Seksisme dan Pemikiran Kate Millett
Politik | 2023-01-20 16:39:49Perbedaan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi masalah kajian yang diperdebatkan selama berabad-abad. Masalah muncul tidak hanya tentang perbedaan, tetapi juga dalam mendefinisikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan berbeda dalam banyak hal, tetapi juga memiliki begitu banyak kesamaan dalam beberapa hal lainnya. Adam dan Hawa sebagai bentuk tertua dari hubungan laki-laki dan perempuan telah dimaknai dalam pelbagai versi di mana sebagian besar menempatkan perempuan sebagai 'penggoda' atau sebagai apapun yang posisinya lebih rendah dari Adam.
Perbedaan mendasar laki-laki dan perempuan berasal dari perbedaan biologis; dalam reproduksi, peran laki-laki dipandang sebagai 'agen aktif' sedangkan rahim perempuan secara tradisional dianggap 'pasif'. Dalam aspek yang lebih luas, laki-laki dipandang sebagai 'kuat' dan 'aktif' sedangkan perempuan 'lemah' dan 'pasif'. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki, oleh karena itu wajar berada di posisi yang lebih rendah. Pada tingkat lebih lanjut, itu menciptakan oposisi biner. Jika laki-laki diasosiasikan dengan kuat, mendominasi, aktif dan pelindung – permpuan didefinisikan sebagai kebalikannya. Mereka diasosiasikan dengan lemah, didominasi, pasif, dan membutuhkan perlindungan. Laki-laki juga diasosiasikan dengan subjek sedangkan perempuan adalah objeknya, baik dalam konteks seksual maupun dalam pandangan.
Apa yang penting tentang diferensiasi laki-laki dan perempuan, pada kebanyakan situasi, perempuan cenderung tertindas dan memperoleh keuntungan yang lebih sedikit daripada laki-laki. Perempuan bekerja di bidang domestik karena dianggap tidak mampu, seperti menjadi ibu rumah tangga, mengasuh anak, dan peran gender tradisional lainnya. Perempuan yang menolak peran tradisional ini tergolong menyimpang atau diperbolehkan bekerja seperti laki-laki, tetapi mendapatkan upah yang lebih rendah dan lebih diremehkan. akibat marginalisasi perempuan atas laki-laki ini dikenal dengan gerakan feminisme. Secara teoretis, feminisme mengkritisi 'asimetri relasi gender'. Ada banyak jenis feminisme, tetapi pada dasarnya feminisme bermula sebagai reaksi terhadap suatu gagasan yang disebut seksisme. Seksisme berasal dari ideologi patriarki. Pertama, ideologi patriarki adalah keyakinan yang mempromosikan “perempuan secara bawaan lebih rendah daripada laki-laki”.
Ini didasarkan pada pemikiran bahwa “ukuran fisik, bentuk tubuh, dan kimiawi” membuat laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Akibatnya, perempuan dipandang sebagai 'yang lain' atau 'yang kedua' – perempuan ditindas dan diremehkan dalam kehidupan sosial. Perempuan dianggap kurang mampu dibandingkan laki-laki dan tidak bisa melakukan “pekerjaan laki-laki”. Perempuan ditugaskan pada peran gender tradisional yang umumnya menempatkan perempuan 'di belakang' laki- laki. (Andra Septiawati dan Diana Budi Darma, SS, n.d.)
Dalam aspek selanjutnya, perempuan juga digambarkan sebagai the Other atau 'jenis kelamin kedua' setelah laki-laki. Perspektif dan pengalaman laki-laki adalah standar dan universal, sedangkan perempuan adalah 'Yang Lain'. Masalahnya, patriarki dan seksisme telah berkuasa sejak lama dan dikonstruksi secara sosial sehingga sebagian besar dari kita, baik laki-laki maupun perempuan menganggap itu normal dan benar. Dia normal melihat perempuan sebagai inferior dan lemah; oleh karena itu subordinasi perempuan terus terjadi – seksisme telah terinternalisasi dalam sistem. Kate Millet menulis bahwa posisi perempuan adalah negara politik. Ia menyebutkan bahwa “laki-laki tidak perlu mempraktekkan patriarki dengan kekerasan, karena efisien tanpa itu (Millet 43) – kebanyakan perempuan tidak sadar ketika mereka ditindas karena menganggap hal itu biasa saja, sehingga tidak membutuhkan usaha yang besar dan cukup mudah bagi pria untuk mendominasi wanita. Itu terjadi karena laki-laki “diajarkan untuk menjadi dominan. Perempuan dan laki-laki memiliki hubungan dominan/terdominasi”.
Dalam perkawinan, menurut Millet, peran gender tradisional menempatkan perempuan dalam “pekerjaan rumah tangga dengan imbalan dukungan finansial yang diberikan oleh laki-laki” dan posisi mereka berbeda karena perempuan diprogramkan untuk tunduk kepada laki-laki. Dalam kehidupan modern, hak-hak perempuan ditingkatkan tetapi dalam banyak kasus perempuan masih membutuhkan 'izin untuk melakukan sesuatu' dari laki-laki. Inilah alasan mengapa Kate Millet mengatakan, bahwa, seksualitas adalah kekuatan dan berhubungan dengan politik. Pria menggunakan seksualitasnya untuk menunjukkan performa dan kekuatannya. Katherine Murray "Kate" Millett (kelahiran 14 September 1934 - meninggal 6 September 2017) adalah seorang penulis, pengajar, artis, dan aktivis feminis Amerika. Ia menempuh pendidikan di Universitas Oxford. Tahun Pada 1960an dan 1970an, Millett mengajar di Universitas Waseda, Kolese Bryn Mawr, Kolese Barnard, dan Universitas California, Berkeley. Millett dibesarkan di Minnesota dan menjalani sebagian besar kehidupan dewasanya di Manhattan. Kate Millett, penulis buku terlaris Sexual Politics, adalah feminis yang meluncurkan gelombang kedua gerakan pembebasan perempuan. Millett, yang meninggal pada usia 82 tahun, mengembangkan teori bahwa bagi perempuan, pribadi adalah politis.
