Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Mentradisikan “Hybrid Learning” sebagai sebuah Keniscayaan

Eduaksi | Wednesday, 09 Feb 2022, 15:19 WIB

Dunia semakin menghadapi ketidakpastian. Bukan hanya karena kemajuan teknologi yang semakin sulit diprediksi, seperti metaverse dan semacamnya. Namun juga ancaman ragam jenis transformasi penyakit yang dapat menyerang manusia. Potensi penularan global penyakit, hari ini didukung oleh borderless world, yaitu dunia yang semakin terhubung dengan akses transportasi antar negara yang semakin terbuka.

Maknanya, dinamika perubahan sosial semakin massif dan tidak terduga. Sehingga tidak ada cara lain bagi semua sektor (khususnya sektor pendidikan) untuk selalu mempersiapkan diri untuk tetap memberikan layanan pendidikan dalam kondisi apapun. Optimasi teknologi informasi, saat ini menjadi sebuah keniscayaan. Ketergantungan terhadap pola tatap muka, harus semakin dikurangi. Hal-hal yang dahulu dianggap tidak mungkin, harus dipikirkan jalan keluarnya pada kondisi yang ambigu. Praktik-praktik terbaik yang pernah sangat membanggakan jaman dulu, tidak boleh dijadikan status quo. Sebaliknya, tuntutan hari ini adalah bukan terlena dengan praktik baik zaman dulu (fixed mindset), namun justru bagaimana membangun praktik masa depan (future practice), dengan pemikiran bahwa “jika tidak berubah, maka saya akan tergilas perkembangan zaman (growth mindset).

V.U.C.A

Proses dan dinamika perubahan yang serba cepat dan tidak terduga ini, sering dikenal dengan terminology V.U.C.A, atau Volatility, Uncertainty, Complexitiy dan Ambiguity. Inilah hal yang mau tidak mau, penduduk dunia ini harus hadapi. Ketidakpastian ini, juga kemudian menyerang sektor pendidikan.

Berikut adalah penjelasan terkait Volatilty, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity secara umum: (Bennet & Lemoine, 2018)

1. Volatility: mengacu pada perubahan tidak stabil yagn relative menetap; pada kondisi ini informasi tersedia dan situasi terpahami namun sering terjadi perubahan dan seringkali tidak dapat diprediksi

2. Uncertainty: mengacu pada minimnya pengetahuan kurangnya pengetahuan tentang

apakah suatu acara/situasi akan memiliki konsekuensi yang berarti; sebab dan akibat dari sebuah agenda tertentu dapat dimengerti, namun adalah tidak diketahui apakah suatu peristiwa akan terjadi membuat perubahan yang signifikan atau tidak

3. Complexity: Sejumlah besar interkoneksi bagian-bagian (parts) membangun sebuah jaringan informasi yang massif dan membangun sejumlah prosedur baru; bahwa seringkali dalam konteks multibentuk dan berbelit-belit, walaupun tidak selalu menghasilkan perubahan yang signifikan

4. Ambiguity: kekurangan pengetahuan yang sejatinya hal tersebut merupakan aturan permainan. Pada situasi ambigu ini penyebab dan dampak seringkali tidak teridentifikasi, dan sulit membangun prediksi untuk menghasilkan respon yang tepat

Maka, jelas bahwa situasi ini tidak dapat direspon dengan cara-cara lama, ataupun konsep-konsep yang sudah using. (Bennet & Lemoine, 2018) menawarkan 4 konsep utama untuk menghadapinya. Berikut tafsir bebasnya

1. Agilitiy (tangkas, cepat dan adaptif). Para pembelajar dan khususnya para pendidik perlu membangun ketangkasan tingkat tinggi dalam rangka memastikan proses belajar mengajar tetap berjalan sesuai dengan yang ditargetkan.

2. Information. Informasi terpecaya dan terbaru perlu dengan segera tersosialisasi dengan baik dengan adil dan merata. Sehingga pengambilan keputusan di akar rumput dapat cepat dieksekusi.

