Hakikat Zakat dan Wakaf
Bisnis | 2022-02-05 10:16:08Hakikat Zakat dan Wakaf
Oleh :
Muhammad Fatchul Anas, Nadiah Fauziyah Imtinan, Moh. Yusron, Suci Dwi Firdayanti
Prodi Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Abstrak
Integrasi zakat dan wakaf di Indonesia sangat penting diupayakan untuk pertumbuhan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan kekayaan maupun kualitas pelayanan pengembangan distribusi zakat wajib, termasuk pemanfaatannya, dapat menunjukkan trend yang terus menerus meningkat secara progresif. Dengan pertumbuhan zakat dan wakaf di Indonesia yang sangat signifikan, sehingga dapat dijadikan sebagai alat walfare ekonomi dan sosial bagi umat bserta kedudukannya. Zakat dan wakaf bilamana diintegrasikan dalam suatu konsep dan aturan hukum yang jelas, akan dapat memajukan perekonomian Indonesia.`
Kata kunci : Zakat, wakaf, Integrasi
A. PENDAHULUAN
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, potensi dan pemanfaatan zakat dan wakaf merupakan instrumen inklusi keuangan islam atau biasa disebut dengan keuangan syariah di Indonesia yang memiliki prospek cerah. Keuangan syariah memiliki potensi yang sangat besar untuk memberikan kontribusi pada perekonomian melalui dua aspek utama, yang pertama yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan inklusif, kemudian stabilitas perekonomian dan keuangan yang lebih baik. Di samping sektor keuangan komersial syariah. Sektor keuangan sosial syariah seperti zakat, infaq, dan wakaf (ZISWAF) memiliki potensi yang juga besar dalam membantu mewujdukan distribusi pendapatan dan kekayaan serta mengatasi ketimpangan di masyarakat.
Data pusat kajian strategis Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menunjukkan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 217 triliun per tahun. Namun, saat ini yang terkumpul baru sekitar 0,2% atau Rp 6 triliun pertahun. Begitu pula halnya dengan wakaf, berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI), hingga maret 2016 luas tanah wakaf mencapai 4,36 miliar meter persegi tersebar di 435.768 lokasi. Tanah tersebut dapat dikembangkan secara lebih produktif. Selain itu, terdapat potensi wakaf uang berkisar Rp 2-3 triliun pertahun.
Industri keuangan syariah adalah identik dengan sektor komersial, seperti industri perbankan, industri pasar modal dan industri keuangan syariah lainnya. Sedangkan zakat dan wakaf merupakan sektor sosial. Karena itu, penulis disini mengetengahkan signifikan zakat dan wakaf sebagai instrumen inklusi keuangan dan sektor sosial keuangan syariah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Hakikat integrasi zakat dan wakaf ?
2. Implementasi integrasi zakat dan wakaf untuk sector discal di Indonesia
3. Implementasi integrasi zakat dan wakaf untuk sector komersial
4. Implementasi integrasi zakat dan wakaf oleh LAZ
C. PENGERTIAN ZAKAT DAN WAKAF
Zakat adalah salah satu rukun islam yang unik. Zakat memiliki dua dimensi sekaligus, yakini, dimensi ilahiyah dan dimensi insaniyah yang tidak dimiliki oleh rukun islam yang lainnya. Hal tersebut yang membuat zakat bisa dipandang dari dua sudut antara ketuhanan dan kemanusiaan. Secara esensi, zakat dapat berpotensi mengurangi kemiskinan, menciptakan pemerataan, menimbulkan tatanan yang berkeadilan social. Akan tetapi, selama ini zakat dimaknai sebagai ibadah kepada tuhan dan sering melupakan ibadah kepada sesama manusia. Salah satu penghambat yaitu kurangnya profesionalitas dalam mengelola zakat, baik dari sudut pandang umat islam maupun pemerintah. [1]
Pemerintah berusaha merumuskan kebijakan kebijakan yang strategis diambil dari konsep konsep kesejahteraan Negara Indonesia. Konsep konsep tersebut tidak hanya merujuk pada contoh keberhasilan Negara-negara yang perekonomiannya baik akan tetapi juga mulai merujuk pada konsep dan paradigm kesejahteraan umat sesuai dengan islam. Dalam islam terdapat pondasi penguatan kesejahteraan umat sepeti zakat, infaq, shodaqoh, wakaf. Rentetan sejarah panjang tentang peradapan khalifah khalifah islam telah sedikit menumbuhkan semangat muslim Indonesia saat ini yang terbelit banyak masalah ekonomi.
