Perempuan Penjemput Subuh
Sastra | 2024-08-13 12:59:38Perempuan dan Baktinya
Seorang wanita kurus dengan usia lumayan tua terpanggang panas dan terus mengayuh sepeda ontel menerenjang tanah berdebu di jalanan transmigrasi. Dialah Bu Sumarni, matanya cekung tanda ia kurang tidur. Pandangan Bu Sumarni lurus tanpa sudut keluhan; sebuah sikap simetris pilihan telah terkunci. Lakon hidup manusia telah ada pada rel sendiri-sendiri. Tak pantas seorang manusia harus terus mengeluh dan mengiba. Manusia diciptakan paling sempurna di antara semua makhluk. Manusia punya ketangkasan beragam, motif berpikir dan bergerak yang berwarna.
Manusia yang hanya jadi batu parasit adalah manusia yang selama hidupnya menjadi makhluk sia-sia. Jika raga masih mampu bergerak, tak ingin bagi wanita itu untuk sudi mengemis . Bu Sumarni bersyukur menyikapi sebuah peran dalam buana ini. Selama napas masih dapat termulai di hari Subuh, selama itu pula kita sebagai insan akan selalu diberi kekuatan dan jalan guna menempuh jalur hidup. Asal kita selalu eleng dengan berpandang bahwa Tuhanlah tempat kita untuk mengadu tentang segala gundah masalah dalam rumah Salat. Tak ada yang patut kita protes dalam keluh karena sesungguhnya kita mampu untuk menjalaninya.
Wanita itu sedikit bergetar-getar kedua tangannya dan dierat-eratkan kegenggaman setang sepeda. Dari cara ia mendayung pedal sepedanya, tampak lemah nian kaki-kakinya itu. Di boncengan belakang masih terbandul karung goni berisi sayuran. Tak habis lagi ternyata jualan hari ini.
Terus bersabar dia.
Selagi mengontel sepeda, pikirannya kerap kali mengalir menuju anak tunggalnya di rumah yang baru lulus SMA. Kehendak putrinya, ia ingin kuliah tinggi dan menjadi guru. Dengan cakap polos itu, ia punya keinginan untuk merubah keadaan orang tuanya. Wanita kurus itu terharu dengan niat anaknya. Sebagai ibu, ia pun tak mau kelak anaknya mengikuti jejak langkahnya Berjualan sayur sampai berkilo-kilo jaraknya karena pasar yang ramai ada terletak jauh di luar desa. Sementara untuk pemukiman tran tempat wanita itu tinggal pasar begitu sepi. Keadaan itu tak menjamin bila dipakai untuk sarana penunjang kebutuhan hidup.
Kretek....Tek!!..Tek..Tek!!!!..
Ya Allah..., opo iki" kata Bu Sumarni kaget.
Menengok Bu Sumarni ke belakang, ternyata rantai sepedanya los ger. Diarahkan sepedanya menuju pinggiran jalan yang kerontang tumbuhan. Mati tampaknya tumbuhan dan pepohonan sepanjang jalan tersebut karena banyak batangnya yang setengah dikelupasi. Di tempat lain tanaman yang dulu merias sisi jalan telah musnah tertimbun aspal murahan.
Kini kakinya yang terbiasa telanjang langsung bersalaman dengan aspal panas. Berjongkok Bu Sumarni, tangan kirinya yang gemetar berpelembab keringat berusaha menahan setang sepeda. Sementara itu tangan kanannya sekarang telah belepotan oli bercampur bau minyak goreng.
Semenit kiranya dia menjadi montir amatiran. Di lain sisi karung sayur sebelah kiri tak dapat memberinya tempat sembunyi dari cahaya panas mentari. Hanya kerudung lusuh berwarna ungu yang melindungi kepalanya dari amarahnya hari.
Hyyuuuuhh!!!!... kode suara Bu Sumarni lega.
Berdiri ia, lalu mendorong sepeda dan menaikinya. Bu Sumarni mengontel dengan pelan. Akan tetapi kira-kira 5 meter dari tempatnya memperbaiki rantai tadi, sepeda Bu Sumarni ternyata los ger lagi.
Allahu Akbar??.. seru Bu Sumarni dengan wajah kian pucat.
Sebagai seorang hamba, tentu tak berarti Bu Sumarni selalu tegar tanpa keluhan. Yah, ia memang tak sudi untuk mengeluh dengan sesama. Bu Sumarni hanya selalu melarung semua keluhnya secara vertikal ke atas. Dia percaya, selalu ada jalan dibalik kesulitan yang menguji.
Teringat anaknya di rumah, tiba-tiba muncul seutas senyum di bibirnya yang layu. Terpancang tajam matanya ke depan dan seolah datang hujan dari langit; sekarang tubuh keringnya sudah basah dengan aura semangat.
“Dewie Pengen kuliah Bu, lalu nanti ingin membahagiakan Ibu dan Bapak.”
Mengangguk sendiri Bu Sumarni. Mengangguk sambil bertambah pelan mengontel. Kedua tangannya kini bergetar bukan karena terkoyak sinar matahari. Ngiangan dari anaknya berarti haru baginya. Getaran tangannya itu merambat ke badannya dan berubah semangat meski kepala sampai kakinya diterjang panas.
Iyo Ndok, kalau kamu mau sekolah lagi. Ibu janji bakal carikan biaya buat kamu batin Bu Sumarni.
Kemudian ia pun terus bersepeda dengan air bening mengiring perjalannya.
Setengah jam kemudian.
Melewati jalan kecil seperti sebuah siletan mengukir rambut. Dengan keadaan sepedanya yang masih rewel, Bu Sumarni kini telah sampai di jalan persawahan yang menghubung ke desanya. Dia memotong jalan besar tadi rupanya.
Meter demi meter jalan, ia harus lalui dengan sedikit-sedikit turun. Hal ini bukan lantaran rantai sepedanya yang rusak, melainkan lintasan kali ini terlihat kecil berlubang dan sebagian area telah tersamar oleh rerumputan liar yang menjalar menyebrang jalan.
Terus ia tabrak tumbuhan rawa itu dengan ban depan dan tubuhnya. Kadang-kadang pula ia harus dibuat jengkel ketika akar tumbuhan rawa seperti pakis dengan ketidaktahuan dirinya menerobos masuk jeruji sepeda. Hal itu tentu membuat roda sepeda jadi tersendat.
“Oalah sampai sekarang jalan trans kok enggak ada yang bagusnya. Bupati sering diganti, tapi kok jalan tetap mati dikubur debu dan rumput. Apa ini sudah jadi takdir buat aku dan desaku biar terus hidup nrima. Hmmm...Seingatku, mengenai usul perbaikan jalan, sudah ada dari pemuda-pemuda atau Kades. Sudah dari Subuh-subuh dulu berpuluh-puluh usulan terlayang ke pusat dengan map rapi dan silaturahmi beras. Tapi yo mboh lah, kelihatannya mereka yang pakai jas itu selalu pintar masang muka, gumamnya sambil terus menyisir jalan.
Cepat-cepat berhenti dari rasa kontroversi batin, Bu Sumarni sekarang lebih sering memandang ke pinggiran jalan. Tampak ribuan padi merunduk kuning masak siap dipanen. Mayoritas penduduk memang petani. Namun jujur saja, wanita itu tak merasakan sebuah kekaguman sebagai seorang petani. Orang dari kota biasanya sering datang berkunjung, entah mungkin dari daerah Kapuas atau bahkan kadang dari kota Banjarmasin. Mereka sering merefreshkan kepala dari semua hiruk pikuk kepadatan kota dengan kegiatan memancing di desa itu. Sering wanita itu menegur, tentang mengapa mereka rela jauh-jauh datang ke sini dan apakah di daerah sana tidak ada tempat seperti di desanya ini. Balasan salah seorang mereka adalah: mereka kagum, melihat indahnya padi yang sudah masak, indah merunduk, kagum juga mereka pada para petani. Tekun dalam bekerja keras membabat alas, hingga menghasilkan ratusan karung gabah pertahunnya. Bila mendengar jawaban demikian, biasanya Bu Sumarni akan tersenyum. Bu Sumarni menyetujui segala ungkapan yang dilayangkan orang kota itu tentang tekunnya menjadi seorang petani. Tapi dalam batin, wanita itu ingin mengungkapkan bahwa ketekunan dari seorang petani, ialah karena memang mereka tak punya pekerjaan lain, atau tepatnya mereka telah pasrah untuk mencoba meloncat dari tempat basah ke tempat yang lebih kering.
Jika dipikir satu atau dua orang di kampungnya ada yang memberanikan diri meloncat. Contohnya Supri yang sudah menjadi distributor gabah dari desa sendiri. Tugasnya ialah mengirim gabah kampung ke distributor-distributor besar yang berada jauh di luar desa seperti Kapuas, Gambut di Banjarmasin, dan Banjar Baru. Supri paham, begitu berat menjadi petani. Bertani adalah kerjaan sesakit-sakit kerjaan. Mulai membuat bibit padi, membersihkan sawah dari tanaman rawa dan gulma, hingga bertanam, memupuk sampai panen dalam setahun. Semua hal itu adalah dinamika keringat yang terus terkucur. Benar, pendapat yang mengatakan kerja keras memerlukan keringat yang ekstra. Tapi manusia tercipta dengan segala pemikiran, segala pilihan. Akhirnya kembalilah keanggapan dasar, bahwa: selama hari Subuh seseorang masih mampu menghela napas, maka di saat itu sebenarnya manusia masih diberikan jalan pilihan untuk merubah keadaannnya. Oleh keyakinan itulah maka satu dua orang di kampung Bu Sumarni ada yang nekad keluar mencari rezeki dengan cara lain.
Bu Sumarni memutuskan untuk berdagang, karena hasil dagang begitu cukup untuk mengayom hidup. Bersepeda berkilo-kilo jauhnya, baik dalam mencari dagangan dan menjualnya ke pasar memang juga sama menguras peluh. Tapi setidaknya, berdagang adalah sebuah pekerjaan dengan ketenangan jiwa, karena mata mampu melihat-lihat hal yang baru. Hitungan untung yang diraih meski kecil namun perhari. Sedangkan bertani, dari pagi sampai sore hanya melulu bercinta dengan benih padi. Dan ketika benih padi itu melahirkan, memang hasil yang dicapai seseorang begitu besar mengingat garapan sawah di tanah tran luas-luas. Namun, untuk membiayai proses lahirnya benih padi menjadi beras, itu adalah proses panjang dan rumit. Seorang petani akan jadi profesor matematika ketika dihadapkan dalam situasi itu. Berhitung dengan jeli, menghitung bulan demi bulan. Apalagi musim berganti dan bila sampai pada musim yang dijadwalkan, namun sawah belum siap ditanam dan diurus sebagaimana mestinya; maka hal itu akan berdampak pada kualitas benih padi. Belum berhitung tentang mengupah, membagi untuk kosumsi, untuk pupuk, dan lain sebagainya. Semua harus rinci dan terumus dalam buku. Bila hal itu luput maka tanpa disadari seorang petani bisa jadi akan memanen rugi.
Sepeda berhenti berputar rodanya, sedikit terdengar endusan napas megap-megap. Bu Sumarni menyandarkan sepedanya pada sebatang pohon galam besar.
Dari dalam bakul yang tergantung di setang, ia ambil sebotol aqua berisi air rebusan dari rumah dan langsung mereguknya.
Gluk...Gluk..Gluk!! bunyi cairan bening terdorong masuk diikuti jakun tua yang naik turun berirama mengontrol gerak air yang membasahi kerongkongan keringnya.
Langsung pulang saja Bu, Tidak usah ikut mengarit padi!! teriak seorang lelaki yang sama umurnya dari tengah sawah.
Laki-laki itu adalah Pak Darwis, suami Bu Sumarni.
Ah..Tidak apa-apa Pak, ini juga cuma sebentar. Sedapatnya saja mengarit.
Berjalan lagi kaki-kaki keriputnya, wanita itu kini terjun ke sawah yang hanya terdiri dari 45 borongan untuk beralih profesi menjadi petani. Bagaimanapun, bertani adalah salah satu pekerjaannya, walaupun ia berusaha menjadikannya sampingan kerjaan. Dia juga tak tega melihat suaminya bekerja sendiri dari pagi sampai sore untuk mengarit padi yang telah panen. Pedoman Bu Sumarni ialah berbakti kepada Tuhannya, kepada suaminya, dan melunasi semua kewajiban sebagai orang tua.
Maka di siang panas itu pun, wanita tersebut sudah terjun membakti pada suaminya. Kadang kata-kata lawakan keluar di antara pasangan itu aar pekerjaan lekas rampung. Kemudian kala beristirahat di sebuah gubuk reot di tengah sawahnya, sang istri selalu membawakan suaminya gorengan yang ia beli di pasar untuk melipur lelah sang suami.
*
Malam di Desa Rawomangun seperti pasar yang sunyi ditinggal pengunjungnya. Tiada yang ramai dari kampung transmigrasi itu.
Rumah Pak Darwis letaknya sedikit ke pinggir kampung. Lebih dekat ke areal persawahan ketimbang merapat dengan tetangganya. Hal tersebut membuat keluarga itu tidak dapat mendengar deru-deru pembicaraan dari gardu di tengah desa.
Mau kemana Pak..? tegur sang istri yang melihat suaminya hendak keluar rumah.
Cari angin sebentar Bu, .
Dengan celana kain dan balutan sarung di lehernya, keluarlah Pak Darwis dari rumahnya.
Kreeek!!!..gleekk!!.. bunyi pintu menderit lalu mengatup.
Nanti kalau sudah kuliah, yang hati-hati yo Ndo’k"
Iya Bu, Dewie janji bakal kuliah dengan benar."
Iya Wie, orang tua hanya dapat menyokong dana dan dan doa, tak bisa ngebantumu berpikir. Jangan jadi seperti Ibuu dan Bapakmu.
Inggeh Bu, sahut Dewie sopan.
Percakapan keduanya itu berlangsung singkat. Sebagai anak, Dewie sudah tahu seperti apa keadaan orang tuanya. Hingga sering sekali ia mendapat nasihat. Singkatnya tidak hanya malam itu saja wajengan dari Ibunya ia terima, malam-malam yang lalu pun sama. Gadis berpipi gembung dengan kulit kuning kecokletan itu pun langsung mengerti bahwa, betapa enggan orang tuanya melihat kelak anaknya menuruti jejak mereka.
Teman-teman Dewie yang seangkatan, kini kabarnya telah mendapat pinangan sendiri-sendiri. Kadang-kadang sambil ngelaba di Handphone mereka kerap menanyakan kapan Dewie menyusul. Mendapat pertanyaan yang sepertinya terdengar lebih ke sindiran itu, tak membuat hati Dewie sesak dan cemburu. Ia anggap angin lalu saja karena hidup berkeluarga itu tak senyaman menguap kala bangun tidur. Tak spontan lancar. Tak spontan jadi. Semua adalah proses panjang, dengan pola pikir matang bukan dengan nafsu atau egoisme karena takut menjadi perawan tua.
Di luar rumah, Pak Darwis duduk kumpul di atas kursi panjang dari bambu dan galam, dengan beberapa orang tua yang asik menggiling rokok tembakau. Pemuda-pemuda juga berkumpul duduk-duduk bersila di dalam sebuah gardu dekat kursi bambu itu dengan tangan masing-masing memegang kartu domino. Riuh tawa pemuda-pemuda yang tersiratkan semangat-semangat di masa merah memecah hening malam.
Seorang lelaki uzur yang duduk dekat dengan Pak Darwis langsung membuka cakap dengan bertanya:
Bagaimana, sudah selesai belum sawahmu Wis?”
Waah masih lama Mbah, belum apa-apa kok.
“Mbo’k dicarikan orang saja, buat mengaritnya.
Sedikit tersenyum di sudut bibirnya menyanggahlah Pak Darwis dengan sopan:
Sayang Mbah, diarit sendiri saja, lama-lama juga selesai."
Jangan terlalu perhitungan Wis sama duit, kita ini apa toh?. Yang penting sawah selesai, terus ya kerja lagi urai pria uzur lainnya. Dia adalah Mbah Karjo yang duduk di pojok kursi dari bambu. Apa lagi anakmu itu perempuan. Sudah jelas nanti kalau besar terus kawin. Terus paling ikut suaminya. Tidak bisa ngebantumu.
Terlihat mencibir bibir Mbah Karjo, Perempuan itu punya keterbatasan. Dia kalau sudah kawin Wis, maka hak berbakti pertama dia adalah kepada suami. Tidak kepada orang tua lagi. Orang tua akan tergeser keurutan ke dua, itulah keterbatasan perempuan. Mereka tidak perlu di sekolahkan tinggi-tinggi. Identik perempuan itu, biasanya lemah dalam mempertahankan sikap. Aku sih cuma mau ingetin, kasian kamu Wis, sudah jungkir balik pengen nguliahkan anak. Tapi eh..Anakmu malah lupa."
Nasib orang tidak ada yang pernah tahu Mbah, itu yang pertama. Saya, sebagai orang tua pasti pengen ngasih yang terbaik. Apakah itu salah?, menatap tajam ke wajah Mbah Karjo. Hidup, mati dan pembagian rezeki itu sudah ada yang ngaturnya. Anda mengatakan tentang perempuan saja, seolah posisi perempuan itu murni di bawah kita, para kaum lelaki. Apa Mbah juga tak tahu, bila seyogyanya, lelaki pun punya keterbatasan. Tidak hanya perempuan saja.
Lelaki itu kuasa Wis, dia kepala rumah tangga. Dia pengatur. Dia pemerintah, dan haknya jelas, kalau isteri harus patuh dengan suami. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk kiri laki-laki, itu sudah jelas bahwa letak perempuan ada di urutan dua, setelah laki-laki.
“Anda itu salah anggap Mbah. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki, bukan lantaran itu menunjukan bahwa perempuan mutlak menjadi yang ke dua atau menjadikan mereka seolah budak dengan kita sebagai juragannya. Bukan seperti itu protes Pak Darwis dengan kini membuang putung rokok tembakaunya yang masih panjang. Perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki karena perempuan itu wajib untuk kita jaga. Tulang rusuk dekat dengan hati. Dekat dengan jantung, Oleh karenanya, kita sebagai laki-laki harus bisa menjaganya dan mendidiknya. Laki laki semestinya memberinya semangat ketika dia jatuh. Karena tulang iga itu rapuh dan mudah patah. Oleh karena itu sebenarnya sikap kita tengah diuji. Bukan sebagai pengatur, melainkan sebagai pemomong.
Hahahaha!!!...Kata-katamu itu seperti orang pendidikan saja" ucap Mbah Karjo terpingkal. Tetap saja perempuan itu punya keterbatasan. Seperti yang ku jelaskan tadi, bahwa perempuan akan beralih patuh mengeduakan orang tuanya bila telah kawin. Ini menjadikan suami menjadi tempat pertama untuk perempuan mematuhinya."
Tidak bisa seperti itu Mbah?! sanggah Pak Darwis mengeleng-geleng geli. Perempuan dan laki-laki itu sama-sama punya keterbatasan, juga kelebihan. Tidak bisa Mbah, kita sudutkan perempuan. Kita saja punya kekurangan. Baik...!!. Saya setuju dengan Mbah bila perempuan telah menikah maka dia wajib mematuhi suami terlebih dahulu baru berbakti dengan orang tua. Itu sebabnya dalam akad nikah terjadi ijab kabul, tanda penyerahan perempuan untuk dimomong suami yang disetujui oleh orang tua perempuan sendiri. Namun itu tadi Mbah, perempuan tercipta bukan untuk disuruh dan diatur seenaknya. Dia tercipta sebagai penyemangat dan kita wajib membimbing, bukan merasa tinggi atas hak-hak tak jelas kita. Kalau di runut pun, sebenarnya kita juga lemah dan punya keterbatasan Mbah.
Mbah Karjo masih merasa menang dan memandang Pak Darwis hanya sebagai seorang bocah, jauh dari pengalaman dia. Sedikitpun dia tak akan setuju tentang apapun gagasan yang Pak Darwis utarakan. Mbah Karjo hanya terus menggiling-giling rokok dan mengepul-ngepulkannya dengan congkak. Melihatnya Pak Darwis semakin panas, diapun terus bercerita untuk membangunkan presepsi yang kolot dari Mbah Karjo.