3. Restructuring. Beragam organisasi perlu membiasakan diri dengan aktivitas merustrukturisasi diri sendiri. Perubahan format dan struktur organisasi harus dijadikan tradisi baru (berbasis tuntutan situasi yang ada), serta tidak harus menunggu jadwal periodic

4. Experimentations. Para pihak perlu terbiasa membangun percobaan-percobaan tertentu, untuk menghasilkan langkah paling efektif dan efisien sebagai respon solutif terhadap situasi tertentu. Artinya perubahan dan inovasi di tengah jalan, perlu menjadi hal yang ‘biasa’.

Hybrid Learning

Hybrid Learning atau Blended Learning merujuk kepada pengkombinasian metode pembelajaran berbasis e-learning (electronic learning) dengan metode pembelajaran tatap muka atau metode konvensional ( (Fauzan, 2017). Maknanya, perlu dibangun pemahaman yang utuh bahwa dunia semakin menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian. Kredo yang berlaku adalah bahwa siapapun yang paling mampu beradaptasi, maka merekalah yang berjalan di depan. Maka proses belajar yang menggabungkan kekuatan dari tatap muka langsung (synchronous) dan tidak langsung (asynchronous) perlu menjadi arus utama, khususnya dalam kondisi dimana proses belajar tatap muka adalah sebuah ketidakpastian.

Proses belajar mengajar adalah proses berkesinambungan yang telah memiliki sejarah yang sangat panjang. Para pendidik baik guru maupun dosen, sudah tidak terhitung jam mengajarnya dan tidak perlu diukur lagi pemahaman mereka terhadap mata pelajaran/mata kuliah diampunya.

Namun hari ini, tantangannya adalah bagaimana mengantarkan materi tersebut kepada para pembelajar. Melalui tidak pastinya kesempatan bertatap muka dengan siswa atau mahasiswa, maka membangun pola pikir tentang pola belajar kombinasi adalah keniscayaan.

Rencana pembelajaran harus dibangun dengan pendekatan kombinasi serta dilengkapi dengan alternatif rencana cadangan (back-up plan). Optimasi dari kemajuan teknologi informasi juga perlu menjadi arus utama. Persediaan (bank) dari konten pembelajaran dapat dipertimbangkan untuk dimasukan dalam perpustakaan digital sehingga mudah untuk diakses

Generasi pembelajar yang dihadapi hari ini adalah generasi yang (semakin) akrab dengan teknologi Mereka dapat menyerap ilmu ataupun pengetahuan dari jari jemari mereka melalui gadget yang dimiliki. Maka tugas para pendidik adalah menyiapkan sumber-sumber materi pembelajaran tersebut dengan baik, sehingga dapat diakses oleh mereka.

Kurangi kebanggaan terhadap proses belajar sebelumnya yang mungkin membuat kita berjaya dan mendapatkan banyak apresiasi (best practice), namun ini saatnya memaksa diri untuk membangun proses belajar kombinasi yang menenuhi prinsip-prinsip (1) anytime (dapat diakses kapan saja), (2) anywhere (dapat diakses dimana saja), (3) anything (yaitu berisi beragam sumber dan media pembelajaran yang dapat dikombinasikan dan disinergikan untuk membangun capaian pembelajaran terntentu, (4) anyone (dapat disiapkan oleh siapapun dari tim pengajar).

Sehingga dalam situasi paling ekstrim sekalipun, proses belajar mengajar tidak akan mengalami guncangan yang terlalu besar. Inilah saatnya para pendidik berinovasi sekaligus memberikan contoh dan teladan langsung pada peserta didiknya terkait urgensi membangun pola pikir adaptif, pola aksi inovatif dalam menghadapi era V.U.C.A ini.

Works Cited

Bennet, N., & Lemoine, G. J. (2018, January 08). What a difference a word makes: Understanding threats to performance in a VUCA world. Harvard Business Review, 1-7.

Fauzan, F. A. (2017). Hybrid Learning sebagai Alternatif Model Pembelajaran. Seminar Nasional “Profesionalisme Guru di Era Digital”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image