Gadis dalam Mimpi
Sastra | 2022-02-07 09:26:49Sudarwaji ingat betul sosok itu. Kulit putih, rambut pendek, dan senyum manis yang merekah bagai bunga di musim semi. Ialah gadis yang hadir di mimpi Sudarwaji. Pada mimpi yang pertama gadis itu nampak sedang menulis di papan tulis. Ia melempar pandang ke Sudarwaji yang duduk di sebuah bangku seraya berkata berkata “carilah aku, Sudarwaji.” Pada mimpi yang kedua sang gadis duduk di bawah pohon yang terletak di tengah padang rumput luas. Sudarwaji mendekati gadis itu lalu menepuk pundaknya. Sang gadis melempar senyum dan berkata “ketika kita bertemu, berilah aku dua kuncup bunga melati.” Suara gadis itu lirih, selirih desau angin yang berembus membelai tubuh.
Mimpi semacam itu datang berkali-kali. Pada mulanya Sudarwaji tak menggubris. Tetapi lama-lama ia penasaran juga. Siapa gadis itu? Sudarwaji yakin, seyakin saykinnya, tak pernah bertemu dengan gadis itu. Ia juga tak memiliki teman yang berciri fisik seperti dia. Gadis itu benar-benar orang baru, seseorang yang belum pernah ia temui.
Mimpi-mimpi tentang gadis itu hadir tatkala Sudarwaji terlelap di malam hari. Akibat mimpi itu ia kerap terbangun menjelang adzan subuh berkumandang. Seorang kawannya yang menekuni kepercayaan Jawa, Firman, mengatakan bahwa mimpi pada sepertiga malam adalah mimpi yang bermakna.
“Untuk mengetahui makna dalam mimpi, kau harus tahu kapan mimpi itu hadir,” ucap Firman tatkala mereka bertemu di sebuah warung burjo. Warung itu sederhana namun luas. Sambil menyeruput kopi Sudarwaji bertanya pada Firman, “Man, bisakah kau jelaskan padaku tentang makna mimpi?”
“Fyuh,” asap rokok menyembul keluar dari mulut Firman, meliuk-liuk bagai naga yang terbang di awan. “Kau adalah contoh orang Jawa yang ilang jawane,” kata Firman, “begini, kujelaskan. Di dalam ajaran Jawa ada tiga pembagian waktu mimpi.” Raut muka Sudarwaji mendadak serius. “Kujelaskan satu per satu ya. Yang pertama ada titiyoni. Ini adalah waktu ketika seseorang mengalami luyup luyuping aluyup. Terjadi pada pukul 21.00 sampai 24.00. Kau tak akan menemui pertanda jelas pada waktu ini. Jadi jika kau bermimpi pada waktu ini, jangan kau hiraukan.”
Langit mendadak mendung. Kumpulan awan gelap menyembunyikan matahari dari pandangan manusia. Seorang pekerja warung mengantar semangkuk mie rebus pesanan Sudarwaji. Dalam mangkuk itu terdapat mie, telur, sawi, dan sosis. Makanan itu nampak lezat, namun tak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Sudarwaji. Matanya tetap fokus, pendengarannya tetap tajam.
“Yang kedua adalah Gondoyoni,” Firman melanjutkan, “adalah mimpi yang terjadi pada pukul 24.00 sampai 03.00. Pada waktu ini mimpi dipengaruhi oleh emosi. Nah karena dipengaruhi oleh emosi maka mimpi pada waktu ini juga tak memberi petunjuk apa pun.”
“Tapi Man, mimpiku tidak terjadi di kedua waktu itu.”
“Oh ya? Kapan mimpi itu datang?”
“Aku tak yakin betul, tapi yang jelas aku terbangun sebelum subuh.”
“Alamak, itu puspotajem.”
“Apa itu, Man?”
“Puspotajem adalah waktu mimpi antara pukul 03.00 hingga menjelang subuh. Mimpi pada waktu ini dipercaya sebagai suatu pertanda. Puspo artinya jiwa, tajem artinya tajam. Jadi puspotajem adalah waktu ketika jiwamu sedang tajam atau peka.”
Sore tiba, senja segera datang. Warung burjo itu pun mulai ramai. Suara Sudarwaji dan Firman mulai disaingi oleh bising obrolan muda-mudi yang baru datang. Tukang parkir sibuk menata kendaraan dan pekerja warung mulai kerepotan meladeni pesanan.