Dalam istilah syara’ secara umum wakaf merupakan sejenis pemberian dengan pelaksanaannya menggunkan cara menahan kemudian menjadikan manfaatnya berlaku secara umum. Yang dimaksud kepemilikan merupakan menahan barang yang diwakafkan agar dapat diwariskan, dijual, dihibahkan, didagangkan, digadaikan, maupun disewakan. Sedangkan cara pemanfaatannya menggunakan sesuai dengan kehendak sang pemberi wakaf tanpa imbalan.
Wakaf di Indonesia saat ini dalam sebuah organisasi islam merupakan asset yang harus dikelola secara terperinci. Penggunaan serta manajemen wakaf saat ini kebanyakan adalah tertutup, dikarenakan akses untuk melaksanakan transparansi informasi yang ada belum tersedia pada organisasi organisasi masayarakat. Adanya system informasi wakaf yang dimiliki pemerintah bisa membantu memberikan informasi kepada khalayak umum seperti nazhir, wakif, dan masyarakat untuk mengetahui status dan besaran asset wakaf pada suatu daerah. [2]
D. Implementasi Integrasi Zakat Dan Wakaf Untuk Sector Discal di Indonesia
Kebijakan fiskal atau yang sering disebut sebagai “politik fiskal” (fiscal policy) bisa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Anggaran belanja negara terdiri dari penerimaan dan pengeluaran. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Adapun dalam Islam kebijakan fiskal dan anggaran ini bertujuan untuk
Optimalisasi Pengelolaan Zakat: Implementasi dan Implikasinya dalam Perekonomian mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Upaya pengintegrasian zakat ke dalam kebijakan fiskal negara adalah dengan melakukan rekonstruksi sejarah terhadap pelaksanaan zakat pada masa awal Islam. Pada masa awal Islam, zakat merupakan ’pungutan’ wajib yang ditarik dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara pada waktu itu. Dalam perkembangannya, zakat mengalami kestatisan karena terlanjur dibakukan sehingga tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan perekonomian umat. Akibatnya, untuk pembiayaan kebutuhan negara ditariklah pajak dari masyarakat karena bersifat dinamis dan dapat diatur pelembagaannya oleh pemerintah sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi yang telah disusun pemerintah. Pengembalian zakat ke khittah awalnya ini dapat dilakukan dengan keberanian merumuskan kembali konsep zakat dalam Islam [3]
Dengan terintegrasinya zakat ke dalam kebijakan fiskal tersebut, maka pemerintah dapat menetapkan kebijakan fiskal yang sama-sama menguntungkan, baik bagi umat Islam maupun bagi negara. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan pergeseran berbagai ketentuan dalam hukum zakat tradisional. Pengaruh kebijakan fiskal modern terhadap hukum zakat terjadi pada subyek dan obyek, tarif dan sasaran pendistribusian zakat. Subyek zakat dalam kebijakan fiskal juga termasuk badan hukum di samping perorangan. Sedangkan pengaruh kebijakan fiskal terhadap obyek zakat adalah bahwa jenis kekayaan yang dikeluarkan zakatnya tidak terbatas pada jenis-jenis harta yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW saja, tetapi juga meliputi berbagai jenis kekayaan lainnya menurut kebijakan pemerintah. Pengaruh kebijakan fiskal lainnya adalah dalam hal tarif atau prosentase (rasio) dan nisab zakat menjadi tidak tetap (baku). Tarif yang ditetapkan mungkin saja berupa tarif proporsional, tarif agresif, dan tarif progresif sesuai dengan kebijakan fiskal yang akan dicapai oleh pemerintah. Sedangkan pengaruh terhadap sasaran pendistribusian zakat adalah perluasan makna asnaf delapan yang telah ditetapkan dalam al-quran. Perluasan makna tersebut bertujuan untuk terpenuhinya pengeluaran pemerintah dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. Selain itu, zakat juga berperan sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan dan kekayaan. Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik yang dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan yang ada dalam Islam. Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya dan bukan output dari distribusi tersebut [4]
Integrasi Zakat
Besar penataan pengelolaan zakat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dan menjiwai keseluruhan pasalnya adalah pengelolaan yang terintegrasi. Kata “terintegrasi” menjadi asas yang melandasi kegiatan pengelolaan zakat di negara kita, baik dilakukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di semua tingkatan maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mendapat legalitas sesuai ketentuan perundang-undangan.