Begini Mbah, silahkan mikir sendiri lanjut Pak Darwis dengan nada jengkel sekarang. Dalam Al-Quran tertulis 'surga ada di telapak kaki ibu' Mbah pasti pernah mendengar. Nah dari situpun kita sudah tahu, bagaimana kedudukan perempuan. Mereka tinggi Mbah, doa pertama dan bakti pertama seorang anak, adalah bakti kepada ibu, baru ke Bapak. Dengan kata lain, derajat perempuan adalah mulia. Kita sebagai seorang ayah akan menjadi urutan kedua di mata anak. Sosok perempuan atau ibu akan menjadi patokan pertama bakti seorang bocah, jadi adil. Salah, jika tadi Mbah mengatakan bahwa, laki-laki adalah pemerintah mutlak karena sesungguhnya semua yang tercipta oleh Tuhan baik laki-laki dan perempuan adalah mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Ya.., silahkan saja jadi guru di sini" timpal Mbah Karjo sewot.
“Lalu tentang Dewie, dia itu anak baik Mbah; anak tau budi pekerti. Perkara nikah-nikah dia sama sekali belum terpikir. Di sini dia berada di lingkungan yang baik. Tentu anak baik akan terdidik baik di lingkungan yang baik. Saya cuma tak mau Dewie jadi seperti orang tuanya. Saya ingin dia makmur.
Muak benar sekarang Pak Darwis menghadapi orang tua yang keras kepala itu. Irikah dia, atau mungkin sirik. Tapi sirik tentu pasti dilatar belakangi iri. Semakin muak Pak Darwis lalu akhirnya memutuskan pulang.
Saat dia berjalan membelakangi Mbah Karjo dan kerumunan-kerumunan, Mbah Karjo selaku guru ngaji terlihat dikerubung oleh santri-santrinya. Raut mereka sebagian terkesan mencibir Pak Darwis. Begitulah keadaan sebuah desa yang masih kental dengan lemahnya pola pikir pendidikan.
Kini tengah malam di Kampung Rawomangun begitu senyap. Tak terdengar lagi guyonan pemuda yang riang bermain kartu. Begitu sunyi.
Rembulan nampak cerah. Cerahnya tidak alami. Seperti ada lentera buatan ikut tercampur di dalamnya. Dari kejauhan terlihat cahaya merah mengepul ke atas. Tidak ada pesta di desa transmigrasi. Apalagi pada jam 2 dini hari. Pandangan demikian membuat Bu Sumarni yang bangun untuk menunaikan salat Tahajud, menjadi tersita langkah kakinya saat hendak ke sumur untuk berwudu.
Api..?, batinnya. Itu Api..!!. Sopo seng begitu ceroboh membuat api di musim kemarau seperti ini. Nggak mikir dampak dari kegiatannya itu terus hatinya berseru. Pandangan Bu Sumarni terus terfokus ke arah selatan. Cahaya merah sangat terlihat berkukus membumbung tinggi membuat warna ketakutan di langit.
Untungnya kebakaran itu masih jauh dari persawahan mereka. Kebakaran itu lebih dekat ke kampung seberang di mana suku Bugis juga bermukim di sana.
Tanpa ia pedulikan lagi. Jongkoklah Bu itu mengambil gayung untuk berwudu.
Tubuh kurus itupun telah berserah lagi dalam hening malam dan amparan sejadah . Kelihatan dari bibirnya. Wanita itu sangat khusu dalam menjalankan kewajiban manusia. Di akhir salat, untaian doa ia panjatkan menembus atap rumahnya, dan melintas vertikal ke langit. Kepada Tuhannya. Allah SWT.
Usai salat tengah malam, Bu Sumarni segera menuju ke dapur. Memasak. Disiapkannya kayu bakar dari pelepah kelapa dan aneka ranting pohon lainnya. Tidak ada kompor. Ia enggan memakai kompor. Ia tahu perjuangannya sebagai orang tua masih panjang.
Bangun jam 2 dini hari dan menyiapkan segala keperluan bekal makanan suami dan anaknya di pagi nant. Ini telah menjadi hal biasa dalam rooling kegiatan Bu Sumarni.
Selesai dengan kesibukannya. Wanita 1 orang anak itu lalu berjalan keluar. Menuju pintu rumah.
Di depan pintu masuk, sejenak ia pandang sepeda ontelnya yang berbesi dingin termandikan embun dengan boncengan berisi dua karung goni. Setiap sisinya terdapat kantong untuk tempat barang dagangan. Ia amati empat batang umbud kelapa belum teriris sempurna. Masih bercampur dengan pelepah tua dan bakal jadi beban tambahan baginya. Diambilnya batang umbud itu satu persatu, diangkat, ditaruh di tanah lalu dikupasnya menjadi batang dengan potongan pas siap untuk diiris.
Aneka sayur seperti bayam, kangkung, buah waluh beserta pucuk daunnya yang muda juga telah dicuci agar nampak bersih. Ia tumpangkan semua sayur itu di atas boncengan, dibalut karung rafia lalu mengikatnya rapih.
Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar suara radio pengajian mulai diputar di mushola Pak Poyo. Satu-satunya langgar di kampung itu.
Berarti sudah jam 4an ini, pikir Bu Sumarni.
Beberapa kegiatan yang dilakukannya tak terasa begitu cepat memutar waktu. Tanpa banyak menunggu. Selesai dengan persiapannya, Bu Sumarni segera bergegas menuju kamar untuk salin baju. Ia kenakan kerudung dan baju yang menurutnya hangat dengan membawa kantongan plastik berisi sebuah bungkusan. Kemudian berangkatlah wanita itu membelah hari di pergantian malam. Menyongsong Subuh dengan penerangan bulan yang sembunyi dibalik sayub-sayub kabut.
Bu Sumarni pergi berdagang ke Desa Anjir. Pasar yang akan ia singgahi adalah pasar Arba km 18. Di mana jarak antara pasar dengan Desa Rawomangun -+ 20 km.
Sesekali terdengar lantunan nyanyian di bibirnya. Entah apa nyanyian itu. Seperti puji-pujian namun tak jelas. Mungkin dengan bernyanyi, wanita itu mampu sedikit melupakkan penat kakinya ketika mengayuh sepeda.
Dilewatinya berbagai jalan. Keluar perkampungan, masuklah wanita itu kedalam jalan di mana setiap sisinya adalah hutan karet.
Beginilah jalan Tran. Jalan yang dibuat dengan menerobos hutan. Suara monyet menyambut kedatangan Bu Sumarni. Tapi hatinya tak pernah ciut, sebab bukan pertama kali ia lewat di situ. Jadi hal tersebut tak pantas ia takutkan.
Sebenarnya bukan Bu Sumarni saja yang berdagang di Anjir. Ada beberapa tetangga yang memiliki pekerjaan sama seperti itu. Mereka lebih memilih pasar Anjir karena tergiur keuntungan yang cukup besar, ketimbang pasar seminggu sekali di desanya.
Tapi khusus pasar Arba. Hanya Bu Sumarni saja yang nekat untuk berdagang di sana. Letak pasar Arba yang jauh, membuat mereka enggan mendatanginya.
Perlahan kayuhan Bu Sumarni akhirnya melewati belantara hutan karet. Keluar dari hutan pandangannya sedikit demi sedikit mulai kabur.
Kabut?. Inilah kebakaran itu!. Pancaran cahayanya sampai di desaku batinnya.
Dilewatinya jalan kampung Handil Gardu, di sisi jalannya dijumpai damen padi yang hangus terpanggang api.
Ternyata sawah mereka lebih dahulu panen sehingga aktivitas bakar-bakar seperti ini lebih awal mereka lakukan .
Napas Bu Sumarni perlahan menyesak. Mata mulai terasa pedih. Kemukus asap putih lebih parah menyiksa daripada kabut. Semakin mendekat ke arah perkampungan semakin terasa. Bau dari asap itu mirip gas bocor. Tajam mencolok hidung dan bola matanya. Terus ia kayuh sepedanya hingga keluar menjauhi perkampungan Hadil Gardu. Sedikit legalah ia.
Fajar dari sudut timur perlahan tampak rona kuningnya. Kabut masih menyelimut. Kendati tidak sekuat saat melewati perkampungan tadi. Tetap saja, kabut mengganggu aktivitas seseorang.
Beberapa km lagi Bu Sumarni akan mencapai tanggul jalan. Tanggul di mana jalan trans Anjir yang terbuat dari cairan aspal mulus segera menantinya.
Sebelum sampai ketanggul, mula-mula Bu Sumarni harus menyebrang jembatan dari kayu ulin. Jembatan itu tinggi dan menukik. Di bawah jembatan itu sungai yang lumayan lebar dan bermuara ke Barito. Biasanya digunakan sebagai pembatas antara Desa Anjir Serapat Barat, dan Desa Anjir Serapat Timur.
Turunlah ia dari sepedanya. Diturunkan pula semua dagangannya. Ia sadar, tak mungkin sanggup ia bawa dagangan itu sekaligus dengan sepeda menyebrang jembatan. Oleh karenanya, ia bopong satu persatu dagangannya melewati jembatan.
Membopong batang umbud yang seukuran kepala manusia seperti menimang bayi besar. Membawanya menyeberang naik dan turun jembatan harus dipeluk lembut. Apabila umbud jatuh, otomatis kulit dan isinya yang ranum akan pecah. Sayur mayur ia angkat bersama karung goni yang lusuh dan penuh debu. Asap debu menguap dan sedikit membuat wajah Bu Sumarni bercelemotan warna cokelat tanah. Perlahan akhirnya selesailah Bu Sumarni membopongi dagangannya.
Sampai di seberang jembatan, ia bergegas menata dagangannya kembali lalu segera berangkat.
Melewati tepi jalan trans, mata wanita itu lebih sering menatap ke pinggiran. Apa yang ia pikirkan?. Terlihat wanita itu tengah berburu dengan sesuatu.
Sekitar 1 km dari jembatan tadi, berhentilah ia.
Seakan mendapatkan apa yang ia cari. Diambilnya bungkusan putih dari kantong plastik yang digantungkan di setang sepedanya. Berjalan ia mendekat ke sebuah bangunan langgar.
Ya..Bu Sumarni tahu manusia tercipta hanya sekedar ikhtiar, berusaha serta berdoa. Ia paham manusia tidak akan kekal selamanya di dunia. Ada hari pembalasan kelak saat manusia mati. Setelah usai berwudu, mukena dalam kantongan plastik itu dikenakannya.
Kala pagi masih enggan terbangun dan mentari belum mau beraktivitas. Di situ wanita tersebut berserah kepada sang Penciptanya. Menunaikan ibadah salat Subuh di sela-sela perjalanannya.
*
Ceciut burung prenjak berbunyi menandakan pagi telah hadir. Halimun tipis dari balik mentari yang masih malu seolah membentuk replika salju di dalam kampung.
Pak Darwis sudah siap dengan perbekalannya. Ia tidak makan di rumah. Pak Darwis biasa makan lewat jam. Ia akan makan jika perutnya telah mengorganisirnya.
Dengan sepeda Jengki, berangkatlah Pak Darwis menerobos rumput-rumput basah di jalanan untuk bekerja di sawahnya.
Di dalam perjalanan.
Wis..Bareng..?.
Melengos kekiri pipi kempot Pak Darwis. Matanya tertuju pada sosok laki-laki kurus di belakang yang mencoba memburunya. Pria itu berusia lebih muda dari Pak Darwis. Ia berwajah cekung hitam-hitam juga dan mempunyai kumis tipis. Akhirnya sambil tersenyum menjawablah Pak Darwis:
Ooh kamu to Nho.."
Tenyata Pak Ratnho teman kecil Pak Darwis.
“Rei 6 apa sudah selesai Nho jadi pindah kesini" ujar Pak Darwis lagi.
Sudah rampung 3 hari yang lalu Wis, aku carikan orang dari Palingkau untuk membantu.
Terus bersepeda Pak Darwis diikuti Pak Ratnho.
Berapa upah yang kamu sepakati Nho
Ahh.. Itu 8 banding 1 karung
Sayang Nho, mending digarap sendiri.
Hahaha...kalau digarap sendiri, enggak rampung Wis, kebanyakan sawah ucap Pak Ratnho mencongkak.
Pak Darwis paham karakter sahabatnya itu, dan mengaku kalah dengannya. Keputusan temannya itu tak dapat dilawan. Kepala Pak Ratnho keras. Meski begitu terbukti dengan kedisiplinannya ia mempunyai rumah yang mewah bila dibandingkan dengan warga Desa Rawomangun.
Anakmu kemana Nho alih tanya Pak Darwis.
Itu aku suruh mengarit rumput. Disuruh kuliah nggak mau katanya malas pusing" sahut Pak Ratnho enteng.
Hahaha..Orang hidup kok takut pusing
Lha anakmu sendiri piyee?, beberapa minggu lagi pengumuman lulus ujian bukan?
Dewie mau aku kuliahin Nho, biar nggak jadi sakit seperti orang tuanya.
Ohh..Bagus itu Wis balas Pak Ratnho dari belakang dengan wajah remeh.
Mentari sudah tampak bulat. Namun teriknya terasa masih segar tidak memeras keringat. Jam 8 ini, pkir Bu Sumarni tatkala telah sampai di pasar Arba.
Pasar Arba letaknya tidak di pinggir jalan Anjir. Lebih menjorok kedalam. Di pinggir pasar tersebut adalah Sungai Anjir yang bermuara sampai ke Sungai Barito dan Sungai Kapuas.
Masuk kedalam gang, dijumpainya beraneka dagangan dijual para pedagang. Macam-macam asal daerah pedagang itu. Ada yang dari daerah Banjarmasin, Marabahan, Kapuas , Anjir, dan lain sebagainya.
Mayoritas masyarakat Anjir adalah suku Banjar. Kendati berlaianan suku, para pedagang dan pembeli itu nyatanya rukun-rukun saja.
Bu Sumarni terus mendorong sepedanya masuk ke sudut pasar, menuju lapaknya. Teman-teman sepekerjaannya juga telah siap untuk berjualan. Bu Sumarni pun segera menata dagangannya semenarik mungkin. Diirisnya aneka sayur-mayur .
Bibi.. umbudnya berapa harganya Bi? tanya seorang perempuan yang usianya sepantar Bu Sumarni.
“Kalau yang diiris utuh itu 1000 seiris, nah kalau yang ini katanya mengambil satu bungkusan. Ini 2000 saja, sudah ada irisan waluh, nangka muda, dan kacang panjang. Tinggal disayur?
Emm.., Kalau yang diiris itu dua, ditambah yang di kantong ini 3 bungkus dapat ya Bi 5 ribu? tawarnya.
Bu Sumarni tersenyum. Mbok yo dinaikkin Bu, soalnya jauh ngebawanya"
Kalau pas saja berapa Bi?
Wah, saya ndak biasa main ngepas-ngepaskan. Ibu saja memberi harga, nanti bisa diatur? kata Bu Sumarni ramah.
Lho? sahut pembeli heran. Bibi kan yang jual, kok tidak bisa menentukan harga pasnya?
Bukan ndak bisa Bu, saya biasanya memang seperti itu, jadi pembeli dapat ridho dengan harga yang disetujuinya
Mendengar pengakuan itu pembeli itu pun tertawa. Pengakuan aneh tapi harus diakui bahwa pembeli itu jadi malah penasaran dengan Bu Sumarni. Pembeli yang beretnis Banjar itu pun lalu memberi penawaran:
7000 ya Bi?
Tersenyum ramah lagi, dan akhirnya Bu Sumarni pun setuju. Dibungkusnya irisan umbud dan campuran sayuran yang biasa dimasak santan ke dalam satu kantongan plastik.
Mereka berduapun sepakat dengan masing-masing mengakhirinya dengan akad khas Banjar.
"Tukar" kata pembeli.
"Jual" jawab Bu Sumarni.
Mata pengunjung pasar liar tertuju pada objek masing-masing yang diminatinya. Kaki berfungsi sebagai alat gerak dari rangkain tujuan yang terasa ternikmati hati. Anak-anak berjalan dengan mata meminta membuat orang tunya lumpuh dipermainkan. Arah mata bermacam-macam, namun dapat disimpulkan bahwa, mainan dan pentol adalah pemberhentian bocah-bocah itu. Pemuda-pemuda terlihat bergumul di tempat orang jualan baju. Sering juga mata mereka jelalatan melihat gadis-gadis bertubuh ramping berjalan lenggok dengan aroma dan bedak yang tersamar bau amis ikan dan apek keringat pengunjung. Yang pasutri setengah baya juga tak mau kalah dengan keliling-keliling jalan pasar. Sang suami yang terlihat kualahan tatkala sang istri menarik tangannya dan memberhentikannya di sebuah toko perhiasan hanya pasrah menunggu. Para Kakek dan nenek lebih suka duduk di emperan rumah sembari melihat kerumunan yang pikuk dengan tujuannya sendiri-sendiri.
Sementara itu di sela kesibukannya Bu Sumarno tetap jeli melihat warna tatapan para pengunjung. Seorang pengunjung pasar yang mencoba melihat-melihat dagangannya dan wajahnya terbaca tulisan RAGU segera dibujuk rayu untuk membeli dagangannya.
Mari Bu, silakan menyayur bening atau santan. Bu sini dulu saya kasih tahu sebentar panggil Bu Sumarni kepada pengunjung pasar yang melihat dagangannya secara sepintas.
Pembeli lain juga banyak bertanya tentang harga dan Bu Sumarni tak mengabaikkanya. Saat pengunjung menyepi ia tak akan membatasi jumlah patokan harga yang ingin ditawar pembeli. Namun bila keadaannnya seperti ini otomatis Bu Sumarni harus memberi patokan harga dengan cepat oleh karena banyaknya yang membeli sayur.
Ada sayur apa saja Bi? kata pembeli yang ragu tadi.
Bu Sumarni langsung menggunakan triknya dalam berdagang. Dia iris umbud besar yang bila dijual gelondongan maka akan laku 20-30 ribu secara terukur namun tampak serampangan bagi orang awam. Dengan begitu kesannya penjual akan terlihat menambahkan bahan secara gratis. Setelah diiris ia tambahkan pula beberapa potong waluh untuk pewarnanya lalu dimasukkan ke plastik.
Ayo monggo Bu, silakan dipilih sayurnya. Silakan beli Bu? ajak Bu Sumarni sambil melayani pembeli yang lain.
Yang ini berapa katuk ma bayamnya Bi tanya pembeli dengan nada malas.
2000 dua ikat Bu
Wah layu ini Bi? klaim pembeli.
Itu hanya layu sebentar Mbak, tapi di dalamnya masih bagus."
“1000 saja dua ya Bi?
Wah ndak dapat Mbak. Gini aja, itu 2000 ribu 2 ikat. Mbak mau berapa ikat. Nanti saya tambahi sayur ini untuk campurannya tukas Bu Sumarni sambil memasukkan sayuran yang telah diirisnya kedalam keranjang si pembeli.
Sang pembeli tentu merasa risih karena dia belum membeli, namun keranjangnya telah terisi sayuran yang ia belum pasti membeli. Akhirnya pembeli yang tampak ragu tersebut jadi membeli sayur katuk dan bayam serta tambahan-tambahan yang lain.
Rancangan Bu Sumarni memang pas, ia jeli membaca keadaan seseorang. Meskipun kesannnya ia seperti orang yang berjualan tanpa menghitung untung, dengan seringnya menambahkan sayuran ke pembeli. Namun sebenarnya Bu Sumarni tetap mendapatkan laba dari tindakannya tersebut. Umbud yang ia iris-iris dan dicampur dengan waluh, kacang panjang, dan nangka muda ialah murni inovasi Bu Sumarni sendiri. Ia ingin meringkas jualannya agar pembeli mudah untuk mengolahnya, dan cara seperti ini tak ada penjual yang mengikutinya. Entah mungkin tak ingin repot atau karena tak ingin disangka seorang plagiator. Jelasnya atas dasar inilah sehingga Bu Sumarni tergolong pedagang yang disukai para pembeli. Mereka beranggapan bahwa dagangan Bu Sumarni tergolong murah meriah.
Sekitar pukul 10 terlihat para pengunjung pasar mulai sepi. Kerumunan yang mulanya berjubel-jubel menyesak perlahan menjadi lenggang.
Dagangan Bu Sumarni yang awalnya banyak pun, kini telah habis terjual. Diperhatikannya ada segelintir pedagang lain yang masih tertumpuk barang daganganya. Salah satu pedagang tersebut bernama Leman, berasal dari Kapuas. Termasuk teman Bu Sumarni. Wanita itu kemudian mendatangi Leman dan menawar dagangan sayurnya dengan harga yang tentu telah dipertimbangkan.
Man..Sayurmu tak beli aja ya.." tanya Bu Sumarni sambil mendekat dan melihat-lihat dagangan Leman.
Sayur yang mana Bi.
Kangkungnya 20 ikat, waluhnya satu, terus tempenya 5, berapa semuanya Man.
