Senja di Kota Pahlawan
Sastra | 2024-10-23 19:28:44
Senja mulai turun di Kota Pahlawan. Langit jingga memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit, menciptakan pemandangan yang seharusnya indah di mata Bayu. Namun, pemuda berusia 19 tahun itu hanya menatap kosong dari jendela kamar kosnya yang sempit di daerah Keputih. Suara adzan Maghrib sayup-sayup terdengar dari masjid kampus, berbaur dengan deru motor dan klakson angkot yang tak pernah lelah bernyanyi di jalanan Surabaya.
Sudah empat bulan ia meninggalkan kampung halamannya di Tulungagung untuk mengejar mimpi kuliah di Institut Teknologi terbaik di Jawa Timur. Empat bulan yang terasa seperti empat tahun. Setiap malam, rindu pada masakan ibunya, candaan adiknya, dan kehangatan rumah semakin menghantui. Bahkan aroma sawah di pagi hari dan kicauan burung yang dulu sering ia keluhkan, kini menjadi memori yang ia rindukan.
Di meja belajarnya yang sudah mulai lapuk, terpajang foto keluarganya. Ayahnya yang berbadan tegap meski usia sudah menginjak kepala lima, ibunya dengan senyum lembutnya yang khas, dan Dinda, adik perempuannya yang masih SMP. Foto itu diambil tepat sehari sebelum ia berangkat ke Surabaya. Masih teringat jelas bagaimana ibunya memasak semua makanan kesukaannya malam itu, seolah ingin membekali lidahnya dengan rasa rumah yang harus ia tinggalkan.
"Mas Bayu, ayo makan bareng!" teriak Dani, teman sekosnya dari Malang, membuyarkan lamunannya.
"Nggak, Dan. Kamu duluan aja," jawab Bayu pelan, berusaha menyembunyikan keraguan dalam suaranya.
Bayu membuka dompetnya. Tersisa dua lembar uang puluhan ribu yang harus ia hemat hingga kiriman berikutnya dari orangtua. Ia menghela napas panjang. Beasiswa yang ia dapatkan hanya meringankan biaya kuliah, sementara biaya hidup di Surabaya ternyata jauh lebih tinggi dari yang ia bayangkan. Setiap hari ia harus pintar-pintar mengatur pengeluaran, bahkan untuk sekadar membeli sebungkus nasi dan segelas air mineral.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari ibunya:
"Nak, gimana kabarnya? Sudah makan? Jangan lupa jaga kesehatan ya. Maaf ya, Ibu cuma bisa kirim segitu bulan ini. Harga pupuk naik, jadi musim tanam ini agak berat. Tapi Ibu yakin kamu bisa bertahan. Kamu kan anak Ibu yang kuat."
Air mata Bayu nyaris menetes. Ia tahu betul perjuangan orangtuanya sebagai petani di kampung. Setiap rupiah yang mereka kirimkan adalah hasil kerja keras di bawah terik matahari. Terbayang ayahnya yang selalu bangun sebelum subuh untuk mengecek sawah, dan ibunya yang tak kenal lelah mengurus rumah sambil membantu di ladang. Dan di sinilah ia sekarang, berjuang sendirian di kota besar, mencoba membuktikan bahwa kepercayaan mereka tidak sia-sia.
Nilai-nilai kuliahnya semester ini tidak sebaik yang ia harapkan. Meskipun sudah begadang hampir setiap malam, beberapa mata kuliah tetap terasa begitu berat. Kalkulus dan Fisika Dasar menjadi momok yang menghantuinya setiap malam. Ditambah lagi, ia harus menyesuaikan diri dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Terkadang, accent Jawa-nya yang kental membuatnya malu untuk berbicara di kelas. Beberapa teman bahkan pernah menertawakan logat medoknya saat presentasi.
"Mas," panggil Dani yang tiba-tiba muncul di pintu kamarnya, "ini tak bawain nasi goreng. Tadi dapat rezeki lebih dari projek freelance. Dimakan ya, Mas. Aku tahu Mas belum makan dari pagi."
Bayu tersenyum tipis, "Makasih, Dan. Nanti tak ganti ya."
"Santai ae, Mas. Kita sama-sama perantau, harus saling bantu," jawab Dani sambil menepuk pundak Bayu. "Lagian Mas sering bantuin aku ngerjain tugas programming. Anggap aja ini balesannya."
