Pendidikan dalam Kapitalisme Mengabaikan Hak Rakyat
Politik | 2024-09-22 19:08:20Oleh Fitria Rahmah, S.Pd., Pendidik Generasi dan Aktivis Muslimah
Pada Rabu (4/9), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI mengusulkan agar anggaran wajib (mandatory spending) untuk Pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara dikaji ulang. Sebab, dia menilai belanja wajib 20 persen seharusnya dialokasikan dari pendapatan negara, bukan belanja negara, mengingat belanja negara cenderung tidak pasti.
“Kami sudah membahas di Kementerian Keuangan, ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, Dimana 20 persen setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan. Kalau 20 persen dari belanja itu banyak ketidakpastian, itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik turun gitu,” kata Sri Mulyani. (Merdeka.com, Jumat 06 September 2024)
Pernyataan Sri Mulyani ini mendapat beberapa kecaman dari berbagai pihak. Ketua Komisi X DPR RI Saiful Huda dengan tegas menolak usulan Menkeu tersebut. Menurutnya, jika anggaran pendidikan disediakan melalui pendapatan negara, maka akan timbul masalah baru.
Ia mengatakan, jika diambil dari pendapatan negara, maka akan ada potensi anggaran pendidikan mengalami penurunan. Bahkan, besaran penurunannya bisa mencapai ratusan triliun.
Selain itu, lanjut Huda, usulan ini juga akan mengakibatkan kualitas layanan pendidikan di Indonesia turut menurun. Sementara itu, dengan anggaran saat ini, masih banyak anak yang terkendala biaya untuk sekolah dan pemerataan pendidikan masih jadi masalah. (rri.co.id, 08 September 2024).
Penolakan usulan Menkeu lainnya datang dari Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) menyinggung kebiasaan memotong anggaran pendidikan. Menurutnya, jika kebiasaan seperti ini berlanjut maka pendidikan tidak akan semakin membaik dan anggaran tidak pernah cukup. (rri.co.id, 08 September 2024)
Selain itu, para Ekonom pun menilai bahwa rencana eformulasi mandatory spending alias tafsir ulang anggaran pendidikan dalam APBN yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR adalah sesuatu yang tidak tepat.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Cellios), menilai kebijakan ini penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah.
Bhima menjelaskan, meskipun anggaran pendidikan sering dievaluasi karena dianggap tidak tepat sasaran dan bahkan ada indikasi korupsi, itu tidak berarti anggaran tersebut harus dikurangi. Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki efektivitas program, bukan mengurangi anggaran secara keseluruhan.
Perbedaan pendapat dari berbagai pihak yang berseberangan dengan Menteri Keuangan akan menimbulkan berbagai konsekuensi. Jika pihak yang berseberangan dengan Menkeu berhasil mempertahankan pendapatnya, maka anggaran pendidikan cenderung meningkat dan konsentrasi pengelolaanya akan fokus pada peningkatan pelayanan pendidikan. Sebaliknya, jika usulan Menkeu diterima, maka hal ini akan berdampak pada alokasi dana pendidikan yang cenderung mengalami penurunan dan menurunnya kualitas pelayanan pendidikan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda. Hal ini sekaligus membuka peluang untuk mengubah mandat konstitusi Pasal 31 Ayat 4 di UUD 1945, yang menyebutkan bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang - kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Statement Sri Mulyani yang mengatakan, perlu tafsir ulang atas mandatory spending 20% anggaran pendidikan dalam APBN, dengan dalih mengurangi beban APBN di tengah banyaknya problem soal layanan pendidikan adalah bukti lepas tangannya negara dalam memenuhi hak rakyat mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau.
Alih - alih mengurangi beban negara, namun sejatinya, hal ini adalah bukti nyata dari sikap abai negara terhadap hak rakyat. Layanan pendidikan terbaik dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sesungguhnya adalah kewajiban negara untuk menyediakan layanan tersebut. Sebab, selain sebagai kebutuhan pokok rakyat, pendidikan juga merupakan pondasi utama dalam membentuk sebuah negara yang kuat. Tanpa pendidikan, mustahil sebuah negara dapat berdaulat.
Segala cara dijalani, utak-atik dana pendidikan dilakoni, ketika itu menjadi beban negara, meskipun harus melawan konstitusi, maka segala hal bisa disesuaikan menurut kepentingan yang ada. Sesuatu yang menjadi ciri khas dalam sistem kapitalisme saat ini yaitu, keuntungan menjadi poin utama dalam mengambil kebijakan. Sehingga, tak heran jika negara lebih menitikberatkan fokusnya kepada untung rugi dari pada mencerdaskan anak bangsa.
Di kala pendidikan dianggap tidak menguntungkan bagi negara, maka tak segan-segan peraturannya diutak-atik, bahkan pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain, yaitu pihak swasta. Ketika pendidikan diserahkan kepada swasta untuk dikapitalisasi, maka yang ada adalah semakin mahalnya biaya pendidikan dengan kualitas yang belum terjamin. Sebab, pihak swasta dengan pola kapitalisnya tetap akan bertumpu pada keuntungan dalam menjalankan sekolahnya.