Berpikir sejenak, mungkin menghitung dalam pikirannya dan akhirnya bersuara jua ia:
Emm..35 ribu Bi..
Mendengar harga yang dipasang Leman kening Bu Sumarni mengernyit.
Wah mahalnya Man..?, mbo’ dikurangi harganya..
Harganya..udah dari sana Bi?, ya seperti itu harganya.
20 ribu saja yo Man?
Tampak memelas mukanya, Leman pun menyahut lagi:
Duh..kayaapa yo Bi?, tambahi Bi, buat tambah-tambah bensin."
Yo lah..25 ribu Man, itu kalau kangkungmu seharga seribu seikat dan tempenya seribu satu maka pas Man" jelas Bu Sumarni sambil tangannya memilih-milih kangkung.
Diam sejenak agar terlihat ragu-ragu lalu berserulah:
Ayu ja..Bi ae..? balas Leman dan tangannya mengambil kantongan plastik untuk tempat dagangan yang dibeli Bu Sumarni.
Dalam perjalanan pulang Bu Sumarni lebih sering mengambil jalan memutar. Ia ingin menjual lagi dagangan yang dibelinya tadi ke perkampungan yang dilewati. Tentunya hal demikian dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang optimal.
Sampai di depan jalan pedesaan, yang berdebu dan sisi-sisinya penuh dengan pohon karet, tiba-tiba Bu Sumarni mendengar ada yang memanggil dari belakang.
Mbak Marni keliling di sini juga to? tegur salah seorang penjual sayur yang terlihat muncul dari belakang.
Itu si Sudar, pedagang sayur juga yang usianya jauh lebih muda. Dia telah menikah dan punya 2 orang anak yang masih SD kelas 1. Mengetahui itu, Bu Sumarni pun berhenti. Didorongnya ban sepeda, dan disandarkannya di sebuah pohon akasia.
Aduh capeknya Dar, aku istirahat dulu
Istirahat kok di situ, ayo kita cari warung Mbak bujuk Sudar.
Kamu duluan saja Dar, aku mau makan dulu. Ini aku bawa bekal sendiri dari rumah. Kamu mau? tawar Bu Sumarni dengan mengeluarkan wadah nasi.
Sudar yang sejak tadi ikut juga berhenti, sedikit tersenyum.
Aku di warung saja lah Mbak istirahatnya. Ada nasi bungkus di sana sama es teh. Nggak mau Mbak aku hidup terlalu susah. Yang di rumah sudah aku beliin pisang goreng, jadi enggak mungkin protes lah. Istriku juga nggak pernah nuntut, kalau aku ke warung. Anggap saja ongkos bensinku, hahahaha... tawa Sudar meledak.
Bu Sumarni ikut tertawa menghormati.
Yo wes yo Mbak, aku duluan saja kata Sudar sambil mendorong lalu meluncur meninggalkan Bu Sumarni.
Iyo Dar, hati-hati di jalan.
Sambil makan, Bu Sumarni tersenyum melihat sikap pemuda sekarang. Banyak sebenarnya penjual-penjual sayur yang lebih suka nongkrong di warung dan makan-makan di situ. Sudah susah kok dibikin susah, kerap kali slogan ini terdengar di telinga Bu Sumarni. Ia sendiri bukan tidak ingin mampir di warung, hanya saja tampaknya belum layak buatnya untuk bertindak seperti itu. Jika tidak mulai sekarang berusaha tirakat terhadap diri sendiri untuk mengutamakan kepentingan anak lalu kapan lagi. Cenderung hal-hal seperti ini lah yang kadang tersepelekan dan banyak membuat hidup seseorang menjadi hedon.
Anggaplah sekali ke warung habis 15 ribu, dan kalikan dengan 6 hari. Lalu hitung perbulannya. Bu Sumarni berlogika, seharusnya hal seperti ini dipikirkan masak sebab sampai di rumah yang dimomong banyak.
Gluk..Gluk..Gluk!!! Alhamdulillah! suara sebutan dan hembusan napas Bu Sumarni saat meneguk air.
Selesai dengan makan siangnya, tanpa berlama-lama Bu Sumarni pun beranjak dari tempat duduknya. Tenaganya telah diisi, dan siap lah dia untuk mencari rezeki lagi.
Bu Sumarni memutar sepedanya, tak jadi ia menjajakan sayurannya di jalan itu. Dia tahu bahwa ada pedagang lain yang membarenginya untuk berjualan keliling, sejak itulah Bu Sumarni memutuskan untuk istirahat agar pedagang itu mau pergi duluan melawati jalan tersebut.
Intinya Bu Sumarni ingin sendirian dalam menjajakan dagangannya. Oleh karena jalan yang hendak dilalui Bu Sumarni telah dilewati Sudar, maka ia pun memutuskan mencari jalan tembusan lain untuk menghabiskan sayurannya.
Jalan menuju Desa Rawomangun memang banyak, dari Anjir sendiri mempunyai berbagai perkampungan yang bisa dibilang kampung transmigrasi juga, namun transmigrasi ini lebih kependuduk asli Kalimantan seperti daerah Kandangan, Rantau, Purukcahu, Paringin dan lain-lain, di mana letak daerah-daerah tersebut sangat jauh dari Anjir, dan pada masa terdahulu, mereka juga suka melancong serta tinggal di pelosok-pelosok Anjir, kemudian mengakibatkan lahirnya sebuah desa-desa kecil di sepanjang pematang sawah yang di buat jalan tembusan oleh agenda Bupati setempat.
Bu Sumarni bersepeda mencari jalan pedesaan lain. Ia bersenandung untuk melepas jemu. Mungkin juga senadung itu membuat hati dan pikirannya menjadi tenang.
Sayur... sayur.." teriaknya memasarkan dagangan.
Kadang, ada saja tingkah pelanggan yang macam-macam. Sayur yang memang satu ikatnya sudah dihitung harganya masih saja ada yang menawar dengan harga murah. Alasan layu, sudah terlalu siang, dan beragam lainnya menjadi senjata mereka. Ada juga yang bandel, sudah lebih seminggu namun belum juga pembeli itu melunasi hutang sayurnya. Di antara mereka ada yang kepergok Bu Sumarni. Namun saat mereka mengetahuinya, buru-buru pergi ke dapur atau pergi ke sawah. Tapi toh kejadian seperti itu tak membuat beban yang berat di pikiran Ibu satu orang anak ini. Ia tetap saja senyum. Ia yakin betul, dengan bersabar Allah pasti memberi rezeki yang lebih dari itu.
Bibi...?, sayur Bi.." panggil seorang ibu muda yang tengah duduk di depan pintu.
Bu Sumarnipun berhenti, disandarkannya sepeda itu ke tiang listrik yang berada di pinggir jalan desa tersebut.
Sayur apa aja Bi..? tanya ibu muda tu.
Ini adanya..sayurnya ya seperti itu, cuma kangkung, waluh dengan tempe.
Berapa seikat kangkungnya Bi"
1500 seikatnya Mbak?.
Ya udah..saya ambil 2 ikat sama tempenya 3 Bi.., jadinya berapa?
Tempe tiga. 3000 tambah 3000, jadinya 6000 Mbak" hitungnya.
Oh iya ...ini uangnya Bi..makasih Bi ya katanya sambil menuju rumah.
Ia sama-sama Mbak.
Dari kampung satu kekampung lain perlahan telah ia lewati. Dagangannya pun mulai habis. Jam berputar pada angka 2 siang. Panas mentari masih bengis menjajah kulit hitam nan keriputnya. Ia tidak pernah peduli. Kemukus di tengah sawah akibat kebakaran juga ia temukan di jalan yang ia lewati itu.
Bu Sumarni kembali teringat sawahnya. Seandainya dalam beberapa bulan ini sawah tersebut belum selesai. Sudah pasti api keburu mencicipinya. Dalam perjalanan itu ia telah habis melewati perkampungan. Terlihat di sepanjang jalan ini hanyalah hamparan sawah yang sebagian telah selesai dikatam atau diarit. Tak dijumpainya satupun rumah.
“Di mana aku akan sembahyang? batinnya.
Ketika ia melewati sebuah pohon galam yang agak rindang. Ia putuskan untuk berhenti sejenak. Wanita itu berjalan menuju pinggir sungai yang airnya kalat karena mengandung banyak zat asam. Menyisir pinggiran jalan itu, Bu Sumarni mencari pijakan yang kokoh untuk berwudu. Setelah mendapatkannya, lalu digosok-gosoklah tangan dan kakinya agar daki-daki hilang.
Kemudian, berwudulah dia.
*
Wis...Istirahat Wis..? bujuk Pak Ratno yang tengah terkapah-kapah kepanasan. Pak Ratno besandar di batang galam dekat tanggul sawah Pak Darwis.
“O iyo iyo..?" sambut Pak Darwis yang berjalan mendekatinya.
Waduhh...Panas banget, mau hujan kelihatanyaa ini ujar pak Ratno, sambil melepas bajunya dan mengipas-kipas badannya dengan topi purun.
Iyo Nho.. , panasnya seperti di neraka saja."
Ha..ha..ha..ha!!! Seperti pernah kesana kamu ini. Orang mati tu ya sudah! ..Gak ada lagi!, tinggal tulang saja yang tersisa Wis..? jelas Pak Ratnho.
Yo jangan begitu Nho, takut karo azab Seng Kuoso itu perlu buat batasan prilaku kita. Salat yo penting buat bekal kalau sudah mati.
Hidupmu sulit maju Wis, kalau mikir yang gituan. Aku ini Islam, tapi kok belakangan ini aku jadi nggak suka sama Islam. Coba lihat itu di televisi, kerusuhan kok teriak-teriak Allahu Akbar. Lalu yang besar-besar seperti anggota DPR itu, lihat sendiri Al-Quran kok dikorupsi. Merembet lagi di desa kaya kita ini yang sudah jadi budaya turun menurun, ketika ada acara berbau Islam seperti Maulid, atau Tabliq Akbar yang diburu bukan pahalanya, tapi nasi bungkus. Kalau sudah pulang, satu orang bisa bawa 2-3 nasi bungkus. Acara agama opo iku. Kalau ada syukuran atau akikahan, yang diundang berangkatnya lambat-lambat. Acara sudah mau selesai kadang baru keliatan orangnya. Seolah yang diincar juga makanannya saja. Mulai dari itu kok aku anggap Islam itu jadi enteng buat dilakuin. Jadi aku juga ragu kalau neraka itu ono.
Itu kan orang-orangnya juga Nho. Enggak usah ikut arus. Ikuti hati Nho, wong ada petunjuknya
“ Halah, aku kebacut malu sama Tuhan Wis, petunjuknya juga disamar-samarin. Menurutku banyak manusia, sekarang ini yang gak malu sama Tuhan terang Pak Ratnho serius.
Malu bagaimana dan opo maksudmu tentang petunjuk yang disamar-samarin kejar Pak Darwis.
Yo malu lah, kalau lagi susah lalu eleng salat, lagi sakit lalu inget salat. Tapi kalau sudah bejo, sudah mulyo. Sudah sugeeeehhh!!!!, berderma saja enggak mau. Sombongnya enggak ketulungan, angkuhnya enggak ke ukuran. Terus nanti kalau tekor lagi, ya itu?, enggak malu untuk ngemis salat lagi. Terus sekarang sepertinya nikah itu enak, wong ada nikah siri. Yang selalu dielu-elukan tentang landasan sariat Islam, jadi halal. Padahal motif aslinya nafsu. Cihh!!!, petunjuk yang disamar-samarin bukan?"
Garuk-garuk kepala, Pak Ratnho pun menyambung lagi:
Sekarang aku nggak mau terlalu ngrepotin Gusti Allah kok Wis, kalau langkahku salah, ya nggak akan ku tutupi dengan sok salat, salah ya salah. Biar salahku dapat batunya. Selama enggak ada batunya berarti aku yakin tindakanku benar.
“Lha itu sama saja kamu natang Gusti Allah Nho" ujar Pak Darwis semakin heran.
“Lho aku ndak nantang, aku hanya malu dan malas ngemis. Kalau salah ya biar dihukum, kalau enggak ada hukuman, berartikan benar.
Pak Darwis kagum dengan cara berpikir kawannnya itu. Dia terlalu mengikuti ambisi dan hati. Padahal kadang setan itu pun dapat masuk dan memberi saran lewat hati orang-orang yang lemah pendirian. Alhasil apa kata hati selalu menjadi tumpuan mutlak untuk seseorang bertindak. Orang yang seperti itu tak memerlukan nasihat-nasihat karena ia menganggap saran hanya memberikan batasan atas tindak tanduknya dalam berbuat.
Dari balik uap panas siang hari, Dewie melihat Ibunya telah datang mendekat. Segeralah ia berlari ke dapur, dibuatkannya teh untuk Ibunya itu.
Semenit kemudian ia bawa teh a itu ke teras depan.
Ini tehnya Bu, biar tambah segar.
Lucu memang, hawa yang panas dan Dewie malah membuatkan teh hangat. Namun minuman itulah yang disukai Ibunya. Bu Sumarni pun menyandarkan sepeda di dinding rumah. Dia raih bakul purun dan membawanya ke emperan depan.
Ini ibu bawain pisang goreng dari pasar tadi, tapi sudah dingin. Wong mulai pagi ujar Bu Suamarni sambil bersandar di tiang rumah.
Dewie tak langsung memakan oleh-olehnya itu, ia dekati Ibunya yang keletihan lalu memijit kepalanya sampai ke kaki.
Kamu sudah cari informasi tentang kuliah mana yang ingin dituju?"
Belum tahu lagi Bu, teman-teman ada sih yang nyaranin masuk ke UNLAM, tapi mboh lah, nanti cari yang pas dengan hati saja Bu.
Nanti Bu tak cari hubungan juga, biar tau tentang biayanya. Sudah saja mijitnya. Itu di makan pisang gorengnya dan sisakan untuk bapakmu beberapa potong kata Bu Sumarni sambil menjangkau katongan plastik wadah pisang goreng.
Geh..Bu, mengambil satu.
“Pisang gorenganya ada 5 Bu, ini ibu cicipi juga satu tawar Dewie.
Tadi di jalan sudah makan 2 Ndok, jadi kenyang jawab Ibunya berbohong.
Ya tidak apa-apa to makan lagi
Ibunya hanya tersenyum lalu bangkit dan berjalan menuju dapur.
*
Perjuangan, Prinsip, dan Sejarah
*
Musim penghujan telah datang, panen telah lewat. Pak Darwis dan Bu Sumarni bahagia bukan kepalang, sebab sawahnya mampu menghasilkan 100 karung padi. Hasil yang lumayan tersebut menjadi modal mereka untuk mengkuliahkan Dewie yang telah lulus SMA 1 minggu yang lalu.
Siang ini Dewie baru pulang dari sekolah. Sepeda pedral yang selama ini menemaninya selama 3 tahun ia sandarkan di batang pohon mangga. Sepatu yang ia kenakan nampak kotor dan lumpur mewarnai kaos kaki putihnya. Gadis berambut lurus itu lalu melepas sepatu serta kaos kaki. Ia masuk kedalam rumah dan sesaat sebelum pintu berderit tanda terbuka:
Sudah pulang ya Wie tegur seorang pemuda.
Itu si Sigit, anak Pak Ratnho. Dia telah lulus 2 tahun yang lalu. Sekarang pemuda itu bekerja di rumah membantu ayahnya.
Sedikit kaget, Dewie pun membalas:
Iya Git, cape bener melewati jalanan rusak
Sigit tersenyum, dan mendekat.
Sudah selesai ngaritmu Git tanya Dewie yang melihat kedatangan Sigit.
Duduk di emperan, arit ia letakkan di lantai. Sementara itu karung berisi rumput yang hampir penuh, ia sandarkan di tanah.
Belum selesai, aku cape juga. Kamu ada air putih?, mbok aku minta segelas kata Sigit sambil menyeka keringat di dahinya.
Dewie yang mendengar permohonan dari Sigit, segera beranjak ke dapur.
Sebentar kemudian, kembalilah Dewie dengan membawa pesanan Sigit.
Gluk..Gluk bunyi air langsung masuk ke perut Sigit. Pemuda bertubuh sedang itu begitu lelah tampaknya. Hal itu terlihat Dewie saat mendapati dada Sigit naik turun layaknya orang kena asma.
Oh iya, dengar-dengar kamu mau kuliah Wie ujar Sigit sambil menyisihkan gelasnya yang telah kosong.
“Rencananya sih begitu Git, tapi aku juga masih bingung ingin kuliah di mana.
Kalau di Palangka Raya, itu mahal Wie jajanan dan sayur-sayurnya. Aku pernah kesana ketika merantau dulu.
Aku makan nasi bungkus dan teh hangat. Eh masa’ 30 ribu ujar Sigit dengan raut muka tak terima.
Tapi kata Sigit meneruskan. Kalau di Palangka Raya, itu mudah mencari sampingan kerjaan, seperti jaga toko atau jaga warnet. Beda di Banjarmasin, itu susah cari kerjaan karena kotanya ramai dan penduduknya banyak. Namun kalau di sana mau makan makanan apa saja itu murah harganya Wie."
Dewie tertawa sebab tatkala melihat Sigit mengucapkan kata murah, raut wajah Sigit langsung berubah seperti tikus menemukan ikan asin. Langsung berambisi dan berseri-seri.
Kamu ini Git, melancong-melancong saja kerjaannya. Enggak pernah netap. Lalu tau murah-murah gitu pas kamu sedang apa?, kerja juga.
Enggak Wie, aku waktu itu ngojek saja. Itu aku ngojekin si Slamet yang mau kerja di perusahaan. Padahal sebenarnya mau cari istri buat ditanam di tengah sawah. Alasan saja mau mencari kerja. Nah ketika itu aku ditlaktir makan, dan pas aku tanya harganya, ternyata jauh banget kayak di Palangka Hahahaha!!!!! tawa Sigit gantian lepas.
Git..Git..Soal makanan paling ngerti balas Dewie.
Pemuda-pemuda di kampung Rawomangun memang kebanyakan suka yang namanya merantau. Mengadu nasib, cari pengalaman karena telah bosan juga seumur-umur terjerebab di tengah hamparan sawah.
Sigit sendiri padahal ditawarkan kuliah oleh bapak Ibunya, namun Sigit malas pusing. Sigit lebih memilih merantau, dan berkumpul dengan teman-teman senongkrongnya. Banyak orang tua mengatakan jika Sigit adalah salah satu pemuda yang menyia-nyiakan kesempatan. Selain itu ada juga warga yang telah menganggap Sigit itu sebagai lelaki yang alot dagingnya.
Seperti yang terlihat sekarang, kerjaan Sigit hanya mengarit rumput. Orang sekitar hanya menjadikan seseorang sebagai bahan gunjingan, pasti akan menebak jika sebentar lagi anak itu tentu akan minggat dari kampungnya.
Tangan Dewie perlahan memijat-mijat perutnya, ia lapar. Namun tak enak meninggalkan Sigit yang tengah asih ngepul-ngepulkan asap tembakaunya.
Jadi kamu tahu Banjarmasin Git"
Tau, kamu pengen kuliah di sana bukan?
Iya nanti lihat Bapak ibuku dulu, setuju apa ndak.
“Pade Darwis ya jelas setuju lah, jawab Sigit pasti.
Huh, sok tahu kamu protes Dewie. Ya sudah, aku tinggal makan dulu. Aku lapar. Bila nanti Bapak ibuku setuju aku kuliah di Banjarmasin, aku minta antar kamu ya.
Ooh gampang, bisa diatur. Aku juga mau menuhi karungku ini. Terima kasih airnya kata Sigit berdiri sambil membuang putung rokoknya.
Iya.
*
Pak rencananya Dewie ingin kuliah di Banjarmasin saja. Nanti kalau Bapak sama ibu ngijinin, inginnya sih kesana diantar Sigit kata Dewie saat makan sehabis Magrib.
“Opo kamu sudah mantap Ndok, mau kuliah di sana, Bapak sama ibu itu dukung saja. Yang penting kamu kuliah itu bener sahut Pak Darwis.
“Inggeh Pak, Dewie janji tekun kuliah
Terus, opo Sigit mau untuk ngantar kesana Wie lanjut sang ayah.
Mau Pak, malah dia yang nawaranin.
Ya kalau memang seperti itu, ya sudah Pak. Kita orang tua bisanya menyokong dana sama doa saja Pak kata Bu Sumarni menyimpulkan.
Iya Bu, lalu kapan mau ke Banjarmasinnya. Di sana tentu kamu mencari kos-kosan Wie" tanya Pak Darwis.
Obrolan mereka sampai pada saat salat Isa. Bu Sumarni duluan meninggalkan percakapan disusul suami dan putrinya. Terakhir simpulan dari percakapan tersebut ialah Dewie berangkat ke Banjarmasin 3 hari lagi.
