Rundung, Runding, dan Solusi
Rubrik | 2024-10-21 23:59:20Perundungan terhadap Universitas Diponegoro (Undip) atas terjadinya kasus perundungan di universitas tersebut, hingga keputusan-keputusan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atas kasus tersebut semakin menunjukkan betapa buruk dan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, sekaligus menunjukkan betapa sama buruk dan rendahnya kualitas kesehatan di Indonesia.
Ketika dua aspek sosial itu begitu rendah, maka Indonesia tidak bisa berharap mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM), generasi penerus yang berintegritas, berdaya juang, jujur, berkomiten, berkompeten, berkapasitas, dan berkapabilitas menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
Demikian memprihatinkan, tetapi kepedulian pemerintah sedemikian minim dan tidak bisa menjadikan layanan pendidikan dan kesehatan menjadi lebih berkualitas.
Tulisan ini bertujuan menyadarkan dan memahamkan mereka-mereka yang berkepentingan untuk peduli, sadar, dan paham bahwa demikian kritikalnya peran pendidikan dan kesehatan dalam sebuah negara, peradabannya, kemajuannya hingga mencapai kemajuan, Indonesia Emas 2045. Dari sedemikian banyaknya masalah pendidikan dan kesehatan di Indonesia, ada fenomena atau fakta negatif, yaitu berupa kasus perundungan di Undip yang diselesaikan oleh Kemenkes dengan cara juga melakukan perundungan terhadap universitas tersebut.
Hampir tidak mungkin untuk menolak atau harus mengakui kenyataan bahwa ada fakta perundungan di Undip, khususnya yang berhubungan dengan layanan pendidikan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Program Studi (Prodi) Anestesiologi dan Terapi Intensif. Fakta-fakta telah terungkap, baik oleh pihak Undip maupun Kemenkes bahwa telah nyata ada perundungan di Undip. Bahwa mahasiswa baru satu angkatan di prodi tersebut secara ”budaya” harus iuran uang sekitar 40 juta rupiah untuk memenuhi kebutuhan seniornya merupakan satu bentuk perundungan. Untuk meyakini perundungan ini, penulis merujuk pada Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.01/Menkes/1512/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan terhadap Peserta Didik pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan, yang menyimpulkan dan meyakini bahwa perundungan adalah segala tindakan yang merugikan peserta didik yang dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang di luar atau yang tidak berhubungan dengan proses pendidikan, penelitian atau pelayanan. Karena sudah menjadi ”budaya”, maka iuran bulanan sekitar 40 juta rupiah merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan cara ”memaksa” terhadap peserta didik yang hampir pasti menjadikan tidak nyaman, bahkan kerugian bagi peserta didik tersebut. ”Budaya” iuran seperti ini tidak hanya terjadi di prodi Undip, namun hampir pasti juga terjadi di prodi-prodi sejenis di lingkungan penyelenggara prodi di seluruh universitas di Indonesia.
Lingkungan, ekosistem di prodi tersebut sangat memungkinkan bahkan tidak terhindarkan terjadinya perundungan. Selain budaya iuran, bentuk perundungan lainnya adalah ”budaya” umum yang pasti terjadi berupa praktik-praktik feodalisme dalam prodi tersebut, yaitu mahasiswa baru atau angkatan lebih rendah harus menghormati dan menghargai secara berlebihan di luar batas-batas kewajaran dan kelayakan. Kemenkes mensinyalir ”budaya” feodalisme ini berbentuk perundungan fisik, perundungan verbal, perundungan siber, dan perundungan nonfisik dan nonverbal lainnya.
Sangat memprihatinkan dan sangat layak disayangkan bahwa kasus perundungan di Undip, oleh Kemenkes diselesaikan dengan juga melakukan perundungan, bahkan mungkin juga ”dendam” Kemenkes terhadap salah satu sivitas akademik Undip yang telah dihentikan tugas praktik layanannya di Rumah Sakit dr. Kariadi. Sivitas dimaksud merupakan orang yang kritis dan bahkan mungkin berlebihan mengkritik kebijakan-kebijakan Kemenkes termasuk misal niat kebijakan impor dokter. Jika perundungan di prodi dilakukan oleh senior terhadap juniornya, maka perundungan di Kemenkes adalah perundungan yang dilakukan penanggungjawab di Kemenkes terhadap beberapa sivitas akademik di Undip yang bisa jadi merupakan representasi Undip hingga menimbulkan ”kemarahan” Undip.
