satu pengurus Muhammadiyah disebutkan beberapa kejadian seperti tidak terlayaninya pasien rumah sakit dan klinik, macetnya arus kas amal usaha pendidikan, terhambatnya layanan keuangan ratusan ribu karyawan. Disebutkan bahwa BSI tidak menghitung kerugian yang dialami nasabah, serta dianggap tidak melakukan upaya yang memadai selama dan setelah peristiwa tersebut.

Memahami Posisi Muhammadiyah

Pertama, sangat penting lembaga keuangan syariah memahami Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar Indonesia. Didirikan pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan dengan amal usaha di bidang sosial, pendidikan dan kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara. Sampai dengan tahun 2023, jenis dan jumlah aset yang dimiliki Muhammadiyah meliputi: 122 Rumah Sakit, 231 klinik, 5.345 sekolah, 440 pesantren, dan 172 Perguruan Tinggi. Struktur Muhammadiyah terdiri dari pengurus pusat yang disebut Pimpinan Pusat, dilengkapi dengan majlis-majlis, serta jaringan organisasi otonom dari wilayah setingkat provinsi, hingga ranting pada lingkungan terkecil. Di mancanegara terdapat sedikitnya 35 cabang yang disebut Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah atau Aisyiah (PCIM/PCIA). Total aset yang dimiliki oleh Muhammadiyah diperkirakan mendekati angka 300 triliun rupiah, dengan dana likuid diperkirakan lebih dari 13 triliun rupiah. Selain amal usahanya di atas, yang tidak bisa diremehkan ialah aset intangible yang melekat kepada sekitar 60 juta warga Muhammadiyah.

Dengan asetnya yang luar biasa, Muhammadiyah memiliki privilege berupa pengaruh dan peran sangat vital dalam peningkatan inklusi dan literasi keuangan syariah. Muhammadiyah dapat memberikan pandangannya mengenai bank syariah, pentingnya transaksi nonriba, sehingga masyarakat dapat diharapkan untuk berpindah kepada perbankan syariah. Selain menggunakan pengaruhnya, Sebagai organisasi Islam modern Muhammadiyah juga memberi contoh langsung melalui kerja sama dengan perbankan syariah. Di antara upaya-upaya tersebut ialah adanya penandatanganan nota kesepahaman yang dilakukan Bank Bukopin Syariah, Bank Muamalat, dan Bank BSI dalam kurun waktu 2021 hingga 2023. Hal ini menunjukkan bahwa bank syariah manapun tidak mungkin meninggalkan Muhammadiyah dalam peta jalan pengembangan keuangan syariah.

Reposisi dan Ekuilibrium yang lebih Adil

Menurut hemat penulis, Bank BSI belum terlambat untuk berkomunikasi dengan Muhammadiyah. Manajemen BSI bagaimanapun adalah pemimpin sebuah lembaga keuangan syariah, sehingga norma kepemimpinan Islami merupakan panduan utama, selaras dengan core value AKHLAK kementerian BUMN. Pimpinan BSI perlu mengagendakan silaturahmi reguler dengan pimpinan Muhammadiyah. Dalam silaturahmi tersebut ego organisasi harus dikesampingkan. Kerendahan hati dan niat suci mencari titik temu sebagai stakeholder ekosistem keuangan syariah dikedepankan. Mengklarifikasi hal-hal yang merusak hubungan dan meminta maaf atas kekurangan di masa lalu. Kedua, melakukan inventarisasi dan rekonsiliasi masalah bersama untuk menetapkan apa saja solusi yang harus dilakukan. Ketiga, berkomitmen merealisasikan hal-hal yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Saran dan Langkah ke Depan  

Pertama, Muhammadiyah harus menyikapi BSI sebagaimana layaknya sebuah organisasi bisnis. Sebagai pelaku bisnis, pendekatan transaksional menghitung risiko dan imbal hasil semata memang wajar, tetapi bisa membuat BSI luput dari aspek sosial dan keumatan. Masuk akal bagi Muhammadiyah untuk mengevaluasi kerja sama secara periodik, dan membuat keseimbangan baru yang lebih adil. Muhammadiyah dapat menggunakan kekuatan aset dan sumber daya yang dimilikinya semaksimal mungkin dalam bernegosiasi dengan BSI sehingga hasilnya ialah kemanfaatan yang optimal untuk Muhammadiyah, namun dalam batas win-win solution bagi kedua belah pihak.

Kedua, terkait risiko terkonsentrasi, maka Muhammadiyah dapat berhitung sedemikian rupa agar paparan risiko tersebut dapat dimitigasi dengan baik melalui langkah-langkah yang terukur. Langkah tersebut tidak boleh membuat Muhammadiyah masuk ke dalam risiko baru, meningkatkan biaya, dan melemahkan produktivitas aset. Diversifikasi portofolio aset ke dalam banyak bank adalah langkah yang tepat, namun perlu selektif. Pemecahan aset harus dikaji dengan cermat dan mampu menggantikan manfaat BSI sebelumnya.