Sudarwaji memejamkan mata, otaknya sedang memproses informasi yang baru ia terima. Puspotajem. Ya, itulah waktu mimpi itu datang. Mimpi itu pastilah sebuah pertanda. Siapa gadis itu? Apa maksud semua ini? Sudarwaji bangkit dan dengan penuh semangat ia berkata, “Man, terima kasih. Aku harus mencari gadis itu!” Ia pergi meninggalkan Firman, mengabaikan semangkuk mie rebus yang belum sempat ia makan.
***
Sudarwaji dihantui rasa penasaran. Kulit putih, rambut pendek, dan senyum manis yang merekah bagai bunga di musim semi. Gadis dalam mimpi itu, siapa dia? Sudarwaji bertekad mencarinya.
Enam bulan setelah memulai pencarian, Sudarwaji bertemu dengan Indah, seorang perempuan Manado yang merantau ke Yogyakarta. Indah berambut pendek dan memiliki senyum manis. Kulitnya putih seperti oraang Tionghoa. Sudarwaji tak begitu pandai dalam menilai fisik perempuan, tapi ia tahu bahwa Indah adalah perempuan cantik.
Indah gadis baik. Sudarwaji nyaris tak menemukan kekurangan pada gadis itu. Lama-lama dugaan Sudarwaji pun menguat; Indah pastilah gadis yang hadir di mimpinya itu!
Empat bulan setelah mengenal Indah, Sudarwaji memberanikan diri bertanya, “Indah, kaukah gadis yang hadir di mimpiku itu?”
Indah bingung, tak mengerti ke mana pertanyaan itu akan bermuara.
“Aku yakin kau lah orangnya. Lihatlah, akhirnya aku menemukanmu. Ini dua kuncup melati yang kau inginkan.” Sudarwaji memberi dua kuncup melati pada Indah.
Indah tak menggubris, ia justru makin bingung.
“Maaf, Kak. Aku tak paham maksudmu,” jawab Indah.
“Tapi...”
“Kakak kenapa? Kalau ada masalah cerita saja.”
Sudarwaji bungkam, membisu, mematung. Benarkah Indah gadis dalam mimpi itu? Mengapa ia bergeming saat diberi dua kuncup melati? Seketika pertanyaan-pertanyaan itu menggantung bersemayan di benak Sudarwaji.
Indah pergi, minggalkan tanya yang tak sempat terjawab.
Berminggu-minggu telah berlalu dan Indah tak pernah muncul lagi. “Kini terang sudah, Indah bukan lah gadis dalam mimpi itu,” ucap Sudarwaji.
Sudarwaji mulai menyingkirkan Indah dari benaknya. Tak lama setelah itu muncul Dinda, seorang gadis dari Bojonegoro, mahasiswa sastra Indonesia salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Pertemuan dengan Dinda terjadi saat keduanya menghadiri sebuah acara bedah buku. Dinda bertubuh jenjang, tingginya 172 cm, rambutnya pendek dan kulitnya putih. Melihat fisik Dinda yang demikian tanpa basa-basi Sudarwaji langsung menghampiri Dinda dan memperkenalkan diri.
“Hai, aku Sudarwaji.”
“Hai juga, aku Dinda. Salam kenal.”
Sudarwaji tak ingin membuang-buang waktu. Jika Dinda memang gadis dalam mimpinya itu ia pasti akan merespon. Dua kuncup melati, di mana benda itu? Sudarwaji mengambil dua kuncup melati di kantongnya dan dengan tanpa basa-basi menyerahkannya pada Dinda. Melihat itu Dinda nampak bingung.
“Waw, maksudmu apa?”
“Tak usah berpura-pura. Kau pasti gadis di mimpiku itu, kan?”
“Hah?”
“Aku sudah lama mencarimu. Telah kubawakan dua kuncup melati padamu. Ini, terimalah.”
“Maaf, kamu sehat?”
“Jangan pura-pura. Ini, terima lah!”
“Oalah, wong edan!” dengan wajah masam Dinda pergi.
Sudarwaji diam. Tatapannya kosong.
Musim kemarau telah digantikan musim hujan. Rumput dan jamur mulai bermunculan. Di kota besar Yogyakarta, musim hujan adalah sendu yang ditunggu-tunggu sebagian orang. Mereka datang untuk menikmati keindahan museum Ulen Sentalu atau Taman Sari atau sekadar berjalan-jalan di tengah keramaian jalan Malioboro.
Di kota wisata ini Sudarwaji termangu, tergerus pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Siapa gadis yang hadir di mimpinya itu? Di tengah keramaian kota ia berjalan sambil membawa dua kuncup melati. Mencari seorang gadis belum pernah ia temui.
Semarang, 6 Februari 2022
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.