Indonesia Darurat Rudapaksa, Legalisasi Aborsi Bukan Solusi
Agama | 2024-08-14 19:34:58Jum’at tanggal 26 Juli 2024, Presiden Joko Widodo resmi melegalisasikan PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023). Dalam kutipan pasal 116 yang berbunyi "Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana,” mengindikasikan adanya pelegalan bersyarat atas tindakan aborsi bagi korban rudapaksa (pemerkosaan) dan kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.
Indonesia Darurat Rudapaksa
Maraknya kasus rudapaksa di Indonesia yang menyebabkan kehamilan bagi para korban, membuat PP 28/2024 ini dianggap sebagai solusi bagi para korban pemerkosaan. Namun sayangya, pembolehan aborsi ini hanya akan menambah beban korban pemerkosaan baik secara moral maupun fisik.
Dikutip dari situs Halodoc (08/6/23) aborsi adalah praktik menghentikan kehamilan dengan jalan menghancurkan janin dalam kandungan. Tindakan aborsi ini sangat beresiko sebab bisa mengakibatkan pendarahan, infeksi, kerusakan pada rahim dan vagina (dirangkum dari situs alodokter, 27 Januari 2022) hingga dapat mengakibatkan kematian bagi perempuan yang menjalani tindakan aborsi.
Karena kurangnya perhatian pemerintah dalam kasus pencegahan ini mengakibatkan Indonesia darurat kasus rudapaksa. Dilansir dari kompas.com (12/07/2024) BPS merilis Laporan "Statistik Kriminal 2023", dalam laporan itu mencatat adanya tindak kejahatan asusila pemerkosaan di Indonesia ada 1.443 kasus.
Sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan melahirkan paham liberalisme atau kebebasan. Para perempuan dan laki-laki dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku dengan bebas tanpa melirik rambu-rambu syariat.
Standar kebahagiaan pun dititik beratkan pada meraih materi duniawi saja. Banyak diantara para perempuan yang bekerja terpaksa menanggalkan jilbab dan kerudungnya akibat aturan perusahaan. Seolah menutup aurat menjadi penghalang mereka mendapatkan materi.
Legalisasi aborsi bukan solusi
Melegalkan praktik aborsi (meskipun bersyarat) terhadap korban rudapaksa dan kekerasan seksual lainnya bukan lah solusi bahkan hanya menambah beban bagi perempuan yang menjalaninya.
Meskipun aborsi secara medis bisa dilakukan dengan beberapa syarat, namun kita tidak boleh menjadikan aborsi ini sebagai solusi bagi perempuan yang trauma karena rudapaksa, sebab aborsi adalah tindakan menghilangkan hak hidup janin di dalam rahim sang ibu. Sedangkan yang berhak atas hidup seseorang hanyalah Allah SWT.
Aborsi dalam pandangan Islam.
Dalam kitab Nizham al-Ijtima’i karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Rasulullah saw. telah menetapkan bagi janin seorang perempuan Bani Lihyan yang digugurkan dan kemudian meninggal dengan diat ghurrah, baik budak lelaki ataupun budak perempuan.”
Bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diat ghurrah adalah sudah tampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, kepala, mata, atau kuku. Adapun pengguguran janin sebelum peniupan ruh pada janin itu, jika dilakukan setelah berlalu 40 hari sejak awal kehamilan yaitu ketika dimulai proses penciptaan, hal itu juga haram.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika nutfah (zigot) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, apakah (dia Engkau tetapkan menjadi) laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah memberi keputusan.’” Dalam riwayat yang lain disebutkan empat puluh malam (arba’ina lailatan).
Jika pengguguran janin terjadi pada saat permulaan proses penciptaan janin, hukumnya sama dengan pengguguran janin yang telah ditiupkan ruh padanya, yaitu haram. Ada kewajiban membayar diat pada kasus itu berupa ghurrah, yaitu budak laki-laki atau perempuan.
Ketika proses pembentukan janin dimulai dan sudah tampak sebagian anggota tubuhnya, dipastikan janin itu adalah janin yang hidup dan sedang berproses untuk menjadi seorang manusia sempurna. Oleh sebab itu, penganiayaan terhadap janin sama saja dengan penganiayaan terhadap jiwa seorang manusia yang terpelihara darahnya. Penganiayaan tersebut dipandang sebagai pembunuhan terhadap janin. Allah Taala jelas-jelas telah mengharamkan tindakan ini. (dikutip dari muslimahmedianews, 2024)
Islam sebagai ideologi yang lahir dari aturan ilahi, sudah pasti membawa seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan permasalahan umat manusia.
Islam sangat menjaga nyawa seorang manusia. karena itu, untuk mencegah terjadinya aborsi, dalam sistem pergaulan islam, wanita dan pria kehidupannya terpisah. boleh bertemu, jika ingin membahas hal-hal yang dibolehkan oleh syariat. otomatis aktivitas yang mendekatkan pada zina pasti akan dilarang seperti khalwat dan ikhtilat apalagi zina.
Perempuan dan laki-laki wajib menutup aurat dan menundukkan/menjaga pandangan. Pornografi dan pornoaksi dilarang, pelaku dan pengedarnya akan dihukum. Media massa dan media sosial akan diawasi oleh polisi siber secara ketat agar tidak akan konten yang bertentangan dengan Islam.
Khilafah juga akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga terwujud ketaatan pada aturan Islam. Dakwah amar makruf nahi mungkar diserukan ke seluruh penjuru negeri sehingga seluruh masyarakat bertakwa. Hasilnya, kontrol sosial pun berjalan efektif dan merata. Semua inilah yang bisa mewujudkan kehidupan yang bebas dari zina, termasuk menutup rapat pintu-pintu aborsi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.