Apakah Muhammadiyah perlu sepenuhnya melakukan penarikan atau tidak? Bagaimanapun kekuatan BSI sebagai bank syariah terbesar tidak dapat diabaikan. Tahun 2023 BSI memiliki aset Rp353,62 triliun dan ekuitas Rp38,74 triliun. Angka ini berarti 59,5% dari total aset perbankan syariah nasional yang mencapai Rp594,709 triliun. Posisi kedua dan ketiga diduduki oleh Bank Muamalat dan Bank Aceh, namun selisihnya cukup jauh di mana masing-masing asetnya hanya 19% dan 9% dari Bank BSI. Dalam lanskap perbankan nasional, aset BSI berada pada peringkat 6 di bawah Bank BTN. BSI memiliki fasilitas 153 Kantor Cabang, 886 Kantor Cabang Pembantu, dan 2.571 ATM. Pesaing terdekatnya, Bank Muamalat, memiliki 80 kantor cabang, 155 kantor cabang pembantu, dan 564 mesin ATM. Tampak adanya gap yang jauh dalam jumlah fasilitas pendukung. Kerja sama dengan bank lebih kecil harus dapat dikompensasikan dengan nilai tambah baru. Kerja sama baru harus memperkuat posisi Muhammadiyah, tanpa merugikan ekosistem keuangan syariah. Bermitra dengan bank konvensional seharusnya menjadi opsi terakhir, dan sebisa mungkin yang dihindari. Sebagaimana kita ketahui kemudian, Bank BCA Syariah, Bank BJB Syariah, BRK Syariah, BTN Syariah telah menjadi tujuan diversifikasi portofolio Muhammadiyah.

Ketiga, terkait masalah pembiayaan, Memiliki prosedur baku dalam menyalurkan pembiayaan semestinya tidak menghalangi BSI dalam berinovasi. Persoalan informasi asimetri saat ini bisa dikurangi melalui teknologi Big Data dan AI. Asesmen dalam pengajuan pembiayaan juga dapat diperbarui agar lebih mencerminkan rasa keadilan dari perspektif nasabah dengan tetap memperhatikan kriteria baku 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition). Konsep one-obligor dari perspektif perbankan seharusnya diimbangi dengan sistem penilaian yang lebih akurat terhadap calon nasabah yang merupakan bagian dari sebuah entitas beraset besar. Artinya, sebuah amal usaha yang feasible dalam menerima pembiayaan, seharusnya dilayani oleh BSI sebagai bagian dari kokohnya aset keuangan konsolidasi Muhammadiyah yang disimpan di BSI. Dalam hal belum bankable, Bank juga seharusnya bekerja sama dengan perusahaan penjaminan atau asuransi untuk meningkatkan inklusivitas.

Terakhir, bagaimana dengan kritik Muhammadiyah tentang porsi UMKM yang kecil? Apabila kita reviu data kinerja pembiayaan BSI, memang tampak bahwa pembiayaan UMKM cukup kecil pertumbuhannya. Komposisi pembiayaan UMKM cenderung menurun dari 25% pada tahun 2020 menjadi hanya 17% di akhir tahun 2023. Selama kurun waktu tersebut pembiayaan UMKM tumbuh 3% sedangkan pembiayaan korporasi mencatat pertumbuhan 12%. Fakta ini tentu wajar apabila menjadi perhatian bersama. Bagaimanapun UMKM sudah seharusnya mendapatkan proporsi yang lebih besar dalam peta jalan fungsi intermediasi BSI. Tumbuh semakin kuat, tidak harus dengan cara meninggalkan umat. Dalam hal ini, peran kebijakan dan dukungan Pemerintah dalam bentuk yang lebih jelas mutlak diperlukan, misalnya dalam penetapan Key Performance Indicator (KPI) yang lebih spesifik untuk manajemen BSI.

Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa reposisi hubungan antara BSI dan Muhammadiyah mutlak diperlukan. Tetapi kerja sama antara kedua belah pihak juga harus diteruskan. Bahkan tidak hanya antara Muhammadiyah dan BSI, tetapi juga Muhammadiyah dengan Bank Syariah yang lain. BSI dan para pemimpinnya bagaimanapun tidak terlepas dari jati diri sebagai lembaga keuangan syariah, sehingga menjaga hubungan baik dengan stakeholder seperti Muhammadiyah harus lebih ditingkatkan lagi. Ekuilibrium baru yang lebih adil agar kesejahteraan umat dapat cepat tercapai merupakan sebuah keniscayaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image