Keblinger di Zaman Modern
Agama | 2024-10-12 10:22:57Oleh: Ikang Putra Anggara
Mendengar kata “keblinger” mungkin untuk sebagian orang tidak terlalu familiar, karena kata ini berasal dari bahasa Jawa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna keblinger adalah: sesat atau keliru. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keblinger merujuk kepada seseorang yang mau jadi jagoan. Sedangkan Abd. Salam (2017) menulis artikel “Pinter Keblinger”, menjelaskan istilah dimaksud merupakan keadaan seseorang yang salah jalan, salah pandang, dan salah sikap atau menurut istilah populer saat ini “gagal paham”.
Harus disadari dalam beberapa dekade belakangan, dunia mengalami perubahan fundamental dalam hampir semua aspek kehidupan. Mulai dalam bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan tak terkecuali interaksi keagamaan di masyarakat. Bayangkan betapa sangat jauh perbedaan pola hubungan manusia sebelum dan setelah populernya Facebook, Instagram, Whatsapp, Twitter, Youtube, Tiktok, dan lain-lain. Singkatnya media sosial yang digunakan oleh sebagian besar penduduk bumi di abad 21 ini, telah mengatasi sekat kewilayahan dan geografis. Interaksi dan informasi menyebar secara cepat, lintas pulau, lintas negara bahkan lintas benua. Tidak hanya ada di perkotaan, bahkan menembus hingga ke pelosok desa. Tidak hanya menjadi konsumsi kalangan menengah atas (elit), namun juga bagi kalangan menengah kebawah. Bukan hanya memfasilitasi keperluan orang dewasa namun juga termasuk menjadi mainan bagi anak-anak yang mungkin belum cukup umur.
Layaknya peralatan yang selalu ada disetiap rumah misalnya sebilah pisau. Banyak hal positif dan bermanfaat untuk manusia jika digunakan secara proporsional. Namun pada saat yang sama dapat berdampak negatif, jika alat dimaksud dipegang oleh orang yang tidak tepat atau berniat jahat. Pun demikian alat komunikasi dan media sosial, telah dirasakan mempermudah pertukaran informasi dan pesan bagi setiap orang. Sehingga muncul istilah “dunia dalam genggaman”, untuk menunjukkan betapa mudahnya seseorang mendapat informasi baik yang bersumber dari institusi resmi (formal) maupun dari individu dan kelompok amatir. Media sosial dapat menjadi jembatan yang mendekatkan, namun sekaligus juga dapat menjauhkan.
Bagi manusia yang tidak siap, media sosial dan alat komunikasi tersebut justru membawa implikasi negatif. Karena ketidakmampuan menyaring atau memilah informasi secara valid, banyak sekali orang yang terjebak pada berita hoaks dan wacana dangkal tanpa memahami substansi inti dari suatu topik/pembicaraan. Lebih bahaya lagi, karena era digital yang serba cepat dan massif, menjadikan setiap orang dapat memproduksi wacana yang sensasional dan tendensius. Era digital melalui platform media sosial menjadikan seolah-olah semua orang memiliki kapasitas selaku produser, sutradara, dan pemeran utama sekaligus. Hal ini tidak diiringi oleh adanya kerangka sistem serta aturan main yang terukur dan baku untuk menilai tentang kelayakan sebuah konten sebelum menjadi konsumsi masyarakat luas. Konsekuensi logis dari tidak adanya aturan main sebagai bingkai (rambu-rambu), sering menjadikan lingkungan media sosial rusuh, kacau-balau, dan simpang-siur.
Fenomena Orang Keblinger
Kompleksitas permasalahan yang muncul di media sosial, ternyata tidak hanya dilakukan oleh pihak yang tidak terlalu mengenal moralitas. Namun lebih tragis banyak juga di inisiasi oleh orang yang mengaku belajar agama. Perkembangan teknologi yang seharusnya memudahkan pertukaran informasi dalam masyarakat, ternyata dapat menjadi medium yang memperluas pertengkaran antar sesama muslim. Entah diniatkan atau tanpa disadari, banyak urusan salah paham dalam tubuh ummat Islam kemudian berubah menjadi liar dan sering menimbulkan caci maki. Fenomena tersebut semakin menjadi-jadi karena ada perasaan bahwa orang yang tidak sama sudut pandang (diluar barisan/kelompoknya) pasti salah. Sehingga muncul rasa tinggi hati, hanya mazhabnya yang benar. Padahal sahabat nabi dan para ulama pun berbeda pendapat dalam berbagai macam hal, namun tetap dalam bingkai ukhuwah Islamiyah.
Realita tersebut lebih terasa miris dan menyedihkan, karena dibelahan bumi yang lain rakyat Palestina, Lebanon, dan lain-lain mengalami serangan militer dari penjajah zionis. Melalui pidatonya di forum PBB belum lama ini, Perdana Menteri Israel Netanyahu tanpa sedikitpun merasa gentar justru mengejek ummat Islam secara umum dengan kata-kata “kaum bumi datar”. Hal tersebut tidak lain untuk merendahkan, bahwa secara umum ummat Islam jauh tertinggal dari dunia luar dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidakkah kekejaman dan penghinaan dari penjajah tersebut, dapat mengkonsolidasikan segenap perhatian dan kekuatan kaum muslimin. Fakta ternyata berkata lain, masih saja sebagian kalangan yang merasa paling lurus dan sesuai sunnah lebih tertarik serta sibuk memusuhi saudaranya sendiri. Pandangan kelompok ini hanya sisi buruk atau kekurangan dari saudara muslimnya. Sulit melihat pada perpspektif berbaik sangka (husnuzhan). Pemahaman yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist, seringkali hanya digunakan sebagai senjata untuk menghantam saudara muslimnya dengan berbagai label dan tuduhan: “syubhat”, “sesat” bahkan “murtad”.