*
Mar!!! Mar!!! panggil seorang wanita.
Oh, ada apa?"
Mar, bener to anakmu mau sekolah nanti" tanya wanita tersebut yang ternyata teman Bu Sumarni.
Sambil menyusun-nyusun dagangan sayur, menyahutlah Bu Sumarni:
Insya Alloh Mbak yu
Punya duit banyak ya kamu Mar, mbok eleng. Nguliahkan anak itu kalau enggak segudang duitnya, enggak bakal bisa Mar
Bu Sumarni tersenyum.
Insya Allah Yu, kalau Gusti Allah ngijinin ya pasti lancar saja urusannya.
Aku ini lantaran masih punya hubungan dengan kakak lakimu, makanya aku hanya ingetin Mar
Iya, rejeki sudah ada yang ngaturnya Yu, mending sekarang kita fokus berdagang. Ndak usah ngomongin yang belum terjadi, jalani dengan ikhlas aja Mbak Yu.
Mar, anaknya si Pak Petrus, yang nomor 2, tau enggak? Pulang-pulang dari Palangka Raya, eh bawa laki.
Terus menyusun sayurnya, Bu Sumarni tak menghiraukan iparnya yang terus ncerocos disebelahnya. Bu Sumarni tak ingin merusak moodnya berjualan. Pagi-pagi telah memberi bayangan yang negatif dan sangat berlainan dengan apa yang dinamakan saudara. Saudara adalah orang yang selalu menyuport, memberi pilihan dengan berbagai masukan, serupa ahli psikologi memberi saran, semirip seorang guru BK melayani siswa. Saudara bukan sosok yang saling menindih dengan bayangan keraguan dan kesedihan.
Akhirnya berhenti juga ipar Bu Sumarni setelah lelah ngedumel.
Apa kabar Bi? sapa seseorang.
Sedikit mendengakkan leher, Bu Sumarni langsung berubah rona wajahnya.
Eh, H. Idrus,..Alhamdulillah Ji, kabar saya baik. Haji sendiri bagaimana?
Alhamdulillah kabar saya juga baik. Lama tidak belanja di tempat Bibi kata H. Idrus tersenyum.
Siapa Mar? ipar Bu Sumarni bertanya heran.
Oh..., ini lho Mbak yu, H. Idrus langggananku. Tapi sudah lama ora mampir belanja ke sini."
Mendengar pengakuan dari Bu Sumarni, H. Idrus tambah tersenyum. Meskipun ia berasal dari suku Banjar, namun karena terlalu sering mendengar bahasa Jawa dan sering pula bercengkrama denga orang Jawa, maka H. Idrus pun sedikit-sedikit paham tentang bahasa Jawa.
Saya sebulan di Bandung Bi, jadinya tidak ada di sini aku H. Idrus.
Oh..., keluar kota toh Ji? serobot ipar Bu Sumarni dengan sungkan.
H. Idrus mengangguk.
Ada pekerjaan kah Ji di sana? tanya Bu Sumarni.
Sebenarnya tidak ada, hanya sekedar menengok keluarga adik saya saja Bi. Sekarang anak muda sudah banyak kelewatan batasnya, sudah menyepelekan dan tuli telinganya bila dikasih nasihat
Lha memang kelewatan seperti apa Ji? buru Bu Sumarni lagi.
Anak adik saya, yang masih SMP, sudah lena dengan buaian dunia. Sudah menikmati glamournya di Bandung tempat ia dilahirkan. Nampaknya didikan agama saja tidak cukup untuk membuat anak itu nurut dengan nasihat orang tua. Tapi ya sudahlah Bi, sudah terjadi sambung H. Idrus.
Penjelasan yang tidak selesai itu, langsung dapat ditangkap maknanya oleh Bu Sumarni. Susahnya mengontrol anak pada era sekarang ini. Bu Sumarni pun wajib cemas, sebab ia pun memiliki anak perempuan di rumah.
Sabar saja Ji, kita tetap harus bersyukur sebab kejadian seperti itu tidak terjadi kepada anak kita, dan sekarang tugas kita lah yang harus lebih giat lagi untuk mendidik anak kata Bu Sumarni.
Nah bener itu Ji Ipar Bu Sumarni masuk pembicaraan.
H. Idrus pun mengangguk,
Mereka bertiga pun mengakhiri pembicaraan, kala pengunjung pasar telah berdatangan ramai. Seperti biasanya H. Idrus selalu membeli sayur umbud kesukaannya. Oleh Bu Sumarni pun, H. Idrus kerap mendapatkan sayuran yang banyak. Inilah beda antara langganan dan pembeli biasa.
Sebelum pamit pulang, Bu Sumarni menanayakan kepada H. Idrus tentang waktu luang. Rencananya Bu Sumarni serta sang suami akan bertamu di rumah beliau.
*
Pagi sekitar jam 8 kurang di kala hari H tiba.
Dengan mengendarai motor Posh-Onenya Sigit sudah merasa mirip seperti idolanya, Valeintino Rossi. Bunyi motor yang sering ia bangga-banggakan karena nadanya keras dan cempreng itu, sesungguhnya berlainan dengan apa yang didengar warga sekitarnya. Kenalpotnya dibedel, dan akhirnya menghasilkan bunyi seperti kendaraan Ninja. Gaul!, itu presepsinya.
Jika motor Sigit melintas, tidak jarang sumpah serapah selalu terlontar dari dalam rumah-rumah sederahana itu. Bunyinya yang tipis tajam dan memekakkan telinga, tidak hanya membuat tidur siang mereka terjaga. Suaranya juga membuat gambar TV jadi bergelombang tidak karuan.
Tapi bukan fanatik Rossi jika hal seperti ini membuat nyalinya ciut. Sigit malah semakin menikmati sumpah serapah itu bahkan kian ngece mengendarai motor kesayangannya.
Di sepanjang jalan menuju rumah Dewie , bibir Sigit selalu melekuk-lekuk dan kadang manyun kedapan. Sepertinya ingin senyum namun sungkan untuk meledakkannya. Hatinya diliputi kembang mekar yang ia sendiri tak tahu maknanya. Sumringah cerahlah rona wajahnya.
Sampai di depan pelataran Dewie, semerbak aroma minyak wangi berjenis Sexy Grafity segera menyeruak membuat Pak Darwis dan Bu Sumarni yang duduk-duduk di teras jadi senyum-senyum karena pekatnya aroma itu.
Wie..itu Sigit sudah datang, cepat-cepat toh kamu dandannya teriak Bu Sumarni.
Halah opo to Bu, njenengan itu ada-ada saja. Sopo juga yang dandan" jawab Dewie yang terlihat risih dari dalam kamarnya.
Turun dari motornya Sigit kemudian berjalan ke teras menyalami kedua orang tua Dewie. Baju dan celana Sigit mirip anak Band, lengkap dengan gaya rambutnya yang dicukur cancang dengan model Harajuku Style. Yah mungkin penampilan seperti itulah andalannya. Sayang tubuh hitamnya tak mampu menepis citra pandang seseorang.
Mau berangkat jam berapa Git? Pak Darwis memulai pembicaraannya.
Sigit dudukkan pantatnya di beranda dan menjawab:
Langsung saja Pakde. Nanti ndak kepanasan kalau siang-siang berangkatnya"
Oh yo, tunggu saja dulu. Dewienya masih di kamar.
Adakalanya dalam percakapan itu Pak Darwis menyinggung halus tentang penampilan Sigit yang modern namun tak sesuai dengan keadaan.
Rambut sama bajumu mantap yo Git. Bajumu itu pasti harganya mahal, penampilannmu sudah mirip seperti artis sopo itu..? matanya melihat kelangit-langit atap rumah sambil tangannya sesekali menggaruk-garuk kepala mengingat-ingat Pak Darwis pun melanjutkan pujian kiasanya, Nah mirip Ariel Noah Git."
Sigit kurang mengerti tentang singgungan halus dari Pak Darwis,dan hanya duduk tersenyum. Sesekali kepulan asap rokok L.A membumbung memutar-mutar di depan wajahnya.
Dari raut mukanya, tampak Sigit merasa ucapan Pak Darwis itu memang benar-benar pujian. Ia pun diam-diam menikmatinya. Terus ia hiyut rokoknya dalam-dalam dengan lubang hidungnya terlihat kembang kempis.
Sementara Bu Sumarni yang mengerti kosa-kata suaminya itu sebenarnya ingin menumpahkan tertawanya, namun ia cepat-cepat telan kembali karena takut anak muda itu tau dan bisa tersinggung.
Tak lama berselang.
Sesosok gadis ayu keluar berkelebat baju hem putih karet, dalaman hitam dan sedikit mengentat di bagian pinggang. Dewie berjalan kalem dari kamar menghampiri Sigit yang asik ngobrol dengan orang tuanya. Celana gadis itu memang pas dengan bentuk pahanya yang ramping. Liukan kedewasaanya dapat terlihat oleh mata dengan detailnya.
Dewie keluar menuju emperan rumah. Wajah hitam manisnya tersamar pupur dingin. Kerudung merah jambu ia kenakan serasi dengan baju hem.
Aroma bedak membalas semburan wangi dari parfum kebanggan seseorang. Membuat pemakai parfum itu tersungkur dalam tebing asmara. Mencuat menampar alam sadar. Pingsan alam sadar itu, kini terbawa oleh halusinasi khayal yang macam-macam. Dewie juga melembabkan lipglos di bibir ranumnya, sehingga basah dan mengguyur Sigit yang ketahuan melongo di teras.
Kikuk duduk Sigit. Gerogi badannya. Tersirap pandangan yang belum pernah ia tahu. Semua serba tak nyaman. Tak enak, dan tak tersadar. Hingga abu rokok berhamburan dipangkuan Sigit bahkan puntungnya pun lupa ia matikan. Alhasil jari kasarnya tersengat bara di dalamnya.
Aduhh!!
Bu Sumarni melihat tingkah kikuk Sigit, dan penampilan Dewie segera paham dan langsung cepat menegurnya.
Berjalan mendekat dan membenarkan ujung pakaian Dewie, Ibunya pun berujar:
Wie apa ndak ada baju yang lain toh. Bajumu itu sudah kekecilan. Nanti kalau berkendaraan kamu masuk angin lho?.
Biarin saja Bu?, ndak usah terlalu cemas" potong Pak Darwis tenang.
Sambil membenarkan kerudung, Dewie pun menyahut:
“Ndak apa-apa Bu harinya panas. Kalau pake jaket, di jalan nanti kepanasan."
Dewie lalu berjalan menghampiri Sigit.
Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan saja yo Ndo" pesan Ibunya.
Iya Bu.. Dewie pamit dulu. Wasalamuallaikum sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
Wallaikumsallam seng ati-ati yo, jangan ngebut-ngebut bawanya pesan Bu Sumarni lagi kepada Sigit yang menylenger motornya.
Inggih Bude. kami pergi dulu jawab Sigit.
Mereka berdua pun pergi.
Mencari topik pembahasan yang pas agar pembicaraan jadi seru, itulah prinsip Sigit. Ia terus bercerita meumpan kata, agar Dewie mau menanggapinya. Dewie pun meresponnya dengan kata-kata seadanya.
Dewie tahu, dari cara Sigit berujar tampaknya Sigit suka dengannya. Namun ia tak ingin hanyut dalam dunia pacar-pacaran dahulu. Dewi tak ingin pula membuat seseorang hanyut karena umpan balik kata-katanya.
Ban Dunlop motor Sigit terus berputar menyusuri jalan persawahan. Lajunya ringan dan lebih ekstrim tatkala beberapa kubangan lumpur bekas jatuhan air kemarin ia tabrak-tabrak. Kubangan yang meriasi jalanan itu seperti perangkap yang siap mencekal mangsanya. Bannya meliuk-liuk kekanan serta kekiri membuat permainan rem harus terus dimainkan.
Dewie merasa tak nyaman dengan posisi duduknya. Jok Sigit licin. Terlalu licin. Mungkin diolesi sesuatu cairan. Hingga dadanya tanpa rem yang stabil selalu terdorong kedepan membentur punggung berjaket Junkies itu. Berkali-kali Dewie menarik badannya ke belakang. Beda dengan Sigit yang tanpa kontrol terus memainkan perannya sebagai joki medan trek lumpur.
Gak usah ngebut-ngebut Git. Aku gak nyaman duduknya keluh Dewie.
Sigit yang mendengar keluhan dari pemboncengnya perlahan mau untuk mengurangi gaya bermotornya. Namun tetap terkadang kebiasaannya itu termulai lagi.
Sementara itu di rumah Dewi tampak Pak Darwis sedang mengobrol dengan istrinya.
Bu, kata Ratnho, bila suatu saat nanti kita perlu bantuan dana buat Dewie; dia bisa mbantu ujar Pak Darwis yang membersihi rumput di pinggir rumah.
Kalau bisa yah, jangan sampai kita ngutang Pak
Itu kan hanya saran Bu.
" Aku ndak terlalu suka sama si Ratnho itu. Orangnya terlalu nyepelein hal. Aku ndak berani sangkut urusan sama dia.”
Memang sih Bu, tapi kita ndak boleh buruk sangka juga. Mungkin memang dia rela menolong? bela Pak Darwis.
"Aku akan berusaha agar kita bisa sekolahin Dewie sampai lulus. Aku hanya mohon, Bapak tetap pada rencana awal. Jangan sekali-kali bimbang atau ragu. Kita punya ndoro Pak, bukan Ratnho atau masyarakat sini. Kita punya sesembahan. Kita masih mampu karena kita ada yang momong.. Bapak fokus kerja, aku juga kerja sambil berdoa bimbing Bu Sumarni.
Guratan ragu muncul di kening pak Darwis.
Aku dukung anakmu kuliah di Banjar Wis, tapi yo itu tadi Kuliah memang tempatnya orang yang kebanyakan harta. Empat tahun ngurung di kota hanya buat mendapatkan kertas yang untuk beli kacang atom saja tidak bisa. Saranku hanya satu, kamu harus kerja keras. Aku bakal bantu kamu bila kerepotan.
Ngiangan itu meski hanya beberapa menit dan telah terjadi beberapa hari yang lalu, toh tetap saja membuat hati Pak Darwis menjadi maju mundur. Bimbang dia, tanpa belum menjalani.
Iya Bu. Kita harus giatkan lagi bekerjanya.
Bu Sumarni mengetahui keadaan itu, dan melipurnya dengan berbagai saran.
Kita manusia wajib berusaha. Tak peduli berusaha itu adalah berusaha yang tidak mungkin, namun tetap manusia itu wajib untuk bergerak. Bapak tidak usah ragu. Kita sama-sama coba, mungkin dulu orang tua kita tidak serepot dan semuluk-muluk kita untuk ngurus anak. Tapi jika niat kita ingin merubah keadaan turunan, maka yo harus prehaten seperti ini. Dengan doa kita antarin Dewie ke tempat dan pikiran-pikiran yang baik, dan dengan ikhtiar kita cari rejeki untuk bekalnya. Insya Allah bakal terwujud.
Guratan ragu di wajah Pak Darwis mulai menyurut. Bayangan ketakutannya mulai pudar.
Baik Bu, besok Bapak akan minta bibit Pisang Ambon yang banyak di kebun Mbah Joyo yang ndak diurus itu. Tambah lagi bibit mangga dan jambu. Bapak juga bakal mencari upahan borongan najak atau bertanam padi. Lumayan buat tambah-tambah sayurnya jelas Pak Darwis mulai semangat kembali.
Ya begitu Pak. Bapak mesti kuat, dan membuktikan kalau kita akan merubah nasib Dewie. Aku akan perbanyak mencari umbudnya, nanti pulang dari pasar aku juga akan membawa bibit karet. Lumayan 1 kg 15 ribu. Nanti Bapak bantui tanam. Aku juga akan menanam buah waluh untuk diambil pucuk daun dan buahnya yang banyak, serta aneka jahe kencur untuk tambah-tambah.
Oh ya? kejar Bu Sumarni lagi.
Nanti ibu tukarin anak ayam, tolong Bapak yang mengurus yo.
Bu, ayam itu ngumpaninya pakai beras toh. Lha nanti malah beras kita yang habis buat makananin ayam
Sang istri tersenyum.
Gampang saja masalah pakan Pak, nanti kalau pulang dari pasar aku tak mampir di tempat gilingan padi, minta dedak untuk makan ayam. Tinggal dicampur sama cincangan singkong, ayam sudah kenyang
Wah benar itu Bu jawab Pak Darwis kagum dengan rencana isterinya.
*
Lepas dari jalan perdesaan dan Desa Anjir, motor ebret-ebret milik Sigit akhirnya melewati Jembatan Barito.
Melihat panorama jembatan yang membentang panjang, tentu membuat rona di paras Dewie jadi berubah. Matanya membesar, dan tak henti-hentinya menengok ke arah mana saja.
Dewie tak pernah keluyuran sedemikian jauh, dan kali ini ia sangat menikmati keberuntungannya itu.
Nanti sore kita nongkrong Wie di Jembatan Barito ini tawar Sigit.
Bisa, asal jangan lama-lama ya Git, soalnya aku takut kesorean" timpal Dewie.
Enggak lama juga, hanya mengistirahatkan bokong yang mulai terasa ada gejala ambeyen in."
Dewie tertawa mendengar guyonan Sigit, dan Sigit pun senang pasangannya tertawa.
Memasuki jalan Banjarmasin, kendaraan semakin memenuh, bertambah sesak juga padat. Dewie seakan teruji mentalnya. Jika tadi motor Sigit berkelok menerebas kubangan lumpur di kampungnya. Kini motor itu menari di antara tepi-tepi bak Truk dan sedan.
Betapa mengapung terombang-ambing hati Dewie ketika motor Sigit bersembunyi di sela-sela Truk karet dan gas yang berjalan berat. Hawa panas dari deru mesin berubah menjadi hawa dingin yang melayangkan jantungnya.
Sejengkal saja jarak itu. Ya cuma sejengkal saja batin Dewie ketakutan.
Selang 15 menit kemudian, motor yang mereka boncengi masuk ke dalam sebuah gang kecil. Motor berhenti di depan gerbang berbaleho hijau dengan tulisan promosi.
Nah ini kampusmu Wie. Kamu hafal jalanya, bukan?"
Iyo Git. Bagus bangunannya."
Ayo aku ajak berkeliling, kita mencari informasi yang diperlukan
Dewie mengikuti saja arahan dari Sigit, dan mereka berkeliling di sekitar kampus yang temboknya berwarna kuning.
*
Mbah Sumarni??? panggil nyaring seorang wanita dari emperan.
Lho? Kamu to Sus.
Sikap peduli Bu Sumarni, langsung muncul. Ia pun mendekati perempuan yang tergolong muda itu. Sepeda ia dorong menuju sebuah rumah yang sederhana.
Sekarang kandunganmu sudah jalan berapa bulan."
Lumayan Mbah, masuk delapan bulan
Wah sebentar lagi. Lha ini suamimu kemana?
Masih di sawah Mbah. Oh iya lama ya, Susi tidak melihat Mbah,. Bagaimana kabar Mbah dan bagaimana kabar Dewie?
Memang, Susi adalah seorang perempuan yang jarang di desa. Ia tergolong perempuan pelancongan. Lulusannya adalah SMK, dan pernah dahulu magang di luar wilayah, hingga akhirnya Susi bertemu dengan jodohnya.
Alhamdulillah baik Ndok, kamu sendiri seperti apa. Rukun-rukun saja toh kamu dengan suamimu? tanya Bu Sumarni kepo.
Susi berpucat muka,
Kabar Susi baik Mbah, dan alhamdulillah rukun-rukun saja dengan Masnya kata Susi sedikit tertahan.
Yah syukur jika begitu. Ini tumben kamu pulang ke kampungmu. Mas mu libur to bekerja?
Tidak juga Mbah, ini lantaran kehendak Susi saja yang mau ketemu dengan Emak. Mba, Susi ini ingin cerita" kata Susi mendekatkan diri. Susi mengatur duduknya agar nyaman. "Sebagai perempuan yang telah salah jalan pada tempo dulu. Apa yang telah Susi alami ini, apakah suatu teguran ya? kata Susi lirih.
Teguran bagaimana to Ndok."
Semenjak Susi menikah dan mengandung, Susi merasakan kalau suami Susi itu banyak sekali berubah. Sekarang lebih suka marah-marah. Jauh banget seperti dulu saat pacaran. Susi menyesal sekali. Kini Susi hanya menahan malu dengan ucapan Susi waktu dulu.
