Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Septian Wahyu Rahmanto

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2024: Isu Kesehatan Mental di Tempat Kerja, Antara Bertahan atau Meninggalkan?

Edukasi | 2024-10-12 12:44:58
Sumber: pexels.com

Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini, isu kesehatan mental di tempat kerja menjadi salah satu topik yang sangat relevan untuk dibahas. Pada tahun 2024, ketidakpastian ekonomi, kebijakan, dan teknologi semakin menjadi tantangan bagi banyak pekerja. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi stabilitas keuangan dan profesional mereka, tetapi juga berdampak besar pada kesejahteraan mental.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi depresi bagi PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD, Pegawai swasta, Wiraswasta, Petani/buruh tani, Nelayan, dan Buruh/sopir/pembantu ruta berturut-turut sebesar 2,4, 4,3, 5,1, 5,5, 6,9, dan 5,8 persen. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional bagi PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD, Pegawai swasta, Wiraswasta, Petani/buruh tani, Nelayan, dan Buruh/sopir/pembantu ruta berturut-turut sebesar 3,9, 6,3, 7,0, 9,7, 10,8, dan 9,7 persen. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa masalah kesehatan mental di tempat kerja masih cukup diabaikan oleh beberapa perusahaan di Indonesia.

Kesehatan mental di tempat kerja seringkali terabaikan, padahal banyak pekerja yang menghadapi risiko psikologis akibat lingkungan kerja yang penuh tekanan. Menurut data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tempat kerja di seluruh dunia memiliki beberapa faktor risiko yang dapat memicu gangguan mental dan perilaku. Beberapa di antaranya termasuk minimnya dukungan dari atasan dan rekan kerja, beban kerja yang berlebihan, serta ketidakjelasan peran dan tanggung jawab. Ini semua bisa menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi bagi pekerja.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesehatan Mental di Tempat Kerja

Di era ketidakpastian ini, tempat kerja semakin dipenuhi dengan tantangan yang membuat karyawan merasa tertekan. Ada tiga ketidakpastian utama yang kerap dihadapi para pekerja:

1. Ketidakpastian Ekonomi. Banyak perusahaan berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi global yang cepat. Hal ini dapat menyebabkan pemotongan anggaran, PHK, dan restrukturisasi yang menciptakan perasaan ketidakamanan bagi para karyawan.

2. Ketidakpastian Kebijakan: Perubahan regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak menentu dapat mempengaruhi cara perusahaan beroperasi dan mengelola karyawan mereka. Ini seringkali membuat karyawan bingung dengan peran mereka dan meningkatkan ketidakpastian di tempat kerja.

3. Ketidakpastian Teknologi. Kemajuan teknologi yang pesat juga dapat menyebabkan rasa khawatir, terutama jika para pekerja merasa mereka tidak mampu mengikuti perkembangan atau jika teknologi baru mengancam pekerjaan mereka.

WHO juga menemukan bahwa kurangnya dukungan dari atasan dan rekan kerja menjadi salah satu faktor yang paling sering ditemui di tempat kerja. Di banyak kasus, peran dan tugas yang diberikan kepada karyawan tidak jelas, sehingga mengarah pada penilaian atau evaluasi yang tidak objektif. Hal ini memicu stres dan perasaan ketidakadilan, yang pada akhirnya merusak kesejahteraan mental karyawan.

Beban kerja yang berlebihan juga sering kali menjadi masalah. Kurangnya tenaga kerja membuat beberapa karyawan harus bekerja lebih lama dan lebih keras, seringkali dengan jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel. Hal ini memperburuk kesehatan mental karyawan karena mengurangi waktu untuk bersosialisasi dengan rekan kerja, keluarga, atau menjalani aktivitas yang menyenangkan di luar pekerjaan.

Dampak Kesehatan Mental yang Terlihat di Tempat Kerja

Konsekuensi dari situasi seperti ini dapat dirasakan baik oleh individu maupun oleh perusahaan. Karyawan yang mengalami tekanan mental cenderung menunjukkan gejala fisik seperti sakit kepala, kelelahan, hingga gangguan tidur. Secara emosional, mereka mungkin mengalami stres berkepanjangan, kecemasan, dan kepuasan kerja yang rendah.