Malam itu, sambil menyantap nasi goreng pemberian Dani, Bayu membuka laptop tuanya yang sering mengalami hang. Ada email masuk dari dosen pembimbing praktikum. Ia ditawari menjadi asisten laboratorium semester depan. Gajinya memang tidak seberapa, tapi cukup untuk meringankan beban orangtuanya. Setidaknya ia bisa mengurangi frekuensi meminta kiriman uang.
Bayu teringat kata-kata ayahnya sebelum ia berangkat ke Surabaya:
"Le, hidup ini seperti menanam padi. Kita tidak bisa memaksa benih langsung jadi beras. Ada prosesnya, ada waktunya. Yang penting, jangan lupa siram dengan doa dan pupuk dengan usaha. Insya Allah, nanti akan berbuah manis. Bapak yakin kamu bisa jadi kebanggaan keluarga."
Ia membuka sajadahnya yang sudah mulai lusuh, menggelar di lantai kamar yang dingin. Dalam sujudnya yang panjang, air mata akhirnya tumpah. Ia berdoa untuk kesehatan orangtuanya, untuk kemudahan studinya, untuk kekuatan menghadapi segala rintangan. Ia ingat bagaimana dulu ayahnya selalu mengajaknya sholat berjamaah di mushola kampung, bagaimana ibunya selalu mengingatkannya untuk berdoa sebelum berangkat sekolah.
"Ya Allah, jadikan setiap tetes keringat orangtuaku sebagai motivasi untuk terus berjuang. Jadikan setiap kesulitan ini sebagai proses penempaan diri," bisiknya dalam hati, terisak pelan dalam sujudnya yang panjang.
Keesokan paginya, Bayu bangun dengan semangat baru. Ia mulai menyusun jadwal belajar yang lebih teratur. Di sela-sela kuliah, ia mencari tutorial coding di internet untuk mengasah kemampuannya. Perpustakaan kampus menjadi rumah keduanya, tempat ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam. Setiap malam Jumat, ia ikut pengajian mahasiswa, mencari ketenangan dan teman seperjuangan.
Perlahan tapi pasti, nilai-nilainya mulai membaik. Ia bahkan berhasil mendapat nilai A untuk mata kuliah Pemrograman Dasar. Bahasa Suroboyoan yang awalnya terasa asing kini mulai akrab di lidahnya. Tak jarang ia sudah bisa membalas candaan teman-temannya dengan logat Surobaya yang khas. Bahkan, ia mulai bisa menikmati lontong balap dan semanggi, makanan khas Surabaya yang dulu terasa aneh di lidahnya.
Enam bulan kemudian, Bayu mendapat kabar gembira. Proposal penelitiannya tentang sistem informasi untuk petani desa diterima dan ia mendapat dana hibah mahasiswa. Dengan tangan bergetar, ia menelepon orangtuanya. "Alhamdulillah, Le. Bapak sama Ibu selalu yakin kamu bisa," suara ibunya bergetar di ujung telepon. "Kamu memang anak desa, tapi mimpimu tidak boleh sedesa kelahiranmu."
Sore itu, Bayu duduk di tempat favoritnya, memandang senja Surabaya yang kini terasa berbeda. Kota ini memang keras, tapi di sinilah ia belajar tentang arti perjuangan yang sesungguhnya. Tentang bagaimana setiap kesulitan adalah proses pendewasaan, dan bagaimana setiap doa yang dipanjatkan selalu didengar Yang Maha Kuasa.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini pesan dari Dani:
"Mas, ada project web development nih dari startup lokal. Mau ikut? Lumayan buat nambah-nambah. Sekalian bisa buat portfolio kita ke depannya."
Bayu tersenyum. Ya, inilah Surabaya. Kota yang mengajarkannya untuk terus berjuang, kota yang membuatnya mengerti bahwa setiap usaha dan doa yang sungguh-sungguh pasti akan berbuah manis pada waktunya. Mungkin ia memang bukan mahasiswa paling pintar di kelasnya, tapi ia bertekad untuk menjadi yang paling gigih dalam berusaha.
"Memang benar kata Bapak," gumamnya pelan, "hidup ini seperti menanam padi. Yang penting jangan lupa siram dengan doa dan pupuk dengan usaha. Karena tidak ada perjuangan yang sia-sia di mata Allah."
Senja pun tenggelam, meninggalkan secercah harapan di mata Bayu. Besok adalah hari baru, dengan perjuangan baru, dan tentunya, dengan semangat yang baru pula. Di kejauhan, suara adzan Maghrib kembali berkumandang, mengingatkannya bahwa setiap kesulitan selalu beriringan dengan kemudahan bagi mereka yang tak pernah lelah berusaha dan berdoa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.