Integrasi dalam pengertian undang-undang berbeda dengan sentralisasi. Menurut ketentuan undang-undang, zakat yang terkumpul disalurkan berdasarkan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Melalui integrasi pengelolaan zakat, dipastikan potensi dan realisasi pengumpulan zakat dari seluruh daerah serta manfaat zakat untuk pengentasan kemiskinan akan lebih terukur berdasarkan data dan terpantau dari sisi kinerja lembaga pengelolanya. Secara keseluruhan pasal-pasal dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang sedang disiapkan, memberi ruang dan jaminan bagi terwujudnya pengelolaan zakat yang amanah, profesional, transparan, akuntabel dan partisipatif. [5]
Integrasi pengelolaan zakat menempatkan BAZNAS sebagai koordinator. Peran koordinator merupakan satu kesenyawaan dengan integrasi. Pengkoordinasian yang dilakukan BAZNAS inilah yang ke depan akan mengawal jalannya proses integrasi dan sinergi dari sisi manajemen maupun dari sisi kesesuaian syariah. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 6 dan 7 Undang-Undang No 23 Tahun 2011 sebagai dasar hukum yang memberikan ruang terbuka kepada BAZNAS untuk menjalankan fungsi koordinasi. Ketika LAZ menjadi bagian dari sistem yang dikoordinasikan BAZNAS, maka posisinya secara hukum menjadi kuat, sehingga prinsip dan tuntunan syariah dalam Al Quran (QS At Taubah 9 : 103 dan 60) dapat terpenuhi.
Para pengelola zakat perlu memahami lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang akan dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang, sejatinya bertujuan untuk menata pengelolaan zakat yang lebih baik. Penataan sebagaimana dimaksud tidak terlepas dari kepentingan untuk menjadikan amil zakat lebih profesional, memiliki legalitas secara yuridis formal dan mengikuti sistem pertanggungjawaban kepada pemerintah dan masyarakat. Tugas dan tanggung jawab sebagai amil zakat tidak bisa dilepaskan dari prinsip syariah yang mengaitkan zakat dengan kewenangan pemerintah (ulil amri) untuk mengangkat amil zakat. [6]
Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 hadir untuk menata perkembangan perzakatan di negara kita. Namun perlu diperhatikan bahwa perubahan BAZDA menjadi BAZNAS dan BAZDA Kecamatan menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat), memerlukan langkah adaptasi cukup mendasar pada organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh Pemerintah. Di sisi lain LAZ juga harus melakukan penyesuaian berkaitan dengan persyaratan lembaga, perizinan, dan sebagainya. [7]
Dalam kaitan inilah upaya merapikan barisan para amil zakat perlu dilakukan secara berkesinambungan. BAZNAS dan LAZ harus bersinergi dalam satu tujuan besar, yaitu mengoptimalkan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan bangsa.
Oleh karena itu peningkatan kinerja, pembenahan alur pelaporan dan pertanggung- jawaban BAZNAS dan LAZ harus menjadi perhatian kita bersama, seiring perubahan regulasi menuju pengelolaan zakat terintegrasi. Selaras dengan langkah di atas reposisi BAZNAS sebagai koordinator dan pusat pelaporan pengelolaan zakat di Indonesia seyogyanya disambut dengan pandangan positif. Bukankah kita semua menyadari, upaya merapikan barisan amil zakat merupakan satu keniscayaan. Untuk itu berbagai kendala psikologis, sosiologis, dan kepentingan untuk membesarkan lembaga masing-masing harus ditempatkan di bawah kepentingan yang lebih besar. Masa depan yang seharusnya dipikirkan, diperjuangkan dan dibangun ialah masa depan perzakatan secara keseluruhan. Wallahu a’lam bisshawab.
