Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aaliyah Tasning

Jakarta dalam Kabut: Polusi Udara dan Kesehatan Mental di Ibu Kota

Eduaksi | 2024-10-24 10:53:24

“Jakarta dalam Kabut: Polusi Udara dan Kesehatan Mental di Ibu Kota”

Polusi udara adalah pencemaran udara oleh zat-zat berbahaya yang dapat berasal dari berbagai sumber, seperti emisi industri, asap kendaraan bermotor, dan proses alami (Steg & Groot, 2019). Kualitas udara yang buruk merupakan bentuk nyata dari polusi udara, yang terjadi akibat emisi dari berbagai sumber seperti industri, kendaraan bermotor, dan aktivitas rekreasi. Polusi ini dapat memperkenalkan berbagai polutan ke dalam atmosfer, yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan (Fleury-Bahi et al., 2002). Polusi udara di Jakarta telah menjadi isu yang berkelanjutan selama bertahun-tahun. Meskipun ada beberapa upaya perbaikan, kualitas udara di Jakarta pada tahun 2024 masih berada dalam kategori tidak sehat. Berdasarkan Air Quality Guidelines yang telah diterbitkan oleh WHO, kualitas udara yang dapat dibilang sehat berada pada angka AQI (Air Quality Index) di 0 hingga 50 dan konsentrasi maksimum 15 µg/m³ (mikrogram per meter kubik) untuk rata-rata harian (World Health Organization, 2021).

Namun, situasi di Jakarta jauh dari kondisi ideal tersebut. Sebulan terakhir ini dari tanggal 22 September - 21 Oktober, kualitas udara Jakarta berada pada rentang AQI 80 hingga 167, dengan rata-rata AQI 134, dan konsentrasi PM 2.5 tertinggi yaitu 78 µg/m³ pada tanggal 06 Oktober, yang berarti kualitas udara Jakarta sudah termasuk tidak sehat. Angka ini menunjukkan bahwa polusi udara telah mencapai tingkat yang berbahaya bagi kesehatan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan orang dengan gangguan pernapasan atau jantung. Meskipun pemerintah dan berbagai organisasi telah berusaha untuk mengatasi masalah ini, kenyataannya kualitas udara Jakarta tetap memburuk, menciptakan tantangan besar bagi kesehatan masyarakat dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Pengalaman pribadi, seperti mengalami masalah kesehatan akibat polusi, serta diskusi dengan teman, keluarga, atau komunitas, dapat mempengaruhi bagaimana seseorang memahami dan merespons polusi udara. Jika seseorang melihat orang lain terpengaruh oleh polusi, mereka mungkin lebih cenderung untuk memperhatikan masalah tersebut (Bechtel & Wiley, 2017) . Dalam konteks ini, penulis telah mewawancarai seorang pekerja kantoran yang tinggal dan beraktivitas di Jakarta untuk menggali lebih dalam tentang dampak polusi udara yang dirasakannya. Seorang pekerja di SCBD, menceritakan tentang kesehariannya di pusat bisnis Jakarta yang modern. Setiap hari, ia harus berjuang menghadapi polusi udara yang menyelimuti perjalanannya dari Jakarta Selatan. Ketika sampai di kantor, tenggorokannya sering gatal dan napas terasa berat, sementara pemandangan gedung-gedung tinggi di sekitar kantornya sering kali tertutup kabut tebal, yang ternyata adalah polusi.

Dulu, N sering menikmati berjalan-jalan di sekitar SCBD saat istirahat untuk mencari makan, tetapi sekarang ia lebih memilih tetap di dalam gedung. Untuk N masker bukan hanya pelindung dari virus, tetapi juga menjadi tameng dari udara kotor Jakarta. Selain itu, Nadia juga bercerita bagaimana polusi udara mempengaruhi kesehatan mentalnya. Setiap pagi, dia merasa cemas memikirkan perjalanan yang akan ditempuh, di mana udara kotor dan kemacetan menambah stres sebelum ia sampai di kantor. Namun, tanpa disadari oleh N dan banyak orang, dampak polusi udara terhadap kesehatan mental jauh lebih serius dari yang kita perkirakan.

Polusi udara adalah ancaman besar bagi kesehatan lingkungan, hubungan antara polusi udara dan kondisi kesehatan seperti penyakit pernapasan dan kardiovaskular sudah jelas. Meskipun belum banyak dipahami, ada banyak bukti bahwa polusi udara juga berdampak pada kesehatan mental. Polusi ini, seperti asap kendaraan atau pabrik, ibarat racun yang tak kasat mata. Kita menghirupnya setiap hari tanpa sadar, dan ini bisa memengaruhi otak kita, membuat kita lebih rentan terhadap depresi dan kecemasan.

