Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Begini Pemikiran Logis dan Empati Mendefinisikan Kebijaksanaan

Gaya Hidup | 2024-08-25 22:38:26
Ilustrasi otak (pngtree.com/SSDarindo)

Apa yang membuat seseorang tampak bijaksana? Orang-orang melihat kebijaksanaan melalui lensa penerapan pengetahuan dan berpikir secara logis serta mempertimbangkan perasaan dan persepsi orang lain, demikian temuan sebuah studi baru yang dipimpin oleh para peneliti dari University of Waterloo.

Mereka meneliti persepsi kebijaksanaan di 12 negara dan lima benua.Para peneliti meneliti prinsip-prinsip dasar yang memandu siapa yang kita anggap bijaksana dalam kepemimpinan politik, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sehari-hari. Di berbagai budaya yang berbeda, penilaian para partisipan menyatu dalam dua dimensi: orientasi reflektif dan kesadaran sosio-emosional.

Orientasi reflektif mencakup karakteristik seperti berpikir secara logis, pengendalian emosi, dan penerapan pengetahuan. Kesadaran sosio-emosional mencakup karakteristik seperti kepedulian terhadap perasaan orang lain dan perhatian terhadap konteks sosial.

"Yang mengejutkan, kedua dimensi tersebut muncul di seluruh wilayah budaya yang kami pelajari, dan keduanya terkait dengan atribusi kebijaksanaan secara eksplisit," ujar Dr. Maksim Rudnev, peneliti pascadoktoral bidang psikologi di Waterloo dan penulis utama studi ini.

Penelitian ini menunjukkan bagaimana orang-orang di seluruh dunia menilai, mendukung, dan mempercayai para pemimpin, pendidik, dan pihak-pihak lain yang memiliki pengaruh. Salah satu contohnya adalah bagaimana orang memandang mantan presiden AS Donald Trump dan presiden saat ini Joe Biden.

"Meskipun kedua dimensi kebijaksanaan bekerja bersama, orang lebih mengasosiasikan kebijaksanaan dengan orientasi reflektif. Jika seseorang dipandang tidak mampu merefleksikan dan berpikir secara logis, maka persepsi tentang mereka sebagai orang yang kompeten secara sosio-emosional dan bermoral tidak akan mengimbanginya," ujar Dr. Igor Grossmann, penulis senior yang juga direktur dari Wisdom and Culture Lab di Universitas Waterloo.

"Anda dapat melihatnya setelah debat presiden Trump-Biden 2024 yang terkenal itu: kedua kandidat tidak terlihat reflektif. Namun Trump tampaknya memenangkan debat dengan banyak pemirsa yang menganggap Biden sebagai orang yang bermaksud baik secara sosio-emosional, tetapi lemah secara kognitif."

Kolaborasi antara 26 lembaga penelitian ini dikoordinasi oleh konsorsium Geography of Philosophy dan melibatkan para peneliti dari Amerika Utara dan Selatan (Kanada, Amerika Serikat, Ekuador, dan Peru), Asia (Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan), Afrika (Maroko dan Afrika Selatan), serta Eropa (Slowakia).

Penelitian ini melibatkan 2.707 partisipan dari 16 kelompok yang berbeda secara sosio-ekonomi dan budaya. Mereka diminta untuk membandingkan 10 individu, termasuk ilmuwan, politisi, dan guru, dalam konteks membuat pilihan yang sulit dalam skenario kehidupan nyata tanpa jawaban benar atau salah yang jelas.

Para partisipan kemudian diminta untuk menilai tingkat kebijaksanaan individu-individu ini dan diri mereka sendiri. Data tersebut dianalisis untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi yang mendasari persepsi kebijaksanaan di antara individu dan di antara kelompok.

"Yang menarik, partisipan kami menganggap diri mereka lebih rendah daripada kebanyakan teladan kebijaksanaan dalam hal orientasi reflektif. Namun, kurang sadar diri dalam hal karakteristik sosio-emosional," ujar Rudnev.

"Memahami persepsi kebijaksanaan di seluruh dunia berimplikasi pada kepemimpinan, pendidikan, dan komunikasi lintas budaya. Ini adalah langkah pertama dalam memahami prinsip-prinsip universal tentang bagaimana orang lain memandang orang bijak dalam konteks yang berbeda,” tambahnya.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image