Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Setelah Mampu Membaca, Selayaknya Kita Meningkatkan Kemampuan Menulis dan Berhitung

Agama | Thursday, 27 Jan 2022, 06:04 WIB

Jika tujuan dakwah itu untuk merubah perilaku umat, sebenarnya dakwah melalui keteladanan, mendidik dengan memberikan contoh amal/aktivitas (learning by doing) merupakan dakwah yang paling utama. Bukankah ketertarikan tokoh bangsa Quraisy-Makkah terhadap Islam karena mereka melihat perilaku, akhlak yang dilakukan dan diperlihatkan Rasulullah saw? Fakta yang tak terbantahkan, Rasulullah saw sering berdakwah dengan perilaku dan keteladan ketimbang berdakwah dengan kata-kata atau ceramah.

Namun demikian bukan berarti dakwah via ceramah tidak sesuai Sunnah, kita harus merubah paradigma umat tentang aktivitas dakwah. Sampai saat ini, tak sedikit umat Islam yang memaknai dakwah secara sempit, dakwah adalah ceramah. Bukan dakwah jika tidak ada ceramah. Padahal metode dakwah itu beragam dan sangat luas cakrawalanya.

Salah satu metode dakwah lain yang harus terus dikembangkan adalah dakwah via keterampilan menulis. Dakwah melalui menulis merupakan aktivitas dakwah yang selain ikut mencerdaskan umat, juga merupakan upaya mengabadikan khazanah keilmuan Islam sekaligus mewariskannya kepada generasi umat selanjutnya. Meminjam peribahasa Latin, verba volant, scripta manent, kata-kata bisa hilang musnah, sementara tulisan yang tercetak itu permanen.

Betul pada saat ini teknologi komputer semakin canggih, bisa menyimpan data suara dan tulisan, namun demikian kehadirannya takkan bisa menggeser aktivitas menulis. Bukankah data atau file yang disimpan ke dalam program komputer harus melalui aktivitas menulis terlebih dahulu?

Jika kita melihat aktivitas dakwah para ulama salaf (terdahulu), mereka melakukan dakwahnya melalui tiga kegiatan, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Aktivitas ini kemudian pada saat ini kita kenal dengan kegiatan calistung (membaca, menulis, dan berhitung), suatu keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap orang.

Sayangnya setelah seseorang bisa membaca, ia tidak melanjukan ke jenjang keterampilan berikutnya, yakni menulis dan berhitung. Aktivitas menulis dan berhitung dianggap aktivitas selama berada di dunia pendidikan. Padahal aktivitas keseharian kita tak terlepas dari dunia menulis dan berhitung, termasuk dalam dunia dakwah.

Kehadiran media sosial dan berbagai aplikasi komunikasi pada saat ini telah mendorong setiap orang untuk menulis, tingkat paling minimal menuliskan pesan via whatsapp atau email. Ini merupakan modal dasar yang dapat dikembangkan ke dalam dunia menulis yang lebih serius dan terarah.

Dengan kata lain kebiasaan menulis yang sudah biasa dilakukan diarahkan kepada menulis untuk dakwah dan perubahan umat. Sayangnya, ketika orang diajak untuk menulis ke arah yang serius, positif, kreatif, dan bermanfaat, masih banyak kendala yang menghalanginya.

Kehadiran media sosial dan berbagai aplikasi komunikasi selayaknya dijadikan lahan subur untuk melakukan dakwah, menebar, dan menyebarkan kebaikan Islam. Jika kita dapat melakukannya dengan baik, menulisnya berdasarkan keilmuan handal yang telah dipelajari dan dikaji sebelumnya, kemungkinan besar akan lahir ulama dan intelektual handal seperti para ulama terdahulu.

Jika kita merenung sejenak, para ulama salaf yang karyanya kita kenal pada saat ini, mereka berkarya di tengah-tengah berbagai keterbatasan fasilitas. Namun mereka dapat mewariskan karya-karyanya untuk kita pelajari sampai pada saat ini. Kini karya-karya mereka telah diwujudkan dalam berbagai kitab mulai dari yang hanya beberapa halaman sampai beribu-ribu halaman yang kemudian disatukan menjadikan kajian kitab yang jumlahnya berjilid-jilid.

Kitab-kitab sumber ajaran Islam yang dipelajari di pondok pesantren, di madrasah, sampai di perguruan tinggi Islam tak akan bisa terlepas dari penggunaan kitab-kitab karya tulis para ulama terdahulu. Mereka telah mewariskan berbagai khazanah keilmuan Islam kepada para generasi berikutnya.