Integrasi Wakaf
Memperbaiki masyarakat melalui perbaikan apa yang mereka makan ini sesuai dengan perintah kepada para Rasul “Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang thoyyibaat, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 23:51). Sebagaimana rusaknya makanan melalui dua jalur yaitu zat dan cara perolehannya, maka perbaikannya juga melalui dua jalur – yaitu memperbaiki zat makanan dan memperbaiki cara-cara perolehannya.
Indonesia Beberapa tahun ini wakaf yang massif dikembangkan dalam hal untuk membangun perekonomian bangsa adalah wakaf uang. Wakaf uang secara ringkas dapat dikatakan sebagai harta yang diwakafkan dalam bentuk uang. Wakaf uang sendiri memiliki banyak manfaat dalam penggunaannya. Wakaf uang sendiri merupakan gebrakan terbaru dalam hal perwakafan khususnya di Indonesia dan mampu mengambil peranan penting dalam merancang program-program pemberdayaan masyarakat (M. N. R. Al Arif, 2010). Salah satu bentuk pelaksanaan dari wakaf uang adalah dalam bentuk investasi dimana, jika investasi menggunakan dana wakaf, hasil profit bersih invetasi itu akan dibagikan 90 persen untuk mauquf ‘alaih dan 10 persen untuk Signifikansi Wakaf dalam Keuangan Negara: Tinjauan Ekonomi Klasik dan Kontemporer nazhir. Wakif dapat menentukan penggunaan harta wakaf. Seperti untuk pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sosial. Untuk pendidikan contohnya seperti pembangunan sekolah gratis, bantuan biaya pendidikan, bantuan kebutuhan sekolah dan tunjangan guru. Dalam hal ekonomi contohnya dapat seperti pemberian bantuan modal usaha untuk UMKM serta program pendampingan seperti pelatihan dan pemasaran produknya. Selanjutnya bisa juga dilakukan dalam bentuk lainnya seperti layanan kesehatan, bantuan ibu hamil, bantuan melahirkan dan pengobatan gratis bagi masyarakat kurang mampu. Sedangkan untuk sosial dapat berupa pelatihan kerja untuk pengangguran, santunan anak yatim dan anak jalanan. Salah satu bentuk bantuan modal usaha kepada UMKM dapat digunakan untuk meningkatkan daya produksi. [8]
Sehingga perekonomian akan meningkat. Peningkatkan penerimaan negara akan meningkatkan dana pembangunan dan akan kembali akan berpengaruh dalam peningkatan pendapatan wakif. Sedangkan bantuan selain ekonomi dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang menerima bantuan dari dana wakaf sehingga hal ini akan berdampak pada meningkatnya konsumsi masyarakat. Jika tingkat konsumsi meningkat, tentu akan berdampak secara langsung terhadap perkonomian itu sendiri.
E. Implementasi Integrasi Zakat Dan Wakaf Untuk Sector Komersial
Sistem keuangan Islam meliputi sektor komersial dan sektor sosial. Sektor komersial diperankan oleh perbankan syariah, pembiayaan rakyat syariah (BPRS), pasar modal syariah, asuransi syariah, dan industri keuangan non bank lainnya. Sedangkan sektor sosial diperankan oleh dana sosial keagamaan, terutama zakat dan wakaf. Pemanfaatan dana zakat dan aset wakaf untuk pembangunan infrastruktur sosial berkontribusi mengurangi ketimpangan, kemiskinan serta mempertinggi kualitas hidup manusia dan menjaga harkat martabat kemanusiaan.
