Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Sebagai Hamba Allah, Sejatinya Kita Tidak Bersikap Seperti Peter Pan

Agama | Tuesday, 08 Feb 2022, 10:23 WIB

Tulisan ini saya awali dengan kisah dongeng di dunia anak-anak, Peter Pan. Alkisah, Peter Pan seorang anak yang ceria. Konon ia tinggal bersama para peri. Dia meninggal ketika masih kanak-kanak, pada saat lucu-lucunya kehidupan. Pada saat meninggal jasadnya dibawa para peri.

Peter Pan yang disayangi para peri tidak pernah menginjak usia remaja apalagi usia dewasa. Anak-anak seusianya sering mengkhayal ingin menjadi Peter Pan yang lincah, lucu, ceria, dan selalu disayang para peri. Mereka selamanya ingin bersikap kekanak-kanakan agar disukai setiap orang.

Setidaknya itulah secuil dongeng yang tertulis dalam buku The Boy Who would Not Grow Up, yang ditulis James Mathew Barrie sekitar tahun 1911 M, seorang penulis asal Skotlandia. Dalam tulisan ini tidak akan diuraikan kisah lengkapnya, namun saya akan mencoba melihatnya dari sisi lain.

Para psikolog mengadopsi sikap Peter Pan yang selamanya bersikap kekanak-kanakan ini dengan istilah Peter Pan Syndrom. Sikap ini tidak melanda kepada anak-anak, namun melanda kepada orang dewasa yang seharusnya bisa bersikap dewasa, namun dalam kenyataannya mereka bersikaf kekanak-kanakan. Sayangnya bukan lucu dan menggemaskan, namun bikin geli dan sering menjengkelkan orang lain.

Berkenaan dengan Peter Pan Syndrom, Berit Brogaard, dosen filsafat di Miami University, Amerika membeberkan beberapa ciri orang yang terkena Peter Pan Syndrom. Ciri-ciri tersebut adalah sering lupa akan usia yang sudah menjelang senja; masih bertingkah seperti anak yang baru gede alias remaja; ingin selalu menjadi pusat perhatian; dan nampak tidak memiliki rasa takut akan akibat dari sikap dan perbuatannya.

Berikutnya, ia ingin hidup selalu senang, tidak siap menderita; kurang tanggungjawab ketika melakukan suatu pekerjaan; bersikap egois; senang menyalahkan orang lain; dan tidak mau mengakui atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sikap lainnya merasa senang berlebihan jika keinginannnya tercapai; dan bersikap putus asa dan marah-marah ketika keinginannya tidak tercapai (https://www.psychologytoday.com ).

Dalam khazanah keilmuan Islam, jauh sebelum James Mathew Barrie menulis cerita fiktif tentang Peter Pan dan Berit Brogaard mengemukakan sikap psikologis Peter Pan Syndrom, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ujaibah al Husna dalam karyanya Iqad al Himam fi Syarh al Hikam Syaikh Ibnu ‘Athaillah, (terbitan tahun 1266 H / 1849 M, hal. 273) mengisahkan seseorang yang bersikap thufuliyyah (kekanak-kanakan). Sikap ini mirip dengan sikap Peter Pan dan Peter Pan Syndrom. Dongeng thufuliyyah ini diambil dari dongeng yang beredar di kalangan orang-orang Kufah.

Tersebutlah di kota Kufah ada seseorang yang senang menghadiri acara hajatan. Ia begitu rajin menghadiri setiap acara hajatan. Diundang atau pun tidak, kenal atau tidak dengan shahibul hajat, ia selalu memaksakan diri menghadiri acara hajatan tersebut. Jangan Tanya rasa malu ketika ia menghadiri acara hajatan, justru ia semakin senang ketika dikomentari atas kehadirannya, meskipun komentarnya bernada sinis dan sindiran.

Sebaliknya, ia akan marah-marah kepada tetangganya yang tidak mengundangnya ketika mengadakan acara hajatan. Demikian pula ketika ia ditolak shahibul hajat atas kehadirannya karena shahibul hajat tak merasa mengundangnya. Ia bisa berhari-hari bersikaf marah-marah dan tidak mau bertegur sapa dengan tetangga yang tidak mengundangnya tersebut.

Ia baru berubah bersikap ramah ketika ia dipuji-puji atas sikapnya, dan kembali ada yang mengundangnya ke acara hajatan. Ironisnya ketika datang ke acara hajatan, bukan makanan yang ia kejar, namun popularitas dan pujian dari shahibul hajat dan orang-orang yang menghadiri acara tersebut.

Sikap Peter Pan, Peter Pan Syndrom, atau Thufuliyyah bisa jadi sering hinggap pada diri kita, baik dalam kehidupan sosial maupun spiritual. Dalam dunia teknologi komunikasi yang canggih seperti sekarang ini, bisa jadi sikap-sikap tersebut sering hinggap pada diri setiap netizen yang aktif di dunia media sosial.

