Mengatasi Learning Loss Tanpa Mengorbankan Siswa
Lomba | 2022-02-11 08:05:12Pergumulan melawan Covid-19 belum juga terlihat kapan akan berakhir. Setelah sempat melandai mulai akhir September 2021 sampai pertengahan Januari 2022, sekarang malah mengalami lonjakan kembali. Data dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 hingga 10 Februari 2022 menunjukkan, ada penambahan 40.618 kasus baru. Penambahan tersebut menyebabkan total kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 4.667.510 terhitung sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020.
Tentu saja ini bukan berita yang baik. Namun di sisi lain, upaya pemerintah melakukan vaksinasi sudah mencapai 48,5 % untuk vaksin kedua per 9 Februari 2022. Artinya hampir separuh dari target penduduk Indonesia yang harus divaksin sudah dapat dipenuhi. Ini menjadi pembeda saat kita menghadapi gelombang pertama tahun 2020 dan gelombang kedua tahun 2021. Karena saat itu, terutama pada gelombang pertama belum ada vaksin yang diberikan ke masyarakat. Sedangkan pada gelombang kedua yang puncaknya sekitar Juli 2021, vaksinasi sampai dosis kedua baru mencapai 8,39%.
Akibat dari kondisi yang belum juga kondusif sampai sekarang ini, pembelajaran tatap muka (PTM) 100% mengalami dilema. Dilansir dari Kompas.com, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PTM , yang sudah digelar 100% di sejumlah daerah. Namun Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Jumeri menilai PTM masih perlu dilakukan meskipun Indonesia kini memasuki gelombang ketiga Covid-19.
Menurut Jumeri, sekolah tatap muka mendesak untuk dilaksanakan, karena sesuai dengan rekomendasi dari berbagai studi, pemulihan pembelajaran melalui pembelajaran tatap muka dengan protokol kesehatan mendesak untuk dilaksanakan. Beliau juga menilai, penerapan ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 masih layak dijadikan panduan. Dalam ketentuan yang ditetapkan dalam SKB itu, sudah mempertimbangkan dan mengakomodasi mekanisme penyelenggaraan pembelajaran tatap muka berdasarkan level PPKM suatu wilayah.
Dalam SKB 4 Menteri tertanggal 21 Desember 2021, diizinkan pemberlakuan PTM tatap muka 100 persen bagi daerah yang melaksanakan PPKM level 2. Namun jika bergerak ke level 3, maka diberlakukan PTM 50 persen. Sekolah yang melaksanakan tatap muka akan ditutup apabila terjadi klaster penyebaran Covid-19, dan kegiatan belajar mengajar dialihkan sementara menjadi pembelajaran jarak jauh selama 14 hari. Dinyatakan klaster apabila hasil lebih dari 5 persen warga sekolah terkonfirmasi positif Covid-19. Sekolah juga bisa ditutup selama 14 hari, apabila menjadi daftar hitam penyebaran Covid-19 dalam aplikasi Peduli Lindungi. Apabila di lingkungan sekitar sekolah ada kerumunan dan terdapat penyebaran kasus secara masif, kemungkinan sekolah untuk ditutup juga besar. Namun, berbeda halnya jika hanya ada satu atau dua kasus Covid-19 di sekolah, penutupan sekolah hanya 5 hari.
Sementara itu, dikutip dari Kontan.co.id lima organisasi medis seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Indonesia Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI). Mereka mengirim surat permohonan kepada empat kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Dalam Negeri mendesak pemerintah mengkaji ulang kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100% untuk kelompok anak usia kurang dari 11 tahun.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular (PERKI) Isman Firdaus menambahkan, anak potensial mengalami komplikasi berat yaitu multisystem inflammatory syndrome in children associated with Covid-19 (MIS-C) dan komplikasi long Covid-19 lainnya sebagaimana dewasa yang akan berdampak pada kinerja dan kesehatan organ tubuh lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kelima organisasi profesi medis tersebut memberikan usulan. Pertama, anak-anak dan keluarga tetap diperbolehkan untuk memilih pembelajaran tatap muka atau pembelajaran jarak jauh berdasarkan kondisi dan profil risiko masing-masing keluarga. Kedua, anak-anak yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid agar memeriksakan diri terlebih dahulu ke dokter. Ketiga, anak-anak yang sudah melengkapi vaksin Covid-19 dan cakap dalam melaksanakan protokol kesehatan dapat mengikuti pembelajaran tatap muka. Keempat, mekanisme kontrol dan buka tutup sekolah dilakukan secara transparan untuk memberikan keamanan publik.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga mendorong pemerintah menerapkan metode pembelajaran hybrid, yaitu 50 persen pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau online dan 50 persen PTM. Sebab, kata ketua IDAI Piprim Basarah Yanuarso, tidak semua orangtua sepakat anak-anak mereka mengikuti PTM terbatas di masa pandemi. Selain karena belum yakinnya orangtua dengan penerapan protokol kesehatan di sekolah, juga masih banyak anak-anak yang belum divaksinasi. Piprim menyarankan agar tidak ada pemaksaan sekolah tatap muka terbatas jika orangtua tidak memberikan persetujuan.
Jadi dengan mengikuti perkembangan kondisi pandemi terkini, sudah seharusnya pemerintah menyesuaikan kebijakan PTM 100% yang sudah dilaksanakan mulai Januari 2022. Perlunya tarik ulur dalam penerapan PTM menyesuaikan level PPKM daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain kebijakan terkait PTM di sekolah dapat dibuat lebih dinamis, mengikuti situasi yang berkembang pada saat ini. Jangan sampai keinginan pemerintah agar PTM diselenggarakan demi mengatasi learning loss justru berpotensi mengorbankan siswa dan guru akibat tertular Covid-19 yang tidak diharapkan oleh semua pihak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.