Pengalaman Aneh Manusia (1): De Javu
Gaya Hidup | 2022-02-15 08:31:09Pernahkah Anda berada di suatu waktu dan tempat yang baru, tetapi otak kita seperti mengais-kais ingatan lama. “Asli, perasaan gua pernah ke sini. Tapi kapan ya?”. Pengalaman semacam ini lazim disebut sebagai de javu. Konon, dalam situasi ini, ada yang mengingat (pengalaman serupa) itu secara umum saja, tetapi ada juga yang mendetail dan terperinci.
Saya sendiri pernah mengalami de javu setidaknya satu kali, yakni saat pertama kali kaki saya menginjakkan kaki di Bogor, 1994 silam. Saat itu saya baru naik ke kelas enam SD dan harus hijrah ke Bogor untuk menjalani pendidikan di Pondok Yatamasakin. Begitu sampai di lokasi, saya seperti sedang mengulang peristiwa yang sama sekian tahun sebelumnya. Pemandangannya: pohon gandaria, menteng, duku, serta suasana hawa dinginnya seperti pernah saya alami di kapan dan antah berantah. Padahal, di kampung saya, Tegal, pohon-pohon tadi praktis tak bisa dijumpai. Pun cuaca dan suasananya yang dingin itu juga bertolak belakang dengan Tegal pesisir yang panas dan bikin gerah. Lalu, dari mana “kenangan” itu saya peroleh? Wallahu a’lam.
Karena belum mendapatkan jawabannya, maka pertanyaan semacam ini sering timbul tenggelam. Kadang muncul begitu saja, dari apa yang sebetulnya dialami manusia saat de javu (apa), dan lebih sering menanyakan kenapa de javu bisa dialami oleh saya dan banyak orang lainnya (kenapa). Sesekali juga saya cari tahu penjelasan ilmiahnya, entah bertanya ke orang yang kita anggap tahu, atau sering juga menjadikan mbah google sebagai sasaran ke-kepo-an saya. Sudah mirip ilmuwan kan? Bukankah semua penemuan dituntun oleh naluri rasa ingin tahu dan sikap skeptisnya? Mirip bucin, cuma beda obyeknya, hehehe.
Sayangnya, sampai saat ini saya merasa belum menemukan penjelasan yang tuntas dan bikin puas. Finally, saya mencoba mencari tahun jawabannya dari teks agama, mencoba mencari tahu pesan-pesan agama yang mungkin punya kaitan dengan fenomena de javu ini. Dan saya tiba pada kesimpulan bahwa alih-alih pengalaman inderawi, de javu lebih dekat dengan pengalaman ruh. Pintu masuknya adalah pada aktivitas tidur malam, yang lebih sering kita maknai sebagai ritual harian belaka.
Sejak kecil saya sering bertanya-tanya, kenapa ritual tidur yang dituntunkan Rasulullah Saw lebih mirip dengan simulasi kematian. Dimulai dengan wudhu (mensucikan diri), lalu membaca doa penuh kepasrahan. Bismika Allahumma ahya wa’amuut, Dengan namaMu ya Allah aku hidup dan dengan namaMu pula aku mati. Saat tidur, seolah-olah ada peluang mati di situ. Ini lebih dari sekadar keyakinan bahwa kematian bisa datang kapan dan di manapun, tetapi ini terkait dengan kedudukan tidur yang menempatkan kita pada persimpangan hidup dan mati.
Lalu, posisi tubuh saat tidur juga disunahkan miring ke kanan, atau dalam bahasa Nabi Saw: Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu. Terlepas bahwa posisi tidur demikian secara medis juga terbukti menyehatkan, tetapi bukankah posisi itu pula yang diperlakukan terhadap jenazah saat dimakamkan. Dan penjelasan paling jelas dari tidur sebagai persimpangan kematian itu tergambar dari doa yang dibaca ketika bangun tidur.
“Segala puji bagi Allah, dzat yang telah menghidupkan setelah mematikan kami, dan kepada-Nya tempat kembali”. Jadi, saat terjaga dari tidur, kita seolah terbangun dari kondisi kematian (sementara).
Lantas, di mana kaitan tidur dengan fenomena de javu? Maka jawabannya adalah ruh manusia, di mana keberadaannya saat tidur. Ini juga menjelaskan guyonan yang jamak kita dengar saat ada teman bangun tidur langsung melakukan aktivitas, misal menerima telepon, lantas slow respon. “Wah, nyawanya belum kumpul itu”. Firman Allah dalam QS. Az-Zumar ayat 42 seolah menjelaskan hal ini.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir”.
Jadi, mungkinkah ruh kita diberikan semacam insight; wawasan, cakrawala, ataupun sign (isyarat, tanda) saat tubuh tengah tertidur? Kilasan yang dialami ruh ini yang kelak menjadi stok ingatan atau kenangan ketika suatu waktu di kehidupan nyata, kita menjumpai gambaran tersebut. Pastilah penjelasan ini jauh dari memuaskan, alih-alih mengangguk, mungkin saja Anda memegang jidat. Tetapi begitulah pengalaman ruh (rohani), para neurolog sendiri nyatanya berbeda pendapat kan. Belum lagi penjelasan mereka belum tentu mampu memenuhi jawaban mereka yang mengalami de javu.
Sama halnya dengan pengalaman mati suri, bagi yang mengalami konon terasa amat riil. Ketika sains mencoba menjelaskan, tetap saja ada kesan mereduksi dan mungkin simplifikasi. Saya sama sekali sedang tidak ingin menempatkan sains dan agama dala spektrum barat dan timur. Tapi bagaimana mereka yang menentang dogma agama, dan bahkan menolak keberadaan Tuhan, Stephen Hawking misalnya, salah satu fisikawan terbesar abad 20/21 yang pandangan-pandangannya tentang sains hingga Tuhan selalu menyita perhatian publik.
“Before we understand science, it is natural to believe that God created the universe. But now science offers a more convincing expanation,” begitu jawaban Hawking kepada media Spanyol, El Mundo tentang relasi Tuhan dan sains. Hawking seolah ingin menyatakan, penjelasan sains saat ini sudah lebih dari cukup untuk memahami asal usul alam dan berbagai fenomenanya, sehingga agama dan Tuhan tak lagi dibutuhkan sebagai penjelas. Pandangan ini mirip dengan cara sebagian filusuf “mengusir” Tuhan, karena Tuhan tidak lebih dari hasil imajinasi manusia yang tak berdaya menghadapi dunianya.
Kalau saja sains bisa menjelaskan semua fenomena terkait manusia dan alam, sebut saja memang bisa, maka semestinya agama dan bahkan Tuhan sudah lama terkubur dari pikiran manusia.
De javu hanyalah satu di antara banyak pengalaman aneh yang bisa dialami manusia. Tentu saja, tulisan ini hanyalah pendapat pribadi, yang bisa jadi jauh dari kompetensi untuk menjelaskan tema ini secara benar dan mendalam. Wallahu a’lam.[]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.