Ketidakadilan gender, terutama yang dialami oleh kaum perempuan merupakan salah satu topik yang banyak dibahas pada wacana mengenai perempuan. Wacana terkait perempuan yang banyak ditampilkan di media massa adalah dominasi laki-laki terhadap perempuan, perempuan merupakan obyek seksualitas laki-laki, dan citra perempuan sebagai makhluk yang lemah. Pemberitaan mengenai kekerasan terhadap perempuan juga menjadi salah satu topik pemberitaan yang sering kita temui pada media massa baik cetak maupun digital. Pengertian kekerasan terhadap perempuan sendiri menurut Pasal 1 Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah: Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Hasanah, 2013: 164).
Berikutnya Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan apa yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan, yaitu setiap bentuk kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan hanya karena mereka adalah perempuan (Muhajarah, 2017:131). Dari pengertian di atas, perempuan menjadi korban kekerasan karena mereka memiliki jenis kelamin perempuan, atau dapat disebut kekerasan berbasis gender.
Kekerasan Seksual yang dialami oleh perempuan, bukan hanya terjadi dalam dunia riil semata, tetapi sudah masuk ke sebuah ruang dunia digital media sosial. Bila melihat pelbagai unggahan ataupun insta story perempuan di kanal media sosial instagram, dipastikan akan dihujani komentar-komentar yang berpotensi masuk ke dalam lubang seksisme. Mulai dari tubuh, wajah, warna kulit, mata, warna rambut, atau bahkan, gerakan-gerakan yang dilakukan perempuan. Penyeragaman keindahan perempuan juga dilahirkan dari pandangan patriarki. Perempuan dipandang sebelah mata dan hanya mempunyai peran dalam ranah tertentu saja yaitu, kasur, dapur dan rumah. Budaya patriarki memarginalkan wanita yang begitu terbatas. Tubuh perempuan diartikan sebagai sebuah kecantikan. Ukuran kecantikan seorang wanita diukur dari bentuk tubuh semata. Tubuh langsing yang sempurna dari para model, yang memenuhi “Cover Vogue”, menjadi standart bagi seluruh perempuan. Menurut Millet dalam feminisme radikal terdapat konsep yang tentunya berkaitan dengan kemandirian dan perjuangan dalam rangka menuntut hak-hak dan martabat perempuan yang berkaitan juga dengan dengan kekerasan yang dialami perempuan.
Millet melihat perempuan diprogram dalam kasus seperti kasta yang dipertahankan melalui paksaan atau penanaman ieologi. Paksaan tersebut memkasakan perempuan untuk tetap pada tempatnya, termasuk kekekajaman aneh yang mengikat seperti penilaian yang yang bersifat seksis. Secara ideologis, status politik seksual telah mendapat izin untuk mengakui anggapan superioritas laki-laki, yakni laki-laki kaum superioritas dan perempuan sebagai kaum iforior. Hal yang paling bersangkutan dengan farmasi kemanusiaan tersebut ialah garis streotip kategori gender yakni maskulin dan feminim (Millet, 1970:26). Berdasarkan nilai dan kebutuhan kelompok yang dominan. Secara umum kaum laki-laki selalu dianggap memiliki sifat agresuf, memiliki kecerdasan yang lebih tinggi, kuat dan suaranya patut didengar, sedangkan perempuan bersifat pasif serba tidak tahu atau bodoh, patuh, baik dan tidak berguna.(Arifudin & Susanto, 2020).
Paksaan patriarki juga mempercayakan pada kekerasan seksual yang istimewa dalam karakter kedirian perempuan dan menyadari secara penuh dalam aksi seksisme. Hal tersebut dikarenakan kaum laki-laki mengangap kaum perempuan sebagai kaum yang subordinat, juga karena kekuatan fisik mereka yang lebih kuat. identitas seksualitas dibangun bukan hanya secara fisik saja, namun juga secara kultural dan berkaitan dengan konstruksi gender. Permasalahan yang kemudian dikemukakan oleh para feminis ialah mengenai adanya ketimpangan dalam konstruksi gender secara kultural, yang mana seperti yang Millett (2000) nyatakan, peranan wanita dalam hal seksualitas mendukung sifat pria, yang berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka junjung, cenderung bersifat mendominasi. Peranan seksualitas wanita tersebut lebih lanjut dinyakatan oleh Millet mencakup memberikan pelayanan rumah tangga, yang termasuk di dalamnya memberikan pelayanan seksual, dan merawat anak.
sedangkan hal-hal seperti pencapaian, minat, dan ambisi manusia diperuntukan untuk pria. Ketimpangan peran wanita ini kemudian dilihat oleh Millett sebagai konstruksi kultural yang membatasi peran wanita hanya sebatas fungsi mereka secara biologis sebagaimana fungsi biologis hewan betina (yaitu melahirkan dan merawat anak mereka), bukan sebagai „manusia‟ yang juga dapat memiliki pencapaian, mengerjakan minat, dan mengejar ambisi seperti laki-laki.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.