Tantangan Besar, Anggaran Kecil: Mengapa Indonesia Harus Siap Hadapi Ancaman Megathrust
Info Terkini | 2024-08-30 14:45:35Indonesia, dengan posisi geografisnya yang terletak di Cincin Api Pasifik, sering disebut sebagai supermarket bencana. Negara ini tidak hanya rentan terhadap gempa bumi, tetapi juga tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa sekitar 90% wilayah Indonesia berisiko tinggi terhadap berbagai bencana alam. Selain itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa Indonesia mengalami sekitar 500 gempa bumi signifikan setiap tahun, dengan lebih dari 130 gunung berapi aktif yang dapat meletus kapan saja.
Namun, ironi terbesar adalah minimnya literasi bencana di Indonesia. Ketika bencana melanda, sering kali masyarakat lebih sibuk merekam video daripada menyelamatkan diri. Minimnya pemahaman tentang pentingnya mitigasi bencana menjadi salah satu alasan mengapa pencegahan bencana belum menjadi prioritas di negara ini. Padahal, langkah-langkah mitigasi dapat secara signifikan mengurangi jumlah korban jiwa dan kerugian materi, sebagaimana telah dibuktikan di negara-negara lain yang memiliki budaya kesiapsiagaan bencana yang tinggi, seperti Jepang.
Anggaran untuk penanggulangan bencana di Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Jepang, yang juga merupakan negara rawan bencana. Meski anggaran BNPB meningkat setiap tahun, alokasinya masih jauh dari memadai. Pada tahun 2023, BNPB hanya menerima Rp 7,5 triliun, yang jika dibagi dengan jumlah penduduk, hanya sekitar Rp 26.978 per orang. Sebagian besar dana ini masih digunakan untuk respons darurat, sementara mitigasi dan kesiapsiagaan seharusnya menjadi prioritas utama. Dalam perbandingan, Jepang mengalokasikan ¥1 triliun (sekitar Rp 130 triliun) untuk penanggulangan bencana pada tahun yang sama.
Selain itu, masalah koordinasi antara lembaga penanganan bencana di Indonesia juga menjadi tantangan serius. BNPB berada di bawah presiden, sedangkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berada di bawah kepala daerah masing-masing, yang sering menyebabkan kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah. Jepang, dengan sistem penanganan bencana yang sangat terorganisir dan canggih, telah lama mengintegrasikan teknologi early warning yang mampu memberikan peringatan beberapa detik sebelum gempa besar terjadi. Indonesia, meskipun telah memiliki sistem peringatan dini untuk tsunami, masih perlu banyak meningkatkan keandalan dan jangkauannya.
Kekurangan tenaga ahli di bidang kebencanaan juga menjadi masalah yang tak kalah penting. Data dari BNPB tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 2.000 ahli yang terlatih dalam penanggulangan bencana. Bandingkan dengan Jepang, yang memiliki lebih dari 20.000 ahli bencana di berbagai bidang, termasuk seismologi, vulkanologi, dan manajemen bencana. Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia perlu memperluas dan memperdalam pendidikan dan pelatihan di bidang kebencanaan. Universitas-universitas perlu didorong untuk membuka lebih banyak program studi kebencanaan, dan pelatihan rutin bagi tenaga ahli yang ada harus ditingkatkan. Tanpa adanya peningkatan jumlah dan kualitas tenaga ahli, upaya mitigasi bencana di Indonesia akan terus terhambat.
Isu megathrust juga menjadi salah satu ancaman paling serius yang harus dihadapi Indonesia. Megathrust adalah zona tumbukan antara dua lempeng tektonik yang bisa menghasilkan gempa bumi berkekuatan sangat besar, dengan potensi memicu tsunami dahsyat. Laporan dari Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa wilayah pesisir Indonesia berada dalam ancaman serius dari megathrust, terutama dengan peningkatan aktivitas seismik yang terdeteksi dalam beberapa tahun terakhir.
Mengingat potensi ancaman ini, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah serius untuk memitigasi dampaknya. Pertama, pemerintah harus meningkatkan alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana, terutama untuk kegiatan mitigasi seperti pembangunan infrastruktur tahan gempa dan peningkatan sistem peringatan dini. Kedua, pendidikan bencana harus diintegrasikan secara menyeluruh dalam kurikulum sekolah, dengan latihan evakuasi yang rutin dan menyeluruh di setiap sekolah yang berada di zona rawan. Ketiga, peningkatan jumlah dan kualitas ahli bencana sangat penting, termasuk dengan mendorong lebih banyak universitas untuk membuka program studi kebencanaan dan memperluas pelatihan bagi tenaga ahli yang sudah ada.
Pemerintah juga perlu memperkuat koordinasi antara BNPB dan BPBD agar lebih efektif dalam merespons bencana, termasuk dalam penanganan megathrust yang membutuhkan tindakan cepat dan tepat. Masyarakat harus diberdayakan untuk lebih memahami risiko bencana di daerah mereka masing-masing dan dilibatkan secara aktif dalam upaya mitigasi, seperti melalui program-program pelatihan komunitas dan peningkatan kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana.
Di tengah ancaman megathrust yang semakin nyata, Indonesia harus segera melakukan langkah-langkah ini. Selain mengurangi potensi kerugian yang timbul, langkah-langkah ini juga akan meningkatkan daya tahan masyarakat terhadap berbagai jenis bencana. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya akan lebih siap menghadapi megathrust, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi berbagai bencana yang dapat terjadi kapan saja.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.