Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Kertas Kosong

Sastra | 2024-10-24 09:47:30
Dokumen Pinterest



Sudah kesekian kalinya Rama menatap langit-langit kamarnya yang mulai menguning. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun tubuhnya masih enggan beranjak dari tempat tidur. Di meja belajarnya, tumpukan buku kuliah dan laptop yang sudah berdebu menjadi saksi bisu kemalasannya selama beberapa bulan terakhir.
"Rama! Sampai kapan kamu mau tidur terus? Ini sudah siang!" Suara ibunya menggelegar dari luar kamar.
Rama menghela napas panjang. Sudah tiga bulan sejak dia memutuskan untuk cuti kuliah. Alasannya sederhana: dia merasa lelah dan butuh istirahat. Padahal, dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa dia hanya mencari-cari alasan untuk melarikan diri dari tanggung jawab.

Dengan enggan, Rama akhirnya bangkit dan membuka jendela kamarnya. Sinar matahari yang menyilaukan membuatnya menyipitkan mata. Dari jendela lantai dua rumahnya, dia bisa melihat tetangganya, Pak Hasan, sedang menyiram tanaman di halaman. Di usianya yang sudah menginjak 65 tahun, Pak Hasan masih aktif mengurus kebun kecilnya dan mengajar les private untuk anak-anak sekitar kompleks.

"Selamat pagi, Rama!" sapa Pak Hasan ramah ketika menyadari keberadaan Rama. "Tumben sudah bangun?"
Rama tersenyum kikuk dan membalas sapaan tetangganya itu. Ada rasa malu yang menyelinap di hatinya. Bagaimana tidak? Di usianya yang masih 21 tahun, dia malah menghabiskan waktunya dengan bermalas-malasan, sementara Pak Hasan yang sudah sepuh masih bersemangat menjalani aktivitasnya.

Sore harinya, Rama memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Pak Hasan. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, dan dia merasa perlu berbicara dengan seseorang yang lebih bijaksana.
"Pak Hasan, boleh saya bertanya sesuatu?" Rama membuka percakapan sambil menyeruput teh yang disuguhkan.
"Tentu saja, Nak. Ada apa?"

"Bagaimana Pak Hasan bisa tetap semangat menjalani aktivitas sehari-hari? Maksud saya, di usia Bapak yang seharusnya sudah bisa beristirahat..."

Pak Hasan tersenyum bijak. "Kamu tahu, Rama? Hidup ini seperti menulis di atas kertas. Setiap hari yang kita lalui adalah satu goresan tinta. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan membiarkan kertas itu kosong, atau mengisinya dengan tulisan yang bermakna?"

Rama terdiam, mencerna kata-kata Pak Hasan.
"Dulu, saya juga pernah sepertimu," lanjut Pak Hasan. "Setelah pensiun dari mengajar di sekolah, saya merasa hidup saya sudah tidak ada gunanya lagi. Tapi kemudian saya sadar, selama kita masih bernapas, selalu ada kesempatan untuk memberi makna pada hidup kita dan orang lain."

"Tapi saya merasa... lelah, Pak. Seperti tidak ada motivasi untuk melakukan apa-apa."
"Justru karena kamu tidak melakukan apa-apa, kamu merasa lelah. Paradoks, bukan?" Pak Hasan tertawa kecil. "Coba kamu lihat air yang mengalir dan air yang tergenang. Mana yang lebih jernih?"
"Yang mengalir, Pak."

"Betul. Begitu juga dengan hidup kita. Ketika kita berhenti bergerak, pikiran dan jiwa kita akan menjadi keruh. Tapi ketika kita terus bergerak, belajar, dan berbuat sesuatu, hidup kita akan menjadi lebih jernih dan bermakna."
Malam itu, Rama tidak bisa tidur. Kata-kata Pak Hasan terus terngiang di telinganya. Dia membayangkan kertas kosong yang diceritakan Pak Hasan, dan mulai membayangkan apa yang ingin dia tuliskan di atasnya.

Keesokan paginya, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Rama bangun pagi tanpa perlu dibangunkan ibunya. Dia membereskan kamarnya yang berantakan, membersihkan laptop dan buku-bukunya dari debu, dan mulai membuat rencana.
"Bu," panggilnya saat sarapan. "Aku mau melanjutkan kuliah lagi semester depan."
Ibunya yang sedang menuang kopi hampir menumpahkan isinya karena terkejut. "Serius, Rama?"
"Iya, Bu. Tapi sebelum itu, aku mau mulai mengajar les private juga seperti Pak Hasan. Mumpung masih ada waktu sebelum semester baru dimulai."

Air mata haru menggenang di pelupuk mata ibunya. "Syukurlah, Nak. Ibu senang kamu sudah menemukan semangatmu lagi."

Siang itu, ketika Rama sedang menyiapkan materi untuk les privatenya, dia melihat Pak Hasan sedang menyiram tanaman seperti biasa. Kali ini, Rama tidak lagi merasa malu melihatnya. Sebaliknya, dia merasa bersyukur telah dipertemukan dengan orang yang telah membantunya menemukan makna hidup.

"Setiap hari adalah kertas kosong yang menunggu untuk ditulisi," gumam Rama, mengulang kata-kata Pak Hasan. "Dan aku akan memastikan untuk menulis sesuatu yang berarti di setiap lembarnya."

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image