Otak-atik Mandatory Spending Dana Pendidikan, Hak Rakyat Diabaikan
Politik | 2024-09-12 21:12:00Anggaran dana pendidikan kembali dipersoalkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan basis 20% mandatory spending dari belanja negara menjadi pendapatan negara. Usulan ini berpotensi mengurangi anggaran yang dialokasikan untuk sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya Rp665 triliun (mengacu pada belanja negara) dapat turun menjadi sekitar Rp560,4 triliun (mengacu pada penerimaan negara). Sebagai informasi, mandatory spending adalah pengeluaran negara yang diatur oleh undang-undang dengan tujuan mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi antar-daerah. Sejak 2009 pemerintah diwajibkan menyisikan 20% dari APBN telah dialokasikan untuk pendidikan.( https://ekonomi.bisnis.com, 6/9/2024)
Usulan Menteri Keuangan untuk mengurangi dana pendidikan adalah bukti lepas tangannya negara dalam memenuhi hak rakyat mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau. Dengan skema anggaran sekarang saja masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis,murah, adil dan merata. Di lapangan, sekolah masih sangat kekurangan dana untuk mengembangkan pendidikan. Pungutan dari peserta adalah nyawa bagi berlangsungnya nafas pendidikan di sekolah, apalagi sekolah swasta, harus memutar otak agar pendidikan bisa terlaksana dengan optimal. Biaya untuk menunjang proses belajar di luar dana sekolah pun semakin melambung. Orang tua harus terus merogoh kocek demi tugas anak-anaknya yang semakin padat dan memakan biaya tak sedikit. Tugas pelajar ini, tugas proyek itu, tugas portofolio ini itu dan masih banyak lagi, yang hampir semua tugas sekolah selalu membutuhkan biaya.
Memang seperti inilah watak penguasa negeri ini. Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalisme jauh dari paradigma riayah dan junnah, melainkan seperti penjual dan pembeli. Pendidikan dianggap bukan ladang basah penghasil uang, malah sebaliknya pendidikan adalah salah satu pos yang bisa jadi dianggap sebagai pintu pemborosan, dimana dana yang dikeluarkan banyak namun tak memberikan kontribusi pemasukan secara langsung. Maka tak heran solusi yang diberikan pun sangat ngawur. Pendidikan malah diserahkan kepada swasta untuk dikapitalisasi. Lihat saja, saat ini banyak perusahaan besar merambah ke penguasaan dunia pendidikan. Sekolah hingga perguruan tinggi pun diambil alih pengelolaannya. Dengan dalih memberikan pelayan terbaik, iuran mahal pun legal ditetapkan. Dan instansi pendidikan pun juga semakin rajin mencari ceperan agar semakin banyak cuan yang dihasilkan. Jika dahulu sekolah yang menarik iuran menjadi aib saat akreditasi, sekarang sebaliknya, sekolah yang banyak bermitra usaha menghasilkan uang adalah sekolah yang berprestasi dan layak dipuji.
Berbeda dengan Islam, pendidikan adalah salah satu hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi penguasa dengan layanan terbaik. Bisa diwujudkan dengan politik anggaran yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam dan didukung sistem-sistem lainnya sehingga tujuan pendidikan terwujud. Islam memandang pendidikan adalah sarana menuntut ilmu yang wajib diperhatikan karena menuntut ilmu adalah kewajiban. Negara akan memberikan dana terbaik untuk pendidikan, baik dana diambilkan dari pos kepemilikan negara maupun hasil pengelolaan kepemilikan umum yang merupakan hak seluruh warga negara. Maka tak heran, dalam catatan sejarah, dari masa Nabi hingga masa kekhilafahan, umat Islam gemilang dalam peradaban, terbukti dengan lahirnya ilmuwan handal dan menjadi rujukan di seluruh dunia. Berbagai penemuan luar biasa lahir dari ilmuwan yang tercetak dalam sistem Islam. Dengan demikian, rakyat seharusnya sadar, penguasa sekular kapitalis yang saat ini diberi mandat adalah penguasa yang tak layak dipertahankan, begitu pula sistemnya, harus ditinggalkan, diganti dengan sistem Islam tuntunan Allah SWT dan warisan teladan mulai Nabi Muhammad saw.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.