Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak, S.H.

Mental Merdeka

Kolom | 2024-08-26 23:36:28
Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak (Sumber Gambar: Pribadi)

Setelah 79 tahun menyatakan kemerdekaan, tampaknya bangsa ini belum sepenuhnya merdeka. Dalam makna yang lebih luas, kemerdekaan tidak saja bermakna bebas dari cengkraman dan tindasan penjajah, tetapi kemerdekaan itu berwujud pada mental atau kejiwaan yang mandiri dan tidak hipokrit. Warisan kolonialisme tidak saja berbentuk penindasan, pengurasan sumber daya alam, dan pembunuhan jiwa, melainkan perbudakan mental dan cara berpikir.
Mental/pikiran adalah pusat eksistensi dari identitas seseorang. Dengan itu ia bisa merasa, berpikir, dan bertindak untuk menjalani kehidupannya. Hidup di bawah kendali penjajah akan merampas kebebasan seseorang, membuat mental/pikirannya akan terpasung tak berdaya sehingga potensi dan kemampuannya akan terhadang dan tidak dapat berkembang.

Warisan Kolonialisme

Kolonialisme terhadap bangsa ini telah meninggalkan warisan perbudakan mental. Penghuni bangsa ini-katakanlah misalnya, "Manusia Indonesia"-secara umum masih terjajah secara mental. Masih kurang dalam menghargai diri, mengenal diri, bahkan kurang percaya diri sehingga berujung pada lemahnya pendirian dan kepribadiannya.

Kelemahan mental dan pikiran ini kerap terperangkap dalam 2 (dua) pilihan tindakan; meniru perangai tuannya dan menuruti apa yang dikehendaki oleh tuannya, persis seperti roda hidup yang masih terjajah. Tindakan pertama berujung pada sikap mental yang komformis, peniru, dan pembebek buta terhadap bangsa lain. Sementara tindakan kedua berujung pada konsekuensi melakukan apa saja yang diinginkan orang lain (bangsa lain), yang menyuburkan mentalitas pecundang dan totalitarian.

Kedua tindakan itu, secara silih berganti, telah mewarnai dan mengiringi perjalanan kemerdekaan bangsa ini sejak 79 tahun lalu. Sampai saat ini, kedua muara tindakan dan mentalitas itu kerap kita saksikan di berbagai lini kehidupan bangsa, mulai dari sistem politik, hukum, budaya, sosial, bahkan pendidikan kita.

Para pendiri bangsa ini menyadari betul tentang kelemahan ini. Ini menjadi satu patron perjuangan bangsa yang masih sangat jauh dari kata tuntas. Pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1956, Bung Karno mengatakan tiga fase perjuangan bangsa. Dua fase telah dihalau dengan berhasil, tetapi satu fase lagi sedang menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah melewati fase Physical Revolution (1945-1949) dan fase Survival (1950-1955).

Kemudian ia nyatakan bahwa sekarang kita berada pada fase terberat, yaitu fase Investment, pengembangan modal dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam pandangannya, pengembangan materi dan keterampilan sangat penting, dan ini sangat sulit serta membutuhkan waktu. Namun, pengembangan mental/pikiran jauh lebih penting dan lebih sulit.

Kemajuan material-keterampilan yang tidak dikawal oleh mental merdeka, tidak akan bisa dijadikan sebagai landasan persatuan dan kesejahteraan bangsa. Bahkan sebaliknya, kemajuan material itu akan memunculkan para "Penjajah" dengan wajah baru untuk memperkaya diri dan melakukan sesuai ego masing-masing.

Dalam praktiknya, apa yang diingatkan Bung Karno itu telah sedang berlangsung di hadapan kita. Rezim silih berganti, tetapi titik berat pembangunan kita terus saja mengutamakan kepentingan elite bangsa dengan slogan untuk kepentingan rakyat. Suluh dari nasihat Bung Karno itu tidak pernah sungguh-sungguh menjadi komitmen pembangunan bangsa kita.
Sebegitu jauh, perjalanan kemerdekaan mental kita sering terseok-seok oleh segelintir elite rakus. Keadilan sering dijadikan sebagai panglima dalam penegakkan hukum, padahal di balik layar, keadilan itu direkayasa sesuai dengan jumlah uang. Di atas demokrasi ditimpakan otoritarianisme dan dinasti. Alhasil, watak kolonialisme sering menampakkan diri dalam bentuk kesewenang-wenangan terhadap hukum dan rakyat.

Memerdekakan Mental Kita

Dalam kaitan itu, pembangunan dan pengembangan kualitas dan karakter manusia Indonesia menjadi sangat fundamental. Bagaimanapun juga, hakikat pembangunan itu adalah usaha untuk meningkatkan kapabilitas manusia Indonesia dengan menyehatkan jiwa dan raganya agar menjadi manusia Indonesia yang memiliki mental merdeka.
Mental merdeka yang mengenali dan percaya diri, serta sadar akan tanggung jawab dan nilai-nilai moral dalam hidupnya.

Mental merdeka itu laksana burung yang bertengger di atas dahan yang tak pernah takut dahannya patah karena kepercayaannya tidak diletakkan pada kekuatan dahan, tetapi pada kemampuan terbang sayap-sayapnya sendiri.

Mental merdeka itu ditempuh melalui; budaya merdeka yang berkepribadian, politik merdeka yang berkedaulatan, serta ekonomi merdeka yang berkeadilan. Budaya merdeka yang berkepribadian dapat diwujudkan dengan pendidikan budi pekerti, yang mengembangkan cara berpikir, merasa, dan berbuat sehingga akan melahirkan mental yang merdeka.

Sistem politik merdeka yang berkedaulatan dapat diupayakan dengan pemberdayaan partisipasi dan responsibilitas masyarakat dalam politik dengan menjaga prinsip kesetaraan, kebebasan, dan kesempatan dalam bernegara. Politik harus menjadi wahana bagi semua elemen bangsa untuk saling tukar pikiran dan gagasan. Politik harus memuat nilai-nilai demokrasi kultural Indonesia yang tidak terinfeksi oleh kekuatan dominasi oligarki.

Sementara ekonomi merdeka yang berkeadilan dapat diupayakan dengan semangat tolong-menolong (kooperatif). Menurut Bung Hatta, ekonomi berkeadilan akan terwujud jika semangat tolong-menolong telah menjadi budaya masing-masing. Dengan semangat ini, seluruh rakyat akan ikut serta berjibaku dalam pengembangan ekonomi negara. Seluruh komponen bangsa akan dibangkitkan dengan semangat kerja sama dalam suasana kekeluargaan sehingga terbebas dari sikap pemaksaan dan penindasan.

Pada akhirnya, peringatan kemerdekaan ini akan terasa berbeda jika kita benar-benar memerdekakan mental dan pikiran kita. Seperti dikatakan William Faulkner, “Kita bisa sungguh-sungguh merdeka bukan karena klaim kemerdekaan, melainkan karena kita mempraktikkannya”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image