Omicron dan Nasib PTM
Eduaksi | 2022-02-08 14:30:53Omicron dan Nasib PTM
Sajidin
Berdasarkan SKB 4 Menteri, mulai semester genap Tahun pelajaran 2021/2022 (Januari 2022) pembelajaran di sekolah diwajibkan untuk dilakukan secara tatap muka, baik tatap muka penuh (100%) maupun terbatas (50%). Dalam SKB 4 Menteri ini telah diatur secara rinci tata cara pelaksanaan PTM di sekolah. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pandemi Covid-19 mulai mereda dan capaian vaksinasi yang sudah mencapai hampir 81%. Itupun dengan ketentuan sekolah harus menyesuaikan dengan level daerah masing-masing. Oleh karena itu, hampir semua sekolah di Indonesia mulai melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) tersebut sejak Januari 2022.
Namun dalam perjalannya, menjelang akhir Januari ternyata virus varian baru yang bernama Omicron merebak dengan cepat dan memakan banyak korban. Hal ini membuat pemerintah dan pemangku pendidikan menjadi galau kembali, apakah PTM ini harus dilanjutkan atau dihentikan sementara. Malah pada sebagian daerah perkotaan seperti Jakarta dan Tangerang, beberapa sekolah sudah menghentikan kembali PTM karena beberapa siswanya terkena virus Omicron tersebut. Dengan terus merebaknya virus Omicron ini, bagaimana dengan nasib PTM daerah-daerah lainya, apakah akan menghentikannya dan kembali melaksanakan PJJ dari rumah atau tetap bertahan dengan PTM terbatas?
Sebuah Ironi
Menurut para ahli, sebetulnya virus varian Omicron itu tidak seberbahaya virus sebelumnya, lebih jinak, dan tak lebih dari virus flu biasa. Setidaknya begitu yang disampaikan oleh mantan menteri kesehatan era SBY, Ibu Siti Fadilah. Demikian juga yang disampaikan oleh beberapa pejabat negara. Oleh karena itu barangkali, kita melihat begitu antusiasnya masyarakat baru-baru ini menyelenggarakan pesta tahun Imlek tanpa protokol kesehatan di beberapa tempat. Demikian halnya, banyak pejabat yang menyelengarakan kegiatan yang mengundang kerumunan di beberapa daerah dengan alasan antusiame masyarakat tidak dapat dibendung.
Berbarengan dengan itu, kasus omicron semakin meningkat dan pemerintah memberikan pernyataan bahwa kita masuk pada level bahaya penyebaran omicron. Maka munculah pernyataan orang dengan usia 60 tahun ke atas jangan keluar rumah. Lebih tragis lagi, Menteri Agama mengeluarkan edaran agar yang beribadah di mesjid menjaga jarak shaf shalat, tidak mengedarkan kotak infak, dan ceramah cukup 15 menit saja.
Sungguh ini sebuat ironi yang membuat masyarakat menjadi bingung harus percaya pada kebijakan yang mana. Apakah mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa Omicron ini biasa-biasa saja, tetapi faktanya banyak yang masuk rumah sakit. Atau kembali kepada kehidupan normal karena faktanya banyak sekali kerumunan yang sengaja dilaksanakan dan tidak mendapat sanksi apapun. Imbasnya, para pemangku pendidikan di sekolah menjadi bingung, apakah harus tetap melanjutkan PTM walaupun terbatas atau kembali belajar dari rumah.
Hemat penulis, sebagai salah seorang yang bergerak di bidang pendidikan, kebijakan tentang PTM ini sebetulnya sudah sangat jelas diatur dalam SKB 4 Menteri tahun 2022, yakni tergantung kondisi daerah termasuk pada level mana dan berapa persen PTM yang bisa dilakukan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘daerah’ di sini juga harus benar-benar sampai tingkat yang lebih kecil seperti kecamatan atau bahkan desa. Artinya, pemerintah daerah perlu memetakan juga daerah-daerah pada tingkat yang lebih spesifik termasuk pada level berapa. Sejauh pemantauan penulis, kasus omicron ini banyak terjadi di perkotaan. Wajar di beberapa kota, ada sekolah yang PTM-nya dihentikan karena muncul kasus omicron di sekolah. Namun, di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan yang dinamika atau mobilitas masyarakatnya tidak teralu tinggi ke perkotaan, kenapa tidak PTM tetap dilaksanakan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Bahkan penulis sendiri melihat sudah banyak sekolah di daerah pelosok yang memang jauh dari perkotaan di wilayah Banten sudah melaksanakan PTM secara penuh (100%) sejak beberapa bulan lalu sebelum muncul varian omicron. Dan, alhamdulillh tidak ada kasus sekolah terpapar virus apapun. Masyarakat pun beraktivitas seperti biasa sudah sejak lama meskipun mereka tetap melaksanakan instruksi untuk divaksin.
Akan tetapi memang, masyarakat jangan sampai lengah. Protokol kesehatan tetap harus dijalankan, terutama di sekolah-sekolah yang menjalankan tatap muka. Daftar periksa harus dipenuhi dengan baik. Misalnya, sarana cuci tangan yang cukup, sabun atau cairan pembuhun kuman, alat pengukur suhu, dan toilet yang bersih dan mencukupi jumlahnya. Bahkan, jika perlu ada barcode Peduli Lindungi untuk tamu-tamu yang datang ke sekolaj. Artinya, sekolah boleh menyelenggarakan pembelajaran tatap muka, tetapi dengan penuh tanggung jawab. Tidak asal melihat bahwa di daerah itu jauh dari kota. Karena sejatinya, ini adalah pendidikan bagi kita bahwa protokol kesehatan itu adalah kebiasaan yang harus dijalankan dalam kehidupan kita sehari-hari di manapun dan kapanpun. Seperti halnya cuci tangan adalah pekerjaan yang harus dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya karena adanya virus corona. Cuci tangan dengan sabun adalah kunci kesehatan. Ini penting untuk dipahamkan kepada anak didik kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.