Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Indah Kartika Sari

HARGA KOMODITAS NAIK RUTIN, KENAPA GAGAL ANTISIPASI ?

Agama | 2022-01-24 15:38:36
Oleh Indah Kartika Sari (Freelance Writer)

Akhir tahun 2021 banyak meninggalkan segudang masalah yang belum tuntas. Pandemi yang berlarut-larut, korupsi yang semakin merajalela beserta kesemrawutan tata kelola kemaslahatan umat di berbagai bidang kehidupan. Membuka tahun 2022, rakyat kembali dihadiahi problem klasik yaitu kenaikan harga komoditas.

Harga minyak goreng, cabai hingga telur terus mengalami peningkatan menjelang akhir tahun. Ketiga komoditas bahan pokok ini diperkirakan akan terus merangkak naik hingga akhir Januari 2022 mendatang.

Peneliti Core Indonesia, Dwi Andreas mengatakan saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai di tingkat konsumen telah tembus Rp 100.000 per kilogram. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari Rp 18.000 per kilogram dan harga telur yang mencapai Rp 30.000 per kilogram.

Andreas menjelaskan kenaikan harga cabai ini dipicu fenomena alam la nina yang membuat para petani banyak yang gagal panen. Sementara permintaan di akhir tahun selalu tinggi, sehingga hukum ekonomi berlaku.

Begitu juga dengan harga minyak goreng, kenaikan harga minyak ini terjadi karena meningkatnya permintaan kelapa sawit yang besar dari luar negeri. Ini pun menyebabkan para pelaku usaha memanfaatkan kenaikan harga komoditas untuk meraup keuntungan.

Namun masyarakat diminta untuk tidak terlalu khawatir karena harga-harga pangan tersebut akan kembali turun pada kuartal I-2022.

Dampak kenaikan harga dirasakan banyak pihak, termasuk usaha mikro kecil menengah (UMKM). Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) M Ikhsan Ingratubun mengatakan ongkos produksi jadi lebih mahal sementara harga jual tidak mungkin dinaikkan mengingat daya beli masyarakat saat ini terbilang rendah.

Daya beli yang rendah disebabkan karena pandemi. Banyak yang di-PHK karenanya. Menurut data Kementerian Keuangan, jumlah buruh/karyawan tetap berkurang 5,62 juta. Sebagian dari mereka beralih ke sektor informal. Buktinya, menurut Kemenkeu pula, buruh informal bertambah 4,55 juta orang.

Begitulah kenaikan harga komoditas selalu dianggap siklus yang selalu berulang sehingga harus diterima apa adanya oleh rakyat. Sementara negara selalu berlepas tangan dan gagal mengantisipasi kondisi yang menyengsarakan rakyat ini. Alasannya selalu saja karena kelangkaan barang, faktor iklim serta cuaca saat ini (musim hujan) yang mengakibatkan gagal panen.

Rakyat sudah bosan mendengar alasan tersebut. Berbagai alasan disampaikan tanpa diikuti langkah-langkah kongkret untuk menemukan sumber masalah dan solusinya. Akhirnya masih saja didapati harga komoditas terus melonjak tanpa bisa menghindari karena bagi rakyat yang penting masih bisa makan walaupun harga tinggi

Kacau balau, begitulah kondisi tata kelola pangan negeri ini. Lonjakan harga pangan tentu sangat membuat rakyat menderita karena menambah beban hidup mereka. Belum pulih dari pandemi yang mengharuskan kesehatan meningkat, justru harus menemui kenyataan pahit kekurangan gizi akibat naiknya harga bahan pangan. Lantas kemana lagi rakyat harus berharap ?

Seharusnya pemerintah memperhatikan harga kebutuhan pokok di pasar yang meliputi tingkat permintaan, ketersediaan stok, baik dari produksi domestik juga impor dan kelancaran dalam distribusi hingga ke retail. Jikalau dilakukan operasi pasar namun dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga yakni korporasi, jelas saja yang diuntungkan adalah pihak korporasi.

Nyata sekali bahwa masalah lonjakan harga bersumber dari lemahnya fungsi negara mengatur sektor pangan akibat paradigma sekuler kapitalisme neoliberal. Sistem rusak ini memandulkan peran negara. Pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator, tidak sebagai pengurus urusan rakyat. Sementara korporasi diberikan ruang besar untuk menguasai tata kelola pangan terutama pada ranah produksi sehingga stok pangan dalam kendali korporasi bukan dalam kendali negara.

Adapun Islam merupakan agama yang tidak hanya mengatur urusan ritual. Islam juga memiliki mekanisme bagaimana mengelola pangan dalam sebuah negara yang bernama Khilafah. Berbeda dengan negara kapitalis demokrasi sekuler, Khilafah terbukti mampu mewujudkan jaminan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat. Khilafah memiliki beberapa mekanisme jitu mengantisipasi gejolak harga.

Pertama, menjaga ketersediaan stok pangan agar permintaan dan penawaran menjadi stabil. Khilafah berperan penting dalam mengatur sektor pertanian demi menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal.

Kedua, Khilafah menggunakan teknologi yang mampu memprediksi cuaca serta iklim, melakukan mitigasi bencana alam yang dapat memengaruhi kebutuhan pangan masyarakat.

Ketiga, Khilafah menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar, mengharamkan penimbunan, mengharamkan riba serta praktik tengkulak dan kartel.

Demikianlah penjagaan Islam terhadap kebutuhan pangan seluruh rakyat yang hidup dalam naungan Khilafah. Oleh karena itu kesejahteraan dalam khilafah bukan hal yang utopi. Di balik negara Khilafah yang peduli rakyat, tentu di sana ada rakyat yang sehat dan sejahtera.

Sumber Bacaan :

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4842974/harga-cabai-dan-telur-bakal-terus-naik-hingga-akhir-januari-2022

https://muslimahnews.net/2022/01/07/476/

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image