Transportasi, Lingkungan, dan Manusia: Mengurai Kemacetan di Jalan Raya Jakarta-Bogor
Eduaksi | 2024-10-24 17:43:49Setiap wilayah atau kota dalam setiap periode kepemimpinan pasti merencanakan pembangunan, dan aspek pertama yang sering menjadi perhatian adalah transportasi. Aspek ini menjadi perhatian utama dalam perencanaan dan pembangunan tata kota, mengingat bahwa perkembangan suatu daerah atau kota sangat tergantung pada sistem transportasi yang mendukung pergerakan penduduk. Namun, sangat disayangkan transportasi di kota-kota besar di Indonesia sering menghadapi kendala, seperti infrastruktur yang kurang memadai dan masalah kemacetan lalu lintas. Masalah serupa telah diungkapkan dalam buku yang ditulis oleh Steg & De Groot (2009), di mana dijelaskan bahwa salah satu pemicu stres lingkungan perkotaan (Environmental Stressor) adalah kemacetan lalu lintas. Bagaimana tidak, saat ini hampir semua warga Indonesia, terutama di kota-kota besar, memanfaatkan kendaraan bermotor untuk berbagai aktivitas, termasuk untuk membeli bahan makanan pokok di warung yang hanya berjarak 100 meter dari rumah.
Fenomena kemacetan ini telah menjadi persoalan yang sulit dihindari, terutama di kota-kota besar Indonesia, di mana jumlah kendaraan terus meningkat, sementara kapasitas infrastruktur tidak mengalami peningkatan yang sebanding, sehingga kemacetan semakin parah (Yunus et al., 2024). Cohen & Yanis (2016) menuliskan dalam bukunya setidaknya ada ada tujuh faktor-faktor yang menyebabkan kemacetan lalu lintas secara umum. Pertama adanya Physical Bottlenecks atau bahasa Indonesianya adalah penyempitan fisik, maksudnya kemacetan yang diakibatkan oleh jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas dan jalan yang dipakai luasnya dari dulu tetap segitu-segitu saja. Hal ini yang menjadikan ruang kendaraan untuk melaju itu makin sempit lalu menimbulkan kemacetan. Faktor berikutnya yang dijelaskan yakni mengenai kecelakaan lalu lintas.
Kita sering kali menemui bahwa ada saja musibah atau insiden kecelakaan di jalanan entah itu karena pengendara mengebut, mengantuk, atau bahkan melalukan kelalaian lainnya yang mengakibatkan arus lalu lintas terhambat, terutama ketika kendaraan yang mengalami kecelakaan menghalangi ruas jalan. Faktor ketiga yakni pembangunan lalu lintas. Di beberapa kota, kondisi jalan nasional sering bermasalah, seperti berlubang atau mengalami kerusakan lainnya, yang memerlukan perbaikan oleh pihak berwenang atau pemerintah setempat. Saat perbaikan berlangsung, Sebagian atau seluruh ruas jalan sering kali ditutup, menyebabkan penyempitan jalan, dan hal ini sering kali memicu kemacetan. Faktor keempat yaitu kondisi cuaca, biasanya pagi hari di mana udara diselimuti kabut, membuat pengendara melambatkan laju kendaraannya demi keselamatannya, sehingga arus lalu lintasnya menjadi tersendat.
Faktor lainnya yakni Traffic Control Devices artinya kemacetan yang diakibatkan oleh pengaturan lalu lintas yang kaku dan tidak disesuaikan dengan fluktuasi arus lalu lintas. Hal lain yang bisa menjadikan macet yakni jalan dipakai untuk special event maksudnya adalah acara-acara tertentu, misalnya acara lain yang memakai fasilitas jalanan sebagai tempatnya seperti karnaval agustus dan sebagainya. Faktor paling terakhir yang menjadikan kemacetan ialah lonjakan volume kendaraan di jalan yang datang di waktu tertentu, contohnya bila lebaran “idul-fitri” terjadi, banyak orang-orang yang melakukan mudik (kembali ke kampung halaman) untuk mengunjungi keluarga, sehingga jalanan dipenuhi oleh para pengendara. (Cohen & Yannis, 2016).
