Kualitas Perumahan Buruk: Menembus Bayang-Bayang Permukiman Kumuh
Eduaksi | 2024-10-23 08:18:18Setiap bangunan yang dimulai dari fondasi yang kuat hingga atap untuk melindungi dari berbagai cuaca, memainkan peran penting dalam menciptakan tempat yang aman juga fungsional. Menurut penuturan narasumber yaitu Ibu Dewi ketika ditanya mengenai pendapatnya tentang rumah, beliau mengatakan bahwa rumah merupakan tempat tinggal orang-orang untuk bersantai, tidur, dan sebagai tempat berlindung. Bangunan rumah memang dirancang sesuai standar untuk memenuhi kebutuhan manusia dari segi kenyamanan dan juga keamanan. Standar bangunan rumah yang baik menurut WHO adalah tidak adanya kepadatan penghuni yang tinggal di satu rumah, tidak adanya kebisingan, memiliki kualitas udara dan suhu yang baik, air yang sesuai standar kesehatan, dan material rumah yang memperhatikan standar terutama jika dari asbes, radon, dan timah (WHO Housing and Health Guidelines, 2018). Namun, apa jadinya jika bangunan rumah tidak sesuai dengan standar yang baik dan sehat?
Terdapat sebuah permukiman kumuh yang terletak di daerah Pondok Ranji yang dipagari oleh seng. Permukiman tersebut ditandai dengan rumah-rumah yang diberi sekat, banyaknya sampah berupa botol-botol kaca, furniture yang sudah tidak digunakan, besi-besi, benda-benda yang akan didaur ulang. Masing-masing rumah beranggotakan empat hingga enam orang dengan kamar tidur dan ruang tamu dijadikan satu, serta sebuah dapur di luar rumah untuk digunakan bersamaan. Orang-orang yang tinggal di permukiman tersebut bekerja sebagai pemulung. Menurut UN-Habitat, perumahan kumuh merupakan kumpulan individu yang berada di satu atap yang sama, di daerah perkotaan, dan memiliki tempat tinggal yang buruk secara struktural, fasilitas rumah yang tidak memadai, kepadatan penduduk, bahan bangunan yang buruk, serta infrastruktur yang tidak aman (WHO Housing and Health Guidelines, 2018). Permukiman kumuh yang berada di daerah Pondok Ranji sesuai dengan standar umuh yang dimaksud oleh UN-Habitat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Dewi ketika menceritakan suasana pemukiman dari pagi hingga malam hari, beliau mengatakan bahwa ketika pagi hari salah satu dari orang tua berangkat untuk memungut sampah dan anak-anak sekolah di SD Negeri yang jaraknya tak jauh dari permukiman, tak hanya orang tua tetapi paman atau bibi juga berangkat memungut benda-benda yang bisa didaur ulang. Bahkan bagi mereka yang tidak menyekolahkan anak atau anak mereka yang masih bayi akan ikut serta dalam memungut sampah untuk mencari rezeki. Pada siang hari, permukiman cenderung sepi karena rata-rata dari mereka masih mencari rezeki dan anak-anak yang telah pulang sekolah turut serta membantu orang tuanya. Ketika sore hari di jam 16.40 WIB biasanya sudah ada yang pulang karena membawa anak atau target pemungutan sudah selesai. Dilanjutkan pada malam harinya, para lelaki melanjutkan aktivitas dengan mendaur ulang barang yang bisa didaur ulang dengan cara-cara yang dapat menimbulkan kebisingan. Rumah-rumah mereka hanya diberi sekat dan otomatis setiap aktivitas apapun akan terdengar. Tak jarang, dua hingga tiga orang masih melakukan aktivitas di malam hari yang menyebabkan terganggunya tidur mereka.
Jika dilihat dari observasi dan wawancara, kondisi rumah yang tidak memenuhi standar dapat menimbulkan stress. Hal ini sesuai dengan (Steg & Groot, 2023) bahwa efek dari kondisi perumahan yang buruk pada indikator fisiologis stress berdampak pada remaja dan orang dewasa. WHO juga membuat pernyataan bahwa kondisi dalam rumah yang padat dan paparan kebisingan di luar rumah dapat menjadi pemicu dari stress (WHO Housing and Health Guidelines, 2018) Hal ini didukung oleh pengakuan dari narasumber bahwa beliau cukup merasa stress dengan aktivitas yang menimbulkan kebisingan dan kepadatan yang ada di rumahnya karena anggota keluarga mereka ada lima dan diharuskan untuk tidur beramai-ramai yang terkadang membuat suhu rumah terasa panas, beliau juga memaparkan bahwa tak hanya ia yang merasakan stress tetapi kedua anak perempuannya juga mengeluh tentang rumahnya yang sempit, bising, serta padat.
