Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Heri Haliling

Sang Penjaga

Sastra | 2024-10-13 20:40:11

Kedatanganku di rumah berornamen adat dan penuh patung ini sekitar awal November pada musim penghujan di Desa Jelai, Kota Sampit Kalimantan Tengah. Kami dari Kapuas; jarak pulang itu seharian. Ayahku duda dan pendulang emas di perbatasan desa tersebut. Kebanyakan harinya akan dihabiskan di tenda sekitar lokasi dan hanya pulang seminggu sekali untuk mengambil perbekalan.

"Kau di rumah itu saja. Mumpung sekolah libur semester, nikmati dan belajar di sana" kata Ayah sekali waktu.

Kretek!!!!tekkk!!!tek!!!!tekkk!!!Tuhan?? Ini menggangguku kembali. Ku tinggalkan catatan lembar pertamaku. Ku lihat jam dinding di kamar, pukul 10 malam. Tiga malam aku telah di sini sendirian. Melalui pesan Julak Ampoy selaku pemilik rumah yang tinggal 500 meter dari sini; aku tak perlu cemas.

"Itu penjaga rumah! Anggaplah teman. Kau lahir seurat sedarah dengannya" begitu yang ku ingat.

Ku putuskan untuk keluar kamar. Sedikit gelap, ku hidupkan saklar lampu dan berjalan ke arah suara yang berada di ruang tamu. Bunyi burung cabak bersahutan dipadukan dengan derit lantai kayu yang ku pijak. Di balik rak kaset dvd dan sedikit berhimpit dengan salon speaker; dalam posisi berdiri menyandar tembok dan tamengnya, mandau itu berulah kembali. Mandau Julak Ampoy berhulu tulang rusa dengan motif sangkak sarat ukiran. Sebuah rambut menyembul keluar dari pangkal gagang. Dengan sulatan rotan untuk membuat genggaman nyaman, sesungguhnya mandau itu begitu estetik. Kumpang atau sarungnya terbuat dari kayu gerunggang dengan tempusar 4 bagai cincin pertanda simbol pangkalima. Selain itu sebuah penyang berisi taring babi, gigi harimau, lonceng, minyak, dan akar-akaran juga membadul terikat kain merah dan kuning di tengah sarung. Panjangnya kira-kira 45 cm, itulah salah satu jenis mandau khas Kal-Teng. Dari bentuk semuanya, ku simpulkan usia mandau yang bergetar sendiri itu cukup tua.

Prangggg!!!!!!!!!

Kini satu suara benda jatuh datang dari dapur mengejutkan pengamatanku. Aku memutar langkah sementara mandau itu kian bergetar hebat. Belum satu pijakan baru, sekonyong-konyong angin begitu saja masuk membuka jendela dan menyibakkan hordennya. Suasana desa sepi kehitaman terlihat sekarang. Angin menerpa wajah memulas mataku untuk menutup. Sesaat cepat mataku membuka, tiba-tiba sesosok pria tegap tanpa kepala telah berada menghadapku. Lehernya buntung dan menyemburkan darah kehitaman. Badannya lebam dengan kaos penuh sayatan dalam. Tak kalah, darah juga merembes bahkan tampak bulir gelembung-gelembung kecil. Kontan aku terhenyak dan hendak teriak tapi kaku kena gendam. Sementara itu bau anyir darah bercampur bangkai begitu menyiksaku. Aku kelojotan dengan mata membelalak. Sosok itu memajukan lehernya. Tiba-tiba rak terdorong ke depan; jatuh. Lalu ku lihat sebuah besi hitam pipih dengan bunyi lonceng khas, tercabut dari sarungnya lalu melayang sejenak di udara untuk kemudian jatuh menebas kuat. Sekejab dingin, badanku lemas tak tertahan; aku ambruk.

*

"Andreas!!!? Andreas!!? Hei!!? Bangun???!! Sadar!!!!??" suara pria tak asing mengantarku pada realita.

Ku buka mataku yang payah itu perlahan. Ternyata Julak Ampoy. Beliau tampak masih menepuk pipiku. Aku mengernyit tanda sedikit sakit. Dari sipit mataku, ku curi wajahnya yang sedikit Tionghoa itu kini tersenyum lega. Ku edarkan pandang; ternyata aku telah dibopong dalam kamar.

"Ada apa ini Julak?" tanyaku dengan badan meriang; sungguh seperti bekas lari ratusan km dan angkat beban berat seharian. Tubuhku kacau sampai ke sendi. Aku lihat jam, pukul 12 malam.

"Aku keluar merokok saat ku perhatikan jendela rumah ini terbuka; aku melihatmu melayang-layang hampir setengah meter. Lalu jatuh" tukas Julak Ampoy.