Sabar Ndok, yang sudah biarlah berlalu. Memang bila menikah spantar usia itu lebih sering berbeda paham. Namun pada hakikatnya, bila telah sepasang manusia terikat dalam pernikahan, tentunya jalan pemecahan itu pasti ada. kamu Ndok sebagai seorang isteri harus lebih sering bersabar. Mungkin suamimu sedang lelah atau sedang ada masalah. Jadi kesanmu dia berubah kata Bu Sumarni lembut.
Mungkin ini balasan atas ucapan Susi tempo dulu Mbah, yang lebih mempertahanin calon suami Susi ketimbang nasihat yang diberikan emak tukas Susi sambil menerawang ke atap yang terbuat dari dau rumbia.
Bu, si Rijal itu cowo yang baik Bu. Mengapa ibu sebagai orang tua masih tak menyetujui Susi.
Aku bukan tidak menyetujuimu Nak, hanya saja dia itu orang jauh. Lagipula dia kan juga masih magang sama sepertimu. Bu Ijinkan kamu berteman dengan Rijal, tapi tolong Nak, jangan kalah pendirianmu dengan hatimu
Banyak Bu, di kampung kita yang bersuami orang jauh. Tapi toh sekarang rukun-rukun saja dan bahagia. Apa ibu mau melihat Susi mendapat jodoh yang menjerumuskan Susi ke liang lumpur dan berpanas-panasan
Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia. Sama sekali aki tidak berpikiran seperti itu. Hanya saja kamu itu anak pertama. Kamu punya ade-ade yang harus kamu bantu Nak. Seandainya calon lelakimu itu telah mapan tentu aku merestui.
Bu memang tidak mengerti kehendakku! Usia Susi telah dewasa Bu. Rejeki telah Tuhan yang mengatur. Dahulu ibu tidak pernah merasakan cinta makanya masih dangkal untuk merasakan apa yang Susi alami" sindir putrinya.
Yah, ini mungkin teguran buat Susi Mbah? sambung Susi.
Semenjak kejadian tersebut, Susi menjadi sedikit arogan. Di matanya, hanya ada Rijal. Telah mabuk kepayang dia, namun dia tak tunjukkan sikap arogannya itu secara terang-terangan kepada Ibunya. Ia hanya mengatur rencana agar Ibunya merestui.
Ibunya yang hanya tahu tentang sekolah Susi pun dibuat tercekat dan akhirnya sekarang sakit-sakitan.
Susi mengandung. Berita itu pun dengan licin menyebar ke Desa Rawomangun. Desas-desus dan untaian pertanyaan yang Susi dengarkan kala itu layaknya cemeti yang dicambukkan ke punggungnya. Dia pun tak tahan dan akhirnya merantau mengikuti jejak suami. Susi meninggalkan Ibunya yang sakit tanpa pernah ia mengetahui.
Terkadang nasihat orang tua sekarang banyak diterjemahkan sebagai larangan oleh anaknya. Begitulah anak sekarang. Namun, yang sudah terlanjur ya sudah Ndok, tak usah disesalkan. Sekarang yang penting kamu sudah kembali ke desa dan kewajibanmu adalah meperbaiki khilafmu di masa lalu. Membaktilah pada Ibu dan ade-ademu."
Inggih Mbah sahut Susi dengan tersedu sekarang.
Sekarang di mana Ibumu. Apa beliau sudah bisa jalan?
Masih di kasur Mbah, lumpuh
Bu Sumarni menghela napas,
Bersyukurlah kamu Ndok masih memiliki ibu. Banyak di luar sana yang lahir tanpa bapak dan Ibunya. Nah wujud bersyukurmu sekarang adalah dengan jalan merawat beliau. Ini meski kadang suamimu marah-marah, namun dia kan masih mau untuk kerja menggarap sawah. Sekarang yang harus kamu lakukan hanya bersabar, berikhtiar, dan membakti itu saja Ndok.
Tapi konsep bersabar itu yang Susi belum tahu Mbah, Susi juga punya emosi. Rasanya Susi ingin pisah saja dengan Mas Rijal. Enggak tahan dengan sikapnya. tutur Susi dengan alot.
Bu Sumarni yang duduk di sudut emper mengerti perangai Susi. Sifat labil dan manjanya belum mampu ia hilangkan sepenuhnya. Kedewasaan belum dapat ia terapkan dan hanya mampu membaca. Terlalu Subuh semua logikanya.
Sabar itu bertalian dengan bersyukur Ndok. Bersyukur itu dapat dilihat dengan jalan mendekatkan diri pada yang memberi nyawa untuk kita. Manusia itu tak pernah merasa puas. Selain itu manusia tak ingin juga merasa salah, dan lebih senang menyalahkan. Jika sudah terdesak oleh berbagai pelik, manusia itu tetap keras pendirian dan akan menyalahkan takdir. Akan menyalahkan Gusti Allah. Untuk menghindari atau menghilangkan hal yang seperti ini maka dekatkanlah diri Ndok. Merenunglah di tengah malam. Mbah yakin kamu akan mendapat jalan keluar dari bimbang yang kamu alami sekarang. Kemudian akhirnya rasa sesal itu tak akan lagi menjadi penurunan mental untuk maju ke arah pembuktian. Buktikan pada semua orang desa sini kalau kamu mampu membuat mereka hormat. Buktikan pada Mbah, buktikan pada Ibumu bahwa di keadaan sakitnya dia bangga dan tersenyum lalu pulih Ndok. Mbah yakin penyebab sakit Ibumu itu berasal dari tekanan batin.
Susi juga merasa Mbah. Keadaan ibu ini lantaran ucapan Susi dahulu.
Oh iya dahulu kamu di perantauan ikut kerja apa bersama suamimu Sus? tanya Bu Sumarni mengubah topik.
Susi lulusan SMK jurusan Tata Boga jadi kerja di sana sebagai pembantu-pembantu di restoran. Karena lama akhirnya dipercaya menjadi asisten koki.
Muka Bu Sumarni merona.
Lho, bagus itu Ndok, tandanya kamu punya bakat dan tentunya menjadi asisten koki itu gajihnya lumayan besar kan Ndok.
Benar Mbah lumayan, tapi suamiku itu, kebiasaan ngumpul-ngumpulnya kumat lagi. Padahal janjinya setelah menikah dia mau meninggalkan kebiasaan buruknya.
Wajar saja Ndok. Kamu sebagai isteri yang harus pintar-pintar menyimpan penghasilan. Jangan sampai suamimu tahu semua uangmu. Kamu nasihati dia. Jangan kamu atur melainkan kamu serang nuraninya agar dia paham dan mengasihimu Ndok. Semua laki-laki tidak mau untuk diatur.
“Inggih Mbah"
Oh, aku mau nengoki Ibumu yo cah ayu?
Oh ya, mari-mari Mbah. Silakan masuk ke dalam saja. Tapi maaf ruangannya masih berantakan Mbah.
Bu Sumarni hanya tersenyum maklum lalu masuk ke dalam.
Bagaimana Bu, keadaannya?
Alhamdulliah sehat Mar. Aku kok enggak tau kalau kamu datang?
Mereka berdua bercakap-cakap sampai beberapa menit. Bu Sumarni prihatin dengan keadaan di depannya. Beliau kurus dan terbaring di atas kasur. Padahal usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dari Bu Sumarni.
Ya sudah Bu. Saya doakan saja semoga lekas sembuh. Susi sudah pulang, dan telah berubah. Dia mau membakti katanya.
Iyo Mar, aku juga bersyukur Susi ingat kembali dengan Ibunya. Semoga anak itu kurang lagi keras hatinya.
Sus, aku pamit. Jaga benar-benar Ibumu ya. Semoga dia lekas sembuh Ndok? pesan Bu Sumarni.
Amin Bule, terima kasih banyak jengukan dan masukannya."
Iya sama-sama Sus. Wassalamuallaikum kata Bu Sumarni keluar rumah sambil mendorong sepedanya.
Waalaikumsallam?
Bu Sumarni memang dikenal sebagai perempuan perkasa dalam menyikapi masalah, tak heran bagi mereka yang mengenalnya secara mendalam, maka orang tersebut sudah tentu akan hormat kepadanya. Tak terkecuali Susi, ketika masih SD dia sering sekali main di rumah Bu Sumarni. Kadang oleh Bu Sumarni Susi disuruhnya untuk mencari uban, Susi kala itu sangat senang karena hasil mencari uban rambut Bu Sumarni diberi upah dan dapat membeli jajan.
*
Wah macet Wie kata Sigit.
Beda sekali dengan di desa ya Git, tapi kok orang sekitar sini bisa tahan saja?
Ya tahan saja Wie karena sudah keadaan. Mulai lahir jadi telah biasa.
Tapi ada saja Git, orang dari desa yang suka tinggal di kota, merantau. Padahal aku saja kalau tidak ingin menuntut ilmu malas ke sini ungkap Dewie sambil meraih sapu tangannya.
Dalam keadaan itu, sapu tangan terus membenamkan hidung Dewie. Kemudian dalam hitungan menit, warnanya sudah tampak menjadi cokelat kekusam-kusaman. Gerah begitu menggodok badan Dewie. Polusi menghantam saraf, menghasilkan pening lalu turun ke perut. Dewie terasa mual gara-gara terhirup karbon dioksida yang melayang-layang mencari sasaran.
Aku gak tahan aku Git jelas Dewie dengan menggeleng-geleng.
Sabar Wie, kalau menurut pandanganku sih, orang desa yang suka melancong ke kota itu juga karena berniat ingin gengsi saja. Mereka telah bosan hidup di kampung."
“Manusia Git, pada dasarnya memang selalu sulit beradaptasi dengan keadaan secara permanen. Orang dari desa saking sudah suntuknya hidup di kampung, maka ia pun ingin mencari suasana lain dengan merantau ke kota. Begitu juga yang berada di kota cenderung akan suka tinggal di desa."
Berarti manusia itu sebenarnya tidak pernah merasa puas ya Wie.
Bisa dibilang begitu.
Motor Sigit berjalan lambat dengan tetap suasana panas menghantam inci per inci roda motornya.
Tapi ada kok Wie, manusia yang menurutku puas menikmati hidupnya. Coba lihat kaum sufi. Mereka tentram saja dengan segala aktivitas rohaninya."
Seperti yang tiap sebulan sekali datang ke kampung kita itu ya. Yang seperti ulama dan selalu mengingatkan untuk memenuhi langgar? jelas Dewie yang masih menbungkus mulutnya dengan sapu tangan.
Benar, lihat saja mereka semua. Mereka sangat santun, ramah, dan tegas dalam memegang teguh keyakinan. Mereka terkesan membuang dunia. Mereka berpindah-pindah dari kota turun ke kampung. Dari kampung naik ke kota hanya demi syiar agama. Mereka bukan semata-semata mencari uang melainkan berbagi keyakinan dan ilmu yang mereka kuasai untuk keselamatan umat.
Apakah kamu yakin jika tindakan yang mereka lakukan itu sepenuhnya benar dan sesuai tuntunan? tanya Dewie ragu.
Sigit clingukan. Perutnya keroncongan dan semakin membuatnya gaduh. Dia semakin pusing melihati kemacetan yang memuakkan. Ingin rasanya ia bunyikan klakson nyaring-nyaring. Tapi nyalinya mengecil karena di depannya ada Colt bermuatan tanah dan pekerja bangunan berwajah hitam sangar duduk di atas gundukan tanah itu. Sesekali buruh tersebut memplototinya.
Ya tentulah aku yakin songsong Sigit. Mereka mempunyai referensi dan memang tuntunan yang mereka syiarkan menurutku benar adanya. Aku pernah mengikuti tausyiah bersama mereka. Mereka pernah berkata tentang pertanyaan-pertanyaan nanti saat kita meninggal. Seingatku ada yang menyatakan pertanyaan kubur bukanlah tentang materi SMA atau kuliah. Sebaliknya hakikat kewajiban kita sujud dengan Tuhan semesta alamlah yang diutamakan."
Dewie menepuk pundak Sigit.
Eh Git, kalau keyakinan yang kau ulaskan seperti itu. Aku juga ingin sedikit bertanya kepadamu, begini? hela Dewie mengatur napas.
Dalam hadist, ada tercantum Allah SWT tidak akan mengubah nasib umatnya, jikalau umatnya tidak berusaha merubahnya terlebih dahulu. Lantas, apakah menurutmu benar? Bila dalam hidup ini kita hanya menuntut ilmu akhirat saja dan membuang yang berada di dunia. Memang pada hakikinya, kebanyakan hal yang berada di dunia itu hampir bersentuhan dengan hal yang mudarat. Namun apabila bertatanan dengan cita-cita atau kewajiban sebagai kamu seorang calon kepala rumah tangga. Apakah nanti kamu akan mengayomi dirimu dan istrimu dengan nasihat akhirat, tentunya tidakkan. Hidup ini tercipta tidak melulu satu warna dan satu rasa. Jika kamu hanya hidup untuk satu arah, tentunya itu masih dalam ambang keraguan. untuk apa dicantumkan ulasan tentang berusaha dan menuntut ilmu sampai negeri Cina jika hanya dalam lama hidupmu kau fanatik dengan akhirat terang Dewie layaknya ahli filsafat.
Aku kurang paham Wie dengan kata-katamu, seolah yang aku tangkap dari konsep itu adalah kamu kontra dengan mereka.
Aku menyetujui tentang anjuran mereka untuk memenuhi langgar dan selalu taat beribadah. Namun aku tak setuju jika agama dipakai sebagai landasan ongkang-ongkangan seseorang dalam menjalani hidup. Pernahkah kau tanya kepada mereka tentang keluarganya? tanya Dewie mendesak.
Pernah, dan katanya istri mereka tentram memeluk Islam di rumah. Mereka menitipkan sejumlah uang untuk belanja hariannya. Mereka pergi merantau untuk syiar dan sang isteri berdoa untuk keselamatan suaminya yang tengah berjihad di ladang agama.
Jihad atau melarikan diri dari kewajiban?
Kemacetan telah berlalu, jalan pun kembali lengang dan desisan angin menerpa kencang menabrak wajah kedua muda-mudi itu.
Kok kamu ngomongnya gitu Wie? ucap Sigit sedikit memprotes.
Kamu tidak merasakan menjadi perempuan bukan? Apalagi yang telah memiliki momongan. Meskipun dalihnya untuk berjihad namun bagi seorang isteri, arti ayoman suami adalah segalanya. Siapa yang akan membelai buah hatinya kala usianya telah sanggup untuk menentukan bapaknya. Siapa nanti yang akan menghibur isteri jika ia sakit. Apakah agama dapat menjamin hidup sang isteri, menjamin kebahagiaan sang isteri cerocos Dewie menyudutkan Sigit.
Mereka tidak meninggalkan isteri Wie protes Sigit. Mereka hanya pergi sementara?
Mereka pergi berminggu-minggu Git."
Ah sudahlah Wie, percakapan kita malah semakin mengelantur saja, seperti kita ini orang pemikir saja hahahaha belok Sigit karena kalah berdebat.
Hahaha benar katamu, seperti ahli pikir saja aku ini. Namun begitulah manusia mempunyai pandangan berbeda-beda. Pandangan yang baik bila suatu pandangan itu mempunyai referensi yang mendukung. Sementara pandanganku ini, hanya berdasarkan dari penilaian mata, telinga, dan gejala yang ku kecap dengan perantara lidah sebagai medianya terang Dewie melemah.
Aduh Wie, aku lapar. Ayo kita cari warung. Tak tahan lagi tampaknya aku keluh Sigit.
Astagfirullah, benar katamu Git. Aku sampai lupa mentlaktirmu makan karena asik ngobro."
Sigit tersenyum.
Santai saja Wie, aku tidak minta ditlaktir kok
*
Ndak bisa kurang toh Pak..masa umbud yang layu seperti ini dijual dengan harga 25 ribu sebatang. Mahalnbenar pak? tawar Bu Sumarni saat bercakap dengan salah seorang yang ingin menjual pohon kelapanya.
Itu kalau bibi mau..harinya sudah sore Bi dan Bibi belum punya dagangan. Jika mau beli saja dagangan saya, namun harganya yah seperti itu.. desak yang menawakan umbud.
Wanita itupun mengalah. Memang hari mulai sore, membuat Bu Sumarni tidak sempat lagi berkeliling kampung. Daripada tidak mendapatkan dagangan utama, lebih baik ambil yang ada. Semoga esok hari dagangan ini dapat berujung lebih meski harganya sekarang naik. Harap Bu Sumarni.
Bu Marni, istirahat dulu tegur suara perempuan dari rerimbun pohon mangga.
Wah iya Mbak, nanti dulu. Tanggung ini?
Wanita bertubuh gendut itu perlahan berjalan menghampiri. Berjalan di tengah pematang sawah dengan caping khas melindung kepalanya. Terus ia melangkah.
Bu-bu, badan sampeyan kok sampe langsing seperti itu, kelebihan diet sampeyan Bu? ujar wanita bertubuh tambun itu sembari senyum-senyum.
Menghormati teguran dari warga di sekitar, akhirnya Bu Sumarni pun beristirahat.
Iya ini kelebihan diet, makanya jadi kelewat langsing juga hehe..., Oh iya itu opo yang kamu bawa Mbak? tanya Bu Sumarni yang melihat keranjang lumayan besar yang digendong teman bicaranya itu.
Sesaji Bu, buat memberi makan yang punya sawah dan agar sawahnya senatiasa tentram
Oh benar itu jawab Bu Sumarni kembali menghormati.
Daerah tempat Bu Sumarni bermukim adalah daerah transmigrasi. Banyak pendatang dari luar wilayah yang bertempat tinggal di sana pada zaman orde baru. Desa Rawomangun sendiri terdiri dari macam-macam suku dan agama, dan keberagaman suku ini juga menghinggapi desa-desa sebelah. Tak terkecuali desa yang selalu menjadi tempat bagi Bu Sumarni dalam mencari bahan dagangan, khususnya umbud yaitu Desa Sidorejo. Di dalam Desa Sidorejo kebanyakan suku Bali yang bermukim. Tak heran Bu Sumarni selama mencari umbud selalu melihat sesaji yang diletakkan di atas gubuk kecil di tengah sawah.
Sebenarnya bagi Bu Sumarni hal tersebut biasa saja, namun oleh lantaran ingin membuka cakap, maka Bu Sumarni pun berpura menayakan mengenai hal tersebut.
Iya seperti ini Bu, kalau di tempat sini banyak yang yakin bila sawah, kebun tentunya ada yang menjaga, bahkan kami percaya bahwa tikus pun derajatnya tergolong tinggi dibanding binatang lain yang berada di sawah ini. Di sini kami tidak berani membunuh tikus karena takut bibit padi yang telah tertanam hancur karena kemarahannya.
Oh seperti itu ya Mbak, lantas tikus itu dibiarkan saja memakan benih padi? tanya Bu Sumarni heran.
Ya selama ini, syukur saja tidak ada petani yang mengeluh karena ulah tikus Bu. Kami selalu memberinya makan. Bagaimana kalau di tempat Bu Sumarni sendiri?
Kebanyakan memakai racun atau membuang anak kucing di tengah sawah Mbak untuk mengontrol tikus. Namun ada juga sih Mbak yang meninggalkan makanan sebagai ganti beras untuk dimakan tikus."
Lidah Bu Sumarni ingin meneruskan secara tegas ucapannya itu, namun hanya mampu tersampaikan di dalam hati:
“Kami tidak berani mempercayai selain daripada kuasa Allah SWT.
Jujur saja untuk Bu Sumarni, apa yang di sampaikan Mbak bertubuh gendut serasa pada tindakan dinamisme. Akan tetapi pada hakikinya kepercayaan orang itu masing-masing, dari warna konsep itulah Bu Sumarni seusaha mungkin untuk memakluminya.
Saya percaya kok Bu, kalau kita baik terhadap yang menunggu ladang tentunya yang menunggu pun akan memberikan berkah dengan melimpahnya Mbok Sri di kala panen nanti tegas wanita tambun itu lebih lanjut.
Bu Sumarni mengangguk, ia ambil kapak dan mulai mengayunkannya ke batang umbud. Si wanita bertubuh gendut itu mengerti jika Bu Sumarni telah memulai aktivitasnya lagi. Sebab itu lah ia memutuskan untuk pamit.
*
Sigit dan Dewie telah sampai di Jembatan Barito. Panjangnya Jembatan Barito sempat menjadi salah satu dari jembatan terpanjang di dunia. Ramai pengunjung sore semakin meriuhkan suasana. Bukan hanya pengunjung muda-mudi saja yang nongkrong, melainkan semua komunitas. Bahkan anak-anak suka untuk malas-malasan di sana.
Sore itu udara riuh merendah.