Dalam penanggulangan ketimpangan dan kemiskinan tidak hanya dibutuhkan kerja bersama, kerja profesional, tapi juga kerja jujur dan kerja konsisten dengan nasionalisme yang tinggi, yaitu apa yang diucapkan tidak berbeda dengan yang dikerjakan. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk membangun generasi bangsa di seluruh wilayah tanah air, dan tidak hanya membangun proyek-proyek infrastruktur ekonomi dan gedung kantor yang tidak bernyawa. Namun, pemerintah juga menjanjikan untuk mengatasi ketimpangan di tanah air. Namun, untuk mengatasinya, dibutuhkan peran serta semua pihak. Pemerintah tidak bisa mengurangi ketimpangan sendiri, tapi perlu partisipasi dari nonpemerintah. [9]
Ketimpangan dan kemiskinan harus ditanggulangi dengan multiple approach, terutama regulasi, kebijakan, peran institusi serta strategi program. Dalam Outlook Zakat Indonesia 2017 diungkapkan bahwa zakat merupakan salah satu sektor penting dalam filantropi Islam. Sebagai rukun Islam ketiga, zakat wajib dibayarkan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat (muzakki) untuk menyucikan hartanya dengan cara menyalurkan zakatnya kepada mustahik (penerima zakat). Zakat ini tidak hanya berfungsi untuk menolong perekonomian mustahik, tetapi juga dapat menjadi instrumen penyeimbang dalam sektor ekonomi nasional. Dalam jangka panjang, tujuan utama zakat adalah mentransformasi para mustahik menjadi muzakki. Hal itu menunjukkan bahwa zakat berpotensi untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan di suatu Negara.
Zakat yang dihimpun oleh badan/lembaga akan meningkat seiring dengan literasi zakat dan kesadaran beragama yang semakin baik. Sementara dari sisi penyaluran, dibutuhkan kemampuan dalam mengembangkan konsep penanggulangan kemiskinan dan merealisasikannya di tataran praksis. Sejauh ini pemanfaatan dana zakat telah memberi kontribusi sebagai sumber dana pembangunan infrastruktur sosial. Infrastruktur sosial yang dimaksud adalah rumah ibadah (masjid, mushalla), sarana kesehatan, dan sarana pendidikan. Ketersediaan infrastruktur sosial harus senantiasa menjadi perhatian para pegiat filantropi karena terkait dengan ketahanan hidup manusia dan pembebasan masyarakat dari faktor penyebab kemiskinan. Hal itu sejalan dengan kerangka konseptual zakat yang harus digunakan untuk meningkatkan taraf hidup fakir miskin.
Dalam Wakaf Indonesia memiliki aset wakaf yang besar dan tersebar di seluruh tanah air. Sebagian besar tanah wakaf belum dimanfaatkan untuk kegiatan produktif yang memberi nilai tambah kepada umat. Umat muslim Indonesia sudah harus memikirkan funding alternatif di luar bantuan pemerintah untuk sertifikasi tanah wakaf. Kemampuan nazhir dalam menjaga, mengamankan, menambah, dan memproduktif aset-aset wakaf perlu semakin ditingkatkan. Pada prinsipnya semua aset wakaf sesuai ketentuan syariah harus terjaga keabadiannya. Aset wakaf mesti di investasikan ke dalam sektor yang produktif atau sektor komersial. Laba yang di dapat dibagihasilkan dengan nazhir apabila pengelola aset ialah pihak eksternal dan manfaat yang didapatkan selanjutnya disalurkan kepada mauquf ‘alaih, artinya kembali kepada masyarakat dan kemaslahatan umat.
Prospek zakat dan wakaf serta inovasi pemanfaatannya akan terus mengalami kemajuan kendati tantangan yang dihadapi juga cukup kompleks. Perhatian dan dukungan yang diberikan pemerintah terhadap sektor keuangan syariah ini perlu terus ditingkatkan dan diperluas. sektor zakat dan wakaf telah banyak berperan dan berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur sosial yang mempertinggi kualitas hidup manusia dan kemanusiaan. Seorang ahli ekonomi syariah asal Turki, Prof. Murat Cizakca, dalam tulisannya Waqf in History and Its Implications for Modern Islamic Economics, seperti dikutip Raditya Sukmana (2017) bahwa apabila wakaf dioptimalkan, pemerintah tidak perlu melakukan pinjaman luar negeri yang umumnya berbasis riba. Dalam konteks Indonesia, apabila sektor wakaf ini dijalankan, beban APBN akan bisa terkurangi. [10]
F. Implementasi Integrasi Zakat Dan Wakaf Oleh LAZ
Permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam Indonesia adalah kontradiksi antara jumlah Umat Islam dan keadaan ekonomi umat Islam. Di satu sisi ada kelompok yang telah berkecukupan secara ekonomi atau disebut kelompok pembayar zakat (muzakki), di sisi lain ada kelompok yang masih berkekurangan secara ekonomi yang disebut sebagai kelompok penerima zakat (mustahik). Kelompok yang menjadi mustahik jauh lebih banyak jumlahnya dari yang muzakki, ironisnya kecenderungan tersebut maik hari bukan makin berkurang jumlah mustahiknya, namun ada kecenderungan makin bertambah.