Meskipun kondisi ini masih sering terjadi, tidak dapat dihindari bahwa individu tetap memerlukan kendaraan untuk mempercepat waktu tempuh dari satu lokasi ke lokasi lain. Contohnya adalah penulis sendiri. Saya sebagai mahasiswi yang setiap hari, saya berangkat dan pulang ke kampus dengan menggunakan sepeda motor, saya harus melewati Jalan Raya Jakarta-Bogor, sebuah jalan nasional yang menghubungkan tiga wilayah, yaitu Jakarta, Depok, dan Bogor. Sayangnya, kapasitas jalan ini hanya mencapai 1.594 kendaraan per 30 menit, sementara jumlah kendaraan yang melewati jalan tersebut bisa mencapai 945 kendaraan per 20 menit. Artinya, rasio volume terhadap kapasitas (V/C) jalan ini adalah 0,59, yang masuk ke dalam kategori C (Tamara & Sasana, 2017).
Kondisi itu selaras dengan apa yang dijelaskan, di mana salah satu penyebab macet yakni Physical Bottlenecks di mana kendaraan makin banyak sementara jalannya tetap terbatas atau sempit (Cohen & Yannis, 2016). Ditambah lagi, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Marestian, yang dikutip dari Tamara & Sasana (2017), kecepatan rata-rata kendaraan di Jalan Raya Bogor hanya mencapai 22,98 km/jam. Sementara itu, bila mengarah pada Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1985, kecepatan minimum yang diharuskan untuk jalan arteri adalah 60 km/jam, yang menunjukkan perbedaan yang signifikan dari kondisi sebenarnya di Jalan Raya Jakarta-Bogor. Jalan ini kerap menghadapi kemacetan yang serius, terutama pada waktu-waktu sibuk, seperti pagi hari ketika masyarakat berangkat ke sekolah, kuliah, dan tempat kerja, serta sore hari saat mereka pulang. Keadaan tersebut membuat saya, sebagai mahasiswa, harus merencanakan waktu keberangkatan lebih awal atau beberapa menit lebih awal sebelum jam kelas dimulai, agar tidak terlambat.
Kemacetan yang terjadi di Jalan Raya Jakarta-Bogor sering kali terjadi di sekitar Pasar Parung, flyover Gaplek, hingga Jalan Raya Parung-Bogor. Meskipun flyover telah dibangun, kemacetan justru semakin parah. Mengutip dari Sabarudin (2024), kemacetan di daerah ini secara rutin mencapai panjang 3 kilometer dengan waktu tempuh lebih dari 30 menit. Kondisi ini sering membuat saya merasa stres dan tidak nyaman, terutama ketika saya bangun lebih siang dan harus segera tiba di kampus. Tamara dan Sasana (2017) juga mengungkapkan hal serupa dalam jurnal mereka, di mana kemacetan menyebabkan orang merasa kelelahan, stres, frustrasi, dan penurunan energi yang drastis, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan belajar.
Secara umum, kemacetan lalu lintas memberikan dampak negatif yang signifikan bagi pengguna jalan, yang dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu ekonomi dan sosial. Dampak sosial meliputi ketidaknyamanan, stres, kelelahan, emosi negatif, keterlambatan, dan polusi udara. Di sisi ekonomi, kemacetan menyebabkan hilangnya manfaat dan biaya tambahan, seperti pemborosan bahan bakar dan biaya operasional kendaraan (Aris, 2012). Tamin (2017), dilansir dari republika.co.id, menambahkan bahwa kemacetan berkontribusi terhadap kerugian di sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dampak lingkungan yang timbul termasuk emisi gas buang dari kendaraan, sementara dampak sosial tercermin dari meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Selain itu, kemacetan juga mengakibatkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik bisa berupa kelelahan, sedangkan efek psikologis mencakup stres, frustrasi, dan ketidaknyamanan akibat polusi serta penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran.