Bentuk nyata perundungan oleh Kemenkes terhadap Undip adalah Pemberhentian Program Anestasi Universitas Diponegoro di Rumah Sakit dr. Kariadi sebagaimana tertuang dalam Surat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor TK.02.02./D/44137/2024. Tindakan yang dilakukan oleh Kemenkes dengan cara ”memaksa” ini terhadap seluruh sivitas akademik di prodi tersebut pasti menjadikan tidak nyaman, bahkan kerugian bagi sivitas tersebut. Selain pemberhentian prodi, perundungan lain oleh Kemenkes adalah dengan cara ”memaksa” juga menghentikan sementara aktivitas klinis Dr. dr. Yan Wisnu Prajoko, M.Kes, Sp.B, Subsp.Onk (Dekan Fakultas Kedokteran Undip) di Rumah Sakit dr. Kariadi. Tindakan-tindakan ini dapat diyakini merupakan sanksi. Jika sanksi harusnya melalui proses ”peradilan”, yaitu menghadirkan pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran etik berupa perundungan dan menghadirkan pula bukti-bukti yang mendukung adanya perundungan sebagaimana dinyatakan dalam Surat Instruksi Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023. Merujuk pada Surat Instruksi ini, seharusnya pihak-pihak yang harus”diadili” dengan dugaan pelanggaran etika perundungan adalah tenaga pendidik dan pegawai lainnya, peserta didik, dan yang paling pokok adalah pimpinan rumah sakit pendidikan, dalam hal ini Rumah Sakit dr. Kariadi.
Dengan menyelesaikan perundungan dengan cara juga perundungan, di masa depan praktik-praktik perundungan di lingkungan Kemenkes, khususnya dalam lingkungan prodi seperti di atas, mustahil bisa menjadi minimal, apalagi hilang. Selain itu, dengan merujuk Surat Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023, dapat disimpulkan bahwa tidak ada sistem praktis untuk pencegahan, pengawasan, dan penanganan perundungan. Walaupun secara tertulis ketiga praktik ada dinyatakan dalam Instruksi Menkes, tetapi dalam kenyataannya ketiga praktik tidak berjalan dengan baik dan layak, minimal layak dipertanyakan.
Kasus perundungan Undip terkuak, bukan karena ketiga sistem praktis berjalan dengan baik, tetapi lebih karena ada kasus meninggalnya salah satu peserta didik yang kemudian menjadi opini publik viral.
Sejak ditetapkannya Instruksi Menkes tanggal 20 Juli 2023, tidak ada sistem praktis nyata ada yang mengatur tata cara pencegahan, pengawasan, dan penanganan perundungan. Layak dipertanyakan keberadaan bentuk nyata penetapan dan sosialisasi kebijakan pencegahan perundungan oleh rumah sakit. Juga patut diragukan bahwa di rumah sakit mempraktikkan pengawasan perundungan, mulai pencatatan gejala hingga evaluasi perundungan sampai pada proses ”peradilan”nya. Tidak ada proses ”peradilan” (penanganan) pelanggaran etika terhadap sivitas akademika Undip. Yang terjadi adalah peserta didik diduga bunuh diri, diikuti investigasi Irjen Kemenkes dan langsung buat amar putusan telah terjadi perundungan berat dengan sanksi berat berupa pemecatan. Harusnya melalui proses ”peradilan” terhadap ”terdakwa”, baik itu tenaga pendidik dan pegawai lainnya, peserta didik, dan yang paling pokok adalah pimpinan rumah sakit, barulah dibuat amar putusan apakah telah ada pelanggaran etika perundungan atau tidak. Jika ada, bentuk pelanggaran etika perundungan ringan, sedang, atau berat sehingga sanksinya pun juga berbeda-beda, bisa sanksi ringan, sedang, atau berat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.