G30S/PKI: Korban dan Keturunan PKI
Sejarah | 2024-09-30 17:14:31Peristiwa Gerakan 30 September atau lebih dikenal sebagai G30S/PKI merupakan salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada malam 30 September hingga awal 1 Oktober 1965, ketika sekelompok anggota militer yang menamakan diri mereka sebagai Gerakan 30 September melakukan upaya kudeta. Tujuan dari gerakan ini, berdasarkan pengakuan dan versi resmi yang berkembang di masa pemerintahan Orde Baru, adalah untuk menggulingkan pemerintah Presiden Soekarno dan mendirikan negara dengan pengaruh kuat dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun peristiwa ini masih menjadi bahan kontroversi di kalangan sejarawan, narasi resmi menyebutkan bahwa PKI berada di balik aksi tersebut.
Kronologi Singkat Peristiwa
Pada malam 30 September 1965, kelompok yang dipimpin oleh Letkol Untung Syamsuri, komandan Batalyon Cakrabirawa, melancarkan aksi penculikan terhadap tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang mereka anggap sebagai "Dewan Jenderal" yang sedang merencanakan kudeta terhadap Soekarno. Perwira-perwira tersebut termasuk Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono.
Para jenderal tersebut diculik dari rumah masing-masing dan dibawa ke sebuah lokasi di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di tempat ini, mereka dieksekusi secara brutal dan jenazahnya kemudian ditemukan di dalam sebuah sumur tua.
Kontroversi dan Penafsiran Alternatif
Meskipun narasi resmi dari Orde Baru menyatakan bahwa PKI adalah dalang di balik kudeta, beberapa penafsiran alternatif muncul setelah runtuhnya rezim Soeharto. Sejumlah sejarawan, baik dari dalam maupun luar negeri, menyebutkan bahwa keterlibatan PKI dalam peristiwa ini masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa G30S merupakan sebuah operasi yang melibatkan banyak pihak, termasuk unsur militer yang tidak terkait dengan PKI.
Selain itu, banyak yang menyoroti fakta bahwa peristiwa ini dijadikan justifikasi oleh rezim Soeharto untuk menghabisi PKI dan memperkuat kekuasaannya. Dalam konteks ini, G30S/PKI juga dilihat sebagai bagian dari dinamika Perang Dingin, di mana kekuatan komunis dan anti-komunis saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Korban dan Keturunan PKI
Peristiwa G30S PKI merupakan hal tidak mengenakan bagi banyak orang. Dikutip dalam BBC.com Samuel yang merupakan cucu dari DI Pandjaitan baru mengerti ketika ikut upacara peringatan hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya 1 Oktober. Dia mengetahui bahwa kakeknya tewas ditembak dan kemudian diberikan gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah.
"'Kenapa dia (kakek) mesti meninggal?' 'Kenapa dia mesti ditembak berkorban di tempat itu?' 'Untuk apa?'" ucap Samuel, mengenang pertanyaan-pertanyaan yang sampaikan pada ibunya.
Kebrutalan PKI merupakan hal yang sulit di toleransi meski ada terdapat cerita dari sudut pandang mengenai peristiwa tersebut. Fico anak dari Poppy Anasari, putri Murad Aidit (adik kandung DN Aidit) yang dianggap PKI. Dia malah bertanya-tanya, mengapa negara begitu benci terhadap kakek mereka. Padahal dia beberapa kali melihat foto kakeknya dengan mantan presiden Soekarno dan Moh Hatta (BBC.com 30 September 2020). Kejadian tersebut dirasa masih banyak kejanggalan, dia pun sempat bertanya-tanya pada guru di sekolahnya mengenai kejadian tersebut.
"Yang saya ingin tanya 'kenapa partai-partai itu bisa ada senjata buat bunuh-bunuh jenderal seperti yang ibu jelaskan?' Ibu gurunya nggak bisa jawab."
Sebab dia pernah mendengar cerita dari Murad selaku kakeknya.
"Waktu diceritain kakek, bingung pasti ada Lho kok nggak kayak yang diterangin sama guru aku di sekolah?”
Peristiwa G30S/PKI tetap menjadi salah satu momen paling kontroversial dan penuh tanda tanya dalam sejarah Indonesia. Kebrutalan yang terjadi pada malam itu meninggalkan luka mendalam dalam ingatan bangsa Indonesia, sekaligus memicu kekerasan besar-besaran yang mengakhiri era PKI dan menandai awal rezim Orde Baru.
Dalam kasus G30S/PKI tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi korban, namun juga anak dan keturunannya. Mereka mendapatkan pandangan negatif dari warga, tanpa tahu salah mereka. Kelak bisa saja mereka menjadi lebih baik daripada apa yang dilakukan oleh kakeknya terdahulu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.