Ketika Homo Socius Berubah Menjadi Homo Roboticus dan Homo Digitalis
Agama | 2022-01-23 20:02:41SUDAH sejak lama para filosof dan para ahli antropologi memberi gelar manusia sebagai homo socius, makhluk sosial. Hal ini bermakna, manusia merupakan makhluk yang senang berkumpul, berperasaan, memiliki ketergantungan kepada yang lain, dan senang berkomunikasi satu sama lainnya.
Sebagai makhluk sosial tidaklah mengherankan jika pada kehidupan manusia melekat perbuatan yang diawali dengan kata “saling”, saling membantu, saling menyayangi, saling mengasihi, dan lain sebagainya. Demikian pula ketika terjadi perselisihan dan gesekan dalam kehidupan lahir pula perbuatan “saling”, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling mencari kesalahan satu sama lainnya.
Dalam ajaran Islam pun manusia itu tergolong makhluk sosial. Manusia tak bisa hidup berdiri sendiri. Ia harus dapat hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya, saling tolong menolong dalam kebaikan, dan saling mengingatkan agar tidak terjerumus kepada perbuatan nista dan tercela (Q. S. Al Maidah : 2).
Hidup bertetangga merupakan salah satu wujud dari homo socius. Dalam ajaran Islam bertetangga bukan hanya sebagai wujud makhluk sosial, namun juga memiliki nilai-nilai spiritual.
Ajaran Islam telah mengatur tata tertib hidup bertetangga. Bahkan jelas sekali disebutkan dalam sebuah hadits, menghormati tetangga menjadi salah satu kriteria kesempurnaan iman seseorang.
Seiring dengan kemajuan teknologi, status homo socius sering tergerus dan tergeser. Pada satu sisi kehadiran teknologi yang semakin canggih memudahkan setiap orang dalam melakukan aktivitas, namun pada sisi lainnya terkadang berdampak negatif terhadap nilai-nilai sosial-spiritual kemanusiaan.
Tegur sapa antar tetangga, bahkan antar anggota keluarga yang dahulu harus dilakukan secara tatap muka penuh kehangatan, saling memperhatikan raut muka ketika berbicara, memperhatikan kesehatan fisik orang yang diajak bicara, kini cukup diwakili dengan teknologi komunikasi, smartphone misalnya. Benar, smartphone bisa dipakai melakukan silaturahmi via video call yang dapat saling melihat raut wajah namun tetap saja nilainya jauh berbeda dengan ketika bertatap muka secara langsung.
Dalam hal melakukan pekerjaan pun demikian. Suatu pekerjaan yang dahulu harus dilakukan banyak orang, misalnya mengolah sawah atau kebun, kini cukup diwakili sebuah mesin traktor dan seorang operator.
Benar pekerjaan bisa cepat selesai, namun nilai-nilai sosial kehidupan menjadi hilang. Ketika mengolah sawah dilakukan secara beramai-ramai menggunakan tenaga manusia, di tengah-tengah pekerjaan selalu saja ada tegur sapa kehangatan dan persaudaraan.
Kehadiran smartphone dan berbagai mesin yang mengganti tenaga manusia secara tidak langsung telah mengantarkan kehidupan kita memasuki dunia robot. Kita menjadi tergantung kepada kehadiran berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi baik dalam berkomunikasi maupun menyelesaikan suatu pekerjaan.
Ketergantungan terhadap teknologi inilah yang lambat laun menggeser karakter kehidupan manusia dari homo socius menjadi homo roboticus, makhluk yang tergantung kepada kehidupan serba robot, serba cepat, dan serba mudah. Demikian pula halnya dengan kemajuan dunia digital.
Manusia pada saat ini mau tidak mau dipaksa masuk ke dunia digital yang serba online. Lagi-lagi nilai-nilai sosial mulai tergeser. Tegur sapa antar manusia tergantikan seonggok mesin komputer yang dapat menjawab otomatis setiap sapaan atau pertanyaan orang yang tengah menggunakan suatu aplikasi digital baik melalui smartphone maupun program komputer.
