5 Tingkatan Tauhid
Agama | 2024-09-16 21:27:505 TINGKATAN TAUHID
Bertauhid adalah mengesakan Allah yang diikrarkan melalui dua kalimat syahadat. Meyakini dengan sepenuh hati bahwa tiada Tuhan (illah) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Karena hanya menyembah Tuhan yang satu, maka Islam disebut pula sebagai agama monoteistik.
Secara etimologis, tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan, yang artinya mengesakan atau menyatukan. Ketika seseorang mengikrarkan laa ilaaha illallaah, maka ia dituntun untuk mengatakan laa (TIDAK) terhadap semua fenomena, kekuatan, atau keyakinan yang non-ilahiah.
Dalam bertauhid, kita tidak hanya sekedar memberikan pernyataan, pengakuan, ataupun kesaksian semata. Akan tetapi, deklarasi tauhid perlu kita terjemahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari berupa amal saleh (tindakan nyata). Dalam pengertian lain, tauhid kita membawa dampak terhadap kehidupan sosial. Oleh karena itu, dikenal pula istilah tauhid sosial.
Ada lima tingkatan tauhid yang seharusnya dimiliki oleh seorang Muslim.
Tingkatan Pertama (famayyakfur bith-thaaghuuti)
Tingkatan pertama adalah mengingkari segala sesuatu yang selain Allah. Dalam Al Baqarah (2): 256 disebutkan bahwa barang siapa yang mengingkari taghut (semua obyek persembahan) kecuali Allah, maka dia telah memegang tali yang kokoh. Taghut sendiri bisa berwujud seorang dewa yang dikhayalkan oleh manusia, ideologi yang diagung-agungkan, atau seorang pemimpin yang menganggap dirinya Tuhan atau setara dengan Tuhan. Taghut juga bisa berupa mitos yang diyakini atau dalam dunia sekarang berupa kekuasaan tiran.
Ahmad Bahjat, seorang ulama dan psikolog dari Mesir, dalam bukunya yang berjudul Qishshatul Anbiya’ mengatakan bahwa mengapa seorang Namrud menjadi Namrud dan seorang Firáun menjadi Firáun? Hal ini karena para pengikutnya dan para rakyatnya sudah rusak tauhidnya. Mereka tidak berani mengatakan TIDAK kepada ketidakbenaran.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus berani mengatakan tidak kepada kebatilan, kepada segenap manifestasi taghut, dan pada setiap ketidakbenaran. Jadi, apabila semangat tauhid merosot, maka keberanian untuk mengatakan tidak akan mengalami kemerosotan juga. Padahal, seorang Muslim adalah orang yang walam yakkhsya’ illallaah (tidak takut kepada segala sesuatu selain Allah).
Tingkatan Kedua (wa yu’mim billaah)
Yaitu beriman kepada Allah dengan keyakinan secara penuh. Dan keyakinan itu menjadi utuh 100%. Ini karena dia sudah berhasil melalui tingkatan yang pertama, yaitu menidakkan apa-apa yang selain Allah. Sehingga orang tersebut sudah faqadistamsaka bil ‘urwatil wutsqa, berpegang pada tali yang sangat kuat, tali yang kokoh, dan tidak akan putus. Lan fishaama laha, tidak ada kerawanan, kerapuhan di dalamnya.
Jadi, tauhid dalam tingkatan kedua ini adalah meyakini bahwa kebenaran hanyalah dari Allah semata, sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. Yunus (10): 35. Allah itu sejajar, sepadan, searti dengan al-haqq (kebenaran). Bahkan, al haqq menjadi salah satu nama dalam Asmaul Husna.
Tingkatan Ketiga (Qul)
Seorang Muslim memiliki deklarasi kehidupan berupa kata-kata qul, katakanlah wahai Muhammad, katakanlah wahai para pemeluk agama Muhammad. Qul inna shalaati wa nusukii wa mahyaaya wa mamaati lillaahi rabbil ‘aalamiin. Sesungguhnya shalatku, dan ibadahku, dan hidupku, dan matiku aku persembahkan semata-mata Allah Tuhan semesta alam.
Seorang Muslim yang sudah memiliki komitmen utuh kepada Tuhan, maka akan melihat dunia ini menjadi suatu panggung kehidupan yang jelas, bening, dan mudah. tidak ruwet, tidak semrawut, tidak pathing penthalit.
Jadi, kita melihat dunia ini demikian gampang. Perbedaan antara al haqq dan al bathiil juga jelas. Mana yang datangnya dari Allah dan mana yang datangnya dari Ibis juga cukup jelas. Walau dibungkus dengan seindah apapun, seseorang yang bertauhid akan kuat persepsinya dan memiliki kemampuan untuk menetrasi. Ia tidak akan mudah tertipu, tergelincir, atau terkelabui.
Untuk mempermudah perbedaan seorang Muslim dan seorang kafir, Muhammad Abduh pernah mengatakan, “The sign of a kafir is that he is lost in the horizon, and the sign of Muslim is that the horizon is lost in him”. Ciri pokok orang kafir adalah ia sesat di dalam cakrawala kehidupan. Sedangkan tanda orang Islam adalah bahwa cakrawala kehidupan larut ke dalam kepribadiannya.
Tingkatan Keempat (aamanuu wa áamilush-shaalihaat)
Yaitu berusaha menerjemahkan keyakinan kita menjadi praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari (amal saleh). Di dalam Al Qur’an banyak sekali ayat yang menggandengkan antara alladziina aamanuu dengan wa áamilush-shaalihaat. Keimanan dan diikuti dengan amal kebaikan.
Di dalam Q.S. Ibrahim (14): 24-25 Allah memberikan perumpamaan bahwa kalimat thayyibah itu ibarat pohon yang sangat indah, yang akarnya kokoh menghunjam ke petala bumi, kemudian batangnya, rantingnya, daunnya, bunganya, dan buah-buahannya menjulang tinggi ke atas angkasa, dan memberikan manfaat kepada alam sekitar setiap waktu dengan izin Allah. Demikianlah Allah membuat perumpamaan agar engkau sekalian, wahai manusia, mau berpikir.
Tingkatan Kelima
Orang yang bertauhid mengambil kriteria atau ukuran mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela. Jelas mana yang khairat dan mana yang sayyiat (munkarat). Semuanya didasarkan kepada tuntunan Ilahi.
Aturan dari Allah adalah yang paling utama melebihi hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.
Referensi:
M. Amien Rais. Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan. Mizan, Bandung, 1998.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.