Sigit dan Dewie duduk ditepi jembatan, tangan mereka berdua berpegagan pada besi pengkokoh tiang. Mata mereka lepas memandang pulau dan rumah-rumah di Banjarmasin yang terlihat liliput. Kembali desir angin menyapa kedua pipi mereka, bersama sapaan angin itu, Sigit pun membuka cakap:
Di sana itu perusahaan TS? kata Sigit menunjuk pada sebuah bangunan pabrik besar.
Oh yang sering d lancongi pemuda-pemuda dari kampung kita ya"
Iya, kata teman-temanku sih, di sana itu ladangnya buat mencari jodoh?
Dewie melongo geli.
Jodoh? sahutnya heran. Berarti teman-temanmu adalah golongan cowo yang tak laku ya Git simpul Dewie tertawa.
Sigit ikut tertawa.
Biarlah teman-temanku yang belum mendapat jodoh, yang penting aku sudah ada
Wess...Hebat, anak kampung mana calonmu"
Calonku kamu Wie tegas Sigit.
Hahaha gombalmu enggak laku itu Git. Orang-orang di kampung itu kalau cari jodoh pasti dari kota atau orang jauh dari tran" kata Dewie mengalihkan topik.
Sebagian ada yang seperti itu Wie, namun juga sebagian tidak. Yang seperti itu lantaran untuk manas-manasi mantannya yang di kampung saja. Kalau kulit cewe yang tinggal di kota itu putih-putih. Berlaianan sekali dengan kulit cewe yang tinggal di desa."
Cowo ternyata hampir sama ya, yang dipandang selalu paras? kata Dewie sedikit kesal.
Cewe juga demikian, yang dipandang dari cowo pasti kebendaan balas Sigit.
Dewie mentap Sigit yang duduk di sampingnya dengan tajam.
Maksudnya semu cewe itu matre?
Yah memang begitu kenyataannya Wie
Ngawur kamu kata Dewie sambil mencubit pinggang Sigit.
Sigit kaget, dan langsung reflek menangkap tangan Dewie.
Tap!!, tangan keduaya pun berjabat. Sesaat Dewie merasakan degupan keras di dadanya. Degupan itu naik ke saraf dan menciptakan suatu denyutan rasa di sana. Saraf mengasumsikan tanda itu dengan berbagai prasangka dan praduga. Sebaliknya Sigit tanpa merasakan hal itu, hanya rasa lembut yang ia rasa. Lembut tangan Dewie membuatnya ingin berlama-lama menjabat.
Aes.. kejut Dewie melepaskan tangan Sigit. Dia berpura kaget tanpa dosa lalu melayangkan pandangannya ke tongkang batu bara yang nampak berlayar di bawah jembatan.
Aku Git kalau di rumah pasti selalu dapat nasehat dari ibku" ujar Dewie yang melupakan kejadian tadi.
Bude Sumarni itu perempuan yang sangat tangguh. Jiwa beliau itu alot. Beliau berdagang sampai berkilo-kilo jauhnya hanya untuk mengubah keadaan. Akiu yakin Wie nasihat nasihatt yang sering diberikan beliau itu atas dasar pengalaman di masa lalu yang tak ingin turun ke anaknya."
Aku sudah tahu hal itu Git, pernah ibuku bercerita kepadaku tentang asal usul beliau dahulu ke Desa Rawomangun lalu sampai menikah dengan ayahku.”
“Aku ini anak terakhir dari tiga bersaudara Ndok. Aku dahulu itu paling manja dengan orang tua dan paling bandel kalau dinasehati. Aku hanya nurut sama kakekmu. Sementara kakekmu itu sosok laki-laki yang gak punya pedoaman hidup. Akhirnya ibu pergi ransmigarsi kesini bersama Kakekmu. Nah dalam kapal yang mengangkut masyarakat tran itu, aku sempat melihat ayahmu si Darwis. tapi tanpa kenal. Perlu kamu tahu Ndok, aku ini temasuk juga satu dari masyarakat bodoh yang beruntung. Banyak teman-temanku yang meninggal di kapal transmigrasi itu,. Bahkan yang lebih miris lagi, aku mendengar ada sebuah kapal pengangkut para transmigrasi yang terbakar di tengah samudra. Warta yang beredar, kebakaran tersebut disebabkan karena kecelakaan. Namun aku tidak percaya mengingat perlakuan kami yang naik kapal ini pun tak layak. Kami itu seumpama sampah yang harus dibuang agar tanah dapat memberkah. Agenda dalam transmigrasi juga bermacam-macam tempat Wie. Ada yang melancong di pulau Sulawesi, Sumatra dan untuk kami, pulau yang dituju adalah Kalimantan.
Lalu bagaimana cerita tentang Bapak?
Ayahmu adalah sosok lelaki nekad,asal usulnya adalah seorang yang keras kepala juga. Aku diberitahu kalau dia ikut transmigrasi lantaran muaknya dia dengan Ibunya
Memang nenek kenapa Bu?.
Nenekmu di Jawa sana adalah perempuan yang suka menimbun banyak lelaki. Lelaki-lelaki simpanannya tak pernah ada yang tahu berapa jumlahnya. Sungguh pandai nenekmu menyembunyikannya seperti menyelinap di kabut kala Subuh hari Wie. Suatu ketiika kesimpangsiuran warta masuk ketelinga Bapakmu. Dia marah luar biasa, lantaran Bapakmu dan kakaknya sajalah yang murni anak nenekmu Wie,. Sedangkan ayah mereka berdua telah meninggal. Kakak ayahmu tak semarah bapakmu, ia dominan tak peduli dengan omongan orang, . Berbeda sekali dengan ayahmu yang mencari kebenaran isu itu. Ayahmu tergolong cepat naik darah dulu Wie. Dia tak bisa menerima kabar dan mencerna isu angin dengan kepala dingin."
Lantas Bu?
Setelah isu itu kian santer, tentulah sebagai anak ia malu dan akhirnya berujung minggat dari kampung. Terkadang sampai sekarang, aku masih sering melihat Bapakmu turun mental karena perkataan orang. Aku berharap, kelak sesulit apapun keadaanmu jangan pernah sekali-kali putus asa dan berani meninggalkan orang tua Wie.
Inggih Bu, lalu jadi ketemu dengan ayah itu bagaimana Bu?
Itu mulanya dari babat alas atau pembongkaran lahan Wie. Desa Rawomangun pada masa dulu tentu tidak bersih rindang seperti sekarang, desa itu adalah hutan pohon galam, karet, dan pohon-pohon besar yang tak cukup untuk dipeluk pria bujangan. Kaum lelaki dengan bantuan senso, ekskavator, dan alat-alat seadanya membongkar hutan itu. Mereka terus menebang dan membabat, sementara kaum perempuan membuatkan sarapan seadanya. Aku uga membantu memasak-masak. Proyek itu berlangsung hampir tiga bulan dan kami tinggal dengan lokasi yang seadanya seperti tenda-tenda pengungsii. Ayahmu dan aku saat itu berusia kira-kira 29 tahun. Lumayan berkepala namun sama-sama belum ada rencana untuk menjadi keluarga. Ketika lahan telah selesai mendadak kakekmu sakit, hampir seminggu ia tak dapat berjalan. Aku tanpa keluarga dan hanya tetangga, itupun mereka hanya banyak membantu memberikan nasihat. Praktisnya, dari mulai kejadian itulah aku berpikir untuk mengubah sikap. Aku Tak lagi menjadi anak manja, dan langsung tanpa peduli mengerjakan apapun yang dikerjakan kakek. Aku bekerja di sawah. Ibu tak mempunyai sawah waktu itu. Aku hanya meneruskan garapan sawah kakekmu. Kala itu benar-benar diperas tenagaku lantaran hari yang terus maju dan tenaga yang belum profesional. Aku takut jika tidak selesai hanya menimbulkan amarah dari Mbah Karjo yang punya sawah. Selain ke sawah, ibu juga mencari kayu dan segala tetek bengek urusan dapur lainnya. Masa itu aku lewati dengan tangis karena ingin bertahan hidup Ndok. Harus aku syukuri, akhirnya ada saja tetangga yang memahami, yang lebih dinamis ke teligi memberi saran untuk bangun malam dan banyak-banyak melakukan ikhtiar. Sementata sebagian tetangga lainnya juga berniat mencarikan aku seorang pendamping hidup. Begitulah, orang kampung memang unik pandangannya. Cinta tidak memakai gelarnya pada masa itu Ndok, hanya rasa saling melengkapi, menghargai, dan saling membantu. Aku dikenalkan dengan Bapakmu oleh tetangga karena berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling kuat adalah dari segi asal usul ke dua belah pihak, yang mana baik aku atau Bapakmu, sama-sama tak mempunyai keluarga yang utuh di tanah buangan ini. Sifat Bapakmu sendiri tidak terlalu muluk-muluk, malah ternyata dia telah menaruh simpatik duluan kepadaku kala melihat ibu yang kebetulan membawakan keranjang kecil berisi nasi pulen untuknya saat kerja. Akhirnya dia mau, sampai kami menikah dan sedikit lambat memiliki keturunan Ndo’k. Saat akad nikah, aku dulu diwakilkan oleh kakek dan ayahmu diwakilkan oleh temannya yaitu Ratnho. Kehidapan ibu masih sakit. Dua bulan dari perkawinan ibu mulai berjualan. Awalnya hanya ingin coba-coba namun lama-lama lumayan juga penghasilannya. Jadi Ndo’k, manusia hidup itu tak akan selamanya mempunyai pegangan untuk bersandar maupun menopang keadaan. Pegangan sejati ada pada niat kita. Dengan kita bersungguh-sungguh ikhlas maka sesulit keadaan apapun, pasti akan dapat kita melaluinya. Aku dan Bapakmu ini tidak kekal Ndo’k. Satu yang kuinginkan yaitu menjadi orang tua yang berbakti dengan tidak menitiskan keadaan seperti ini kepadamu."
Yah, banyak sekali aku dinasehati ibuku Git. Dengan hal itu, salah satu yang harus aku wanti-wanti adalah, aku tak mau untuk mengenal cowo secara berlebihan. Aku takut hanyut dan tak bisa mencapai apa yang ingin aku tuju. Orang tuaku saja sangat santai dalam mencari pendamping hidup, lalu mengapa aku harus terburu-buru kata Dewie yang sengaja mematikan niat Sigit secara halus.
Angin yang semakin senja kian berderai mengibas rambut, pipi, wajah, dan tubuh. Angin juga berderai menyapu keinginan seseorang dan membawanya tunduk lesu.
Dewie menunduk, tentu sebagai perempuan yang sensitif terhadap perasaan maka dengan cepat ia dapat meraba rasa yang dialami Sigit. Namun inilah yang terbaik menurutnya. Dewie bukanlah tipe perempuan yang senang menebar kesan memikat terhadap pengagumnya. Dewie berharap, orang di sampingnya tersebut setelah mendengar cerita panjang lebarnya dapat mengerti dan lebih bijak lagi dalam menyikapi sebuah rasa.
*
Pecah Seribu
Seminggu di kosan Banjarmasin muka Dewie ceria berseri-seri. Disambutnya pagi berhalimun dengan helaan napas segar keluar dari lubang hidungnya. Ia mengingat kala seperti ini tentu kedua orang tuanya telah meninggalkan rumah dan sibuk dengan pekerjaan sehari-hari.
Aku tak boleh bermalas-malasan!. Aku tak ingin kalah dengan orang tuaku!. Bangkit ia dari tempat tidurnya yang terbuat dari busa. Langkah kakinya yang kantuk mendadak tegap menuju kamar mandi.
Harus Dewie akui, ia amat berterima kasih kepada Sigit karena seringnya menjadi joki untuk Dewie selama ini. Sigit juga yang mencarikan kos-kosan bernama Nilam ini untuk tempat tinggal Dewie. Baik benar anak itu, begitu kira Dewie. Namun apakah kebaikannya dapat mencairkan hati Dewie yang liat, tentunya belum mampu. Cinta tetap Dewie simpan tanpa mau ia tampakkan ronanya. Mampukah kebaikan membuat seseorang luluh hatinya? Mungkin mampu bagi sebagian penanggap, karena semua manusia berjenjang pikir berbeda. Tapi tidak untuk Dewie, kebaikan Sigit belum cukup atau tepatnya malah belum pada tempatnya. Sudah lebih sebulan puluhan rayuan WA Dewie terima. Tapi hal itu toh tak membuat hati Dewie begeser peduli barang satu inci. Petuah orang tua masih melingkar dan tertera dibenak Dewie, mungkin malah telah mengakar di sana.
Selesai mandi, Dewie bersiap untuk belajar ke kampus. Dewie berdandan tak lama. Apa sih yang didandankan dari perempuan yang belum terjamah kota, masih sewajarnya. Dengan langkah pasti Dewie keluar kamar.
Ayo kita bareng Wie ajak seorang perempuan berpakaian panjang.
Dia Fatimah, tetangga kamar sekaligus senior Dewie. Dia berasal dari Desa Palingkau Kalimantan Tengah. Sosoknya santun, dan tak neko-neko. Fatimah tergolong dari keluarga berada. Hal ini Dewie ketahui dari seringnya ia mendengar Fatimah ngbrol di seluler mengenai berbagai urusan atau proyek tertentu. Rasa penasaran menuntun Dewie untuk bertanya langsung tentang asal usul sahabatnya itu. Akhirnya Fatimah bercerita tanpa mimik sombong barang selebar kukupun kepada Dewie. Dewie kagum mendengarnya. Dewi tahu jika seseorang ikut dalam sebuah orgaisasi apalagi organisasi muslim, tentunya banyak larangan yang harus dipatuhi. Kadang larangan akan menjadi kekangan untuk seseorang menjadi sulit bergerak, tapi tidak menurut pandangan Fatimah. Dengan berbagai referensi yang dibaca dan dipelajarinya terbantahkanlah statment Dewie. Wawasan yang luas dengan selalu berpedoman pada agama itulah yang membuat Dewie tertarik. Mereka pun menjadi sahabat akrab.
*
Bu Sumarni mengayuh sepedanya menuju pasar Senin dengan gontai. Bulan-bulan ini, bertambah pucat dan kurus saja bandannya. Sebagai seorang ibu yang merasakan rindu kepada putrinya tentu itu menekan hatinya. Dewie pulang kerumah sebulan sekali. Bagi Bu Sumarni sehari atau dua haripun terasa belum cukup. Tapi mau bagaimana? Bu Sumarni harus membiasakan itu.
Bu Sumarni mengingat malam tadi ada kenduri di tempat tetangga. Biasanya acara seperti itu untuk mengirim roh dengan doa atau hajatan syukuran. Dalam acara itu, setiap warga yang diundang selain mendapatkan jamuan makan dari tuan pemilik hajat, tamu tersebut juga wajib diberikan berkat yang berisi hidangan lauk pauk. Bu Sumarni ingat jika ada putrinya, dia yang begitu rakus melahap makanan favoritnya itu. Hal demikian membuat ibu dan bapaknya kerap tertawa lalu menasehati agar Dewie bersabar. Beda sekali sekarang, berkat yang sering mereka makan bertiga, hanya beku di sudut ruangan. Bu Sumarni tak tega dan bernafsu menjamah berkat, ia hanya kelu menata sayur bayam dan kangkung dengan bersandar hampa di dinding. Sementara itu Pak Darwis hanya melongo melihat atap rumah dengan bumbungan asap rokok yang telah memenuh di lambungnya.
Jegleekk..gleek!!
Tiba-tiba ban depan Bu Sumarni menabrak batu jalanan yang cukup besar.
Astagfirullah...!! teriaknya.
Setang sepeda bergeol kekiri dan kekanan. Jentera berputar dengan liar beringas. Sementara itu bobot dagangan berontak seperti kumpulan sapi yang lepas dari kandang. Di sudut kiri jalanan adalah kali bekas kerukan eskavator, rumput purun tanpa daun hijau-hijau tampak memperolok dan membujuk. Air yang warnanya keruh membias bayangan ketakutan di dalam diri Bu Sumarni. Hati Bu Sumarni berdesir turun dalam ketidakstabilan antara tenaga dan beban sepeda.
Banting setang kekanan dengan payah, roda sepeda susah takluk. Seliweran motor dan mobil dari arah kanan yang mulai meramai tak ayal membawa embusan angin yang memperberat usaha Bu Sumarni.
Terus berdzikir. Hati Bu Sumarni perlahan tenang agar tidak jatuh ke kali.
Lalu sesaat kemudian.
Blukk!!!!...
Tiga buah waluh besar jatuh dari keranjang boncengannya. Hentakan ban sepeda itu ternyata membuat buah waluh yang sebesar kepala manusia itu tak tahan. Buah itu menyelinap dari jubelan sayuran yang mengkungkungnya. Gugur dengan beratnya, lalu menggelinding ketengah jalan lalu sebuah Colt hitam bermuatan sayur segera menyambar.
Praakkk!!!!!.
Waluh itupun lumat meriasi jalanan di pagi hari.
Turun Bu Sumarni dari sepedanya, menyesal sekali dia. Ia pandangai buah waluh yang tak dapat kembali. Pagi itu Bu Sumarni telah merugi 70 ribu.
Sembari mendayung sepedanya, ia tetap tawakal dan mengambil sisi baiknya.
*
Sebagai seorang perempuan yang terbiasa membersihkan rumah, saat pulang kuliah, di kosan Dewie pun langsung bergerak melakukan aktivitasnya. Semua pakaian yang menurutnya kotor, ia rendam ke dalam ember. Lantai yang sedikit berhambur ratik plapon ataupun bungkusan permen segera ia sapu. Terkadang ia sering geleng-geleng sambil senyum kala melihati teman sebelahnya yang kurang aktif dalam menata kamar juga mengurusnya. Ada yang senang menumpuk pakaian dan mencucinya di loundry dengan berkilah bahwa takut tangannya kasar. Ada yang senang pula menumpuk piring dengan alasan menunggu piring penuh, baru dicuci. Bahkan kadang Dewie melihat dengan geli betapa lalat-lalat sangat senang hinggap ditumpukan piring rendaman itu.
Saat membersihkan kaca muncullah perempuan-perempuan berparas ayu menor, dan berpakaian sesak dari dalam kosnya. Langkah kakinya mulus dengan celana levis ketat pendek menutup paha putihnya. Mereka berjalan lagi keluar dari kos-kosan, dengan gerai rambut berwarna pirang kemerah-merahan, dan langsung masuk kedalam mobil.
Mau heran tapi bukan kali pertama Dewie melihat itu. Tapi yang aneh padahal ibu kos tinggal hanya berjarak 1 Meter di samping kos-kosan. Namun beliau terkesan cuek juga. Pernah suatu kali Dewie menanyakan itu ke Fatimah dan ternyata ibu kosnya adalah seorang janda. Kata sahabatnya yang lebih lama berdiam di situ, sang bapak kos meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu. Pantaslah sekarang ibu kos itu suka bepergian tengah malam, mungkin untuk melepas kepenatan dan sepi yang mengglayut di pikirannya.
*
Hidup ini penuh dengan tantangan dan perjuangan. Perjuangan apa saja. Berupa-rupa dan beragam. Bahkan perjuangan cinta. Tentunya cinta yang benar-benar cinta dan bukan sekedar cinta-cinta mainan.
Masa-masa penantian dan fantasi Sigit telah sampai di pucuk pohon cemara. Sudah tak tahan dia. Sudah bersabar dia. Mampu terbang atau jatuh tersungkur ke bawah itulah hal yang ingin ia tahu. Sementara di sisi lain, teman-temannya makin santer memberi nasihat yang memekakkan telinga. Benar-benar berarti perubahan di hati Sigit
Malam ini ia ingin menghubungi Dewie. Ingin mencari kepastian hubungan apa yang sebenarnya Dewie kehendaki.
Sigit keluar dari rumahnya dengan mengenakan kaos oblong dan sebilah rokok telah menjepit di bibirnya. Keringat bercucuran di pipi dan perut akibat selesai memakan sambal.
Duduk dia di kursi depan ruamahnya yang terbuat dari batang galam yang mengering. Jempolnya menekan-nekan keyboard yang ada dalam Hanphonenya.
Assallamualllaikum.. salamnya ramah.
Waalaikum sallam..ada apa Git?.
"Enggak kok Wie aku cuma lagi sunyi, boleh tahu kamu sedang apa. Sibuk ya."
Tidak Git..,ini lagi santai sambil melihat TV.
"Oh gitu to"
Sigit terus bertanya dan berbasa-basi untuk lebih mencari kesempatan yang pas. Asap rokok berkepul-kepul membundar di udara, seperti tekadnya yang telah bundar untuk menanyakan tentang penantiannya. Sementara Dewie menjawab dengan sepraktis-praktisnya dan tidak memberi peluang kepada Sigit. Ucapan Dewie seperti tikaman pisau tanpa balasan. Hanya serangan, dan serangan memojokkan lagi untuk segera memberhentikan pembicaraan.
