Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Damay Ar-Rahman

Desir Sunyi

Sastra | Saturday, 14 Sep 2024, 11:28 WIB
Peristiwa di jalan kita tetap berbeda, meski dipertemukan untuk bersama

Diantara malam, ada cerita yang mungkin terdengar suram di telinga. Jika mendengar suram, maka istilah itu akan dimaknai sebagai kisah atau peristiwa luka yang sedang dialami seseorang. Suram dirasakan dalam bentuk yang berbeda-beda, termasuk suram dalam menerima takdir dari sejak lahir. Tuhan sangat sayang padanya. Maka suram itu sudah kokoh dihati gadis bernama Mei. Ia dilengkapi dengan kekuatan sabar yang tak dimiliki banyak orang.

Sebagai seorang kakak, Mei hanya mencoba menjadi kakak yang bertanggung jawab. Menjadi terbaik, jelas saja itu mustahil. Sebab, kesempurnaan tak ada pada manusia. Tuhanlah segala pelengkap. Mei dibesarkan dengan badai disertai gemuruh riuh suara deburan ombak di pantai biru. Ia lahir tanpa seorang ayah, karena tak pulang-pulang sejak matahari terbenam, tepatnya dua belas jam yang lalu. Meranti lirih merintih kesakitan menahan janin yang akan keluar dari perutnya. Ia mencoba bertahan agar Mei dapat lahir dengan selamat meski tanpa Arkan disampingnya.

"Aku harus pergi Ranti, sebab tuan Umar sedang membutuhkan banyak ikan untuk putri semata wayangnya yang akan menikah. Kau tahu bukan, jika ikan dalam tiga bulan ini sedang langka. Sudah dua kali ditunda pernikahan putri tuan Umar, sayang sekali jika harus terjadi tiga kali dik. Beliau sudah banyak berjasa buat desa termasuk kita berdua. Kita bersatu, karena perjuangannya untuk meyakinkan ayahmu menikah denganku dik." Ucap Umar sambil memandang istrinya.

" Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu bang. Aku takut " Air mata Meranti jatuh membasahi pipinya yang mulus.

"Allah tahu niatku dik. Tenang saja, suamimu ini mencari nafkah sekaligus membantu. Allah akan menjagaku dik."

Tanpa mengucap sepatah katapun Ranti mengizinkan dengan isyarat menggelangkan kepala. Hatinya berat ditinggalkan oleh suami saat mengandung. Namun, hal itu membuat gadis keturunan Syarifah itu semakin cinta kepada lelaki dengan hati mulia. Baginya, cinta adalah segalanya. Meski gelarnya akan berakhir sampai pada dirinya saja, baginya tak masalah. Memiliki imam yang membawanya bertambah dekat dengan Allah adalah anugrah.

"Ranti harap, Abang pulang sebelum magrib."

"Iya dik semoga Allah memudahkan." Umarpun menjawab sambil tersenyum, mengecup kening dan perut istrinya, lalu ia pergi sambil melambaikan tangan.

Mei telah lahir. Ia menangis seakan bebas dalam sempitnya ruang rahim. Ia belum merasakan apapun, kecuali belaian ibunya. Walaupun, itu adalah belaian terkahir yang ia dapatkan. Meranti kehabisan darah. Badai yang besar membuat bidan lambat di jalan. Saat itu belum ada alat komunikasi. Hanya Baiti si anak berkebutuhan khusus yang menemani. Itupun ia panik. Kepanikannya diketahui warga, maka salah satu dari mereka segera menerobos hujan lebat untuk memanggil bidan, demi membantu Ranti seorang istri guru ngaji yang dikenal tabah.

Iya.....Mei telah piatu sejak sejam ia berada di dunia. Bahkan ayahnyapun belum kembali.

(Akan lanjut part kedua)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image