Budaya Diutamakan, Ganti Ruang Hidup Dipinggirkan
Guru Menulis | 2024-10-10 11:03:05Kolaborasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah memastikan bahwa kebudayaan di PPU diprioritaskan sebagai bagian penting dari proses pembangunan IKN. Melalui kerja sama ini, pemerintah berusaha menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat adat, serta memastikan bahwa kebudayaan lokal tetap menjadi bagian integral dari proses pembangunan di PPU dan IKN. (Kaltimtoday, 9/9/2024) Tidak hanya satu kementerian dalam hal budaya, tapi kolaborasi Kementerian menunjukkan budaya lokal khususnya di PPU diutamakan dalam hal pembangunan di IKN. Namun pengutamaan budaya ini tidak etis mengingat ruang hidup masyarakat alias lahan tidak mendapat perhatian alias terpinggirkan.
Bagaimana tidak sudah kesekian kalinya demonstrasi terjadi, masyarakat lokal menuntut sertifikat hak pakai ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik. Masyarakat juga meminta kepastian kepemilikan lahan warga yang terdampak IKN seperti pembangunan tol yang belum dapat ganti rugi. (Kaltimkece, 19/9/2024) Budaya Maju Seiring Ibukota Menjadikan budaya sebagai bagian dari proses pembangunan adalah hal yang tidak tepat karena proses pembangunan akan berjalan baik jika SDM yang ada berkualitas. Lagian untuk apa budaya diutamakan sementara ruang hidup masyarakat menyangkut kebutuhan primer malah terpinggirkan?
Ruang hidup adalah hak yang seharusnya dijamin oleh negara bukan malah dirampas oleh negara. Seakan mengutamakan warga lokal dengan dipertahankannya budaya. Padahal budaya itu akan terus maju dan berkembang di ibukota jika negara tersebut terdepan dalam peradaban. Selain itu, menjadikan budaya sebagai bagian proses pembangunan adalah bagian moderasi beragama yang terus diaruskan saat ini. Dalam moderasi beragama, budaya lebih dikedepankan bahkan dicampur sehingga kebenaran dalam beragama menjadi “abu-abu”.
Tidak ada kebenaran dalam beragama, pluralisme dan toleransi pun bablas menabrak idealisme. Budaya dalam Islam Budaya atau urf merupakan produk pemikiran. Dalam Islam budaya boleh selama tidak bertentangan dengan agama seperti ada unsur syirik menyekutukan Allah, tidak menganggap benda/ acara mendatangkan kebaikan atau keburukan, tidak melanggar syariat seperti terbukanya aurat, campur baur, taruhan mengundi nasib, dsbnya. Selain itu, budaya hendaknya tidak menyerupai kekhasan budaya lain (Hadlorah). Memang kebiasaan masyarakat bisa menjadi tolak ukur boleh atau tidak, namun tetap dikedepankan syariah Islam.
Oleh karena itu, Islam memang harus dijadikan budaya dalam kehidupan bukan mengislamkan budaya agar bisa terus dilaksanakan padahal dilarang dalam Islam. Ketika Islam datang, salah satu cara yang ditempuh untuk mendakwahkan Islam adalah melalui budaya. Islam tidak anti terhadap budaya selama syariat Islam tetap terdepan dan dijadikan tolak ukur maka silahkan saja dipertahankan. Selain itu, mempelajari budaya jika di dalamnya sebagai ilmu pengetahuan yang boleh dipelajari maka silahkan diajarkan dan dipertahankan.
Namun, jika budaya tersebut sebagai pandangan hidup tertentu maka tidak boleh dipelajari karena bertentangan dengan pandangan Islam. Budaya harus berlandaskan Islam dan hendaknya Islam harus membudidaya agar menjadi kekhasan tersendiri. Bangga menjadi muslim! Itulah yang seharusnya menjadi identitas kita. Dengan Islam dijadikan panduan untuk pemindahan IKN maka perlindungan kepada masyarakat akan terwujud dan budaya Islam akan maju. IKN dalam Islam akan membuat masyarakat maju, terdepan dan unggul dalam kancah dunia. Wallahu’alam...
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.