Serpihan Hati di Pesisir Belitong
Sastra | 2024-10-21 19:59:01Senja memeluk Belitong dalam semburat jingga, saat Rani menjejakkan kakinya di pasir pantai yang familiar namun terasa asing. Angin laut membelai rambutnya yang kini dihiasi beberapa helai keperakan, saksi bisu perjalanan waktu yang telah ia lalui. Di usianya sekarang, Rani telah menaklukkan puncak-puncak karier yang membuatnya disegani di ibukota. Namun kini, ia berdiri di tepi laut dengan hati yang goyah, mencari-cari serpihan dirinya yang tertinggal di pulau kelahirannya ini.
Ombak bergulung lembut, membisikkan kenangan masa lalu. Rani memejamkan mata, membiarkan dirinya hanyut dalam nostalgia. Ia melihat bayangan dirinya di masa remaja, berlarian di pantai ini dengan tawa riang, dikejar oleh seorang pemuda dengan senyum secerah mentari pagi - Ahmad.
Ahmad. Nama itu menggetarkan sesuatu dalam dirinya yang telah lama terkubur. Nama yang ia kira telah terhapus oleh waktu dan ambisi, kini menari-nari di benaknya, mengusik ketenangan yang selama ini ia bangun dengan susah payah.
Langit senja perlahan menggelap, mengingatkan Rani akan waktu yang terus bergulir tanpa ampun. Ia melangkah pelan meninggalkan pantai, membawa serta keraguan yang kini bersemayam di hatinya. Jalan setapak yang ia lalui diterangi lampu-lampu kecil, seolah menuntunnya pulang ke masa lalu yang telah lama ia tinggalkan.
Keesokan harinya, Rani menghadiri pertemuan di balai desa. Ruangan itu dipenuhi wajah-wajah familiar yang kini dihiasi kerutan usia. Namun satu wajah menarik perhatiannya, wajah yang tak lekang oleh waktu - Ahmad. Mata mereka bertemu, dan seketika dunia di sekitar Rani seakan berhenti berputar.
"Rani," suara Ahmad terdengar lembut namun mantap, membuat jantung Rani berdegup kencang. "Waktu memang telah berlalu, tapi kecantikanmu tak pernah pudar."
Kata-kata itu mengalir bagai madu, membelai luka hati Rani yang selama ini tersembunyi di balik topeng kesuksesannya. Mereka berbincang, merajut kembali benang-benang kenangan yang terputus. Ahmad bercerita tentang perjuangannya memajukan desa, sementara Rani membagikan kisah petualangannya di rimba beton Jakarta.
Hari-hari berikutnya berlalu bagai mimpi. Rani dan Ahmad kembali menyusuri jalan-jalan kenangan, menikmati keindahan Belitong yang selama ini luput dari pandangan Rani. Di bawah rindangnya pohon ketapang, mereka berbagi mimpi dan harapan. Di tepi pantai, mereka membangun istana pasir masa depan.
Namun, sebagaimana ombak yang tak kenal lelah mengikis tepian pantai, waktu pun tak berhenti menggerus kebersamaan mereka. Rani harus kembali ke Jakarta, kembali ke dunia yang telah ia bangun dengan keringat dan air mata.
Malam terakhirnya di Belitong, Rani berdiri di tepi pantai. Angin malam membelai wajahnya, membawa aroma asin laut yang mengundang kerinduan. Ahmad berdiri di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan Rani. "Rani," bisik Ahmad, suaranya nyaris tenggelam dalam deburan ombak. "Maukah kau tinggal? Maukah kau membangun mimpi bersamaku di sini?"
Pertanyaan itu menghantam Rani bagai ombak besar, mengguncang fondasi kehidupan yang selama ini ia bangun. Haruskah ia meninggalkan kariernya yang gemilang di Jakarta? Atau akankah ia kembali mengorbankan cinta demi ambisi?
Kembali ke Jakarta, Rani merasa seperti kapal tanpa nahkoda. Ia terombang-ambing di antara dua dunia - dunia kesuksesan yang telah ia bangun dan dunia cinta yang menjanjikan kebahagiaan yang selama ini tak pernah ia rasakan. Suatu malam, saat langit Jakarta berhias gemerlap lampu kota, Rani berdiri di balkon apartemennya. Ia memandang jauh ke cakrawala, seolah mencari jawaban dari bintang-bintang yang hampir tak terlihat di balik polusi cahaya kota.
Angin malam membisikkan kata-kata bijak Pak Hendra, bosnya yang telah ia anggap seperti ayah sendiri. "Rani, kesuksesan sejati bukan hanya tentang pencapaian karier. Tapi juga tentang keberanian untuk mengejar kebahagiaan sejati."
Saat itu, Rani merasakan sesuatu pecah dalam dirinya. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya yang dingin. Ia menyadari bahwa selama ini ia telah berlari, berlari dari cinta, berlari dari dirinya sendiri.
Dengan tangan bergetar, Rani meraih ponselnya. Ia menghubungi Ahmad, suaranya parau oleh emosi yang membuncah. "Ahmad, aku pulang. Aku ingin memulai lagi bersamamu."
Keputusan Rani mengejutkan banyak orang. Ia meninggalkan kariernya yang gemilang di Jakarta, kembali ke Belitong untuk membangun mimpi bersama Ahmad. Mereka menikah di tepi pantai, disaksikan oleh debur ombak dan sinar mentari yang membelai lembut. Lima tahun berlalu sejak hari itu. Kini Rani berdiri di teras rumahnya, memandang matahari yang tenggelam di ufuk barat. Ahmad memeluknya dari belakang, sementara putri kecil mereka berlarian di halaman, tawanya riang membelah senja.
Rani tersenyum, merasakan kehangatan cinta yang melingkupinya. Ia sadar, keputusannya untuk kembali ke Belitong, untuk memberi kesempatan pada cinta, bukanlah akhir dari mimpinya. Justru, ini adalah awal dari petualangan baru yang jauh lebih indah dan bermakna. Angin senja berbisik lembut, membawa aroma laut yang familiar. Rani memejamkan mata, meresapi setiap detik kebahagiaan ini. Ia telah menemukan rumah. Ia telah menemukan cintanya. Dan dalam pelukannya, Rani menemukan dirinya yang sejati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.