Aku kaget karena tak mengetahui hal itu. Tapi segera menyimpulkan bahwa mungkin itulah penyebab tubuhku yang pegal tak karuan ini.

"Hantu, Julak? Saya melihatnya" jelasku langsung teringat sosok setan tanpa kepala itu.Seolah sesuatu yang lumrah, Julak Ampoy tak menunjukkan sesuatu yang ku harapkan. "Malam ke-3 dia telah tampakkan wujud" katanya mengangguk. Aku tentu penasaran bercampur ketakutan.

"Siapa hantu itu Julak? Bisakah saya tinggal di rumah Anda saja?" pintaku dengan hormat.Julak Ampoy tersenyum.

"Adikku itu memang keras jika mendidik putranya. Kau sengaja diminta tinggal di rumah ini. Kau harus belajar.

"Aku tak paham dan malahan merasakan sebal. Ku pikir dari ucapan Julak Ampoy bahwa semua ini bagian dari kesengajaan.

"Ayah memang keterlaluan. Saya diminta belajar apa tentang teror ini?"

"Kau putra adat! Dalam tubuhmu mengalir darah kemandirian dan keberanian" kata Julak Ampoy berdiri. Dari gerak kaki, sepertinya dia hendak pergi.

"Kau aman di sini. Ini latihan bagus. Pesanku, apapun yang kau terima, jangan sekali-kali kau percaya dengan makhluk itu. Tradisi tetap tradisi! Ikuti dan pertahankan!" langkah Julak Ampoy menuju pintu kamar. Tentu saja aku memburu. Ku cengkram tangannya dengan harapan besar.

"Jangan pergi, Julak!! Sungguh saya bisa mati jika begini! Bikin ujian lain saja dan biarkan saya tinggal di rumah Anda."

Julak Ampoy malah tertawa. Tanpa sepatah katapun dia berlalu dengan melepas genggamanku."Julak!!!!??" aku memburu tapi pintu di kunci dari luar.

Aku terkurung dalam kamar sekarang.Sialan!!!! Aku menghardik dan mengumpat. Barang-barang kubanting dengan frustasi. Jendela? Ya..jendela? Aku berniat kabur. Aku bergegas mendekatinya. Tak bisa ku buka!!! Ku tatap kaca, terpalang kayu dari luar. Apa ini? Ide gila apa yang dipikirkan ayah dan Julak Ampoy. Aku semakin kalut karena ketidakberesan ini. Aku bergerak meraih kursi. Jika tahu begini, sejak awal sudahku pergi. Lagian entah mengapa setan itu muncul malam ini. Memang aku mulai terbiasa dengan getar mandau tanpa tuannya itu. Tapi tentu tidak dengan sosok mengerikan dan menjijikkan tersebut. Kursi ku angkat, aku bersiap menghantamkannya ke kaca.

Wusss!!!!!!! Seperti dibalut pusaran angin, tubuhku mendadak macet lagi. Sebuah tangan busuk penuh darah sekejap telah menempel pundakku. Aku tentu hendak berteriak, tapi sama bodohnya seperti lalu-lalu. Dari cermin biasa aku berkaca, tubuh tanpa kepala itu muncul kembali. Dengan badan penuh darah dan beraroma memusingkan, dia berjalan makin memepetku. Tapi tiba-tiba mataku dirangkum tangannya. Aku muntah berdiri karena baunya sungguh pekat bercampur ulat. Rangkuman tangan itu ia lepas. Mendadak aku bingung. Aku kini tak berada dalam kamar; sekarang aku terpaku di halaman rumah dengan suasana sore. Apakah waktu begitu cepat berlalu?

"Kulukkk!!!!!!!kulukkkk!!!!!! Kuluk!!!!Kulukkkkk!!!!!"Bunyi ramai puluhan orang berpadu dengan gemericing lonceng datang dari arah kanan. Berikat tali merah kuning pada bagian dahi dan menyilang ke tubuh, mereka setengah tak berbaju sambil mengacungkan mandau dan hentakkan tombak. Sementara itu tak kalah bersorak penuh tantangan puluhan orang juga datang dari arah kiri. Mereka ini umumnya mengenakan jaket hitam dan beberapa berpeci sambil berjalan beringas memutarkan celurit.Dua kubu berlari saling maju.

Brakkkk!!!!! Tumpah ruah jadi satu!!!

Prang!!!!Prang!!!!!Prang!!!! Desingan besi beradu gila. Saling timpas saling sabet!!!!!