Jika Sigit diam tanpa berujar lagi, maka dengan senang hati Dewie akan mematikan telpon itu. Dewie kokoh. Tidak ingin menerima Sigit terkecuali hanya sebatas berteman.
Gini Wie..sebenarnya aku udah sering bilang hal seperti ini ke kamu. Tapi selalu kamu jawab dengan nada canda dan raut muka yang mengabaikan Sigit memulai perjuangannya. Aku tahu Wie, Sebagai pemuda yang satu kampung denganmu, mungkin aku sangat jauh penampilannya dengan pemuda di sekitarmu sekarang ini."
Apa sih, batin Dewi bingung. Kok jadi begini.
"Namun Wie..Jujur saja; jawaban yang selalu kamu utarakan dengan senyum menyebalkan itu, di mata dan hatiku malah semakin membuatku penasaran. Kamu sering ku impikan Wie,"
Kening Dewi tambah berlipat lipat.
"Terserah kamu mau anggap aku cowo lebay atau gombal, yah terserah. Aku pemuda Wie..aku punya rasa dan selama ini rasaku benar-benar mengarah ke dirimu. Aku ingin jadi seseorang yang selalu bisa menemanimu Wie. Temani saat bercerita ataupun saat berjalan bersama membuang beban masalah di luaran.
Lho..,bukannya memang selama ini kamu sudah aku anggap sebagai teman yang selalu berbagi cerita denganku Git..? Dewie menyela khotbah cinta Sigit.
"Iya??,aduuuuh!, anak ini gak paham-paham Sigit tertawa jengkel karena maksudnya belum juga terbaca oleh incarannya.
Dewie pun ikut tertawa agar suasana semakin ceria. Dewie bukannya tidak mengerti, namun ia berpura-pura tidak memahami dan terus mencari pelarian topik. Dewie tidak suka dengan suasana yang terlalu panas dan serius ketika berbicara menyampaikan satu topik permasalahan.
Dalam situasi ini,Dewie terus berpikir juga agar jawaban yang nanti ia lancarkan dapat dipahami Sigit tanpa menimbulkan sakit hati dan perubahan tingkah laku. Dewie telah tahu ujung pembicaraan ini. Tapi Dewi tak ingin temannya itu menjauhinya karena jawaban yang sulit ia terima.
Aku berharap bisa kamu jadikan pacar Wie. Memang kita jaraknya jauh. Tapi aku usahain seminggu sekali, aku pasti tengoki kamu di situ" pintanya dengan nada memelas.
Sejurus kemudian hening.
Wie.." lanjut Sigit. Kamu juga sudah dewasa. Kamu bisa menilai mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Jika nanti kehadiranku di hatimu itu berdampak buruk dengan perubahan sikapmu. Aku siap Wie diputuskan saat itu juga jelasnya bersungguh-sungguh.
Dagup..,dagup..,dagup!!!
Detak jantung Sigit mulai meninggi tingkatannya, seperti magma yang ingin keluar dari mulut gunung. Keluar melepaskan berton-ton material keras di dalamnya. Khayal-khayal timbul lagi. Mengambang di atas kepalanya seperti awan.
Hmm..piyee yo Git? jawab Dewie dengan suara yang nadanya kelihatan mulai serius juga. Orang tuaku melarang aku pacaran Git, kamu mudahan memahami. Aku anak semata wayangnya. Aku itu harapan satu-satunya dari mereka. Aku gak berani pacar-pacaran dahulu sebelum lulus kuliah Git. Nanti jika kita berjodoh, tentu kita bakal bersama menjadi satu keluarga. Kamu itu sahabatku. Bahkan sudah seperti kakak kandung. Kamu rame dan asyik. Aku tenang di situ jelasnya dengan lembut dan santun.
Seperti sebilah kaca mengiris tangan. Kata-kata Dewie terasa benar-benar tajam dan perih. Cinta pertamanya hancur. Berhamburan terbang terpencar-pencar seperti abu rokoknya yang gugur. Sakit!!. Kecewa!!. Dongkol!. Hati Sigit mengeras dan sesak sekali rasanya.
Handphone terkulai lemah di genggaman tangan kiri Sigit. Tak terdengar lagi cakap-cakap dari Dewie. Tak penting lagi ucapannya. Tak peduli lagi.
Matanya tiba-tiba membulat dan menyamar karena genangan air mata yang mulai pasang. Tuhan, jagoan itu menangis sekarang.
Sketsa demi sketsa kegiatan yang ia lalui bersama Dewie, muncul kembali di pikirannya. Muncul nyata dan kian mencabik hati.
Ah rasa apa lagi ini.
Git,,Git....Hallo., kamu marah to Git. Kok jadi diem begitu. Aduh maafin aku Git. Tolong mengerti aku Git" Dewie memohon.
Menempel lagi HP Sigit di telinganya. Menempel dengan lemah.
Oh..iyo jawabnya sedikit terbata.
Tidak apa-apa Wie. Santai saja. Yang penting kita masih bisa berteman, ya toh.. ucapnya dengan bergetar-getar.
Lebih dari teman Git. Aku menganggapmu sebagai kakak kandungku sendiri. Aku nggak punya kakak yang bisa ku ajak tukar pendapat. Sedangkan jika aku berbicara dengan kamu, terasa sekali seperti aku mempunyai kakak kandung Git. Terima kasih ya, sudah mau temai aku sampai sejauh ini. Maafin semua kelakuanku, kalau membuat kamu tersakiti serta kecewa Git?.
Untuk apa Wie..Santai saja sahutnya meredam kecewa. Justru aku yang berterima kasih karena telah dianggap kakak. Aku paham Wie dingin nadanya.
*
Harapan
Wajah Bu Sumarni dan Pak Darwis cerah. Pagi ini mereka menunggu kedatangan Dewie. Biasalah anak kos. Jika sebulan dan perbekalan dan uang jajan telah habis, tentu mereka mengintil kembali pulang ke rumah untuk mengambil persediaan.
Sebagai orang tua yang sangat menyayangi anak semata wayangnya. Tentu hati mereka berdebar-debar. Terutama pandangan seorang ibu. Bagaimana kabarnya? Bagaimana bentuk badannya? Kuruskah atau gemuk? Mereka ingin melihat dan mendengar anak tunggalnya tersebut bercerita tentang kuliah dan tempat tinggalnya di Banjarmasin sana.
Nah itu Dewie Pak.. Bu Sumarni menunjuk ke arah kanan jalan. Dari kejauhan nampak Dewie datang dengan menggunakan cateran ojek.
Satu bulan tinggal di Banjarmasin membuat perubahan yang cukup mengesankan. Yah kulit wanita memang cepat sekali merespon tentang suatu keadaan. Kulit Dewie pun juga sama. Cepat tanggap dan cepat berubah. Air ledeng membuat kulitnya putih kekuning-kuningan. Kuning langsat. Terlihat dari pakaian berlengan pendeknya. Badannya ramping dan semakin tinggi saja. Matanya sedikit menyepit. Entahlah terkesan Cina saja sekarang Dewie. Pipinya gembung lucu. Dewie tambah cantik ,dengan balutan kerudung abu-aibunya.
Sang ibu langsung menyuruh anaknya masuk, dan di dalam rumah, ayahnya telah mebuatkan miniuman dan pisang goreng untuknya.
Piyee kabarmu Wie..?, baik-baik saja toh..? tanya Pak Darwis.
Sudah Pak biarin Dewie masuk dulu. Ngomongnya di dalam saja sela Bu Sumarni yang menarik tangan dan mendorong pundak anaknya dengan raut muka yang begitu cerah.
Kedatangan anak tunggal tersebut merubah suasana. Suasana yang selama sebulan lebih sepi menjadi cair dan ramai. Dewie tak henti-hentinya bercerita. Cerita tentang indahnya Banjarmasin dengan segala keramaiannya. Sambil bercerita, tangannya menjangkau isi dalam tas. Di sana ada 1kg buah kelengkeng. Kerap sekali dahulu Ibunya itu berkisah tentang enaknya buah itu. Dari raut wajahnya tampak benar bila Ibunya itu ingin mencicipi buah dalam ceritanya. Dan kini Dewie membawakan buah itu untuk obat penasaran Ibunya.
Bu Sumarni mengucapkan syukur alhamdulillah anaknya diberi keselamatan dalam perjalanan. Ia tidak cidera segores pun, dan akhirnya membuat kedua orang tuanya mejadi tenang. Terus mendengarkan anaknya bercerita, ibu dan ayahnya sangat menikmatin. Berulang kali liukan senyum dan tertawa tua dari bibir mereka melebar kesudut tepi pipi-pipinya.
Hingga tatkala ada orang di luar rumah yang ingin pinjam pompa untuk mempompa ban sepedanya yang kempes, Bu Sumarni dan Pak Darwis tidak mendengarkannya. Orang itu terabaikan, namun ia juga mengerti jika keluarga itu sedang dilanda kangen-kengenan. Orang itupun pergi dengan mendorong sepedanya yang kempes ke rumah lainnya untuk memompa ban.
Oh iya Wie, di Banjarmasin kamu sering bertemu Sigit ndak? ucap ayahnya. Sigit..? raut muka Dewie bingung. Memang dia ada di Banjar ya Pak..? sambungnya.
Dia kerja Wie, di perusahaan TS (Tanjung Selat). Sudah dua minggu ini. Kamu kok malah nggak tahu to?.
Dewie ndak tahue Pak" ujar Dewie masih dengan wajah heran.
Dengar-dengar dari bapaknya, dia ingin mencari pengalaman kerja di sana jelas ayahnya lagi.
"Oh begitu" kata Dewie sambil pergi menuju kamarnya.
Di buka jendela kamarnya. Seliweran angin langsung masuk menerpa. Angin dari rindangnya pohon pisang itu benar-benar sejuk. Berjalan lagit ia ke kasur. Berebahlah badannya dengan telentang. Matanya melihat kelambu di langit-langit kamarnya. Sudah bersih, biasanya masih kotor dengan ratik-ratik. Juga terasa kasur tambah empuk saja. Beda menurutnya. Lamat lamat terasa kantuk. Dewie tertidur.
*
Aduh!! capeknya, pinggangku benar-benar pegal" keluh Sigit sambil menekan pinggangnya lalu menggeliat.
Ya iyalah capek. Namanya juga kerja sahut teman di sampingnya.
Sigit bekerja di bagian pengeleman playwood pada perusahan Tanjung Selat. Kerjaannya tergolong melelahkan karena seharian tak pernah ia beranjak dari posisinya itu. Handphone tak boleh juga ia mainkan saat bekerja. Ada mandor yang tanpa terkira waktu, dapat datang kapan saja memeriksa. Bila ketahuan memencet Hanphone, maka pekerja itu akan diberikan teguran serius. Sigit terbiasa bekerja dengan gerakan yang bebas. Bukan bekerja dengan kaku. Sigit tipe pemuda yang mahir bekerja keras tapi sekarang ketekunannya seperti kalah oleh kerjaan yang menjemukan itu.
Namun sebenarnya ia harus bersyukur.
Ada lagi tingkatan posisi di bawahnya yang sudah membosankan karena tak boleh menggunakan ponsel, ditambah berat pula kerjaan yang disandang, yaitu sebagai pemproses kayu yang masih gelondongan.
Pukul 5 sore pekerjaan Sigit pun usai. Ia kembali ke Mess yang telah disediakan perusahaan untuk melepaskan segala letihnya. Di tempat tidur yang dibikin bertingkat itulah Sigit tidur. Banyaknya penghuni Mess, membuat ruangan yang lebarnya seperti lapangan bola tersebut seperti pasar yang ramai oleh kerumunan pengunjungnya. Ia rebahkan punggung dengan kedua tangannya bersila di belakang lehernya sebagai bantal.
Pemuda tersebut merenung sejenak. Meraba-raba kejadian yang lalu-lalu. Kejadian saat bersama teman-temannya, saat bekerja, dan suka dukanya. Tapi entahlah, tiba-tiba ingatannya melancong ke tempat Dewie. Sigit mengucek wajahnya dan cepat-cepat berusaha ia buang. Ia ingin mengganti bayangan Dewie dengan seorang pengganti yang harus ia temukan di tempat ini. Tapi cintanya belum lekang. Kembali lagi kekenangan. Semakin larut lagi dia seperti cinta di sinetron-sinetron. Mendalami, dan kepalanya pening lagi.
Akh..!!!! helanya muak.
Bujangan itu tak tenang, dan beranjaklah ia dari tempat tidur. Tangannya menelusup di balik baju-baju yang ia onggokkan di samping kamar, mencari rokok. Ia ambil sebilah dari dalam bungkus rokok tersebut. Rokok filter. Setelah menemukannya, berdiri lagi ia menuju jendela. Memandang lepas pada rumah-rumah, dan bangunan-bangunan di luaran. Sebilah rokok telah ada di tagan. Dia putar-putar rokoknya itu; mempermainkannya dengan melewati jari jemarinya. Seperti bayangan Dewie yang memutar-mutar mempermainkannya dan masih berpusing di kepala Sigit. Terangkat tangannya dengan pelan menuju tengah-tengah hidung. Sampai di situ,kemudian ia hirup batang rokok yang belum tersulut api. Menikmati betul agaknya dia dengan bilahan rokok yang telanjang belum terjamah api itu.
Creess!!!.. bunyi pentol korek api bergesekan dengan dinding korek. Sesaat kemudian api kecil muncul menyala dari batang korek.Rokoknya telah terjepit bibirnya. Ujung rokok itu pun bersentuhan dengan tepi api bewarna merah kekuning-kuningan.
Sekarang rokok tersebut ia nikmati dengan sempurna. Penuh ketenangan. Rileks dan gairah. Hembusan asap dari rokok itu membawa semua beban yang diemban Sigit. Pergilah kau Wie. Pergilah bersama kukus ini.
*
Bibi jangan lupa tlaktir sepulang dari pasar nanti", canda seorang penjual jamu dan dibalas dengan nada bercanda pula oleh Bu Sumarni,
Ayo ku tlaktir bakso, tapi kuahnya saja"
Kembali riuh tawa bergema dalam kegiatan arisan itu.
Alhamdulillah, tabungannya bertambah lagi. Bisa untuk sangu Dewie bulan depan, batin Bu Sumarni yang ingat Dewie telah kembali ke kos.
Sebagai seorang pedagang tentu insting berhitungnya tidak kalah dengan ahli matematik. Rancangan demi rancangan telah disusunnya. Ini tabungan untuk SPP, ini untuk kos, untuk semesteran dan untuk jajan Dewie. Semua terangkum dalam kepalanya yang tertutup kerudung usang. Jika dibuka kerudung itu, maka bentuk dahinya tampak nonong dengan rambut yang mulai permisi meninggalkan area depan kepalannya.
Usai dengan acara arisan, Bu Sumarni kembali berjualan.
Di tempat dagangannya senyumnya memekar. Menyambut pengunjung yang datang untuk beli sayur dengan senyum yang lain seperti biasanya.
Bibi..? tegur manja seorang pembeli yang muncul dari belakang, membuat Bu Suamrni sedikit kaget.
Ehh..,iyo, mau tukar apa Mbak..?.
Enggak Bi?, aku cuma mau pesan? katanya dengan berdiri dan bersikap sedikit centil. Maklumlah, dari raut wajahnya pembeli itu adalah perempuan berusia muda. Bisa tidak aku dibawakan janur kelapa? lanjutnya lagi.
Berapa perlunya Mbak..?.
Banyak Bi?, bisa 10 batang, soalnya buat acara pengantenanku" jelasnya dengan telapak tangan kanannya menunjuk dadanya.
Oh..bisa Mbak, nanti aku carikan sanggup Bu Sumarni. Kapan kira-kira diambilnya Mbak tanyanya gantian.
Emm...?? terlihat memikir, telunjuknya menepuk-nepuk tengah-tengah bibirnya sambil tangan kirinya menopang siku tangan kanannya. Padahal sebenarnya telah ada jawaban itu. Tapi sengaja dibikin-bikin agar lebih gemulai mungkin.
Dua hari lagi Bi. Bibi bisa antar ke rumah?
"Rumah Mbak di mana?"
Dekat jembatan yang biasa bibi lalui jika kepasar jelasnya dengan masih bersuara centil.
O iya?, Bibi tau" jawab Bu Sumarni tersenyum.
Ku tunggu ya Bi? pesannya sambil beranjak pergi.
Iya Mbak?.
Pembeli itupun permisi setelah memperoleh kepastian dari Bu Sumarni.
Satu lagi rezeki datang tanpa terduga. Seorang wanita muda ingin berpesan janur kelapa untuk riasan dalam acara pengantinannya. Janur sendiri kerap tidak terpakai dan hanya menjadi salah satu tumpukan dahan yang kian kering dihajar panas mentari. Beruntung sekali, janur tersebut ada yang mencari.
Perempuan tadi juga sempat membuat Bu Sumarni heran, kenapa gadis-gadis muda sekarang, cepat sekali untuk membina rumah tangga. Toh yakinlah Bu Sumarni, bila calon yang dipilih gadis-gadis itupun, pasti masih tergantung dengan orang tuanya. Belum sepenuhnya mampu untuk berdiri sendiri. Beda benar dengan zamannya dahulu, wanita-wanita santai saja mencari suami. Laki-laki juga demikian. Jika calon suami belum mapan-mapan benar. Maka suami itu berprinsip, tak ingin menikahi pasangannya dulu. Malu.
Sekarang sudah beda, lamun Bu Sumarni.
*
Peluang
Fatimah terus memainkan gas pemacu kendaraannya, melewati kota Banjarmasin. Jalanan nampak ramai seperti biasanya.
Dewie yang sebulanan ini telah bergabung di organisasi FSDI jujur tak pernah jalan malam. Dewie ngin sekali tahu bagaimana kegiatan penduduk di Banjarmasin. Kini ia tertegun, melihat betapa kerlap-kerlip lampu yang terang benderang menyinari jalanan. Jajanan pedagang kaki lima semakin banyak memadat di tepi jalan.
Menyusuri jalan Pasar Lama. Kerumunan pejalan kaki merangsek ketengah untuk berjalan. Sifat egois yang tinggi membuat mereka menyepelekan peraturan. Akibatnya motor semakin tergeser menumpuk di tengah jalan. Sulit berjalan. Macet dan sesak bernafas. Sebagai pembonceng, tentu penat tidak terlalu ia rasakan. Fatimah yang kelihatannya lelah. Motor Beat biru yang ditungganginya telah membuat tubuhnya meliuk ke kanan dan ke kiri. Pegal tampaknya.
Klakson terus berbunyi, mengisyaratkan pengendara lain untuk segera cepat berjalan atau ke pinggir. Lampu merah berganti hijau. Padat jalan tetap saja tidak berubah. Fatimah masih saja melenggokkan badannya, walau motornya telah berjalan lambat.
Belok kanan, dan Fatimah membawa Dewie melewati daerah yang bernama Pantai Jodoh. Motor Beat itu berjalan kian melamban mengamati keadaan sekitar.
Coba kamu lihat Wie..? muka Fatimah mengarah ke samping kiri dengan diiringi dagunya yang maju menunjuk.
"Pasangan muda-mudi tengah asik bercengkrama dengan pasangan yang berlaian muhrim. Bertatap-tatapan menggunakan nafsu. Mereka sadar Wie, tapi asumsi mereka adalah hidup masih muda. Memang musuh sebesar-besarnya musuh adalah nafsu. Nabi Muhammad pun mengakuinya. Lebih dahsyat berperang dengan nafsu bila dibandingkan dengan perang Badar sekalipun.Sedikit yang bisa menahan nafsu, harus berpegang teguh pada akidah sehingga tidak lena dengan rayuan" kata Fatimah.
"Iya..kamu benar Mah?" tukas Dewi kurang fokus.
"Betul betul ramai. Jadi yang sering aku dengar nongkrongn di Pantai Jodoh itu di sini to ternyata. Apa orang tua mereka tidak peduli yo Mah?"
"Orang tua mereka bervariasi sikap Wie. Setahuku ada yang memang telah menasihati anak-anaknya, khususnya cewe untuk belajar, dan hanya jalan-jalan pada siang hari. Namun namanya juga anak muda Wie..? turun naik nada suara Fatimah seperti keheranan.
