Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edho Surya Dinata

Para Penulis Terancam Punah

Trend | 2024-10-26 00:44:09

Artikel

PARA PENULIS TERANCAM PUNAH

Oleh : Edho Surya Dinata

Sekitar tahun 90an sampai dengan awal tahun 2000an, saya menulis tulisan saya dengan menggunakan "mesintik" atau mesin ketik. Mesin ketik ini sebelumnya dimiliki Abang kandung saya yang dulu bersekolah di SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) setingkat SMA dan mesin ketik ini cukup dibutuhkan dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Setelah tamat dari sekolah itu, mesin ketik itu tidak lagi terpakai sampai berpuluh-puluh tahun kemudian hingga saya gunakan kembali untuk menulis pada era tahun 90an sampai awal tahun 2000an.

Di zaman awal saya menulis, sebenarnya komputer telah ada walaupun tentunya tak secanggih sekarang. Di dalam komputer itu biasanya telah terinstal program Microsoft Word yang bisa kita gunakan untuk menulis, namun saya kadang lebih menyukai menulis dengan menggunakan mesin ketik. Dapat dibayangkan menulis dengan menggunakan mesin ketik yang cukup antik.

Mesin ketik ini menggunakan gulungan pita berwarna hitam yang berfungsi sebagai tintanya. Gulungan pita yang mengandung tinta ini dipasangkan di mesin ketik, setiap tombol huruf yang kita tekan akan "mengecap" atau menstempel di pita itu. Kertas yang kita gunakan untuk menulis kita pasang di belakang garis pita itu, jadi setiap tombol huruf yang kita ketik atau tekan akan tercetak di kertas yang terpasang dibelakangnya. Sangat manual dan sangat analog bahkan generasi Z atau generasi Alfa sekarang mungkin bisa saja menyebutnya "teknologi peradaban primitif", he.

Dari zaman ke zaman menulis tetap saja menulis, dari semenjak masa sejarah, semenjak tulisan mulai ditemukan, sistem huruf dan bahasa mulai dikembangkan, tulisan terus saja berevolusi, beradaptasi, menyelaraskan diri dengan zamannya. Media untuk menulis pun turut berkembang mengikuti zaman nya. Sebelum kertas di temukan oleh orang China, orang-orang dahulu menulis di daun-daun lontar, menulis di pelepah-pelepah nipa, di tanah-tanah liat yang kemudian dikeringkan, menulis di batu-batu yang kini menjadi prasasti. Media untuk menulis bisa dimana saja hingga kertas mulai ditemukan dan digunakan untuk menulis. Kini di era digital, kita dapat dengan mudah menulis apapun di gawai atau gadget kita. *

Untuk kalangan penulis profesional, dulu plagiat adalah ketakutan terbesar mereka. Plagiat adalah meniru atau menjiplak tulisan atau karya orang lain. Plagiat berbeda dengan "tereferensikan" atau "terinspirasikan". Plagiat lebih kepada menjiplak secara bulat-bulat, sepenuhnya meniru dan plagiat ini adalah aib, musuh dan ketakutan terbesar bagi para penulis. Bahkan seorang pujangga atau sastrawan besar di negeri ini yaitu Chairil Anwar yang merupakan pelopor pujangga angkatan 45, sang pencipta atau penulis puisi-puisi paling fenomenal berjudul "Aku" atau "Karawang-Bekasi" ini pun sempat tersandung masalah plagiat ini, dan plagiat ini cukup dan sempat mencoreng nama besarnya. Kini di era digital ini, tak hanya plagiat, copypaste juga adalah musuh yang lebih mengerikan bagi para penulis.