Dalam pembagian / pendistribusian zakat kepada golongan yang berhak, terdapat perbedaan diantara ulama fiqih. Satu kelompok berpendapat bahwa seluruh golongan dari delapan golongan mustahik harus mendapatkan bagian dari dana zakat, sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa dana zakat dapat diberikan kepada salah satu atau sebagian golongan dari delapan golongan mustahik.
Organisasi pengelolaan zakat ini terbagi dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat daerah yakni Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah, di tingkat nasional BAZNAS, di tingkat daerah BAZDA yaitu untuk tingkat propinsi maupun kabupaten/ kota. Sedangkan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat atau organisasi masyarakat bentuknya adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pengelolaan zakat melalui lembaga amil zakat, menurut Didin (2002), didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahiq apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari para muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektifitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada di suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami. Asas operasional dan pelaksanaan zakat seperti dikemukakan di atas tidak mengabaikan sifat dan kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah mahdhah yang harus dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allâh SWT. [11]
Hal yang sama dapat dilakukan pula untuk wakaf, terutama wakaf uang. Wakaf bagi negara ini, tidak saja untuk biaya pendidikan, dan kesehatan masyarakat, melainkan juga dapat membangkitkan ekonomi masyarakat, karena menurut hemat mereka wakaf dapat dikelola dalam bentuk saham, usaha-usaha produktif, seperti real estate, pertanian, dsbnya, yang dikelola oleh lembaga-lembaga ekonomi yang profesional. Di Indonesia, pemerintah pada dasarnya punya kepentingan dengan pengembangan lembaga wakaf ini, apakah melalui lembaga keuangan syariah atau tidak. Sebab lembaga ini bisa membantu pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan pembangunan ekonomi masyarakat. Walaupun sangat disadari bahwa pemahaman umumnya masyarakat tentang wakaf mempengaruhi terhadap kelambanan terbentuknya lembaga wakaf ini secara konkrit. Dalam pemahaman umat yang telah terpatri bertahun-tahun, wakaf hanyalah berbentuk tanah dan hanya diperuntukkan untuk rumah ibadah atau lembaga-lembaga sosial. [12]
Untuk itu suatu hal yang sangat perlu dan mendesak (urgen) dalam pemahaman yang sama adalah, peningkatan kekuatan ekonomi umat melalui manajemen zakat dan wakaf yang baik akan terjadi, bila dilakukan secara sinergis dan koordinatif antara lembaga yang dimiliki umat. Zakat dan wakaf dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan SDM, seperti pemberian beasiswa bagi para pelajar, santri, dan mahasiswa dalam hal orang tua mereka termasuk dalam kategori mustahiq zakat.
G. KESIMPULAN
Pemanfaatan dana zakat dan wakaf akan semakin berkembang di Indonesia ke depan. Perkembangan yang dimaksud idharapkan tetap berada did alam spektrum penguatan infastruktur sosial menyangkut kesejahteraan rakyat, menopang keberdikarian bangs dan penguatan nilai nilai kemanusiaan. Sektor zakat dan wakaf adalah pemberi kontribusi penting bagi sketor penyangga ekonomi islam. Sejalan dengan harapan, dalam memperkuat sistem keuangan islam atau keuangan syariah, maka kontribusi regulasi, kebijakan, efektifitas kelembagaan serta progam jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang harus lebih dioptimalkan. Untuk itu pemerintah diharapkan terus mengagregasi peran masyarakat secara sinergis dan kolaboratif termasuk potensi filantropi islam zakat dan wakaf.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.