WADAS DALAM CENGKRAMAN OLIGARKI: PEMERINTAH PELAYAN RAKYAT ATAU BULDOSER
Politik | 2022-02-09 15:11:18Oleh:
Milenia Ferlihanisa - Mahasiswa Ilmu Politik UMJ
Meminjam istilah Polybius, yaitu siklus bentuk pemerintahan yang dikembangkan oleh seorang filsuf yang bernama Polybius, juga sejalan dengan pendapat Aristoteles, Polybius berpendapat bahwa pemerintahan Negara umumnya diawali dengan bentuk MONARKI, dimana seorang raja/ratu memerintah sebagai penguasa tunggal demi kesejahteraan rakyatnya. Namun demikian bentuk pemerintahan semacam ini lama kelamaan akan merosot menjadi TIRANI ketika raja yang bersangkutan atau raja-raja keturunannya, tidak lagi memikirkan kepentingan umum.
Dalam situasi semacam itu umumnya akan muncul sekelompok bangsawan yang kemudian menggerakkan perlawanan hingga akhirnya dapat mengambil alih kekuasaan. Saat inilah pemerintahan tersebut disebut ARISTOKRASI. Namun karena kekuasaan itu cenderung untuk disalah gunakan, pemerintahan kaum bangsawan yang baik itu pun lama-lama akan merosot dan menjadi pemerintahan yang mementingkan diri sendiri hingga akhirnya disebut sebagai OLIGARKI yang menindas rakyat seperti Buldoser.
Menurut penulis, hal semacam ini juga salah satu faktor yang menyebabkan demokrasi itu mati, Akhirnya rakyat lah yang akan memberontak dan menjalankan pemerintah sampai akhirnya pemerintahan berganti menjadi DEMOKRASI, namun lama-kelamaan pemerintahan ini juga akan jatuh akibat korupsi dan lain-lain hingga pemerintahan menjadi OKLOKRASI. Ditengah semua itu Polybius meramal akan ada orang yang kuat dan berani untuk mengambil alih pemerintahan dan menjadi seorang raja sehingga pemerintahan kembali menjadi pemerintahan MONARKI seperti awal.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta meminta Kepala Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo turun tangan mengatasi konflik di Desa Wadas. Pada Selasa (8/2/2022), sejumlah warga Desa Wadas ditangkap. Mereka adalah bagian warga yang menolak penambangan batu andesit untuk proyek Bendungan Bener. Polemik penambangan batu andesit di Desa Wadas memantik konflik yang jauh lebih besar. Ancaman kerusakan lingkungan tidak hanya mengancam keseimbangan alam, tapi juga hidup warga yang menggantungkan kesehariannya dari hasil alam.
Mengutip salah satu wawancara warga desa Wadas dengan Gatra.com "Airnya keluar terus. Dari zaman simbah-simbah, enggak habis-habis. Waktu kemarau air ini segala-galanya. Kalau sini ditambang, kami dapat air dari mana?,’ ujar Khamim, 42 tahun di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah melihat siklus Polybius tadi, kemudian penulis akan memfokuskan pada bentuk oligarki yang dilakukan di desa Wadas, melansir dari solopos.com Konflik antara warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah dengan polisi pecah lagi pada Selasa (8/2/2022). Warga Desa Wadas sejak 2018 menolak penambangan batu andesit di desa itu untuk material pembangunan Bendungan Bener.
Desa Wadas bakal menjadi lokasi penambangan batu quary andesit untuk kepentingan pembangunan proyek Bendungan Bener. Bendungan itu masuk proyek strategis nasional dan diklaim sebagai bendungan tertinggi di Asia Tenggara. Megaproyek dengan nilai investasi sebesar Rp2,06 triliun itu memiliki kapasitas debit air 100 juta meter kubik. Debit air sebesar itu diproyeksikan mampu menampung air baku 1.500 liter per detik dan menopang pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 6 megawatt (MW).
Desa Wadas, yang berjarak 10 kilometer dari lokasi proyek bendungan itu, berada di kawasan perbukitan dengan kontur naik-turun dan berlereng-lereng. Desa ini berada di sisi utara pusat Kabupaten Purworejo. Seperti kebanyakan desa lain, sawah dan tegalan menghiasi sekeliling desa, lengkap dengan sejumlah anak sungai. Rencana pemerintah menjadikan kawasan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan andesit itu membuat Khamim dan warga desa lainnya bertanya-tanya. Bagaimana bisa desanya jadi lokasi tambang, sementara desa lain yang lebih dekat dengan lokasi proyek justru luput. "Baru tahu namanya batu andesit itu juga sekarang," Lanjut Khamim.
Jika melihat kebelakang, dua tahun lalu mahasiswa dan seluruh elemen buruh pernah melakukan aksi penolakan pengesahan UU Cipta kerja, yang mana terdapat pasal-pasal perubahan yang menghasilkan ketidak seimbangan dalam perlindungan hukum terhadap pekerja juga kemudian terdapat penghapusan sanksi atau aturan yang mencegah pengusaha bertindak sewenang-wenang dalam UU Cipta Kerja. Tentu hal ini dapat menyebabkan tindakan pengusaha menjadi sewenang-wenang di masa depan, dan sekaligus ini berdampak pada hilangnya hak pekerja atas uang penggantian hak, dan konflik yang terjadi di desa Wadas inilah impact pengesahan UU Cipta kerja yang menyusahkan rakyat dan menguntungkan pemilik modal.
Kondisi ini adalah apa yang sering dikenal dengan istilah kekerasan struktural, meminjam konsep kekerasan struktural Johan Galtung, yang melihat bahwa kekerasan struktural merujuk pada frasa “the absence of social justice”. Dengan kata lain, kekerasan stuktural terjadi ketika ketidakadilan sosial terjadi dimana-mana. Dalam konteks ini, sudah semestinya pemerintah memberikan ruang sebesar-besarnya untuk proses demokrasi, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, serta mendengarkan aspirasi tersebut untuk selanjutnya ditindaklanjuti, bukan dibiarkan saja hingga berujung pada tindakan yang destruktif. Seperti yang dialami oleh warga desa Wadas yang ditangkap karena menolak pembangunan tambang batu andesit.
Membangun infrastruktur yang ramah terhadap investasi dengan melonggarkan prosedur pelestarian lingkungan hidup sekaligus abai pada kesejahteraan pekerja akan berpotensi pada berlangsungnya kekerasan struktural. Prosedur untuk memastikan terjaganya keseimbangan ekologi bisa jadi memakan waktu. Bagi badan usaha, bisa jadi proses ini dianggap tidak ekonomis. Dengan prosedur AMDAL saja sebenarnya bukan jaminan lingkungan hidup kita tetap lestari, apalagi jika prosedur tersebut diperlonggar atau dihilangkan. Suhu panas yang ekstrem, polusi udara, asap akibat pembakaran hutan, banjir, dan peristiwa alam lain yang telah kerap muncul sebagai dampak dari rusaknya lingkungan, akan semakin parah apabila pelestarian alam dikesampingkan dalam upaya pencapaian kemajuan ekonomi.
Hal ini jika pemerintah diam saja, akan berpotensi memiliki fungsi sama dengan buldoser yang menumbangkan pohon-pohon dan mengeksploitasi hutan dalam jumlah masif, serta menjadi mesin yang merepresi posisi pekerja dalam hubungan kerja industrial dengan pemilik modal. Ekses lain dari dampak kekerasan struktural ini (ketidakadilan dan ketimpangan akses terhadap sumber daya dan kesejahteraan) adalah potensi lahirnya kejahatan-kejahatan yang bersifat konvensional.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.