Kita tak mungkin kembali lagi ke zaman dahulu sebelum era robot dan era digital. Jika pun kita dapat melakukannya, kita akan benar-benar kuno dan ketinggalan langkah. Hal ini berarti segala aktivitas kehidupan kita akan ketinggalan dan terkalahkan oleh langkah-langkah manusia modern.
Satu hal yang dapat kita lakukan adalah memanfaatkan perangkat teknologi yang serba robot dan pintar seperti sekarang ini seraya menjauhi segala dampak negatifnya. Dalam Bahasa ushul fiqih (filsafat hukum Islam) disebutkan, kita selayaknya mengambil sesuatu yang baru untuk meraih kehidupan yang lebih maslahat seraya tidak meninggalkan nilai-nilai baik dari tatanan kehidupan yang sudah ada sebelumnya.
Kata kunci yang harus kita pegang pada kehidupan seperti sekarang ini adalah kemaslahatan dan tidak meninggalkan kearifan yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain, kehadiran robot dan era digital jangan sampai mengotori dan mengorbankan nilai-nilai sosial-spiritual kehidupan, sebaliknya harus menjadi sarana memperbaiki kualitas kehidupan sosial-spiritual.
Bukan rahasia lagi sejak kehadiran beragam teknologi pintar buatan, banyak orang diantara kita yang terlena dalam menggunakannya dan secara tidak sadar telah merubah dirinya menjadi manusia robot, homo roboticus. Manusia yang hanya mengandalkan kepintaran, kecepatan, seraya sering menggeser perasaan kemanusiaan. Para pembaca boleh tidak setuju dengan opini yang penulis kemukakan ini, namun ini suatu kenyataan yang kita hadapi pada saat ini, misalnya dalam dunia media sosial.
Bukankah ketika seseorang berkomentar atau mengemukakan suatu pendapat sering mengenyampingkan perasaan diri sendiri, orang lain, serta akibat dari pernyataan yang ia kemukakan?
Kita tak jauh berbeda dengan robot yang hanya bisa mengerjakan program komputer yang ada di tubuhnya, tapi sang robot nihil dengan bayangan akibat yang akan terjadi dari perbuatannya. Pada saat ini, orang baru sadar akan kekeliruannya tatkala pernyataan, komentar, atau perkataannya membuat gaduh kehidupan.
Kasus pernyataan Arteria Dahlan baru-baru ini yang menyinggung perasaan suku Sunda patut kita jadikan pelajaran. Betapa pada saat ini orang-orang seperti robot yang hanya mampu melakukan suatu aktivitas, tapi nihil dari pertimbangan akibat dari perbuatannya. Sampai saat ini belum ditemukan satu robot pun, sekalipun tergolong smart robot, robot humanoid (robot yang nampak seperti manusia) yang menyesali atas error program komputer yang ada di tubuhnya yang mengakibatkan ia melakukan perbuatan error yang merugikan
Sangatlah elok jika kehadiran teknologi yang canggih dan cerdas menjadikan manusia semakin menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, semakin meningkatkan nilai-nilai sosial-spiritual. Sangatlah disayangkan jika kemajuan teknologi yang terus datang silih berganti mengantarkan kehidupan manusia menjadi makhluk yang menjauhi nilai-nilai sosial-spiritual.
Kita harus mewaspadai jangan sampai kemajuan teknologi yang serba robot dan pintar ini merubah homo socius menjadi homo roboticus dan homo digitalis. Manusia canggih, pintar, serba cepat dalam melaksanakan suatu pekerjaan, namun jiwanya hampa dari perasaan sebagai manusia, makhluk termulia yang tentu saja berbeda dengan robot, bahkan berbeda dengan makhluk hidup lainnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.