Dulu "plagiat saja" telah dapat mencoreng nama penulis, dapat menurunkan kredibilitasnya sebagai penulis, menjadi aib dan musuh bagi keorisinalan seorang penulis, maka apatah lagi dengan copypaste seperti yang ada di era digital sekarang, walau plagiator atau yang meng-copypaste kerap menggunakan trik-trik tertentu agar tulisannya terlihat atau terkesan orisinil, semisalnya dengan trik sedikit mengubah isi tulisan, namun sehalus apapun trik yang mereka lakukan, plagiat atau copypaste tetap lah akan menurunkan kredibilitasnya sebagai seorang penulis.

Dan tak cukup hanya disitu, kini bahkan ada entitas yang bernama AI WRITTER yang benar-benar dapat memusnahkan dan membuat punah para penulis profesional. Tidak akan ada lagi penulis, pujangga dan atau sastrawan yang tersisa dimuka bumi ini. Tidak akan ada lagi Plato, Socrates, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufik Ismail, Khalil Gibran dan William Shakespeare, WS Rendra atau Arswendo Atmowiloto serta manusia-manusia sejenisnya. Para penulis-penulis besar ini mungkin telah dibantai habis-habisan oleh entitas yang bernama AI WRITTER ini. Jadi, plagiat, copypaste dan AI writter ini adalah musuh, aib dan ketakutan serta ancaman terbesar bagi para penulis. Para penulis terancam punah !.

AI Writter (Artificial Intelijen Writter) jika dipadankan kedalam bahasa Indonesia dapat diartikan "Penulis Kecerdasan Buatan". Ini adalah istilah yang saya gunakan untuk setiap program kecerdasan buatan yang dapat membuat tulisan secara mudah, otomatis, banyak,dan variatif. Sebenarnya, sebagaimana jenis AI AI lainnya, AI WRITTER ini tetaplah sebuah program, "hanyalah suatu mesin". Secanggih bahkan secerdas apapun AI AI itu tentunya tidak akan pernah dapat menjadi mahluk seperti kita manusia.

Karena kita manusia itu adalah makhluk ciptaan Tuhan, sedangkan AI AI itu adalah entitas program atau mesin atau semacam robot yang kita buat. Hanya saja AI AI ini dapat bekerja jauh melebihi kapasitas kemampuan fisik kita dalam bekerja. Khusus untuk AI writter ini, program ini dapat membuat banyak tulisan dengan sangat mudah, otomatis, variatif dan nyaris tanpa limit atau tanpa batas dalam membuat serta memproduksi tulisan-tulisan. Inilah ancaman bagi para penulis yang memiliki keterbatasan sebagai mahluk. Terlebih, menulis itu sampai detik ini, khususnya di negara kita Indonesia ini tidak atau belum dianggap sebagai suatu pekerjaan atau profesi.

Bekerja dalam bidang kepenulisan di negeri ini sama sekali tidak diakui, alih-alih mendapatkan kompensasi atau apresiasi yang sangat layak dari pemerintah. Padahal para penulis-penulis itu juga berjasa bagi semua peradaban di dunia ini. Kami merasa satu-satunya alasan orang tetap menulis hingga sekarang adalah karena ingin tetap berkarya, menuangkan seluruh ide-ide, pemikiran-pemikiran serta gagasan-gagasannya. Lebih untuk mengaktualisasikan diri. Lebih kepada untuk memenuhi kebutuhan batin. Inilah yang kami kira satu-satunya alasan mengapa para penulis masih menulis sampai dengan sekarang. Dan mengingat, plagiat, copypaste serta AI Writter ini kini kian mengancam para penulis, maka kami tidak tahu kelak esok hari apakah masih ada tulisan-tulisan dari para penulis-penulis yang dapat kita baca atau jangan-jangan para penulis-penulis itu telah punah digerus dan dibantai serta dimusnahkan oleh mesin, program atau robot bernama AI writter ini.

Tentang Penulis

Edho Surya Dinata, lahir di Palembang, 6 Juli 1983. Pada awalnya Edho menulis genre sastra cerpen dan puisi. Beberapa tulisannya pernah dimuat di beberapa media. Kini Edho masih tetap menulis dan bermastautin di Desa Saranglang Pemulutan barat Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image