Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ratna Nisrina Puspitasari

Angkringan

Sastra | Friday, 11 Feb 2022, 19:47 WIB
Sumber: pixabay.com

Angkringan, sebuah tempat ala kadarnya, beratapkan tenda dengan khas cahaya remang dari lampu oranye 5 watt. Terlampau sederhana sosoknya. Namun, hadirnya penting bak belahan jiwa yang harus dipandang tiap hari. Kalau tak bertemu rindu. Seperti ada yang kurang saja.

Teh dan kopi jadi menu andalan. Dinikmati bersama gorengan dan gosip terhangat, para pengunjung larut dalam euforia. Tak terkecuali Paidi, laki-laki paruh baya yang sehari hari jadi kuli panggul di pasar. Perawakannya kekar, sudah mirip binaragawan. Kalau ditanya fitness di mana, jawabnya sudah pasti. Pasar!. Kulitnya hitam eksotis mirip model iklan celana dalam. Maklum saja, tiap hari berteman dengan teriknya matahari siang.

Paidi ini pengunjung tetap angkringan milik Bambang. Tiap malam jadi rutinitas wajib ngapel angkringan. Kopi jadi menu wajib tiap dirinya datang. Sudah hafal betul Bambang dengan kesukaan Paidi. Mungkin lebih paham dari istri Paidi. Benar-benar belahan jiwa sekopi. Eh sehati maksudnya.

Malam itu seperti biasa Bambang sudah mempersiapkan menu angkringan. Merebus air jadi hukum wajib. Air panas ini, orang angkringan biasa sebut wedang adalah bahan bakarnya segala menu di angkringan. Darinya muncul menu kopi, teh, wedang jahe, susu jahe, dan kawan-kawannya. Ibaratnya no wedang no party.

Bambang glonthangan mempersiapkan panci, wajan, gelas, dan piring. Paidi datang memesan kopi. Namun, tak biasanya dirinya bawa selembar kertas bergambar wajah orang. Dirinya tampak gusar sambil memandangi gambar itu. Bambang sadar kalau temannya ini sedang gusar dan lantas berseloroh.

“Tak ada badai tak ada hujan, tampangmu kucel sekali,” seloroh Bambang sambal meracik kopi pesanan Paidi.

“Aku sedang bingung. Bagaimana caranya, aku harus mendapatkan orang ini,” balas Paidi dengan semangat.

“Memang apa pentingnya kau cari orang itu? Kenalpun tidak,” balas Bambang.

“Penting, dari orang ini aku bisa kaya! Tau tidak? Kalau berhasil menangkap orang ini aku bisa dapat hadiah 300 juta,” imbuh Paidi dengan semangat berapi-api.

“Coba lihat dulu apa to yang istimewa dari gambar itu?,” balas Bambang sambal mengambil selembar kertas dari tangan Paidi.

Mulutnya komat-amit mencermati isi informasi dalam selembar kertas itu. Matanya melotot tak kala melihat bait demi bait informasi yang ada di sana. Sambal menepok jidat, Bambang ngomel-ngomel.

Wong edan sampeyan (kamu) mau mati sia-sia? Yang mau mbok tangkap itu buronan kelas kakap, teroris pula. Belum-belum sampeyan sudah di bom sama orang ini,” seru Bambang tampak kesal dengan pemikiran temannya.

“Santai wae lho aku kan hanya coba-coba ngga ada salahnya tho?,” Paidi membela diri.

Iyo, ora salah tapi mbok ya ingat anak istri di rumah. Kalau sampeyan ada apa-apa, piye nasib keluarga sampeyan?,” Bambang mencoba menasihati kawannya.

Sambil ngudud, Paidi tampak santai walau kawannya itu mencak-mencak tidak terima dengan renacana yang diceritakannya tadi. Dirinya yakin, rencananya tadi bisa mengubah nasib keluarganya. Maklum saja, hasil kerja di pasar cukup mepet untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Apalagi ada anaknya yang kuliah dan butuh biaya banyak.

Paidi pikir tidak ada salahnya mengakap buronan itu. Dalam keadaan mati atau hidup, buronan tadi akan tetap dihargai. Asal dirinya bisa membawa ke hadapan aparat. Tidak masalah kalau dirinya harus membunuh buronan itu. Tidak akan ada penyesalan kalau dia harus membunuh. Ya karena memang buronan itu layak mati. Bayangkan saja, dia teroris yang membunuh banyak orang tak bersalah. Bahkan, Paidi akan merasa menjadi pahlawan kalau berhasil meringkus buronan itu.

