Demi Ibadah dan Dakwah Selayaknya Kita Kembali Memasyarakatkan Minat Baca
Agama | 2022-01-26 00:12:46Dalam rentang dua minggu ini, Republika.co.id menurunkan dua berita tentang membaca. Kamis 13 Jan 2022, 12:53 WIB menurunkan berita ajakan Wapres RI, K.H. Ma’ruf Amin untuk kembali meningkatkan minat baca dengan judul berita “Minat Baca Rendah, Wapres: Jangan Jadi Bangsa Tong Kosong Nyaring Bunyinya”.
Isi dari berita tersebut adalah kekhawatiran Wapres RI akan rendahnya minat baca bangsa kita. Berdasarkan data UNESCO, hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang gemar membaca.
Berita yang kedua masih tentang membaca, namun bukan membaca huruf latin, tapi membaca Alqur’an. Republika.co.id, Sabtu 22 Jan 2022, 10:08 WIB menurunkan berita “Waketum DMI Sebut 65 Persen Umat Islam Indonesia Buta Huruf Alquran”.
Isi pokok beritanya menyatakan, Hasil riset yang dilakukan Dewan Masjid Indonesia (DMI), sekitar 65 persen umat Islam Indonesia tidak bisa membaca Alquran. Jika penduduk Muslim Indonesia berjumlah 223 juta jiwa, sekitar 145 juta penduduk buta huruf Alquran.
Dalam era global seperti sekarang ini kedua kemampuan membaca tersebut, yakni membaca Alqur’an dan membaca huruf latin sama pentingnya. Keduanya saling menunjang dalam meningkatkan keterampilan, penguasaan pengetahuan, dan peningkatan nilai-nilai spiritual.
Namun demikian, kalau pun sudah mampu membaca, baik membaca huruf latin maupun membaca Alqur’an, persoalannya adalah mampukah kita secara kontinyu melakukan kegiatan membaca? Mari kita Tanya kepada diri kita masing-masing, jika pada saat ini kita sudah mampu membaca Alqur’an, berapa kali dalam sebulan, enam bulan, atau setahun kita mengkhatamkan Alqur’an?
Jika pada saat ini kita sudah mampu bahkan terampil membaca huruf latin, buku apa saja yang pernah kita baca sampai tamat? Berapa banyak koleksi buku kita? Berapa jumlah buku yang kita baca dalam seminggu atau sebulan? Apakah kita memiliki tabungan khusus untuk membeli buku baru ?
Diakui atau tidak, sampai saat ini banyak dari kalangan kita malas membaca, dan tentu saja malas untuk membeli dan memiliki buku. Tidaklah mengherankan jika Taufik Ismail, sastrawan Indonesia yang sangat populer pernah berujar, “Kita telah menjadi bangsa yang rabun membaca buku dan pada akhirnya lumpuh menulis”.
Kondisi minat baca masyarakat kita sudah sepantasnya menjadi perhatian semua pihak, sebab seperti diyakini kebanyakan bangsa di dunia, kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan minat bacanya. Semakin baik tingkat minat bacanya, pada umumnya semakin maju pula bangsa tersebut.
Masyarakat yang gemar membaca akan dapat mengantarkan bangsanya menjadi bangsa yang maju, sebab masyarakatnya menjadi masyarakat yang cerdas dan kaya ilmu pengetahuan. Selain itu, masyarakat yang gemar membaca akan menjadi masyarakat yang dewasa, dalam arti akan memiliki pola pikir yang luas.
Dengan membaca, seseorang akan bisa memandang setiap permasalahan bukan sebagai beban, namun sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Permasalahan dalam kehidupan tidak akan dipandang hanya dari satu sisi, tetapi dari berbagai sisi secara komprehensif. Orang yang memandang permasalahan hidup dari berbagai sisi secara komprehensif biasanya lebih arif dalam menjalani kehidupan.
Sementara itu, membaca Alqur’an memiliki nilai yang sangat utama, sebab membaca Alqur’an jika ikhlas dalam melaksanakannya akan menjadi penyelamat khidupan di dunia dan akhirat. Orang yang paling baik diantara kita adalah orang yang belajar membaca dan memahami Alqur’an, kemudian setelah ia mampu membaca dan memahaminya, ia mengajarkan kembali kepada orang-orang yang belum bisa membacanya.
Merupakan perbuatan yang sangat mulia apabila kita mengajarkan membaca Alqur’an dan membaca huruf latin kepada mereka yang belum mampu membacanya. Perlu juga kita garis bawahi, melakukan dakwah bukan hanya dengan ceramah yang berapi-api, mengajarkan membaca pun merupakan bagian dari dakwah.
