Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mariam Kamila

SOLAT (Solitude and Tawakkal): Belajar Cara Mengendalikan Insecure dari Maryam binti Imran.

Agama | Wednesday, 09 Feb 2022, 10:23 WIB

Insecure merupakan istilah emosi yang kian populer di kalangan generasi milenial saat ini. Kebiasaan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang masih banyak dilakukan oleh sebagian orang pada dewasa ini turut berperan dalam menciptakan perasaan insecure di dalam diri. Insecure adalah istilah untuk menggambarkan perasaan tidak aman yang membuat seseorang merasa gelisah, takut, malu, hingga tidak percaya diri. Konsep insecurity juga terdapat dalam teori yang dikemukakan oleh Maslow (1943, dalam Afolabi dan Balugun, 2017) sebagai salah satu tahap dalam teori Basic Human Needs yaitu need for security. Apabila tahap tersebut tidak dipenuhi maka individu dapat merasakan perasaan ketakutan, cemas, bahkan merasa kurang puas dengan kehidupannya.

Sejatinya, perasaan insecure dalam takaran yang sedikit dibutuhkan oleh manusia karena dapat membantu perkembangan diri serta membentuk pandangan bahwa seseorang tersebut mampu mencapai tujuan yang jauh lebih tinggi dari apa yang dibayangkan sebelumnya (Winter, 2016). Namun, jika perasaan insecure itu muncul secara berlebihan, maka akan mengakibatkan dampak negatif bagi seseorang. Menurut Greenberg (2015), hampir setiap manusia pernah mengalami perasaan insecure tersebut di dalam dirinya. Dalam catatan sejarah Islam, terdapat seorang perempuan mulia yang ternyata pernah mengalami masa insecure, yakni Maryam binti Imran.

Maryam binti Imran lahir di Nashirah, Nazareth, Palestina dari rahim Hannah binti Faqudha, istri Ali Imran bin Matsan. Dia adalah satu-satunya perempuan yang namanya dijadikan surat dalam Al-Quran. Ibunya, Hannah merupakan adik dari istri Nabi Zakaria AS. Maka, Maryam adalah keponakan dari Nabi Zakaria AS dan pernah diasuh olehnya. Anak dari Nabi Zakaria AS pun adalah seorang nabi, yakni Nabi Yahya AS. Dia juga termasuk dalam salah satu umat yang istimewa karena namanya mewakili segala sesuatu yang murni dan memegang posisi terhormat dalam Islam. Sehingga Allah SWT menjadikan Maryam sebagai nama salah satu surat yang ada dalam Al-Quran.

Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 42 yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang sesama dengan kamu).”

Dikisahkan, pada suatu ketika, Malaikat Jibril pergi menemui Maryam dalam bentuk rupa manusia yang sempurna. Maryam lantas berdoa kepada Allah, “Sungguh aku berlindung kepada Tuhan Yang Mahapengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa.” Malaikat Jibril pun menjawab bahwa sesungguhnya dia adalah utusan Allah yang datang untuk menyampaikan anugerah kepada Maryam berupa seorang anak lelaki yang suci. Maryam pun merasa terkejut dan bertanya keheranan pada Malaikat Jibril. Jibril hanya menjawab bahwa Tuhan telah berfirman dan masalah demikian adalah mudah bagi-Nya. Kisah ini diceritakan dalam Surah Ali Imran ayat 47 dan Surah Maryam ayat 20. Tidak lama berselang setelah itu, Maryam pun hamil.

Kemudian, Maryam mengasingkan diri ke tempat yang jauh membawa kandungannya itu agar manusia tidak mengetahui keadaannya tersebut. Ia juga mengasingkan diri karena malu melihat keadaannya yang hamil tanpa didampingi oleh seorang suami.

Setelah mengasingkan diri ke sebuah daerah, kandungan Maryam pun semakin besar tiap harinya, sehingga telah tiba waktu Maryam melahirkan seorang anak, rasa sakit yang ia rasakan memaksa ia untuk bersandar ke pangkal pohon kurma. Menurut Quraish Shihab, kata الْمَخَاضُ kata gerakan yang sangat keras. Maksudnya adalah karena desakan janin untuk keluar melalui rahim mengakibatkan pergerakan anak dalam perut dan mengakibatkan kontraksi sehingga menimbulkan rasa sakit.[1] Hal ini tergambar di dalam surat Maryam ayat 23. Melihat kondisinya yang demikian, Maryam berkata “Wahai, betapa baiknya aku mati sebelum ini dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan, lagi dilupakan". Ayat ini menggambarkan bahwa Maryam merasa malu kepada orang lain dengan apa yang telah terjadi kepadanya, ia pun khawatir bencana serta kesedihan yang akan ia terima setelah melahirkan anak tanpa seorang ayah.

Setelah melahirkan, Maryam kembali ke daerah asalnya sambil menggendong putranya. Maryam lantas menjadi pembicaraan orang-orang. Kaumnya pun menghujani Maryam dengan cemoohan, hinaan, hingga tuduhan sebagai pezina. Maryam menerima sikap kaumnya itu dengan penuh tawakal. Dia puasa berbicara serta memasrahkan diri kepada Allah untuk menghadapi masalah tersebut. Pada akhirnya, Allah SWT. memberikan sebuah mukjizat kepada puteranya, Isa ‘alaihissalam sehingga ia dapat berbicara membela ibunya meskipun masih bayi.