Maka, tak heran dalam perjalanan proses pendidikan, para orang tua sering kali diharuskan untuk mengeluarkan uang terus menerus. Yang terkadang keberadaannya tidaklah teramat penting, atau untuk hal receh pun orang tua harus mengeluarkan uang. Sebab, pihak swasta akan terus mengutak-atik semua hal yang dapat menghasilkan cuan. Sebab ini adalah ladang penghasilan bagi mereka.
Faktanya, dengan skema anggaran sekarang saja masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis atau murah, adil dan merata. Terbayangkah oleh kita, ketika usulan Menkeu disahkan oleh pemerintah ?. Maka kondisi pendidikan akan semakin tak karuan. Keberadaannya akan semakin sulit untuk dijangkau, fasilitas yang ada akan semakin minim. Hal ini akan berimbas pada kualitas generasi yang ada, dan berakhir pada negara yang kehilangan kedaulatannya tersebab lahirnya generasi yang rapuh dalam berilmu.
Sayangnya, kapitalisme yang menjadi asas bernegara saat ini telah mengubah paradigma penguasa terhadap pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak mendatangkan keuntungan atau bahkan sebagai sebuah beban, akhirnya mengabaikan hak rakyat untuk mendapatkan haknya secara penuh.
Paradigma kepemimpinan sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan, menghilangkan peran negara sebagai riayah (pelayanan) dan juga junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Melainkan hubungan yang tercipta adalah hubungan jual beli yang harus menghasilkan keuntungan. Hal ini terbukti secara jelas dengan di utak - atiknya dana pendidikan dan kapitalisasi pendidikan oleh pihak swasta.
Berbeda dengan Islam, pendidikan adalah salah satu hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi penguasa dengan layanan terbaik. Maka, negara secara maksimal akan menyediakan layanan pendidikan yang gratis dan berkualitas. Yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Sebab, hal ini adalah sesuatu hal yang sangat penting yang tidak bisa dilihat dari keuntungan semata. Pendidikan bak nafas bagi keberlangsungan sebuah negara. Yang keberadaannya harus selalu sehat dan bersih agar negara tersebut senantiasa sehat dan kuat. Maka, hubungan jual beli seperti yang saat ini terjadi mustahil tercipta.
Ini adalah sebuah implementasi dari fungsi penguasa sebagai riayah (pelayanan) dan junnah (pelindung) yang akan berjalan optimal bagi rakyatnya.
Hal ini sebuah keniscayaan dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Dapat diwujudkan dengan politik anggaran yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam dan didukung sistem - sistem lainnya sehingga tujuan pendidikan terwujud.
Secara ekonomi, akan ada berbagai macam pos pemasukan negara. Salah satunya adalah hasil Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah akan digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar rakyat, bukan hanya pendidikan.
Selain SDA, ada juga pos pemasukan negara yang bersumber dari kharaj, ghanimah, fai’ dan juga jizyah. Beraneka ragam sumber pemasukan negara ini menjadi faktor utama dalam menyediakan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat.
Apabila terjadi kondisi darurat, Dimana negara tidak dapat memenuhi anggaran yang dibutuhkan dalam menyediakan kebutuhan pokok tersebut. Maka, pajak (dharibah) boleh dilaksanakan dengan syarat hanya diambil dari orang yang kaya dan untuk waktu sementara. Ketika kondisi keuangan negara sudah kembali normal, maka pemungutan pajak harus segera dihentikan.
Sistem lain yang dapat mendukung hingga terwujudnya pendidikan yang gratis dan berkualitas adalah adanya sinergi yang baik antara orang kaya dan penguasa. Dengan konsep pahala jariah dan memiliki visi keakhiratan.
Para orang kaya akan dengan suka rela untuk berwakaf di bidang pendidikan. Hal ini terjadi dikarenakan keimanan dan ketakwaan yang merebak di tengah - tengah masyarakat tersebab diterapkannya aturan Allah secara sempurna di muka bumi.
Maka, penguasa dan para orang kaya tidak akan berorientasi pada keuntungan, sebagaimana yang saat ini terjadi. Mereka terus disibukkan untuk menimbun harta kekayaan. Padahal kekayaan mereka apabila dibandingkan dengan rakyat jelata bagaikan langit dan bumi.
Oleh karena itu, mengharapkan keadilan dan kesejahteraan pada sistem rusak kapitalisme saat ini bagaikan punduk merindukan bulan. Mustahil untuk terwujud.
Sehingga jelas sudah hanya Islam lah yang dapat menjadi solusi atas karut marut yang terjadi dalam kehidupan saat ini. Islam lah yang akan memuliakan manusia dan melahirkan peradaban emas dunia.
Wallahualam bissawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.