Pilkada, Bertarungnya Para Machievelli
Politik | 2024-10-08 11:13:06
Oleh: Ahmad Haekal Haffafah
Pilkada, tentu masalahnya tidaklah terletak pada keherenan historis dan kekaguman antropologis, jika potret kekuasaan politik yang dikonstruksikan bukanlah berbasis pada kerangka etis adalah mempelopori gagasan bahwa agama dan moralitas tidak memiliki hubungan mendasar dalam politik. Lewat karya Sang Penguasa (Il Principe) seorang Machiavelli menghadirkan ruang perdebatan politik yang nyaris selalu kontroversial, ia memandang perlu kekuasaan memaksa sehingga ringkas dipahami hal penting dalam politik adalah kelanggengan kekuasaan politik itu sendiri. Anekdot yang mengatakan bahwa politik kotor, penuh kebengisan, menghalalkan segala cara senafas dengan sejarah klasik gagasan II Prince Machiavelli itu.
Kekuasaan bukan soal ketauladanan, politik adalah hal terpisah dengan akhlak dan agama, kecuali akhlak dan agama memiliki manfaat positif bagi kelanggengan kekuasaan dan meluasnya pengaruh politik. Itu kira-kira yang dipikirkan Machiavelli saat memberi masukan kepada Lorenzo di Piero de Medici, Penguasa Firenze pada 1513. Mencermati bagaimana jalannya hubungan penguasa dan rakyat, ia menggaris bawahi bahwa dukungan politik rakyat dengan mempertimbangkan kepentingan publik hal penting, tetapi pada saat yang sama, kekuasaan politik yang memaksa harus berani diambil. Sebuah pendekatan realistis dan pragmatis, dalam II Prince, Machiavelli memberi penjelasan perlukah Penguasa dicintai ataukah ditakuti, ia menyebut “Yang terbaik ialah mendapatkan keduanya, dicintai dan ditakuti. Namun, jika tidak bisa, lebih baik ditakuti daripada dicintai”.
Sentimen negatif terhadap prilaku kepemimpinan baik Kepala Daerah maupun Kepala Negara yang dinilai bermasalah, amoral, minim gagasan, pola-pola praktek kemimpinan yang non demokratis, korup, anti kritik, menggunakan instrumen hukum untuk menkriminalisasi kelompok kritis dan oposisi. Watak tersebut sering dilekatkan dengan tokoh gagasan klasik Machiavelli. Sekalipun debatable, hal itu tak jarang disematkan pada model kepemimpinan yang monopolistik, tiranik dan diktator.
Para Cakada Machiavelli
Potret Perbincangan ini mesti dimulai dengan kerangka regulatif, sebelum tahun 2005 kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun saat berlaku UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih langsung pertama kali diselenggarakan bulan Juni 2005 dan sejak berlakunya Undang-Undang 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu yang kemudian muncul dengan istilah Pemilukada. Penyelenggaran pemilihan umum kembali diatur melalui UU No 15 Tahun 2011, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Tahun 2024 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang akan melaksakan pemilihan pada 27 November mendatang. Sumsel sendiri 17 Kabupaten/Kota dan 1 pemilihan provinisi untuk Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam perbincangan pragmatis, pilkada adalah tak lain soal hiruk piruk pasar politik, kompetesi dan sengketa elit, soal perebutan lapak-lapak politis dan bisnis kekuasaan. Perbincangan selanjutnya adalah tentang sentralisasi anggaran yang dikenal dengan APBD, ia adalah hulu dari segala muara kesejahteraan publik. Sesederhana itu Pilkada adalah tentang voting siapa yang akan menang dalam proses memimpin pengelolaan APBD. Sentralisasi pajak-pajak rakyat dalam gelondongan yang disebut APBD itu adalah sumber polemik karena melahirkan banyak fasilitas dan kesejahteraan elit, bahkan mungkin adalah sumber utama basis terbentuknya kekayaan elit, ya hipotesa itu bisa dimunculkan bahwa Pilkada is bisnis, pilkada adalah pasar perebutan legitimasi sumber bisnis elit yang bernama APBD.
Maka kemudian kita bisa pause sejenak, para Pilkada dan Cakada boleh jadi adalah sinonim bertarungnya para Machiavelli, yang memperebutkan resource politik (infrakstruktur birokrat, legitimasi pengaruh, otoritas memaksa) dan resource ekonomi (APBD, izin usaha, regulasi bisnis). Pertaruhannya bukan lagi soal ide dan teknis-teknis kampanya, melainkan manajemen suplay logistik dan adu kelihaian tehnik-teknik manipulatif. Pertarungan para Machiavelli adalah soal bagaiamana mendesain kemenangan dengan kecurangan semassif mungkin, dengan satu syarat asal tidak terbukti.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.