Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayipudin

Mengurai Dinamika Pembelajaran Tatap Muka

Lomba | Saturday, 12 Feb 2022, 15:40 WIB
sumber:karikatur-omicorn/republika

Keputusan pemerintah untuk melaksanakan PTM 100 persen di awal Januari 2022 menuai tanggapan pro dan kontra yang beragam dari berbagai kalangan masyarakat. Konflik dalam kebijakan PTM ditengah kasus sebaran Omicorn yang menanjak cukup signifikan memaksa Mendikbud Ristek menerbitkan diskresi. Melalui Surat Edaran Mendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2022 tentang Diskresi Pelaksanaan SKB Empat Menteri, dimana PTM Terbatas dapat dilaksanakan dengan jumlah peserta didik 50 persen dari kapasitas ruang kelas pada satuan pendidikan. Namun, sekolah di wilayah yang berada pada level 2 masih diperbolehkan menerapkan PTM terbatas dengan kapasitas 100 persen jika sekolah tersebut siap.

Respon Masyarakat terhadap Realisasi PTM

Pandemi Covid-19 telah membuka mata kita bahwa persoalan yang menjadi kekurangan di dalam dunia pendidikan di Indonesia makin terlihat jelas. Banyak orang tua, siwa bahkan guru sendiri bingung ketika diberlakukannya PJJ. Apa lagi bagi keluarga yang kuramg memiliki akses infrastruktur dan pemahaman teknologi dalam sistem daring. Kondisi ini tentu menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran berbagai pihak. Tentunya, yang paling merasakan dampak dari kebijakan PTM adalah mereka yang tinggal di kawasan 3-T (Terdepan, Terluar dan Termiskin) yang secara fasilitas penunjang kurang mendukung pembelajaran daring. Ketika PTM yang dimulai awal Tahun 2022 diberlakukan 100 persen banyak orang tua merasa puas dan mendukung. Karena siswa dapat berinteraksi langsung dengan gurunya serta kesulitan pembelajaran bisa diselesaikan secara cepat dan ini tentunya berbeda jika dilakukan di rumah.

Meskipun dalam banyak kasus banyak sekali orang tua yang masih khawatir dalam melaksanakan PTM. Alasannya, karena sekolah dirasa belum cukup aman dan bahkan bisa memunculkan klaster baru. Tentunya kondisi demikian sejalan dengan temuan KPAI dalam survey-nya terhadap 1.209 tentang presepsi orang tua terhadap PTM. Ditemukan 61 % setuju dengan kebijakan PTM sedangkan 39% tidak setuju. Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian orang tua setuju diberlakukannya PTM 100 persen namun bukan berarti pemerintah abai terhadap orang tua yang tidak setuju diberlakukannya PTM. Tugas pemerintahlah untuk menjawab kekhawatiran terhadap kelompok ini.

Keluarnya diskresi tentang aturan PTM melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri yang memperbolehkan sekolah di daerah pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 2 yang menggelar PTM dengan kapasitas 50 persen setidaknya sedikit banyak memberikan kelegaan kepada para orangtua yang khawatir anaknya tertular Covid-19 di lingkungan sekolah sehingga tidak mengizinkan anaknya untuk PTM. Dengan demikian, sekolah wajib melayani PJJ dan menerapkan Blended Learning. Bahkan sekolah wajib menutup atau menghentikan kegiatan PTM di daerah aglomerasi dan daerah-daerah yang positivity rate di atas 5 persen.

Sekolah Sebagai Prototipe Disiplin Prokes

Kemendikbud sendiri tentunya punya data yang cukup terkait ketertinggalan mutu pembelajaran selama pandemi. Meskipun, sejujurnya pelaksanaan PTM 100 persen maupun 50 persen ini cukup beresiko terhadap kesehatan siswa. Alasan Kemendikbud tetep keukeuh terhadap PTM ditengah bayang-bayang gelombang ketiga covid-19 diantarannya adalah; Pertama, terdapat tanda-tanda learning lost berdasarkan hasil asesmen diagnostik yang dilakukan guru selama masa pandemi Covid-19. Learning lost adalah kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar pada siswa sehingga siswa sulit untuk mengikuti dalam ekosistem yang diterapkan sekolah terutama pada sekolah dasar ada. Kedua, Untuk menetapkan kesepakatan PTM Kemendikbud harus membahasnya secara komprehensif oleh empat kementrian. Kemendikbud, Kemenkes, Kemendagri dan Kemenag dalam sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) dan peraturan turunannya yang mengatur panduan teknis penyelenggaraan PTM.