Jika dilihat, struktur rumah narasumber tidak memadai dari segi fungsionalitas maupun estetika. Bidang yang membahas rancangan struktur bangunan yang memenuhi standar estetika, fungsional, dan kenyamanan adalah desain spasial. Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Riva et al., 2022) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kesehatan mental dengan desain lingkungan yang mendorong interaksi sosial. Selain itu, desain spasial yang meningkatkan aktivitas fisik dan fleksibel menghasilkan tingkat stress yang lebih rendah dibandingkan desain spasial yang tidak sesuai standar yang akan meningkatkan kelelahan kognitif serta mengurangi produktivitas. Desain spasial yang memadai menghasilkan kualitas rumah yang baik, sebaliknya, desain spasial yang tidak memadai menghasilkan kualitas rumah yang buruk dan berdampak pada anak-anak serta remaja. Terdapat sebuah studi longitudinal yang menyatakan bahwa kualitas rumah yang buruk berkaitan dengan pertumbuhan anak-anak dan remaja yang dimana emosi dan perilaku yang buruk serta keterampilan kognitif yang rendah merupakan penyebab dari poor housing quality atau kualitas perumahan yang buruk (Steg & Groot, 2023).
Tak hanya aspek psikologis yang terkena dampak dari rumah yang tidak memenuhi standar tetapi aspek fisik seperti masalah kesehatan juga merupakan dampak dari kualitas rumah yang buruk. Banyak studi yang menghubungkan kualitas perumahan yang buruk dengan kesehatan yang buruk seperti adanya penyakit pernapasan, penyakit kardiovaskular, dan obesitas (Baker et al., 2016). Salah satu ciri dari kualitas rumah yang buruk adalah tingkat kepadatan yang tinggi. Rumah yang padat mempermudah risiko tertularnya sebuah penyakit. Menurut (Bechtel & Wiley, n.d.) kepadatan penduduk di suatu rumah meningkatkan risiko penularan karena adanya kontak dekat dengan orang yang sedang sakit. Hal ini terbukti saat narasumber terkena flu dan batuk, maka secara keseluruhan anggota keluarganya tertular oleh flu dan batuk karena mereka selalu berada di satu ruang yang sama.
Berdasarkan fenomena tersebut, diperlukan adanya tindakan dari pemerintah untuk mengadakan program renovasi terutama di area permukiman kumuh. Hal ini juga merupakan harapan dari narasumber supaya mereka bisa merasakan tinggal di tempat yang layak untuk dihuni. Selain itu, diperlukan pula keterlibatan komunitas peduli lingkungan untuk memberikan edukasi tentang sanitasi kepada penduduk di area kumuh.
Baker, E., Lester, L. H., Bentley, R., & Beer, A. (2016). Poor housing quality: Prevalence and health effects. Journal of Prevention and Intervention in the Community, 44(4), 219–232. https://doi.org/10.1080/10852352.2016.1197714
Bechtel, R. B., & Wiley, J. (n.d.). HANDBOOK OF ENVIRONMENTAL PSYCHOLOGY.
Fleury-Bahi, G., Pol, E., & Navarro, O. (n.d.). International Handbooks of Quality-of-Life. http://www.springer.com/series/8365
Riva, A., Rebecchi, A., Capolongo, S., & Gola, M. (2022). Can Homes Affect Well-Being? A Scoping Review among Housing Conditions, Indoor Environmental Quality, and Mental Health Outcomes. In International Journal of Environmental Research and Public Health (Vol. 19, Issue 23). MDPI. https://doi.org/10.3390/ijerph192315975
Steg, L., & Groot, J. I. M. D. (2023). Environmental Psychology. http://psychsource.bps.org.uk
WHO housing and health guidelines. (2018). World Health Organization.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.