Dalam hal keutamaan mengajarkan membaca dan menulis, Muhammad Syafii Antonio dalam karyanya Muhammad Saw The Super Leader, Super Manager (2007 : 186) mengatakan, ketika usai peperangan Badar, kaum muslimin mendapatkan banyak tawanan perang. Rasulullah saw mempersilakan para tawanan untuk menebus dirinya. Salah satu tebusan yang ditawarkan adalah dengan jasa mengajar membaca dan menulis.
Seorang tawanan perang Badar yang memiliki keterampilan menulis dan membaca bisa bebas dari tawanan apabila ia telah mengajarkan membaca dan menulis kepada 10 orang anak-anak, muslim yang belum bisa membaca dan menulis. Jika orang-orang yang mereka ajari sudah bisa membaca dan menulis, maka tawanan itu menjadi benar-benar bebas.
Dakwah lainnya adalah kita mengajak khalayak untuk gemar membaca Alqur’an dan membaca buku atau sumber bacaan lainnya yang bermanfaat. Tujuannya selain untuk memperluas wawasan juga agar otak kita terlatih memperdalam suatu permasalahan.
Bagi seorang muslim, membaca selayaknya menjadi menu dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah perintah membaca? Dengan demikian, jika niatnya benar, membaca bisa memiliki nilai ibadah.
Dari sisi kesehatan, orang yang senang membaca akan memiliki jiwa yang sehat, diantaranya terhindar dari penyakit pikun alias demensia. Edward Coffey, seorang peneliti dari Henry Ford Health System Amerika Serikat, membuktikan, hanya dengan membaca buku, seseorang akan terhindar dari penyakit demensia alias penyakit pikun. Riset-riset terhadap otak telah menemukan, membaca bermanfaat dalam membantu pertumbuhan dendrit, salah satu komponen sel saraf otak atau neuron.
Membaca kata-kata baru dapat merangsang otak, karena otak suka akan tantangan dan hal-hal baru. Kegiatan membaca adalah kegiatan yang penuh tantangan dan senantiasa membawa seseorang untuk memasuki wilayah baru. Namun demikian, kita harus selektif dalam memilih sumber bacaan, baik buku, koran, maupun majalah. Sumber bacaan yang ”bergizi” bagi otak dan jiwa harus menjadi pilihan utama. Kita harus menghindari bacaan-bacaan yang dapat merusak otak dan hati kita.
Sthepen R. Covey, dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People (1997 : 306) mengatakan, badan kita akan menjadi kurang sehat jika makanan yang kita konsumsi kurang bergizi dan kita sendiri kurang berolah raga. Demikian pula halnya dengan otak dan jiwa kita akan menjadi kurang sehat apabila tak diberi ”makanan” yang bergizi.
Salah satu makanan bagi otak dan jiwa kita adalah membaca. Lebih jauh, ia mengatakan agar otak kita semakin cerdas dan jiwa kita semakin sehat, hindarilah membaca bacaan yang berbau porno, cabul, gossip, serta hindarkan tontonan yang kurang sehat.
Jauh sebelum penelitian Edward Coffey dan Sthepen R. Covey, Syaikh Az Zarnuji (1598 M) dalam karyanya Ta’limul Muta’alim (sebuah buku yang membahas tentang pedagogi, metode dan tata krama belajar-mengajar) menyebutkan, membaca khususnya membaca Alqur’an, merupakan ”gizi” utama bagi otak dan hati. Orang yang membaca Alqur’an dijamin tak akan pikun serta jiwanya akan diliputi dengan ketenangan.
Pada intinya, baik Edward Coffey, Sthepen R. Covey, maupun Syaikh Az Zarnuji ingin menyampaikan bahwa membaca sangat bermanfaat bagi kehidupan dan kesehatan otak dan jiwa. Secara ilmiah sudah terbukti manfaat membaca bagi pengembangan pengetahuan dan kesehatan jiwa.
Sudah saatnya kita ikut serta berupaya mengurangi jumlah penyandang buta huruf, baik buta huruf Alqur’an maupun buta huruf latin. Namun demikian, jika kita sudah mampu membaca keduanya (Alqur’an dan huruf latin) alangkah bijaknya jika kita tak menjadikan diri kita seolah-olah penyandang buta huruf, yakni tidak gemar membaca.
Dalam hal ini, patut kita renungkan pendapat Alvin Toffler, seorang futurolog dalam karyanya Future Shock (1980 : 273), “Mereka yang disebut buta huruf (illiterate) pada saat ini bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis saja, namun mereka yang tidak bisa belajar (learn), menanggalkan pelajaran sebelumnya (un-learn), dan tidak belajar kembali (re-learn).”
Membaca merupakan proses belajar kembali. Karenanya ketika meninggalkannya berarti kita sama saja dengan orang yang buta huruf. Orang yang sudah mampu membaca namun meninggalkan kebiasaan membaca tidaklah lebih baik daripada orang yang tidak dapat membaca.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.