Mulai dari menentukan pembatasan jumlah siswa sampai ke penilaian kesiapan sekolah dan kesiapan daerah kabupaten/kota, bahkan sampai ke detail pelaksanaannya seperti pengaturan jam, pembagian kegiatan pembelajaran, persentase siswa, guru dan tenaga kependidikan yang sudah mendapatkan vaksinasi 81%. Sedangkan untuk pemantauan dan evaluasi Kemendikbud sebenarnya sudah terintegrasi dengan Peduli Lindungi. Misalkan setiap sekolah jika ingin menggelar PTM harus melalu daftar periksa oleh sekolah dan Satgas Penanganan Covid, daftar periksa dalah alat kontrol tingkat kepatuhan institusi dan warga satuan pendidikan terhadap protokol kesehatan. Data tersebut haruslah terintegrasi dengan DAPODIK dan Peduli Lindungi. Bayangkan saja betapa rumitnya dalam menyusun kesepakatan kebijakan PTM tersebut dan tentunya bagi sekolah harus benear-benar siap untuk melaksanakan panduan teknis dan memenuhi syarat-syarat PTM.

Pola prokes yang diterapkan Kemendikbud untuk peserta didik seharusnya sama di setiap sekolah. Namun, dalam praktiknya masih banyak dijumpai tidak terjadinya jaga jarak saat proses pembelajaran di kelas sehingga menyebabkan terjadinya kerumunan. Disamping sekolah juga terkadang kurang transparan untuk mengumumkan Kasus Positif Covid-19. Kemudian standardisasi pola tracking, tracing, dan testing yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19 terkadang sangat berbeda dalam implementasinya. Sehingga, kecepatan dalam sistem pelaporan dan penangannya sering menjadi kendala.

Dinamika yang terjadi di masyarakat tidaklah mengherankan jika sebagian orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya masih merasa khawatir tehadap kebijakan PTM. Sekolah tentunya harus menjawab kekhawatrinan tersebut dengan menerapkan disiplin prokes yang ketat, bukan fasilitas yang bagus, melainkan fungsi fasilitas kesehatan di satuan pendidikan yang maksimal. Kemendikbud sendiri harus tegas dan memberikan sanksi jika terdapat sekolah yang melanggar prokes, bukan malah saling lempar tanggung jawab dengan pemerintah daerah dalam pemberian sanksi tersebut.

Dengan demikian orang tua siswa akan semakin percaya terhadap sekolah sehingga merasa aman untuk mengizinkan anaknya menggelar PTM. Jika saja regulasi prokes yang telah dirancang Kemndikbud dijalankan sesuai apa yang telah disepakati maka, bisa saja lembaga pendidikan dapat menjadi contoh bagi lembaga lain sebagai institusi penanggulangan Covid-19 yang terbaik.

Keberpihakan pada Siswa

Masih adanya anggapan bahwa kebijakan PTM merupakan tanggung jawab sekolah merupakan suatu kekeliruan. Tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara sudah mengingatkan bahwa sistem pendidikan yang ideal harus diselenggarakan kedalam tiga otoritas yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kebijakan Kemendikbud yang dituangkan dalam keputusan bersama dalam penyesuaian kebijakan pembelajaran saat pandemi Covid-19 merupakan kebijakan yang harus semata-mata berpihak pada anak, regulasi yang dibuat tentunya sudah melalui kajian dan didasarkan evaluasi yang dapat dipertangguangjawabkan. Kebijakan PTM juga memberikan otoritas penuh kepada orang tua untuk membuat keputusan apakah anaknya di ijinkan masuk sekolah atau memilih PJJ. Oleh karenanya, tanggungjawab keberhasilan PTM ada pada tiga kunci utama yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga element tadi harus disinkronisasikan dan tentunya semua pihak harus menyadari bahwa keputusan dan kebijakan PTM harus menempatkan kesehatan dan keselamatan peserta didik, guru, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat sebagai prioritas utama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image