Dalam khazanah tafsir Alqur’an, kita mengenal kitab-kitab tafsir yang ditulis para ulama pakar Alqur’an, misalnya Tafsir Jalalain (dua Jalal). Tafsir ini ditulis dua orang ulama besar yang namanya sama-sama berawalan Jalal, yakni Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As Suyuthi.

Demikian pula dengan kitab tafsir Alqur’an karya para ulama lainnya. Kita mengenal Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Abbas, Tafsir Dur al Mantsur, Tafsir al Baghawy, Tafsir al Qurthubi, Tafsir ath Thabary, dan lain-lain merupakan buah aktivitas dakwah para ulama yang dituangkan via karya tulis.

Dalam khazanah hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Alqur’an, kita tak bisa lepas dari mempelajari kitab-kitab hadits karya tulis para ulama. Terdapat beberapa kitab hadits yang paling terkenal misalnya Shahih Bukhari karya Imam Bukhari, Shahih Muslim karya Imam Muslim, al Muwathta karya Imam Malik, dan lain sebagainya. Singkatnya, para ulama telah melakukan dakwah abadi melalui karya tulis, mewariskan keilmuan yang dapat kita baca sampai hari ini.

Sementara berhitung merupakan kegiatan pelengkap setelah kita bisa membaca dan menulis. Disebut sebagai kegiatan pelengkap, sebab tidak semua orang yang sudah bisa membaca dan menulis memiliki kemampuan berhitung, atau setidaknya tidak semua orang senang melakukan kegiatan berhitung, terutama kegiatan berhitung yang melibatkan bidang keilmuan tertentu, misalnya ilmu waris dan ilmu falak (astronomi).

Untuk memahami ilmu waris diperlukan keterampilan matematika dasar berupa keterampilan berhitung penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian bilangan pecahan. Sementara untuk memahami ilmu astronomi diperlukan pemahaman matematika tingkat menengah, minimal memahami ilmu hitung aljabar dan trigonometri.

Menguasai keterampilan berhitung, terutama dalam disiplin ilmu waris dan ilmu falak (astronomi) merupakan aktivitas yang dianjurkan Rasulullah saw. Hukum mempelajarinya fardhu kifayah.

“Belajarlah ilmu faraidh (hitung waris) dan ajarkanlah kepada orang lain, sesungguhnya aku ini manusia biasa yang pasti meninggal, dan sesungguhnya ilmu faraidh ini akan diangkat (hilang), setelah itu akan timbul fitnah. Hampir-hampir saja dua orang yang berselisih dalam membagi harta waris tidak dapat menemukan orang yang dapat melerai keduanya” (H. R. al Hakim).

Bagi orang yang memiliki keterampilan menulis, alangkah baiknya jika ia menuangkan segala gagasan tentang Islam melalui tulisan, baik melalui blog, media sosial, atau media lainnya. Lebih baik lagi jika dituangkan dalam bentuk buku, sebab bagaimana pun keberadaan buku yang tercetak lebih abadi, tak akan terkena virus seperti file di komputer.

Sudah terbukti dalam sejarah, kemajuan dakwah umat Islam diperoleh dengan menyebarkan ajaran Islam melalui karya tulis. Perpustakan Islam terbesar Bani Umayah di Andalusia salah satu buktinya.

Kini perpustakaan yang diakui dunia tersebut telah musnah yang diikuti pula dengan melemahnya semangat membaca dan menulis di kalangan umat. Kini tongkat estapet kewajiban meneruskan kedua tradisi tersebut berpindah ke tangan kita, umat Islam pada saat ini. Sudah selayaknya apabila kita berbagi tugas dakwah di kalangan umat. Ada kelompok orang yang berdakwah bil lisan (ceramah) dan ada pula kelompok orang yang berdakwah bil qalam (melalui tulisan).

Salah satu penyakit yang menghinggapi orang-orang yang sudah bisa membaca adalah malas membaca dan tidak menuliskan kembali apa yang telah dibacanya. Padahal, fasilitas kita untuk melakukan kedua aktivitas tersebut jauh lebih banyak dan lengkap jika dibandingkan dengan era para ulama terdahulu. Sayangnya ghirah (semangat) kita terhadap kedua aktivitas ini tidak sebaik semangat para ulama terdahulu. Kita malas belajar, menggali pengetahuan, dan menuliskannya kembali.

Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan, diantara ilmu yang kita pelajari itu ada ilmu yang liar, susah didapat layaknya berburu binatang liar di alam terbuka, jika ilmu itu sudah di dapat, ikatlah ia dengan menuliskannya kembali.

Ilustrasi : Menulis mengabadikan karya (sumber gambar : www.fermignano5stelle.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image