Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Berdamai dengan Inovasi Pendidikan

Eduaksi | Wednesday, 09 Feb 2022, 22:02 WIB

Inovasi bagi sebagian orang masih dianggap hal yang menakutkan. Hal ini tidak terlepas dari budaya santai, budaya mengekor (hanya mengikuti apa yang trending), budaya takut salah (takut dicemooh/di-bully bila melakukan kesalahan) dan tradisi inferior yang akut.

Maka banyak pihak di Indonesia ini yang “kurang berani” jika ditantang berinovasi. Namun, tentu saja kali ini tantangannya berbeda, Pendidikan Indonesia sedang bertaruh dengan ketidakpastian keberlanjutan pembelajaran, diombang-ambing antara belajar di rumah dan di sekolah, diayun-ayun oleh pembelajaran di waktu yang sebenarnya (real time) dan disembarang waktu (any time). Maka salah satu upaya untuk tetap berjalan pada rel menuju stasiun pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah berdamai (membiasakan diri) dengan inovasi. Membudayakan perilaku dengan kreativitas tinggi dan mentradisikan pemikiran yang konstruktif serta solutif.

Amanah untuk menghasilkan lulusan berkualitas tentu tidak dapat dielakkan lagi. Upaya untuk mencapai capaian pembelajaran yang telah ditargetkan, tentunya juga tidak dapat dinafikan begitu saja. Maka, pada periode ketidakpastian yang sangat tinggi ini, berinovasi dalam bidang pendidikan menjadi kewajiban bersama sekaligus keharusan individu bagi para pengajar.

Seluruh upaya untuk menyampaikan bahan pelajaran/mata kuliah kepada siswa/mahasiswa perlu terus diusahakan. Optimalisasi teknologi informasi menjadi mandatori baru bagi para pendidik tanpa mengenal usia. Seluruh pendidik, baik generasi ‘milenial’ ataupun ‘kolot-nial (paruh baya menjelang lansia), tidak boleh menutup mata terhadap kemajuan kecanggihan teknologi yang berpotensi menunjang pembelajaran.

Inovasi (Nasution & Kartajaya, 2018) pada intinya merupakan kelanjutan dari penemuan (invention) dan kegiatan inovasi merupakan penciptaan nilai (creation of value) yang melibatkan peningkatan teknologi. Dalam penciptaan nilai tersebut, inovasi harus secara signifikan mampu memberikan nilai tambah kesejahteraan, yang direpresentasikan pada layak jual (diterima pasar) atau tidaknya produk/jasa tersebut.

Dengan demikian, inovasi erat hubungannya dengan kemampuan untuk memahami need (kebutuhan) maupuan want (keinginan) konsumen. Inovasi juga erat kaitannya dengan sikap kreatif, yaitu sikap yang selalu merasa tidak puas dengan pendekatan yang lama, yang dikemas dan disampaikan melalui sarana ‘teknologi’ yang lebih baik.

Dua tahun ini adalah ujian yang sebenarnya bagi dunia pendidikan. Ketika sering kali di ruang kelas para pendidik selalu mendorong peserta didik untuk memiliki kreativitas dan inovasi tinggi, saat ini para pendidik mereka ditantang untuk membangun kreasi terbaik. Tiba-tiba harus mengajar dari rumah, bukanlah hal yang mudah. Menghayati ketidakpastian apakah proses pembelajaran dapat kembali ke ruang kelas juga bukan perkara yang ringan. Artinya, ini momen untuk berdamai dengan ketidakpastian, dengan tetap menjaga kualitas layanan pendidikan.

Tidak ada yang mengatakan mudah, namun juga bukan tidak mungkin. Ragam inovasi pendidikan, selain menjadi amanah pribadi pendidik, juga merupakan mandatori yang kolektif. Dibutuhkan selalu sinergi ide dan kolaborasi gagasan untuk menghasilkan metode pembelajaran yang dapat diterima siswa baik jarak dekat atau jauh, baik di waktu yang sama (real time) atau diwaktu yang berbeda (anytime). Keinginan dan visi untuk memberikan layanan pendidikan terbaik, adalah pondasi penting bagi inovasi pembelajaran.

Maka inilah saatnya untuk keluar dari jeratan nostalgia, yaitu tetap bertahan dengan pola lama (best practice). Alih-alih demikian, inilah saatnya untuk menyusun rangkaian pola pembelajaran yang “tahan banting” dan “portable”, dalam arti siap diimplementasikan dalam kondisi apapun. Inilah waktu terbaik untuk menyusun aksi yang berorientasi masa depan (future practice) dengan prediksi bahwa situasi dan kondisi dalam menyampai bahan pembelajaran tidak lagi sama.

Pertaruhannya begitu besar. Pandemi, seakan-akan menantang setiap negara untuk beradaptasi dengan strateginya masing-masing. Pandemi, seakan-akan telah menghempaskan roda pembangunan setiap negara ke titik nol kembali, sehingga semua saat ini bersaing nyaris dari ‘titik start’ yang sama. Siswa dan Mahasiswa Indonesia menunggu aksi inovasi terbaik dari para pengajar dan pemegang kepentingan pendidikan.

Pola pikir para pendidik harus berubah menjadi growth mindset, yaitu bahwa tanpa proses belajar yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas delivery method, maka kualitas pembelajaran berpotensi menurun. Tanpa membangun penghayatan bahwa ‘apa yang saya hadapi hari ini sangat berbeda dengan masa lalu, sehingga saya harus terus meningkatkan diri’, maka dikawatirkan kita akan kehilangan generasi yang berkualitas.

Sehingga konsekuensi logisnya perlu dibangun proses belajar yang tangkas dan adaptif (agile learning) bagi para pendidik. Kecepatan, kelincahan dan kemampuan beradaptasi adalah harga mati bagi para guru dan dosen di negeri ini. Bukan hanya untuk membangun proses belajar mengajar yang lebih baik, namun sekaligus juga sebagai ‘role model’ bagi para pembelajar. Karena sejatinya, setiap detik mereka menghayati sekaligus siap mengkritisi proses pembelajaran disampaikan kepada mereka, khususnya di era pandemic yang sangat tinggi tingkat ketidakpastiannya ini. Maka, sebagai sosok yang 'digugu lan ditiru', mau tidak mau para pendidik di negeri ini wajit terbiasa membangun praktik-praktik masa depan (future practice), membangun mentalitas untuk selalu belajar dan mengembangkan diri (growth mindset), serta siap berjibaku, lincah, cepat dan adaptif dalam mempelajari hal-hal baru (agile learning).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image