Arogansi dan Kecerdasan Emosi
Gaya Hidup | 2022-01-26 09:35:31Akhir-akhir ini kata arogan semakin sering terdengar dari berita telivisi maupun media online. Teranyar, sikap arogan dipertunjukkan oleh anggota legislatif yang meminta Jaksa Agung untuk memecat seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) hanya karena berbicara bahasa Sunda saat rapat. Hal tersebut langsung dikritisi oleh Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin dan menilai pernyataan anggota Komisi III DPR RI itu terlalu berlebihan. Beliau mengingatkan sebagai anggota DPR sebaiknya berhati-hati dalam berucap dan bersikap. Jangan bertingkah arogan, ingat setiap saat rakyat akan mengawasi dan menilai kita," (Republika.co.id, Selasa 18 Januari 2022). Kritik juga berdatangan dari para tokoh lain dan kelompok masyarakat Sunda.
Bulan lalu juga viral berita penganiayaan terhadap FL, remaja 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA oleh oknum anggota satgas Partai. Beragam kritik pun muncul dari peristiwa tersebut. Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, anak-anak tidak boleh menjadi korban arogansi. Seharusnya, jika pelaku tidak suka terhadap korban, bisa menasehati saja tidak perlu main fisik sampai memukulnya. Psikolog dari Universitas Pancasila, Aully Grashinta menilai anggota satgas PDIP pelaku pemukulan terhadap siswa tidak memiliki kecerdasan emosi. (Republika.co.id, Sabtu 25 Desember 2021)
Sebelumnya lagi, sebuah cuitan di Twitter berisi keluhan orang tua siswa terkait guru yang dinilai otoriter dan arogan viral di media sosial. Dia membuat cuitan tersebut karena merasa kecewa dengan sikap arogan dari guru tersebut dalam menyikapi masukan dari orang tua murid. Sikap arogansi itu dinilai ditunjukkan melalui kata-kata “jangan protes”. Orang tua tersebut dikeluarkan dari grup WhatsApp pembelajaran jarak jauh (PJJ) anaknya lantaran melakukan protes kepada guru yang memberi tugas yang banyak, namun tidak disertai pemberian materi. (Republika.co.id, Sabtu 07 Agustus 2021)
Kemarin lusa saya menonton berita televisi terkait penertiban oleh polisi terhadap rombongan mobil mewah yang konvoi dengan kecepatan dibawah kecepatan minimum pada ruas jalan tol Andara. Anda juga mungkin pernah menyaksikan atau melihat video rombongan moge melintas yang seolah menguasai jalan raya dan kadang dengan kawalan polisi agar mereka diprioritaskan di jalan yang dilalui. Peristiwa-peristiwa tersebut mungkin semakin membuktikan hasil riset yang dilansir oleh beberapa media online bahwa pengemudi mobil mewah cenderung arogan di jalan.
Sebuah video berisi arogansi Satpol PP terhadap pedagang kaki lima (PKL) di Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, beredar di media sosial. Dalam video tersebut, seorang anggota Satpol PP terlihat mencekik seorang pria. (Republika.co.id, Senin 20 September 2021). Saat PPKM level 3 dan 4 viral juga adanya perlakuan arogan oleh oknum satgas atau aparat keamanan dalam menertibkan masyarakat. Para petinggi Polri dan TNI pun mengingatkan agar para anggotanya tidak arogan di lapangan.
Bagaimana ujung dari sikap-sikap arogan dari peristiwa-peristiwa yang ramai diberitakan tersebut? Masyarakat menghujat dan pelakunya ada yang dipolisikan. Bahkan masyarakat bisa bertindak lebih jauh misalnya mengorek aib-aib dari pelaku yang kebetulan tokoh politik. Nama baik tercoreng, reputasi tergerus dan bisa jadi karir pun terhenti. Jika aparat umumnya dicopot jabatan dan dimutasi, namun tetap saja stigma aparat arogan akan terus membenak di masyarakat jika tidak serius mengubah perilaku.
Kecerdasan Emosi
Sebagai bangsa yang aslinya ramah dan berbudi pekerti luhur sudah selayaknya kita bisa berkelakuan bijak dan berucap santun. Lalu bagaimana agar kita tidak ikut-ikutan bersikap arogan. Seperti dikatakan oleh psikolog sebelumnya, orang yang arogan memiliki kecerdasan emosi yang rendah atau bahkan tidak memiliki kecerdasan emosi. Maka penting bagi kita memahami seperti apa kecerdasan emosi dan melatihnya.
Daniel Goleman, seorang psikolog yang mempopulerkan konsep Emotional Intelligence mengatakan kecerdasan emosional adalah kemampuan seperti memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihi batas, mengatur suasana hati agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.
Goleman juga mengemukakan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.
Melatih Kecerdasan Emosi,
Pada alinea sebelumnya disebutkan karakter dari individu dengan kecerdasan emosi yang rendah. Maka untuk melatih kecerdasan emosi kita berusaha mengubah karakter tersebut (yang negatif) serta meluruskan pemahaman terkait konsep diri dan lainnya. Dan tentunya tidak lupa untuk mengambil pelajaran dari kasus-kasus terkait sikap arogan yang viral seperti disebutkan pada beberapa alinea di awal tulisan ini.
Kita bisa mulai dari hal-hal yang paling bisa kita lakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Kita bisa mulai belajar dan memahami konsep diri positif, tidak membiarkan citra diri terlalu tinggi, belajar berempati pada orang lain, menjadi pendengar yang aktif, belajar dan memperkaya kosa kata untuk menyampaikan perasaan. Sangat penting belajar untuk memikirkan akibat dari tindakan dan kata-kata kita, serta menahan atau jangan mudah marah.
Satu lagi hal penting yang perlu kita fahami bersama bahwa jika ada tindakan arogan orang lain yang bisa merugikan kita janganlah main hakim sendiri. Ada lembaga-lembaga otoritas yang berwenang untuk menyelesaikannya baik secara materi maupun non materi. Ini perlu kita sadari bersama agar kehidupan dapat berjalan dengan tertib dan menentramkan. Dan semoga para aparat penegak hukum bisa bertindak bijak dan memberi keadilan pada semua lapisan masyarakat.
Tidak mudah untuk merubah hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan atau karakter kita. Tidak mungkin juga semua hal untuk meningkatkan kecerdasan emosi dapat sekaligus berubah dalam waktu cepat. Semua perlu proses seiring berjalannya waktu. Namun, jika kita memang niat mau berubah menjadi lebih baik tentunya kita akan berusaha. Dan bahagia adalah tujuan akhir dari semua usaha kebaikan kita.
Baiknya kita mulai saja dari satu hal yang bisa kita lakukan untuk berubah. Satu perubahan akan diikuti oleh perubahan lainnya dan seterusnya. Tidak lupa, semua usaha baik ini kita iringi dengan doa agar kita semua dalam bimbingan dan petunjuk Allah, Rabb semesta alam. Semoga saya dan anda semua menjadi lebih baik mulai sekarang dan seterusnya, amiin.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.