Selma Baccar: Membuka Ruang Non-Fiksi di 'Tanah Fiksi' Tunisia
Sastra | 2025-09-15 11:55:13
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Tunisia dikenal sebagai "tanah fiksi" dalam dunia perfilman, di mana sutradara cenderung berkarya dalam ranah fiksi untuk menghindari sensor dan isu politik yang sensitif. Namun, sutradara Selma Baccar berani mendobrak tradisi ini dengan film-filmnya yang mengeksplorasi bentuk non-fiksi dan isu perempuan, menjadikannya pionir di negaranya. Karya-karya Baccar berfokus pada perempuan luar biasa yang suaranya dominan dan percaya diri, menciptakan solidaritas feminis dengan penonton.
Film Baccar yang paling penting adalah Fatma 75 (1975), sebuah film esai feminis tentang peran perempuan dalam sejarah Tunisia. Film ini dibuat saat Tahun Perempuan Internasional PBB. Melalui karakter Fatma, seorang mahasiswi, Baccar menyoroti bahwa perubahan sejarah bagi perempuan Tunisia tidak hanya berkat Presiden Bourguiba, tetapi juga karena perjuangan aktivisme perempuan yang berkelanjutan.
Fatma 75 adalah film yang blak-blakan dan didaktis, dengan narasi yang secara eksplisit membela hak-hak perempuan. Namun, film ini dilarang selama tiga puluh tahun dan tidak pernah diputar di bioskop komersial di Tunisia. Meskipun demikian, pemutaran rahasia dan penayangan di festival internasional berhasil menciptakan mitos seputar film dan sutradaranya, sehingga suara Baccar tidak sepenuhnya terbungkam.
Film ini merupakan perpaduan unik antara fiksi dan non-fiksi, yang sulit diklasifikasikan9. Fatma 75 sering disebut sebagai film esai, sebuah bentuk yang memungkinkan Baccar menyampaikan pesan yang tegas melalui narasi yang kuat dan subjektif. Film ini juga menggunakan reka ulang sejarah dan arsip untuk menggambarkan perjuangan perempuan di era yang berbeda, seperti peran mereka dalam gerakan kemerdekaan dan upaya reformasi hak-hak perempuan di abad ke-20.
Selain Fatma 75, Baccar juga menyutradarai film-film lain yang berpusat pada perempuan tangguh. Salah satunya adalah Habiba M'Sika (1995), sebuah film biografi tentang seorang penyanyi Yahudi populer di tahun 1930-an. Film ini menggambarkan perjuangan Habiba untuk tetap independen di tengah situasi politik yang memanas, di mana akhirnya ia harus menghadapi akhir yang tragis.
Film lainnya, Khochkhach (2006), menceritakan Zakia, seorang perempuan yang terpenjara dalam pernikahan tanpa cinta. Secara paradoks, ia menemukan kebebasan sejati saat dipenjara di rumah sakit jiwa. Melalui karakter ini, Baccar menekankan keyakinannya pada kekuatan perempuan untuk membuat pilihan, bahkan jika itu bertentangan dengan ekspektasi masyarakat.
Meskipun tema-tema filmnya sangat feminis, Baccar sendiri menolak label tersebut. Ia lebih suka menyebut dirinya sebagai seorang sutradara yang terinspirasi oleh pengalamannya sendiri dan kisah para perempuan dalam keluarganya. Ia percaya bahwa hanya sutradara perempuan yang bisa menangkap kompleksitas psikologi perempuan secara mendalam.
Filosofi Baccar juga terinspirasi oleh esai Albert Camus, "Mitos Sisyphus". Ia melihat karakter perempuannya berada dalam situasi absurd yang serupa dengan Sisyphus. Namun, alih-alih menerima absurditas tersebut, karakter-karakter Baccar menolak dan memberontak melawannya. Bagi Baccar, perjuangan untuk melawan sistem, meskipun terasa sia-sia, adalah hal yang memberikan makna bagi hidup perempuan.
Baccar sangat menghargai pentingnya aspek visual dalam film. Ia percaya bahwa detail seperti kostum dan tata rias dapat menambahkan lapisan makna yang lebih halus daripada kata-kata. Dalam Fatma 75, misalnya, kostum-kostum detail yang dikenakan oleh Jalila Baccar saat memerankan tokoh-tokoh sejarah membantu penonton membenamkan diri dalam era yang berbeda.
Selain itu, Baccar menggunakan teknik sinematografi seperti close-up untuk menyoroti ekspresi wajah perempuan. Ekspresi-ekspresi ini sering kali menyampaikan pesan yang tidak bisa diucapkan secara verbal, terutama ketika berhadapan dengan isu-isu kontroversial. Misalnya, dalam adegan wawancara dengan manajer pabrik yang patriarkis, Fatma tidak berdebat, tetapi ekspresi wajahnya yang sinis dan sarkastis secara efektif menunjukkan penolakannya.
Melalui close-up, Baccar juga memberi ruang bagi suara perempuan biasa yang tidak terwakili dalam narasi dominan. Adegan-adegan singkat yang menampilkan perempuan desa atau pekerja pabrik secara visual mempertanyakan narasi Fatma yang terkadang terkesan elitis. Pendekatan ini secara halus menantang penonton untuk menjadi lebih kritis dan aktif dalam membaca film, mengubah mereka dari penonton pasif menjadi "penonton pembangkang" yang bersekutu dengan para perempuan di layar.
Dengan memadukan narasi yang kuat dengan visual yang detail dan ekspresif, Selma Baccar menciptakan film-film yang tidak hanya mendidik, tetapi juga secara cerdik melewati sensor dan menyampaikan kritik sosialnya secara efektif. Di "tanah fiksi" ini, Baccar menggunakan fiksi dan non-fiksi untuk menceritakan kisah-kisah perempuan yang otentik dan penuh perlawanan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