Saya tidak boleh terus-menerus merasa stres menghadapi keadaan ini, sehingga saya mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Solusi pertama yang saya terapkan adalah berangkat ke kampus lebih awal daripada biasanya. Saya tidak berangkat mendekati waktu kuliah untuk menghindari kemacetan yang dapat menyebabkan keterlambatan. Selain itu, saya juga menggunakan rute alternatif atau jalan tikus, meskipun jalannya sedikit rusak dan terkadang kotor. Meskipun demikian, saya tetap melewatinya agar tidak terjebak dalam kemacetan.
Saat berkendara, saya menyempatkan diri untuk mendengarkan musik atau podcast dengan menggunakan headset. Meskipun cara ini mungkin tidak disarankan untuk semua orang, bagi saya, hal ini terbukti efektif untuk mengurangi stres. Mengapa saya tidak menggunakan transportasi umum, seperti angkot? Karena angkot bukan pilihan yang tepat bagi saya. Transportasi tersebut sangat terbatas di jalur perjalanan saya dan jadwalnya tidak menentu, yang akan membuat kekhawatiran akan keterlambatan masuk kelas semakin tinggi nantinya.
Mengacu pada kajian sebelumnya yang memiliki topik serupa, Jaya (2018) mengemukakan beberapa solusi untuk mengatasi kemacetan di Simpang Parung, antara lain pemasangan rambu lalu lintas, penertiban aktivitas di tepi jalan, serta perbaikan desain dan pelebaran jalan. Pendapat ini menarik, dan saya percaya bahwa untuk mengatasi kemacetan di Jalan Raya Jakarta-Bogor, perbaikan infrastruktur perlu segera dilakukan. Hal ini termasuk menambal jalan-jalan yang berlubang dan mendukung pengaturan lalu lintas yang memadai oleh pihak kepolisian atau instansi terkait. Selain itu, saya juga menyarankan agar pemerintah setempat memperbanyak jumlah angkutan umum dengan fasilitas yang nyaman, serta menyediakan jadwal perjalanan yang jelas dan konsisten. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan masyarakat sekitar akan lebih memilih angkutan umum, sehingga kepadatan lalu lintas, khususnya di Jalan Raya Jakarta-Bogor, dapat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aris, A. (2012). ANALISIS DAMPAK SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN AKIBAT KEMACETAN LALULINTAS (STUDI KASUS AREA UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG).
Cohen, S., & Yannis, G. (2016). Traffic management. John Wiley & Sons.
JAYA, G. D. E. N. P. (2018). EVALUASI KARAKTERISTIK LALU LINTAS DAN TINGKAT PELAYANAN JALAN DI KAWASAN SIMPANG KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR. Jurnal Teknik| Majalah Ilmiah Fakultas Teknik UNPAK, 19(1).
Sabarudin, J (2024) Saking Ruwetnya, Kemacetan Simpang Pasar Parung Bogor Nggak akan Terurai sampai Kiamat (Online) diakses dari https://mojok.co/terminal/simpang-pasar-parung-bogor-bakal-tetap-ruwet-sampai-kiamat/
Steg, L., & De Groot, J. I. M. (2019). Environmental Psychology. http://psychsource.bps.org.uk
Tamara, S., & Sasana, H. (2017). ANALISIS DAMPAK EKONOMI DAN SOSIAL AKIBAT KEMACETAN LALU LINTAS DI JALAN RAYA BOGOR-JAKARTA.
Yunus, M., Mawardi, Faisal, T., Alexandri, M. B., Satria, R., Tabrani, M., Kesuma, T. M., Hafasnuddin, Novel, N. J. A., & Siregar, M. R. (2024). Investasi dan Reformasi Transportasi Kota.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.