Seksisme dan Perannya dalam Victim Blaming Korban Kekerasan Seksual Domestik
Rubrik | 2024-10-18 09:35:41Perempuan menjadi pihak yang paling banyak menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia. Dikutip dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuam Komnas Perempuan, pada tahun 2023 terdapat setidaknnya 401.975 kasus yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, lembaga pelayanan, serta Badan Peradilan Agama (BADILAG). Menurut data, kekerasan berbasis gender berdasarkan ranahnya yang paling tinggi adalah di ranah personal atau domestik dengan rincian pelaporan melalui Komnas Perempuan 1.944 kasus, lembaga pelayanan 3.294 kasus, dan BADILAG sebanyak 279.503 kasus. Sementara itu berdasarkan bentuk kekerasannya, kekerasan seksual menduduki peringkat pertama dengan 2.363 kasus atau sebesar 34,80%.
Proses Labelling yang terjadi dalam masyarakat bahwa perempuan marwahnya menjadi makhluk suci mengkonstruksi stigma bahwa sebuah kejahatan seksual yang dialami perempuan adalah mencoreng marwah dan menganggapnya sebagai aib yang harus ditutup rapat. Sehingga, tak sedikit korban kemudian takut untuk melakukan pengaduan karena tekanan yang didapatkan dari lingkungan sosialnya. Korban kemudian dipaksa untuk menanggung sendiri kebengisan pelaku kejahatan, dan tetap akan dicari titik lemahnya untuk disalahkan sebagai bentuk pelemahan kuasa terhadap korban. Seperti yang paling sering ditemui adalah ucapan kepada korban kekerasan seksual tentang bagaimana korban berpakaian semasa kejahatan terjadi.
Di Indonesia, belum ada instrumen hukum yang membahas secara vital kekerasan seksual yang terjadi dalam ranah domestik. Kejahatan seksual ranah domestik acap kali menjadi perdebatan antara keabsahannya sebagai sebuah tindak pidana, mengingat kesenjangan peran yang diberikan kepada pihak perempuan dalam sebuah organisasi masyarakat lingkup kecil seperti keluarga adalah untuk melayani pasangannya utamanya kebutuhan biologis. Selama diskursus bahwa peran perempuan hanya cukup pada aktivitas dapur, sumur, kasur akan lebih sulit bagi korban kekerasan seksual domestik memperjuangkan hak atas kebebasannya dan hak atas pilihannya. Karena, anggapan kasur sebagai pelayanan biologis terhadap pasangan adalah sebuah kewajiban dan bentuk timbal balik dari peran pasangan sebagai provider atau pemberi nafkah.
Berkembangnya anggapan di masyarakat terhadap perempuan yang menolak melakukan aktivitas seksual dengan pasangan sebagai bentuk tanggungjawab pemenuhan hasrat biologis akan mendatangkan dosa bagi perempuan. Sehingga aktivitas kekerasan seksual domestik kerap dijustifikasi sebagai akibat dari sebuah kausalitas. Tak berhenti disana, perempuan kemudian akan dicap sebagai istri durhaka yang akan dilaknat malaikat sepanjang malam. Faktanya, fenomena tersebut timbul akibat masyarakat sendiri yang cenderung lebih menyorot perihal penolakan yang dipilih oleh perempuan. Daripada harus mempermasalahkan tentang kekerasan seksual yang dialaminya atau bahkan mempermaslahkan hal remeh seperti alasan mengapa perempuan sampai harus menolak aktivitas seksual dengan pasangannya. Belenggu kontradiksi dalam ajaran agama yang tidak tersalurkan dengan baik di masyarakat akan menumbuhkan pemikiran rumpang yang dijadikan sumber acuan dan kepercayaan dalam menghadapi kasus serupa. Pada akhirnya, perempuan sebagai korban kembali menjadi pihak yang disalahkan oleh anggapan kontradiksi seksis agamis yang berkembang di masyarakat.
Pemikiran seksis yang banyak berkembang di Indonesia sendiri tidak serta merta anggapan bahwa perempuan pada hakikatnya tidak lebih penting dari laki-laki, namun dapat dilihat melalui kesenjangan peran yang menimbulkan pembatasan hak atas kebebasan dan hak atas pilihan yang dikonstruksikan kepada perempuan dalam ranah secara universal. Hal ini dapat dilihat dari fenomena ketika laki-laki adalah pihak yang akan berkewajiban melindungi dan memberi nafkah untuk perempuan, sementara perempuan diminta untuk cukup beraktivitas domestik dan dilarang beraktivitas lain seperti bekerja dan melanjutkan pendidikan setelah menikah. Fenomena di atas dapat menjadi faktor yang akan semakin melemahkan eksistensi perempuan dalam menjalankan aktivitas di masyarakat terkhusus pada ranah domestik. Hal ini memiliki artian bahwa perempuan di ranah domestik adalah subjek yang tidak lebih selain bergantung pada eksistensi laki-laki untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Lemahnya eksistensi perempuan ini, kemudian menjadi salah satu faktor tingginya kejahatan berbasis gender (KBG) dalam ranah domestik.
Sumber:
Bias Gender Dalam Fenomena Victim Blaming Kekerasan Seksual. E-Jurnal. (diakses pada 2024, 25 September). file:///C:/Users/XIOMI/Downloads/bias-gender-dalam-fenomena-victim-blaming-kekerasan-seksual-template-jurnal-flourishing.pdf
Why is Indonesia Still Failing Victims of Domestic Violence. E-Artikel. (diakses pada 2024, 25 September). https://www.aminef.or.id/why-is-indonesia-still-failing-victims-of-domestic-violence-2/
Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023. (diakses pada 2024, 25 September). https://komnasperempuan.go.id/download-file/1085
Domestic Violence From A Gender Politics Perspective. E-Jurnal. (diakses pada 2024, 25 September). file:///C:/Users/XIOMI/Downloads/3484-11118-1-PB.pdf
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.