Aku mundur hendak berlari tapi bodoh kembali menyadarkanku bahwa tubuh ini hanya bisa pasrah tanpa gerakan. Cepat dan mengerikan korban mulai berjatuhan. Robek usus terburai, tangan putus, kepala belah, mata jebol terhujam tombak, dan di antaranya penggal kepala masuk bejana. Darah banjir di jalan, meluber kemana-mana bagai tumpahan minyak; setengah di antaranya darah membuncah bercampur jeroan manusia mengarsir daun dan bunga-bunga taman dengan warna merah.Tuhan hentikan kegilaan ini!!!!! Hentikan tolonggg!!!!! pekikku dalam ketiadaan.Tak masuk perhitungan, tiba-tiba sebuah senja merah muncul menabrak dengan silau. Di antara ruang dan waktu yang aneh aku berpusing dan kini di hadapanku hanya tersisa dua orang. Keduanya berdiri dengan napas tersengal kepayahan. Tanpa ba-bi-bu keduanya langsung seperti terbang bertabrakan. Satu sabetan kuat dari celurit mengalung dan mendarat akurat antara belikat dan pinggang si pria berikat merah.

Bressss!!!!

Ku yakin cadas dan tajam!! Tapi pria berikat merah dan kuning itu bergeming seperti tanpa keterkejutan. Pria berpeci mundur atur kuda-kuda. Ia tinggalkan sebuah luka yang harusnya menganga. Tapi tidak!!!! Bagian sabetan pada tubuh pria berlilit kain merah kuning itu nyatanya tak sedikitpun cidera! Sang pria berlilit kain merah kuning dan kalung dari akar berpadu tulang lalu merayapkan tangan kiri meraih bungkusan merah yang menggantung di pinggangnya. Bungkusan ia buka; sebuah daun hijau dan tampak beras kuning coba ia satukan. Mulutnya merapal sebuah bacaan yang ku kira pasti mantra. Di lain pihak, sosok berjaket hitam dengan peci tak kalah berceracau sambil jemarinya memulas sebuah batang kecil misterius yang terikat pada gagang celuritnya.

Kuluk!!!!!kuluk!!!kuluk!!!!Bunyi kembali menyeruak dari mulut pria berlilit kain. Dia maju dan melempar buntalan daun dan beras kuning ke arah pria berjaket. Sekejap api aneh muncul. Pria berjaket bergumul api tapi tanpa teriakan. Dari balutan api yang berkobar mandau menyilang dan menebas bagai puma terkam menjangan. Pria berjaket berputar seperti tarian sufi. Mendadak angin kencang berembus memeluk pria dalam kobaran. Api kian besar tapi terasa tipis; dan sungguh ajaib, pria berjaket itu keluar dari kobaran dengan tanpa adanya luka bakaran. Aku hanya menyaksikan dalam kondisi yang kian sakau. Liurku meleleh tak terkontrol. Lalu sekejab warna merah muncul kembali. Mendekat dan menabrakku lagi. Aku mengangkat dagu. Saat kembali pada pertarungan, semua telah berbeda. Aku bukan lagi di halaman. Sungguh tak masuk akal, kini aku berdiri di ruang tamu, tepat memandang tembok yang ku yakin posisi itu kini ditempati rak kaset dvd. Sekonyong-konyong seorang pria berlilit kain merah kuning masuk menenteng...?? Oh Tuhan hal gila apa lagi sekarang. Aku telan liur yang tersisa dari tumpahanku. Kepala pria berjaket dengan mata terbuka serta mulut mengganga itu ada di tangan pria berlilit kain. Pria itu menjambaknya dengan badan yang kemerahan bermandikan darah. Pria berlilit kain itu tampak merokok dan menatap tembok.

Shettttt!!!!!!!!! Aku terhenyak tanpa keseimbangan. Tubuh lunglaiku mendadak jatuh di kasur kamar. Aku kembali dalam tekanan yang begitu memusingkan. Lemas dan kuyu liur dari mulutku tetap tumpah tak karuan. Semua menyesak lalu berangsur surut dengan tekanan mata yang kian berat.

*

"Kau sudah baikan?" tanya Julak Ampoy. Udara dingin menyusup pori-poriku. Bau halimun juga terasa perdu. Gemericik terdengar di atap. Aku sadar ini hujan di pagi hari. Aku memundurkan badan; terantuk kepalaku oleh ranjang. Oh sadarlah aku sekarang bahwa aku kembali dalam tidur yang cukup tak terurus.

"Minumlah. Hangatkan badanmu dengan ini" kata Julak Ampoy menyuguhkan secangkir kopi.