Dari kisah tersebut, kita dapat menemukan fakta bahwa manusia sehebat dan semulia Maryam binti Imran pun pernah mengalami perasaan insecure, yakni ketika hamil dan melahirkan puteranya. Menurut Greenberg (2015), terdapat tiga hal yang paling banyak menyebabkan insecurity, yaitu kegagalan dan penolakan, kurang percaya diri karena kecemasan sosial, dan perfeksionisme. Pada kasus Maryam binti Imran, perasaan insecure tersebut berasal dari penolakan orang-orang di sekitarnya ketika mengetahui kehamilannya. Penolakan yang diiringi hinaan serta tuduhan kepadanya, membuat Maryam merasa malu dan insecure. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Dr. Lista Firestone, Insecurity terjadi karena adanya pengalaman menyakitkan di kehidupan seseorang, dari pengalaman tersebut kemudian akan membentuk pola pemikiran yang destruktif kepada diri sendiri (PsychAlive, 2015). Hal tersebut dikemukakan pula oleh Guy Winch dalam bukunya yang berjudul Emotional First Aid: Healing Rejection, Guilt, Failure and Other Everyday Hurts bahwa saat mengalami penolakan seseorang melihat dirinya dan orang lain secara negatif. Pemikiran negatif inilah yang akan memicu insecurity, seperti kurang percaya diri.

Dalam mengatasi perasaan insecure tersebut, dapat kita identifikasi bahwa Maryam binti Imran memilih untuk mengasingkan diri ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran dan beribadah lebih banyak kepada Tuhannya. Perilaku Maryam dalam istilah psikologi dapat disebut juga sebagai “solitude”.

Burger (1995) dalam Sreenlvasan (2018) mendefinisikan solitude mencakup adanya jarak fisik dari orang lain–uraian yang cukup tepat dengan situasi physical distancing saat ini. Berbeda dengan kesepian (loneliness) yang seringkali diasosiasikan dengan pengalaman negatif, solitude (kesendirian) justru punya makna yang lebih positif. Mengutip tulisan Hara Estroff Marano di Psychology Today, “loneliness dan solitude memiliki banyak keserupaan. Keduanya dicirikan dengan kesendirian”. Perbedaannya adalah bahwa “loneliness merupakan suatu keadaan negatif, ditandai dengan pengasingan. Seseorang merasakan ada sesuatu yang hilang. Sangat mungkin (seseorang) sedang bersama orang lain dan tetap merasa sendiri”.

Selanjutnya, dalam artikel yang berjudul “What is Solitude?” itu, Hara Estroff Marano menjelaskan bahwa sebenarnya solitude adalah sebuah keadaan dimana kita sendiri namun tak merasa sepi. Solitude merupakan “keadaan positif dan konstruktif keterikatan dengan diri sendiri”. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa solitude merupakan “sebuah penyegaran ulang; kesempatan untuk memperbaharui diri kita sendiri. Dengan kata lain, mengisi ulang diri kita”.

Coplan dan Bowker (2014) merangkum bahwa ketika individu memilih untuk menyendiri, maka solitude dapat memberikan sejumlah manfaat. McCutcheon, Aruguete, Scott, dan VonWaldner (2004) menjelaskan bahwa solitude dapat berkontribusi pada penyesuaikan diri secara psikologis yang sehat (healthy psychological adjustment). Hal ini karena waktu sendiri merupakan peluang bagi kita untuk menarik nafas sejenak dari tekanan sosial, berkesempatan untuk melakukan refleksi dan memetik hikmah dari pengalaman selama ini serta menikmati momen untuk mengembangkan diri secara personal, spiritual maupun kreatif.

Sepanjang sejarah, banyak filusuf, pemuka agama, dan seniman telah membuktikan manfaat dari solitude. Orang-orang spritualis seperti Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW, setidaknya diriwayatkan pernah menyendiri lalu kembali untuk membagikan apa yang telah ditemukannya (didapatkan dari Tuhan) pada orang lain. Namun, satu hal yang perlu digaris bawahi ialah solitude yang dilakukan oleh manusia-manusia mulia tersebut tidak berlangsung lama. Dalam kasus Maryam binti Imran, ia melakukan solitude ketika hamil, kemudian segera kembali kepada kaumnya setelah melahirkan anaknya dan mendapatkan perintah dari Allah SWT. untuk puasa berbicara ketika menemui kaumnya tersebut. Hal itu disebabkan Maryam sudah mulai menerima kondisi yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT. untuknya. Selain itu, tidak hanya mengetahui bahwa shaum itu perintah Allah, tetapi Maryam juga melaksanakannya sepenuh hati. Maka, dengan tawakkal yang dilakukannya, Allah SWT pun menolongnya. Bayi itu, Isa AS, dikehendaki-Nya dapat berbicara fasih kepada mereka tentang keadaan diri dan kenabiannya. Dengan begitu, Allah menyelamatkannya dari tudingan keji orang-orang fasik. Dia pun terhindar dari kemudaratan dan mampu melawan rasa insecurenya.

Dari kisah ini, kita dapat mengetahui bahwa setiap orang memiliki potensi atau kemungkinan untuk merasa insecure terhadap dirinya, termasuk manusia sehebat dan sesuci Maryam binti Imran. Kita juga dapat belajar bahwa ketika Maryam binti Imran dilanda rasa insecure, ia langsung pergi, kembali berkhalwat dengan Tuhannya, sehingga ketika sudah mendapatkan kepercayaan dirinya lagi, ia segera bangkit, tawakkal, dan berikhtiar sesuai dengan perintah Tuhannya. Maka, sebagai muslimah yang dituntut untuk mampu senantiasa menjaga izzah dan iffah pada diri masing-masing, sudah sepatutnya kita meneladani perempuan mulia seperti Maryam binti Imran. Dengan menyikapi perasaan insecure secara bijak serta senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT., insya Allah tiap muslimah akan mampu menjadi cahaya peradaban dan bersinar dengan caranya masing-masing.

[1] Tafsir al-Mishbah,Op,Cit,hal. 169

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image