Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Benarkah Perempuan Terlampau Pemaaf?

Gaya Hidup | Monday, 31 Jan 2022, 21:55 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/kdrt-ilustrasi-_150122125159-657.jpg

“Aku sudah nggak tahan sama sifatnya yang kasar, suka main tangan. Ini sudah tamparan ke sekian yang aku dapat dari suamiku selama hidup serumah dengannya. Kalau saja bukan karena anak-anak, mungkin sudah lama aku menggugat cerai. Atau kalau perlu kabur saja”.

Itu cerita seorang teman perempuan, sebut saja Sari, yang telah hampir 10 tahun menikah dan dikaruniai dua anak. Ada jejak memar di pipi kirinya yang putih, cukuplah menggambarkan bagaimana ia rutin mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ini juga sudah curhat ke sekian yang aku dengarkan dari Sari.

Tetapi masalah hidup seringkali serupa siklus. Siapa yang tak mampu mengatasi, apalagi lari dari masalahnya, maka hanya soal waktu bahwa masalah serupa akan datang menghampirinya. Seperti kasus yang dialami Sari, berulang dia menumpahkan rasa sakit, kesal, marah, dan mendendamnya, tetapi selang berapa hari ia dan suaminya kembali melakukan aktivitas rutin seperti biasa. Termasuk, maaf, berhubungan seks minimal sepekan sekali. Kadang aku yang tidak tahan sendiri.

“Kemarin nangis-nangis gak tahan, gak kuat lagi. Eeeh, sekarang sudah mesra lagi. Kamu cinta mati kali yak?”. Begitu aku sesekali menggodanya. Bagi Sari, mungkin dianggap guyon atau ledekan saja. Padahal aku mengucapkan kata demi kata sambil dipikirkan hingga menyisakan pertanyaan yang selalu saja dihadiahi dengan jawaban yang sama.

“Ya gimana lagi ya, ada anak-anak masih kecil, mosok mau tak tinggal sih. Lagian dia juga semalem sudah minta maaf, jadi ya the show must go on kan?”

“Pasti minta maafnya sambil meluk terus “minta jatah” kan?,” timpalku meledeknya.

“Agh, ngerti aja dech hahahaha”. Begitulah Sari menghadapi masalah peliknya yang bahkan sering berulang menimpanya. Tawa di ujung kata-katanya seolah menjadi kabut yang mengaburkan jarak pandang atas masalahnya. Besok, lusa, pekan depan, atau entah kapan, mungkin saja dia akan mendatangiku lagi, mengeja mantra derita yang sama. “Aku sudah ga kuat ngadepin dia”, dan seterusnya.

Kita juga mafhum adanya, apa yang menimpa Sari juga bukan sesuatu yang kasuistik. Ada banyak Sari-Sari lain yang juga memilih menyudahi kekerasan yang dialaminya secara adat: memafkan, meski potensi pengulangan selalu terbuka lebar. Para ahli menyebut kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai fenomena gunung es, Karena yang kita temukan hanyalah puncaknya yang kecil. Faktanya, mungkin banyak kasus sejenis yang tak terdeteksi. Jangankan melapor, sharing ke teman saja kadang tak punya cukup keberanian.

Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, pelakunya seringkali orang-orang terdekat yang notabene semestinya justru melindungi. Bentuk kekerasannya bisa macam-macam; ada kekerasan fisik, kekerasan verbal (hinaan, makian, dibentak-bentak dll), dilecehkan secara seksual, dengan pelaku bisa suami, anggota keluarga, pacar, tetangga.

“Pertanyaannya, kenapa perempuan yag jadi korban ini tidak melapor? Dalam beberapa kasus yang kami dampingi, yang membantu melaporkan malah tetangganya, karena tahu perempuan ini sering mengalami kekerasan dari suaminya. Yang bikin kita gemes, kenapa dia mudah sekali memaafkan pelakunya,” kata seorang aktifis perempuan dengan berapi-api.

Dia bercerita tentang salah satu korban kekerasan yang didampinginya. Seorang istri yang diselingkuhi suaminya, sering dihajar suaminya, sampai lukanya membekas. Tetapi begitu sang suami meminta maaf, tetap saja dimaafkan. Dan kejadian itu pun berulang dan berulang, yang lagi-lagi dipungkasi dengan pemberian maaf. “Kenapa perempuan ini tidak pergi saja, cerai saja. Toh, dia juga yakin betul bahwa potensi kekerasan dari suaminya masih akan tetap terjadi. Kenapa dia memilih bertahan dengan monster?”

Saya tak ingin memberi jawaban, hanya stimulus untuk bahan perenungan bersama. Pertama, ini soal manajemen rasa takut. Seorang istri/perempuan yang sering dipukuli suami/pacarnya, tentu saja mereka takut. Tetapi kenapa mereka memilih bertahan dan tidak lari? Artinya, ada ketakutan yang lebih besar akan menimpanya seandainya perempuan ini memutuskan menyudahi hubungan, entah lari atau cerai. “Ya misalnya soal anak. Dia lebih takut anak-anaknya yang masih kecil itu harus menanggung derita karena keputusannya bercerai dari suami, misalnya. Atau kehilangan hak asuh anak saat bercerai dari suaminya. Betapa banyak istri yang mengurungkan niatnya bercerai karena ngaboti anak kan”

Kedua, kekerasan yang dialami perempuan secara berulang bisa saja membuat mentalnya ambruk. Jangankan melapor ke polisi, mengadu ke orang tua saja mungkin tak cukup keberanian. Dia khawatir, jika suaminya tahu, kekerasan lebih berat akan menimpanya. Atau, dia mungkin ragu, campur tangan orang tuanya mampu mengakhiri perilaku buruk suaminya. Dia tak siap untuk menanggung risiko yang lebih besar.

Ketiga, ini soal kecenderungan perempuan yang gemar digombali. Perempuan tidak cukup dicintai dengan tindakan, tetapi juga ingin cinta lelakinya disampaikan secara verbal. Telinga perempuan rindu dan nyaman diperdengarkan dengan ungkapan-ungkapan yang bagi banyak lelaki justru menggelikan. “I love you, honey. Mis you, beib, dan sejenisnya. Maka seringkali hati perempuan juga mudah ditaklukkan dengan buaian kata-kata romantis, syukur-syukur puitis, meski mungkin keluar dari mulut buaya darat.

“Maka jangan heran kalau perempuan bisa mudah memaafkan, saat suaminya yang ketahuan selingkuh mendadak menangis dan menyampaikan rasa khilafnya sambil meminta maaf”

Soal manajemen takut, ciutnya keberanian, hingga mudahnya perempuan memaafkan, bisa jadi ikut andil melanggengkan rantai kekerasan dalam rumah tangga. Maka tak perlu over espektasi, berharap perempuan akan berani melaporkan perilaku suaminya ke aparat penegak hukum, atau menggugat cerai. Sebab kalau kasusnya seperti ini, maka hal paling penting yang dibutuhkan para perempuan ini adalah didengarkan, ya cukup didengarkan saja dulu segala kisah sakitnya. Karena para korban kekerasan ini juga tidak bisa mengobral cerita ke sembarang orang, termasuk mungkin kita. So, kalau kita punya niat baik membantunya keluar dari rantai kekerasan, pastikan kita adalah orang layak dipercaya untuk mendengarkan keluh kesahnya. Kalau mereka sudah merasa nyaman berbagi cerita ke Anda, maka jalan untuk mengadvokasinya mulai terbuka. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image