Aku bangun dan menyandarkan diri. Aku masih ingat pasti kejadian janggal malam tadi. Ku atur napas dalam-dalam. Ku reguk satu teguk kopi dalam cangkir untuk menikmati cafeinnya. Ku rasa itu membantu meningkatkan adrenalineku. Dilanda penasaran hebat, aku beranjak dan berdiri meski setengah pusing. Ayolah kopi! Keluarkan sensasi itu. Aku stabil! Aku raih nikmat ini lalu mulai berjalan keluar tanpa hiraukan Julak Ampoy.

"Hei kau mau ke mana???" Aku tak menggubris dan berjalan cepat menuju ruang tamu. Julak Ampoy memburuku. Tapi aku telah berdiri di depan rak kaset dvd sesuai kejadian malam tadi. Aku maju.

Shett!!! Tanganku gantian dicengkram Julak Ampoy. Aku lepaskan dengan perasaan sama tak pedulinya dengan dirinya terhadapku malam tadi. Aku angkat rak kaset yang tak seberapa berat itu. Aku geser beberapa speaker. Ku amati Julak Ampoy diam seolah membiarkan. Padahal dalam benakku tahu bahwa jika dia mau, bisa saja dia dengan tubuh kuatnya menjaga dan menarikku. Semua telah berpindah dengan sedikit terhambur. Sekarang hanya mandau dan tamengnya yang bersandar di tembok. Aku segera ambil mandau dan tamengnya. Dugaanku tepat; dibalik tameng yang mirip trapesium itu, di tembok terdapat guratan segi empat bekas sambungan papan yang disamarkan cat.Aku membalik badan dan berjalan menuju Julak Ampoy. Ku serahkan sebuah mandau dan tamengnya yang cukup berat itu.

"Jelaskan kepada saya, Julak?" tanyaku tajam menatap wajahnya yang ringan ramah tanpa bentuk sebuah rasa keterkejutan.

*

Gerimis masih mengganggu dengan sensasi nyaman sebagai godaan. Di sebuah sofa masih di ruang tamu, kami duduk dalam penghayatan. Sekarang Julak Ampoy hanya menimang mandaunya. Sementara tameng itu telah ia sandarkan pada pinggir sofa.

"Apakah hantu pria tanpa kepala itu berulah lagi?"

"Iya Julak."

"Apakah dia yang menuntutmu ke ruangan ini?"

"Saya kira demikian. Cukup, Julak" sahutku dengan sedikit berani. "Kembalikan kepalanya. Kubur selayaknya agar dia tak mengganggu."

Julak Ampoy terkekeh sambil menyalakan rokok kreteknya. Sekejab asap putih kebiruan sudah mengukung wajahnya."Setiap suku punya budaya kelam sendiri-sendiri" ujar Julak memulai dan kini mencabut mandau itu. Besi hitam dengan bagian ujung atas terlihat sekitar ada 6 lubang kecil. "Lubang kecil ini adalah jumlah jawara yang tewas karena pusaka ini. Kita punya tradisi lama yang ditinggalkan namun bisa bangkit kembali."

"Ngayau??" jawabku sedikit ragu.

Julak meniup bilah mandaunya dengan asap rokok.

"Iya. Warisan budaya untuk sikap keberanian dan kehormatan atas penghinaan perlu kau ketahui dan kuasai. Sebab itulah kau di sini."

"Tapi Julak, ini pembunuhan. Ini menyimpang!"

"Kau pikir jika aku yang kalah dalam pertarungan itu, mereka akan berlaku ramah terhadap jasadku???"

Aku diam. Ku yakin setelah ini beliau akan meneruskan sendiri."Si gajang laleng lipa atau tarung sarung, carok, dan tumbal proyek. Jepang punya sapuku! Apa itu bukan pembunuhan atau saling bunuh?" Julak Ampoy berdiri dan memasukkan mandau ke sarungnya. "Tapi sebagai manusia yang beradab tentu semua tak dikerjakan tanpa alasan."

"Ini warisan tentang harga diri. Biarkan kepalanya di situ. Dia akan jadi penjaga rumah ini. Abaikan saja dan beranikan nyalimu. Itu pelajaran dalam darah sukumu di sini!" urai Julak Ampoy yang berlalu pergi.

Begitulah katanya. Beliau berjalan menata rak-rak seperti semula dan meletakkan mandau serta tameng sebagai penjaga. Sementara diriku yang beku harus menikmati ini sebagai pelajaran panjang. Tapi entah rasa apa, tubuhku seolah mendidih. Mataku nyalang. Ku putuskan dengan keteguhan, darah sukuku tak hendak gentar barang selangkahpun dari ini. Sungguh! Mulai ini ku persiapkan malamku dengan keteguhan. Ini warisan yang melekat dalam nadiku.

*** Sekian****

-Julak : Paman

-Penyang : hiasan pada mandau

-Ngayau: Tradisi perburuan dengan memenggal kepala

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image