Sampeyan ngerti ora, aku mumet mikir biaya kuliah anak. Aku ngga bisa menjenguk anakku di sana. Wajahnya saja aku lupa. Cuma bisa tanya kabar lewat telepon. Mepet banget biayane, wis bablas kanggo biaya kuliah,” tiba-tiba Paidi mengeluh sambil membayangkan anak yang sudah lama tidak pernah dijenguk. Dirinya tidak mengerti apa saja yang dilakukan anaknya di sana. Lulusan SD sepertinya tak bakalan paham hal-hal seperti itu. Hanya ingin anak-anaknya bisa sekolah tinggi. Berharap setelahnya bisa hidup dengan lebih mapan. Itu harapan terbesar darinya.

“Lha apa anak sampeyan ngga pernah pulang tho? Katanya kemarin dia bisa kuliah sambal kerja. Lumayan sesekali kanggo biaya mudik kan iso,” balas Bambang menaggapi Paidi sembari menghidangkan jahe hangat kepada pelanggan yang baru datang.

Paidi tampak termenung. Apa yang dikatakan Bambang ada benarnya. Namun, dirinya tak berani meminta kepada sang anak. Minder karena tak selalu bisa memberi uang kiriman. Paidi malu kalau harus meminta sang anak sesekali pulang.

Pekerjaan sang anak pasti lebih menguras waktunya. Ia memang tak pernah tanya sang anak kerja apa. Ia hanya meyakini kalau anaknya pasti kerja keras untuk mencukupi biaya kuliah. Rasa bersalah lebih mendominasi hari Paidi. Sebagai seorang bapak, dia sedih tidak bisa menyekolahkan anaknya secara penuh.

“Sudah, ngga perlu sedih. Aku tahu perasaanmu, ngga dipaksa. Biaya kuliah memang mahal. Bukan salahmu tak bisa bayar penuh,” balas Bambang mencoba menangkan Paidi yang tampak semakin resah memikirkan sang anak.

“Pakdhe, TV nya tak nyalain ya. Buat rame-rame, nanti jam 10 ada siaran bola juga,” sela Dede. Salah satu langganan Bambang yang suka nongkrong di angkringannya.

Bambang hanya mengangguk sambal menyerahkan remot kepada Dede. TV pun segera dinyalakan. Dede tampak memilih-milih stasiun TV sambal mencermati acara apa yang sedang tayang. Tiba-tiba ia berteriak heboh sampai mengagetkan Bambang dan Paidi yang tak jauh darinya.

“Pakdhe Pakdhe, tonton iki!!,” teriak Dede dengan heboh.

“Ngopo to De kamu itu heboh banget. Ada apa tho?,” tanya Bambang mencoba mencari tahu sumber kehebohan Dede.

“Ini lho Pakdhe buronan teroris yang ngebom orang tempo hari sudah ditangkap polisi,” cerita Dede dengan heboh.

“Loh iya tho, coba besarkan volume TV nya De,” suruh Bambang kepada Dede.

Bambang mendengar dengan seksama berita yang muncul di sana. Matanya melotot tat kala membaca profil teroris yang terpampang di pemberitaan. Ia terkaget-kaget, tak menyangka orang yang ia kenali namanya disebut dalam pemberitaan. Wajah yang terpampang di pemberitaan televise adalah anaknya. Ia tak menyangka selembar kertas yang ia bawa adalah foto sang anak yang lama tak djumpainya.

Hancur sudah perasaan Paidi. Apalagi tertulis jelas nama dan identitas lengkap sang anak di layar kaca. Malu rasanya, namun rasa sedih lebih terasa di hatinya. Bagaimana tidak? Anak yang dibangga-banggakan berakhir menjadi seperti itu. Bahkan, saat inipun ia tak tau harus bagaimana. Haruskah ia kabarkan kabar ini kepada istrinya atau biarkan saja kabar ini sampai kepada sang istri melalui mulut tetangga.

Paidi tak paham harus bersikap bagaimana. Digenggamnya selebaran tadi sambil bergegas pulang. Dengan wajah sedih tak karuan, kakinya melangkah pulang ke rumah. Disertai harapan yang telah pupus tak bersisa, kakinya melangkah dalam kehampaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image