Photo by, Aliansi Zero Waste Indonesia

Bayangkan otak kita seperti komputer. Kalau komputer ini terkena debu atau cairan terus-menerus, lama-lama bisa lemot atau rusak. Polusi udara itu seperti debu yang masuk ke dalam otak kita. Polusi yang mengandung partikel kecil seperti PM2.5 dan gas beracun seperti nitrogen dioksida (NO2) bisa menyebabkan peradangan di otak. Akibatnya, kita jadi lebih mudah merasa stres, sedih, atau bahkan depresi. Ada penelitian yang menemukan bahwa orang yang tinggal di daerah dengan polusi tinggi, risiko terkena depresi bisa meningkat sekitar 6% (Ali & Khoja, 2019).Bukan hanya itu, untuk orang yang sudah punya masalah mental seperti depresi atau skizofrenia, tinggal di lingkungan yang penuh polusi bisa memperparah kondisi mereka. Ibaratnya, seperti luka yang terus terkena kotoran, proses penyembuhan jadi lebih lambat atau malah makin parah. Mereka mungkin lebih sering harus masuk rumah sakit atau menjalani perawatan mental yang lebih intensif (Newbury et al., 2021).

Anak-anak dan remaja, yang otaknya masih berkembang, lebih rentan terkena dampak buruk ini. Sama seperti anak-anak yang lebih mudah sakit saat cuaca buruk, polusi udara bisa mengganggu perkembangan otak mereka, membuat mereka lebih mudah cemas atau depresi saat tumbuh dewasa. Bahkan, beberapa studi menunjukkan polusi udara bisa merusak bagian otak yang mengatur emosi, seperti hippocampus dan prefrontal cortex (Zundel et al., 2022).

Untuk menjaga kesehatan mental dan fisik kita dan generasi mendatang, penting bagi masyarakat untuk lebih sadar akan dampak polusi udara dan mengambil langkah-langkah aktif dalam menguranginya. Salah satu cara paling efektif yang bisa kita lakukan adalah dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Banyak dari kita mengandalkan mobil atau motor untuk beraktivitas sehari-hari, padahal transportasi umum, seperti bus, MRT, atau LRT, bisa menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Dengan beralih ke transportasi umum atau berjalan kaki untuk jarak pendek, kita dapat membantu mengurangi emisi gas berbahaya yang memperburuk kualitas udara.

Selain itu, beralih ke kendaraan ramah lingkungan seperti sepeda listrik atau mobil berbasis listrik dapat memberikan dampak yang signifikan. Kendaraan ini tidak menghasilkan polusi langsung di jalanan, sehingga membantu mengurangi paparan polusi udara yang bisa mempengaruhi kesehatan mental. Udara yang bersih dapat meningkatkan kualitas hidup kita, membuat kita merasa lebih segar, berenergi, dan lebih positif. Menanam pohon dan menciptakan ruang hijau di sekitar rumah juga dapat membantu. Pohon menyerap polutan udara dan menghasilkan oksigen, yang berkontribusi pada kualitas udara yang lebih baik. Lingkungan hijau yang bersih dan sejuk memiliki dampak positif terhadap kesehatan mental, karena dapat memberikan rasa tenang, mengurangi stres, dan meningkatkan suasana hati.

Masyarakat perlu mengurangi aktivitas yang menghasilkan polusi udara secara langsung, seperti membakar sampah. Pembakaran sampah, terutama sampah plastik, menghasilkan asap beracun yang dapat merusak kualitas udara. Dengan mengelola sampah dengan cara yang lebih bijak, seperti daur ulang atau membuat kompos dari sampah organik, kita tidak hanya melindungi udara yang kita hirup, tetapi juga menjaga kesehatan mental kita dengan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan nyaman.

Pada akhirnya, menjaga kualitas udara yang kita hirup adalah tanggung jawab bersama. Polusi udara dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental kita. Udara bersih membantu menurunkan risiko gangguan pernapasan, mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh lingkungan yang tercemar, serta mendukung kesehatan mental secara keseluruhan. Dengan langkah-langkah sederhana seperti mengurangi emisi kendaraan, menanam lebih banyak pohon, dan mengelola sampah dengan baik, kita bisa berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan menyenangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, N. A., & Khoja, A. (2019). Growing evidence for the impact of air pollution on depression. In Ochsner Journal (Vol. 19, Issue 1, p. 4). Ochsner Clinic. https://doi.org/10.31486/toj.19.0011

Fleury-Bahi, G., Pol, E., & Navarro, O. (2002). International Handbooks of Quality-of-Life. http://www.springer.com/series/8365

Steg, L., & Groot, J. I. M. De. (2019). Environmental Psychology. http://psychsource.bps.org.uk

Zundel, C. G., Ryan, P., Brokamp, C., Heeter, A., Huang, Y., Strawn, J. R., & Marusak, H. A.

(2022). Air Pollution, Depressive and Anxiety Disorders, and Brain Effects: A Systematic

Review.

Newbury, J. B., Stewart, R., Fisher, H. L., Beevers, S., Dajnak, D., Broadbent, M., Pritchard, M.,

Shiode, N., Heslin, M., Hammoud, R., Hotopf, M., Hatch, S. L., Mudway, I. S., & Bakolis,

(2021). Association between air pollution exposure and mental health service use among individuals with first presentations of psychotic and mood disorders: Retrospective cohort study. The British Journal of Psychiatry, 219(6), 678–685. https://doi.org/10.1192/bjp.2021.119 :contentReference[oaicite:0]{index=0}

Bechtel, R. B., & Churchman, A. (Eds.). (2002). Handbook of environmental psychology. John

Wiley & Sons.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image