Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rayhan Ahmad

Bayangan di Jendela

Dunia sastra | Tuesday, 17 Sep 2024, 10:51 WIB

Malam itu begitu sunyi, seolah-olah alam sedang menunggu sesuatu yang mengerikan. Angin yang biasanya menderu melewati pepohonan kini diam membeku, tidak ada suara jangkrik, tidak ada gesekan dedaunan. Bahkan, suara detik jam di dinding terasa lambat, seakan waktu pun ikut menahan napas. Di luar, bulan purnama bersinar redup, terhalang oleh awan gelap yang perlahan-lahan menutupinya seperti selimut kelam.

Dina terbangun dari tidurnya, tubuhnya bergetar oleh dingin yang tiba-tiba merayap di kamarnya. Dia menarik selimut lebih rapat, mencoba menghalau hawa dingin yang seharusnya tidak ada. Jendela kamarnya tertutup rapat, tidak ada angin yang masuk. Tapi dingin itu dingin itu berbeda. Bukan hanya dingin yang biasa dia rasakan saat malam, melainkan dingin yang aneh, seperti sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.

Dengan perasaan tak enak, dia melirik jam di meja samping tempat tidur. Pukul 2:05 dini hari. Kenapa aku bangun di jam ini? pikirnya. Dina mencoba memejamkan matanya kembali, berharap rasa kantuk segera kembali menyelimutinya. Tapi sesuatu mengganggu ketenangannya. Ada suara—suara halus, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuatnya waspada.

Tok tok tok . Suara ketukan di jendela.

Dina membuka matanya perlahan, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Siapa di luar sana? pikirnya dengan cemas. Rumah ini terpencil, jauh dari tetangga, dan tidak mungkin ada seseorang di luar pada jam segini.

Ketukan itu datang lagi. Kali ini lebih keras. Tok tok tok Seperti ada seseorang yang berdiri di luar, memaksa dirinya untuk didengar. Dina menolehkan wajahnya ke arah jendela, tapi masih tidak berani membuka tirai yang tipis.

Siapa yang mungkin ada di luar tengah malam begini? pikirnya lagi. Tangannya gemetar saat meraih ponsel di samping tempat tidur. Dia menekan tombol untuk menyalakan layar. Mati. Ponselnya yang baru saja dia isi baterainya sebelum tidur, sekarang tidak berfungsi. Aneh.

Dengan jantung yang berdebar kencang, Dina bangun perlahan dari tempat tidurnya. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah udara di kamar semakin menebal. Hatinya penuh keraguan. Tapi, dia tahu dia harus memeriksa jendela. Tirai jendelanya hanya sedikit terbuka, dan dalam remang cahaya bulan yang samar, Dina bisa melihat sesuatu—sebuah bayangan besar, berdiri diam di balik tirai.

Bayangan itu tidak normal. Terlalu tinggi untuk ukuran manusia biasa, dengan bentuk yang tak jelas, seperti kabut hitam yang melayang. Dina mundur beberapa langkah, tubuhnya kaku oleh rasa takut. Kakinya tersandung kursi, membuatnya hampir terjatuh. Dia ingin berteriak, tapi suaranya tidak keluar. Ada sesuatu yang sangat salah dengan bayangan itu.

Ketukan di jendela berhenti, tapi bayangan itu tidak pergi. Ia tetap berdiri di sana, diam, seakan sedang mengamati Dina dari balik tirai. Dina menahan napas, tidak berani bergerak. Mungkinkah itu hanya halusinasi? Mungkin dia terlalu lelah, pikirnya mencoba menghibur diri. Tapi instingnya memberitahu hal lain. Sesuatu yang lebih gelap, lebih jahat, sedang mengintainya.

Perlahan, suara lain mulai terdengar dari lantai bawah. Suara derit kayu, seperti ada sesuatu yang bergerak. Dina mendengarkan dengan seksama. Suara itu seperti langkah kaki, tapi terdengar lebih berat, lebih lambat. Kreeeek kreeek Suara itu semakin mendekat, menuju tangga yang mengarah ke lantai atas, tempat kamarnya berada.

Dengan napas yang semakin berat, Dina berusaha mengumpulkan keberaniannya. Dia meraih gagang pintu kamar, memutarnya dengan hati-hati, lalu mengintip ke koridor gelap. Tidak ada apa-apa. Tapi suara itu jelas, datang dari bawah. Langkah berat yang menyeret sesuatu di sepanjang lantai kayu tua. Dina tahu rumah ini sudah tua dan seringkali mengeluarkan suara-suara aneh, tapi ini ini berbeda.

Ketika suara itu semakin dekat, Dina mundur ke dalam kamarnya, menutup pintu perlahan, dan memasang kunci. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. Dia menempelkan telinganya ke pintu, mendengarkan. Suara langkah itu berhenti tepat di luar pintu kamarnya. Ada seseorang—atau sesuatu—di sana.

Terdengar suara napas berat. Tidak mungkin, pikir Dina, tubuhnya mulai gemetar hebat. Dia mengintip ke bawah pintu, mencoba melihat bayangan kaki. Tidak ada apa-apa, tapi dia bisa merasakan kehadirannya. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang besar, sesuatu yang tidak manusiawi.

Tiba-tiba, pintu kamarnya bergetar, seperti ada yang memukulnya keras dari luar. TOK! TOK! TOK! Dina menahan napas, mulutnya tertutup oleh tangannya sendiri agar tidak berteriak. Tapi ketakutan itu terlalu besar. Tubuhnya menggigil, matanya mulai berair. Apapun itu, ia mencoba masuk.

Dengan suara napas yang semakin berat di luar pintu, tiba-tiba semuanya hening. Dina menunggu dalam keheningan yang mencekam, berharap apa pun yang ada di luar telah pergi. Tapi lalu terdengar suara lain—sesuatu yang lebih mengerikan. Sebuah bisikan, lembut tapi mengerikan, masuk ke dalam telinganya seakan langsung berbicara ke dalam pikirannya.

"Aku sudah lama menunggumu."

Dina menjerit, tapi jeritannya teredam oleh rasa takut yang luar biasa. Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit terbuka perlahan, dan hawa dingin menyusup ke dalam ruangan. Dalam kegelapan yang tebal, dia bisa melihat sosok bayangan besar itu berdiri di ambang pintu, melangkah masuk tanpa suara. Wajahnya atau apa pun yang ada di sana, tersembunyi di balik kegelapan yang pekat.

Dina terjatuh ke lantai, kakinya terasa lumpuh oleh ketakutan. Bayangan itu mendekat, perlahan, hingga hanya beberapa inci dari tubuhnya. Sosok itu berjongkok di depan Dina, lalu mengulurkan tangannya yang panjang dan kurus. Jari-jari hitamnya bergerak perlahan, hampir menyentuh pipinya.

Dalam detik-detik terakhir sebelum kesadarannya hilang, Dina hanya bisa mendengar satu hal lagi—sebuah bisikan yang berulang-ulang, semakin pelan, semakin menyeramkan.

"Aku sudah lama menunggumu dan sekarang, kau milikku."

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image