Tidakkah orang-orang yang serius belajar agama mengingat kembali sebuah kisah dimasa Nabi SAW, yaitu tentang seorang sahabat muda bernama Usamah Bin Zaid, ketika ia tetap mengeksekusi musuh dalam satu medan peperangan, padahal orang tersebut telah berucap kalimat “Laa ilaaha illallah”. Menurut Usamah saat itu, kalimat tauhid yang keluar tersebut hanya siasat untuk menyelamatkan diri karena telah terdesak. Namun faktanya Nabi SAW marah kepada Usamah ketika disampaikan khabar tersebut. Dan beliau mengulang berkali-kali pertanyaan: Apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah (HR. Bukhari & Muslim). Hal ini menunjukkan betapa agung kalimat tauhid yang diucapkan oleh seorang manusia dalam pandangan Islam. Kalau demikian keadaannya, lantas bagaimana dengan sesama saudara muslim yang setiap hari melaksanakan shalat lima waktu, yang senantiasa bersyahadat dalam tahiyatnya, yang sama Al-Qurannya, yang sama kiblatnya, dan paling penting sama sosok panutan atau suri tauladannya yaitu Nabi Muhammad SAW. Tidakkah muslim seperti ini berkali-kali lipat harus dijaga kehormatan dan martabatnya.
Paling lucu adalah fenomena orang awam (misalnya tukang silat) yang baru belajar agama beberapa waktu melalui media sosial dan sesekali bertemu dengan guru panutannya, namun sudah berlagak memahami agama Islam secara kaffah dan komprehensif. Berani berkomentar seolah kelompoknya saja yang berlandaskan pada hadist shahih, yang lain tidak. Padahal selama hidupnya belum pernah belajar secara formal di madrasah ataupun pesantren paling dasar sekalipun. Sosok ini berkomentar kesana kemari, mengkritisi tokoh dan ulama yang ada di Indonesia sekelas Ustadz Adi Hidayat yang diakui tidak saja di dalam negeri, namun juga luar negeri. Organisasi sosial kemasyarakatan pun tak luput menjadi bahan konten Youtube-nya. Hanya Allah dan orang itu sendiri yang tau motif dalam hatinya dalam membuat konten kontroversial demikian. Semoga bukan hanya demi mengejar penonton (views) untuk memperoleh penghasilan. Karena Islam mengibaratkan orang yang menyampaikan keburukan saudaranya (ghibah) merupakan pemakan bangkai. Lebih-lebih jika informasi yang ia sebarkan tidak terverifikasi dengan valid atau shahih, maka ia sejatinya sedang memfitnah saudaranya sendiri.
Hiruk pikuk dan massifnya konten media sosial yang membahas isu keagamaan, berakibat pada hilangnya akhlak dan adab kepada para guru (ulama). Ada pihak yang gegabah dan tidak hati-hati, sangat cepat memvonis sesama muslim sesat tanpa proses pembuktian (tabayyun). Mereka juga gemar menyebarkan berita negatif tentang kelompok dan organisasi Islam tanpa melalui penelusuran mendalam dan konkret atas fakta-fakta yang dituduhkan. Seringkali hanya berdasarkan tayangan sepintas dan asumsi yang ada di kepalanya sendiri. Tidak ada upaya terbuka dan ksatria untuk datang berhadapan muka, jika niat tulus ingin mencari kebenaran bukan karena berburuk sangka (su’uzhan). Sayangnya dialog antar kelompok yang berbeda pandangan jarang dilakukan, sehingga sulit memahami posisi pihak lain.
Namun lepas dari berbagai dilema tersebut, salah satu yang paling penting dalam agama Islam adalah memiliki rasa malu. Kata Nabi SAW, malu itu sebagian dari iman. Jangankan urusan agama yang akan dipertanggungjawabkan pada sang pencipta, urusan duniawi saja orang mengenal batasan. Misalnya dalam konteks ketatanegaraan ada konsep “legal standing”, yang intinya bermakna tentang kedudukan hukum, bahwa seseorang atau pihak tertentu memiliki hak untuk mengajukan suatu perkara di pengadilan. Tidak sembarang orang secara bebas dapat maju ke hadapan majelis hakim. Ilustrasi legal standing tersebut juga dapat diterapkan terhadap orang yang ingin bicara masalah keagamaan. Artinya tidak semua orang sesuka hatinya bicara tanpa dasar pengetahuan. Sebagai pelajar, sudah selayaknya lebih memperdalam adab dan terus menimba ilmu tanpa harus buru-buru merasa paling benar. Khawatir pelajaran belum terlalu banyak yang diserap.
Akhirnya sebagai makhluk yang lemah, perlu ada keinsyafan bahwa perbedaan paham dan sudut pandang sejatinya adalah fitrah manusia itu sendiri. Perbedaan tidak otomatis adalah musuh. Dunia dipenuhi oleh perbedaan, misalnya malam dan siang, laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, serta manis dan pahit. Namun semua perbedaan tersebut justru saling melengkapi dan menyempurnakan, tidak untuk saling menegasikan (meniadakan).
“Hanya Allah yang mengetahui kebenaran sejati. Manusia tidak.”
***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.