Dampaknya di tempat kerja dapat dilihat dari beberapa indikator. Ketidakhadiran karyawan menjadi salah satu tanda yang paling jelas. Pekerja yang merasa tertekan sering kali mengambil cuti sakit atau mencari alasan untuk absen. Selain itu, penurunan kinerja dan tingginya angka turnover (pergantian karyawan) juga sering terjadi dalam lingkungan kerja yang tidak sehat secara mental. Pada akhirnya, hal ini juga merugikan perusahaan karena menurunkan produktivitas dan meningkatkan biaya rekrutmen serta pelatihan.

Seberapa Penting Pekerjaan?

Meski demikian, penting untuk diingat bahwa kondisi personal individu sangat berbeda-beda. Setiap orang memiliki persepsi, pengalaman, dan kemampuan yang berbeda dalam menghadapi stres dan tekanan di tempat kerja. Beberapa karyawan mungkin lebih tahan terhadap stres berkat dukungan sosial yang kuat atau kepribadian yang resilien sehingga cenderung lebih stabil dalam menghadapi tekanan.

Sumber: pexels.com

Pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah, apakah arti dari pekerjaan ini untuk saya? Apakah saya butuh pekerjaan ini sehingga harus bertahan atau saya bisa meninggalkan pekerjaan ini dan berpindah ke pekerjaan yang lain?

Teori hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow (1943) dapat membantu kita memahami seberapa penting pekerjaan dalam hidup kita. Maslow mengidentifikasi lima kebutuhan dasar manusia: kebutuhan fisiologis (makanan, minuman, pakaian), rasa aman (keamanan fisik, kesehatan, ekonomi), kebutuhan sosial (empati, kasih sayang, pertemanan, hubungan dengan pasangan, keluarga), kebutuhan penghargaan (pengakuan, penghormatan, tanggung jawab, status), dan aktualisasi diri (pengembangan potensi diri, mewujudkan nilai).

Berkaitan dengan kebutuhan tersebut, kira-kira dimana letak pekerjaan kita? Apakah kita bekerja untuk memperoleh rasa aman? Apakah pekerjaan kita supaya dihargai atau dihormati orang? Apakah pekerjaan kita untuk aktualisasi diri? Hanya kita yang bisa menjawabnya. Jika kita sudah menentukan dimana posisi pekerjaan kita, maka kita tinggal membuat keputusan mengenai seberapa penting pekerjaan tersebut untuk kita.

Strategi Menjaga Kesehatan Mental

Untuk menjaga kesehatan mental di tengah ketidakpastian, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan baik oleh individu maupun perusahaan. Bagi karyawan, penting untuk memperluas sumber daya yang dimiliki—baik itu energi, waktu, keterampilan, hubungan sosial, atau dukungan material. Sumber daya ini dapat menjadi proteksi yang mendukung kesehatan mental kita di tempat kerja.

Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

1. Mengelola stres. Fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan jangan terlalu terbebani dengan hal-hal yang berada di luar kendali kita. Kenali cara efektif untuk mengelola stress, karena setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mengelola stress.

2. Rawat diri dan buat skala prioritas. Pastikan kita memiliki waktu untuk merawat diri sendiri, seperti melakukan aktivitas yang disukai di luar pekerjaan. Ini penting untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Saat bekerja kita

3. Menerapkan batasan yang sehat. Tetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Misalnya, jangan ragu untuk meninjau kembali jam kerja di dalam kontrak kerja. Jika di luar kantor, sebaiknya kita tidak melakukan pekerjaan kantor. Kita bisa menegosiasikan ulang hal-hal yang tidak mendukung kesehatan mental kita.

Dari sisi perusahaan, dukungan sosial dan material sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Atasan harus peka terhadap kebutuhan karyawan, memberikan penilaian yang objektif, serta memastikan beban kerja terdistribusi secara adil. Selain itu, menciptakan ruang untuk interaksi sosial di antara karyawan juga dapat meningkatkan dukungan emosional dan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk kesejahteraan mental.

Kesimpulan

Pada akhirnya, pertanyaan besar yang sering muncul adalah, haruskah kita bertahan atau meninggalkan tempat kerja yang penuh tekanan? Jawabannya tergantung pada situasi pribadi kita masing-masing. Namun, dengan dukungan yang tepat dari diri sendiri dan lingkungan kerja, kesehatan mental kita bisa tetap terjaga meski di tengah tantangan yang ada. Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2024 menjadi pengingat bahwa kesehatan mental adalah aset berharga, yang perlu dijaga baik oleh individu maupun perusahaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image