Jika seseorang merasa senang berlebihan; merasa memiliki segalanya ketika mendapatkan like dan comment yang berisi puja-puji atas suatu posting-an seraya merasa sedih, putus asa, dan merasa tak dihargai, marah-marah ketika mendapatkan dislike dan comment yang mencacinya, bisa jadi ia tengah terkena sikap Peter Pan, Peter Pan Syndrom, atau Thufuliyyah.

Dalam hal spiritual atau ibadah sikap-sikap tersebut bisa juga hinggap pada diri setiap hamba Allah. Ria, ingin dipuji merupakan bagian daari sikap Peter Pan atau Thufuliyyah. Dalam kitab karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ujaibah al Husna tersebut setidakmya disebutkan tiga kriteria hamba Allah yang terkena sikap Peter Pan atau Thufuliyyah.

Pertama, merasa senang berlebihan ketika mendapat kesuksesan seraya lupa bersyukur atas kesuksesan yang diraihnya. Lebih dari itu, dibalik rasa senangnya ia bersikap sombong seolah-olah kesuksesan yang diraihnya itu merupakan hasil jerih payahnya sendiri tanpa campur tangan orang lain, bahkan ia pun melupakan Allah yang mengatur kehidupannya.

Sikap senang yang berlebihan dan sikap sombongnya tersebut melenakan dirinya sampai ia larut dalam kebahagiaan dan melupakan ibadah sebagai kewajiban seorang hamba kepada Khaliq.

“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong...” (Q. S. Al Isra : 83).

Kedua, sering bersikap putus asa dan berburuk sangka kepada Allah tatkala doa-doanya belum terkabulkan. Hatinya diliputi kata-kata “protes” kepada Allah.

“Ya Allah, aku sudah melaksanakan shalat tahajud, shalat dhuha, shalat taubat, zikir, tadarus, berinfaq, dan bersedekah, mengapa belum juga Kau kabulkan permintaanku? Sementara orang lain yang ibadahnya malas, bahkan tak pernah melaksanakan kewajiban ibadah kepada-Mu, kehidupan mereka selalu Kau sukseskan.”

Ia tidak mau menyalahkan dirinya dan tak mau menelisik kualitas niat dan tata cara pelaksanaan ibadah yang ia lakukan. Ia pun tak mau meneliti kualitas akhlaknya, baik akhlak kepada Allah maupun akhlak kepada sesama manusia. Ia merasa akhlaknya sudah baik, padahal di hatinya sarat dengan sikap berburuk sangka kepada Allah dan kepada sesama manusia.

Orang yang dihinggapi sikap Peter Pan atau Thufuliyyah akan berhenti beribadah ketika permohonan keinginannya tidak dikabulkan. Persis seperti seorang anak yang membangkang terhadap nasihat orang tuanya karena kemauannya tak mereka kabulkan. “ dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.” (Q. S. Al Isra : 83).”

Ketiga, sering tidak menyadari bahwa kedudukan dirinya hanyalah seorang hamba Allah. Layaknya seorang hamba, ia harus setia kepada yang memilikinya. Dalam hal ini seorang hamba Allah harus setia, tunduk dan patuh akan perintah Allah. Tugasnya hanya satu, yakni beribadah kepada-Nya.

Seorang hamba tak selayaknya membangkang kepada majikannya. Seorang hamba Allah sangat tidak layak manakala ia membangkang terhadap ketetapan Allah. Apapun yang menimpa dirinya harus dipahami sebagai ketetapan dari Pemilik dirinya yang harus diterima dengan penuh kesadaran dan keridaan seraya meyakinkan bahwa apapun yang menimpanya merupakan bagian dari kasih sayang-Nya.

Mari kita menafakuri diri kita dalam menjalani kehidupan sebagai hamba Allah. Apakah kita lebih sering senang berlebihan ketika mendapat kesuksesan seraya melupakan bersyukur dan beribadah kepada-Nya? Apakah kita senang dipuja-puji manusia secara berlebihan ketika kita mendapat kesuksesan atau ketika melaksanakan ibadah atau suatu kebaikan?

Apakah kita sering merasa berputus asa, berburuk sangka kepada Allah manakala permohonan kita belum dikabulkan-Nya? Apakah kita merasa putus asa, merasa tidak dihargai tatkala amal, perbuatan atau karya baik kita tak ada yang menyebut-nyebut, tak ada yang memuja-memuji, dan kita mejadi malas untuk melakukan amal atau karya berikutnya?

Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya “ya”, bisa jadi kita sering terkena sikap Peter Pan, Peter Pan Syndrom, atau Thufuliyyah. Langkah terbaik yang harus kita lakukan adalah kita harus segera merubah sikap tersebut.

Sebagai hamba Allah, kita tak selayaknya bersikap seperti itu. Sejatinya sebagai hamba Allah kita manut saja terhadap perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, tidak ada tawar menawar, tidak berburuk sangka, dan berupaya menjauhi sikap jelek seperti Peter Pan, Peter Pan Syndrom, atau Thufuliyyah.

Ilustrasi : Peter Pan Syndrom, orang dewasa bersikap kekanak-kanakan (sumber gambar : www. hellosehat.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image