Dapat hasutan dari teman cowonya, ya sudah. Seperti murid yang pintar membuka contekan; mereka pun lihai mencari alasan. Ada juga Wie yang orang tuanya memang cenderung sibuk dengan kerjaannya. Jadi anknya menemukan pendapat dan kepercayaan sendiri. Lihat itu Wie? sambil menujuk ke sudut jalan yang terdapat kerumunan anak punk. Mereka sebenarnya banyak dari keluarga mampu Wie lanjut Fatimah menjelaskan.
" Coba lihat lagi" dagu Fatimah maju memberi isyarat. "Pakaian mereka itu rata-rata harganya lebih duaratus lima puluh riu?.
Yang mirip pakaian orang gila itu Mah? sangkal Dewie tak percaya.
Benar, aku tidak bohong. Dulu temanku ada yang ikut community seperti itu. Dia bilang sendiri: jika untuk dapat berpenampilan seperti anak Punk, ya memang rata-rata rombakan baju sampai celana serta asesorisnya, itu lebih tiga ratus ribu Wie. Wah mahalnya Mah..? Dewie terkagum.
Fatimah memang punya pengetahuan luas. Apalagi ia sudah semester 6 jauh di atas Dewie. Senior. Fatimah sangat sering bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang ia ketahui. Seperti saat ini dan Dewie pun sebagai penikmat informasi, dia sangat suka mendengarkannya.
Motor melaju tetap lamban dengan kecepatan 20km/jam. Mereka berdua masih mengamati keramaian di Pantai jodoh. Sebentar kemudian mereka telah melewati tempat itu dan beralih melintasi siring Sabilal Muhtadin.
Keadaan Siring juga tidak kalah dengan Pantai Jodoh. Ramai dan berbagai community mulai dari anak Alay, anak sepeda pikcy, community dari berbagai STM dan perbengkelan serta bermacam-macam lainnya. Masing-masing berkumpul dalam kelompoknya. Ada yang membawa spanduk dan dijemur di tepi jalanan sebagai tanda jika itulah slogan atau nama dari geng mereka.
Beragam komunitas tersebut juga tidak luput dari perbincangan Fatimah dan Dewie. Namun mereka sepakat berpendapat kalau di tempat ini keadaanya lebih terkontrol daripada di Pantai Jodoh tadi. Setidaknya mereka berdua hanya menemukan kegiatan ngobrol dan jalan-jalan bersama di lokasi itu. Sedangkan di Pantai Jodoh, yang pencahayaannya tidak terlalu terang. Redup remang-remang, mereka menemukan banyak muda-mudi menuruti gaya Amerika. Berbuat sesuatu yang berbau kebebasan. Kemerdekaan berekspresi dan Kebarat-baratan.
Perbincangan tentang beaneka komunitas yang mereka temukan di Siring tidak terlalu lama. Sebab perbincangan mereka lebih tentram ketika topik yang dibahas adalah keagungan masjid yang megah Sabilal Muhtadin.
Dewie sebenarnya pernah salat di masjid yang sering ia lihat di televisinya itu, tepatnya dalam stasiun channel TVRI. Namun sekali lagi, hal tersebut ia lakukan pada siang hari, dan untuk malam ini, matanya terlihat berbinar melihat agungnya Masjid Raya itu. Lampunya terang. Cerah bercahaya menentramkan.
Pulang nanti kita singgah di depan Masjid itu ya Mah?, Indah banget lampu-lampunya pinta Dewie dengan tidak melepaskan pandangannya ke arah samping-samping masjid.
Gampang Wie..nanti pulang dari toko buku kita singgah di situ balasnya sambil membelokkan motornya kekiri, menuju jalan Veteran; di mana lokasi toko buku itu berada.
Jalan Veteran juga tak kalah ramai dengan jalan Pasar Lama tadi. Tapi untuk kepadatannya tentu lebih padat jalan Pasar Lama.
Di jalan Veteran, Dewie melihat banyak pedagang kaki lima. Tapi wajah-wajah mereka seperti bukan asli orang Indonesia. Sipit matanya dan putih rupa mukanya. Lebih mirip Cina. Dan banyak. Mereka ramai dengan beragam kegiatan.
Belok kekiri, dan tibalah mereka berdua di toko buku. Motor di parkir di samping toko kemudian masuklah mereka ke dalam toko tersebut.
Bau AC menyambut cepat kedatangan Fatimah dan Dewie mengalahkan sambutan dari para SPG yang berdiri menghadang di samping pintu utama.
Di dalam toko, keduanya memisah dengan pencarian buku yang berbeda-beda. Dewie berpindah-pindah dari satu jenis rak buku ke rak buku lainnya. Mencari-cari hal yang membuat dia tertarik. Sementara Fatimah sudah asik duduk dengan sikap kosentrasinya membaca sebuah novel yang dia sukai.
Tak lama berselang, saat Dewie sedang asik memilah-milah buku.
Hey..kelihatan serius banget membaca buku masak-memasaknya. Koki ya,,?.
Terkejut Dewie tatkala seorang pemuda yang tiada ia duga mengusik kosentrasinya. Pemuda tinggi dengan kemeja hitam dan kulit putih. Dewie tak mengenali sama sekali pria itu. Dari raut wajahnya terlihat ia lebih tua berapa tahun darinya. Mungkin seumuran Sigit.
Oh,,enggak..?" ucapnya dengan senyum dan sedikit menunduk malu. Aku cuma suka dengan cara penyajiannya. Cantik?.
Iya..benar" tukas pemuda itu ikut menatap isi buku yang terkulai di lengan Dewie. "Seperti acara yang ada dalam televisi Master Chef saja ya."
Dewie hanya mengangguk terus fokus melihati anaeka hidangan yang tersaji dalam buku masak tersebut.
Kalau tidak mengganggu, boleh aku kenalan dengan kamu? pinta pemuda itu dengan senyum lesung pipitnya.
"Ooh ndak mengganggu kok, boleh..? .
Dewie mengiyakan permintaan pria tersebut, bukan karena ia memandang bahwa cowo yang berdiri di sampingnya itu tinggi gagah dan tampan. Melainkan karena ia berprinsip, berteman dengan siapa saja selama teman barunya tidak membawa dampak yang negatif baginya, itu adalah pencerminan dari sikap Nabi. Selalu ramah dengan siapa saja yang telah ramah dahulu kepadanya. Itulah sebabnya kenapa ia mengamini kehendak pria berkemeja hitam itu.
Melayangkan tangang kedepan untuk bersalaman, pria berkemeja hitam itu memperkenalkan dirinya Aku Irwan., Kamu sendiri siapa namanya ?.
"Dewie" sambil senyum tanpa memblas jabatan tangan.
Irwan dengan sikap sopan dan murah senyumnya membawa Dewie berbincang-bincang panjang. Mereka berdua duduk di kursi yang lapaknya terbuat dari busa hitam.
Diketahui bahwa Irwan juga seorang mahasiswa semester 4. Ia kuliah di UNIN Banjarmasin dan mengambil jurusan Seni. Irwan anak Banjarmasin asli. Rumahnya di daerah Pekapuran.
Entah perasaan apa yang dialami Dewie saat itu, pemuda yang baru dikenalnya tersebut terlihat nyaman di pikirannya. Dari cara dia berbahasa, seperti benar-benar mengerti tata cara sikap yang diinginkan Dewie.
Topik tentang pergaulan ia menguasai, topik mengenai sikap ia tahu, dan topik tentang agama pun Irwan begitu membuat Dewie merasa betah. Sungguh unik pria ini. Pintar dan berwawasan, Dewie tertegun, mukanya polos mengamati Irwan yang masih bercerita di sampingnya.
Terus bercerita Irwan, hingga membuat Dewie lupa untuk mencari tujuan pokoknya.
Wie? panggil Fatimah. Cukup sudah oi.. ujarnya dengan senyum-senyum. Ngobrol terus yang berdua ini?? sambil menggawil pundak Dewie.
Dengan sedikit terkejut seperti teguran pertama dari Irwan, Dewie pun menjawab astaghfirullah ..kagetnya aku Mah.
Iya kagetlah ngelamun kok..,siapa itu Wie? dagunya menjulur sedikit ke arah Irwan. Ini Irwan orang UNIN.
Fatimah dan Irwan pun berkenalan.
Wie.., kita pulang yo. Kayaknya sudah larut? kata Fatimah. Terus jadi enggak kamu mau ke Sabilal tadi" lanjutnya lagi.
Ooh..iya, benar-benar lupa aku Mah, ya sudah ayo, kita pulang setujunya.
Kamu tidak beli buku Wie? tanya Fatimah lagi.
Ah..kapan-kapan saja, belum ada yang menarik Mah" tukas Dewie dengan bercanda-canda.
Ooh??.
"Wan? panggil Dewie. Dan Irwan pun secepat angin langsung merespon dengan menatap Dewie yang sejak percakapan dengan Fatimah tadi, posisinya berdiri membelakangi Irwan.
Kami duluan ya
. Oh iya hati-hati saja Wie. Eh sebentar dulu sela Irwan.
Pemuda itu mendekati Dewie dan berbicara sedikit, lalu mempersilahkan Dewie lagi untuk pulang dengan berbalas-balasan senyum.
Mereka berduapun meninggalkan toko buku lalu menuju masjid.
*
Beberapa hari ini ada perubahan yang sungguh Dewie rasakan. Tiap waktu HP Dewie selalu sibuk berbunyi. Bahkan mengganggu teman kosnya yang bersebelahan kamar. Dahulu HP Dewie selalu penuh dengan kotak masuk Sigit di Wa. Kini Sigit sama sekali tak pernah memberi kabar atau bahkan ucapan manja setelah dan sebelum tidur kepada Dewie. Tapi Dewie tetap biasa menghadapi situasi ini. Baginya ini yang terbaik walau kadang ada juga perasaan bersalah dan rindu dengan guyonan Sigit.
Pagi itu Dewie yang sedikit kesiangan bangun karena hari minggu. Terlihat jari-jemarinya memainkan keyboard HP. Mata dan raut mukanya tak mampu menyembunyikan keriangan yang tengah melandanya. Sigit kah itu yang membuatnya sibuk. Bukan, kali ini Dewie sedang senang karena canda-canda yang dikirimkan Irwan, teman barunya itu.
Hari-hari yang lalu ketika di toko buku sebelum berpisah tentu Irwan meminta nomor WA Dewie di penghujung pembicaraan. Dewie pun memberikannya.
Sekarang keduanya tampak akrab. Tidak ada yang membosankan dari cara Irwan mengungkapkan isi ceritanya, Dan benar, Dewie selalu dibuat cekikikan karena leluconnya.
Hingga pada inti cerita yang disuguhkan. Pemuda tersebut ingin mengajaknya makan di luar. Awalnya Dewie tidak mau menerima tawaran itu, ia tetap konsisten pada prinsipnya. Dewie tak ingin menimbulkan perasaan yang lebih di hati Irwan. Semuanya atas dasar persahabatan. Tidak lebih.
Tapi Irwan tetap tenang. Dalam pesan singkatnya ia terus memberi Dewie perhatian, saran-saran, motivasi, dan tidak marah ketika usulnya untuk jalan bersama dipatah terus oleh Dewie. Ia sabar lebih sabar daripada Sigit.
Di suatu kesempatan, Dewie mencoba minta pendapat dengan Fatimah tentang pria yang dikenalnya di toko buku beberpa hari yang lalu. Pendapatnya bagus dan ia memberi saran agar Dewie mencoba untuk membuka kesempatan bagi Irwan. Siapa tahu memang ia hanya ingin bersahabat dengan Dewie.
Dewie mengiyakan gagasan sahabatnya tersebut. Meski masih bimbang-bimbang langkahnya, namun Dewie percaya jika ucapan kawannya itu ada benarnya l. Tidak baik berprasangka jelek dulu kepada orang sebelum mata melihat dan telinga mendengar.
*
Suatu malam, Dewie menyetujui ajakan Irwan. Berjalanlah mereka berdua menikmati hingar-bingar kota Banjarmasin.
Hati Dewie serasa melihat kehidupan yang indah menyenangkan. Irwan membawanya keliling Banjarmasin. Melewati pemukiman dengan cahaya lampu berwarna-warni dan berbagai gedung pertokoan serta perbelanjaan yang semakin membuat gadis itu beraut muka gilang-gemilang. Dewie tak pernah melalui jalanan ini. Yang ia tahu, setiap ia keluar dari kos-kosannya hanya toko buku tujuan akhirnya.
Di penghujung malamnya, Irwan membawa Dewie untuk makan di salah satu kafe. Ruangan kafe itu mungil dan sederahana. Akan tetapi cahaya lampunya yang beraneka warna, kerlap-kerlip sungguh membuat kafe itu serasa kelas elit. Letaknya di pinggir sungai dengan lantunan tembang lembut dari pemain organ tunggal. Nuansa itu membuat hati Dewie kian larut dalam udara sayup-sayup asmara tersebut. Mereka kemudian memilih kursi yang kosong di tepian sungai yang bisa menghirup langsung udara dingin dari malam. Kursi kafe itu pun sengaja dibuat bundar dengan payung-payungan di atasnya. Hal itu membuat mereka duduk bisa saling bertatap-tatapan.
Malam itu Irwan bercerita lebih spesifik lagi tentang kehidupannya.
Inginku sih berusaha mandiri" ujar Iwam sambil kedua siku tangannya bertopang pada meja lalu lengannya tegak. Jari-jari tangan kanannya menjalin-jalin dengan jari-jari tangan kiri seperti anyaman. "Aku pernah kuliah sambil bekerja, namun tak tahan oleh karena semua peluhku tak pernah dianggap bosku"imbuhnya bercerita.
Di mana kamu bekerja Wan? tanya Dewie.
Aku bekerja sebagai tukang cuci piring di hotel saja, lumayan juga gajihnya. Punya bos Cina tutur Irwan dengan muka sedikit kesal, mengingatnya.
Pernah aku kala itu begadangan karena jam telah sampai pada pukul 3 pagi. Itupun baru saja aku usai mencuci piring, dan entahlah. Mata ini seperti punya nalurinya sendiri. Tertidur aku sejenak, karena lelah. Bayangkan saja" urai Irwan sambil menatap tajam Dewie yang duduk di hadapannya. "Aku kerja mulai jam 7 malam sampai kadang ke pagi hari. Wajarlah bila aku kelelahan. Tapi Tachi itu benar-benar tak pernah paham" ungkapnya sewot. Tampak getar-getar pipi Irwan menahan jengkel.
Lalu? tanya Dewie singkat.
Ya, akhirnya aku dimarahi karena teledorku Wie. Disangkanya aku bermalas-malasan. Akhirnya berujung pada pemecatanku' katanya dengan tidak lagi menatap Dewie. Kini mata Irwan beralih keluar menatap sudut-sudut tempat. Seolah tatapannya itu ialah wujud pembuangan dari semua kesal dari ingatan cerita yang ia suguhkan.
"Kasihannya kamu Wan kata Dewie peduli. Kenapa kamu nekad begadang-begadang untuk bekerja, padahal orang tuamu mampu untuk membiayaimu? Dewie bertanya lagi dengan mata terlihat berkaca-kaca haru.
Mengambil kentang goreng yang telah tersaji di awal tadi, Irwan menjelaskan lagi
"Aku mencoba untuk tidak tergantung pada orang tua. Ini karena mereka masih kacau balau. Masih harus berbenah-benah. Apalagi ditambah kewajiban mengurus anak, yang menjadi sampingan urusan kedua mereka jelas Irwan.
Tak menyangka Dewie, di kota ramai seperti ini masih ada pemuda yang berjuang tidak hura-hura untuk memajukan diri agar menjadi seseorang yang dianggap di mata orang lain. Utamanya dalam kisah hidup yang dituturkan Irwan, pada akhirnya membuat miris hati Dewie. Ia seperti merasakan juga kesedihan dan tekanan-tekanan yang dialami Irwan. Hati Dewie seakan terhipnotis oleh silsilah hidup Irwan .
Dewie berjanji akan menjadi teman curhat Irwan yang sebisa mungkin dapat memberi saran dan masukan positif. Mata lelaki itu tampak berbinar mendengar jawaban Dewie. Hal inilah yang ia harapkan lalu malam pun kian larut membawa dongeng psikologi yang ruwet.
*
Setiap pola pikir manusia terkadang sulit menetap pada satu arah. Berubah-ubah dan tidak elastis dalam penerapannya. Jika sebuah masalah yang padat datang menghantam, pikiran seseorang yang labil cenderung kian mendesak dan menekan. Selanjutnya keegoisan serasa seperti racun mengalir dalam urat menggrogoti semua isi yang dijumpainya. Jejak pendapat dan musyawarah tidak menjadi jalan utama penyelesaian pelik yang melanda suatu kelompok. Tak mengherankanlah bila sering dijumpai sebuah kelompok, ormas, dan partai-partai yang sering cekcok di dalam satu ikatan organisasinya. Hingga berujung pada pecahnya sebuah golongan. Sebuah ikatan dan sebuah kebersamaan jka sikap egois diri telah memonopoli saraf dan sudah sekongkol bersama nafsu, kehancuran akan melanda. Dibutuhkan tidak hanya saling keselarasan warna dalam tujuan, namun juga kesadaran yag teguh, dan sikap keterbukaan. Inilah yang terjadi di dalam organisasi yang Dewie geluti.
Mulanya hanya karena minimnya anggota-anggota baru yang ikut begabung. Bahkan mungkin tidak ada. Semuanya hanya terdiri dari anggota-anggota lama yang perlahan telah berkurang karena kelulusan kuliah. Kesenjangan anggota itu, kadang juga sering berbuah pada selisih paham dalam kegiatan mengajukan sebuah proposal penyelenggaraan suatu acara. Yang satu ingin demikian, dan yang satu ingin seperti ini. Semua punya presepsinya sendiri-sendiri. Maka perlahan keaktifan anggota mulai menuju ke arah kemunduran. Jarang lagi mereka berkumpul. Hingga berujung pada jalan sendiri-sendiri, berkeinginan sendiri-sendiri dan sesuai pilihan sendiri-sendiri.Singkatnya organisasi FSDI mengalami masalah yang sulit teratasi. Hampir bisa dikatakan bubar karena sepi anggota dan masalah-masalah di dalamnya.
Kini dalam kos-kosan Nilam itu pun hanya terdapat tiga saja anggota FSDI yang tersisa. Yang lain sudah malas-malasan bergabung, dan menjangkau kesBukan masing-masing. Fatimah sendiri telah lulus beberapa minggu yang lalu. Anggota yang tersisa itupun sebenarnya tetap mencoba eksis, tapi nyatanya tak mampu bertahan juga. Terlalu sedikit ormas dan beban dalam organisasi akhirnya ditelan oleh perorangan.. Kesibukan pribadi pun terus menekan mereka yang membuat organisasi tersebut akhirnya benar-benar lumpuh.
Dewie merasakan semua itu sebagai inti yang menghilang dari kesehariannya. Mulanya ia juga tetap bertahan, ia yakin mampu mengatasi renggangnya oraganisasi ketika para pejuangnya banyak yang berhenti. Tapi sebagai manusia biasa yang haus akan pendapat dari teman-teman dekat, kerab kali rasa bosan juga selalu datang. Dewi pun mencari pelarian penghilang jenuh. Tapi di mana ia mencari, hendak berjalan motor tak ada. Warnet hanya sepintas menghibur saja setelah itu jemu kembali menerpa. Ingin menelpon Sigit, tak mungkin lagi ia mau untuk meluangkan waktunya menemani Dewie bercerita.
Ujung pikirnya tertuju pada Irwan yang tetap setia menjadi teman berbagi untuknya dan malam itu, berjalanlah mereka berdua.
Teman berbagi curhat berbalik menjadi pencurhat. Dewie menceritakan semua perubahan dan dilema yang ia rasa.
Irwan dengan bijak selalu memberi solusi yang tepat.
Sembahyang malamlah, mungkin itu dapat meringankan keluh kesahmu salah satu nasihat Irwan.
Sebagai pemuda yang merasa telah menemukan kelemahan pasangannya, maka kejenuhan Dewie itu menjadi jalan jitu bagi Irwan untuk lebih mendekatinya. Tentu masih tetap dengan bahasa lembut dan rayuan yang jauh berkarakter ketimbang Sigit. Irwan menyampaikan maksudnya.
Teman itu berbagi suka dan duka"
"Maksudnya?" tanya Dewie bingung.
Tidak ada maksud apa-apa Wie? katanya rendah. Hanya ungkapan saja. Selama kita jalan bareng ini, serasa semua nasihat yang kamu beri ke aku, benar-benar penuh dengan kedewasaan? akui Irwan.
Jadi pengennya seperti apa Wan? tekan Dewie.
Yah itu tadi Wie, aku mohon baget semoga kamu memberi kesempatan buatku untuk lebih dekat lagi mengenalmu.
Pahamlah Dewie, semua ungkapan Irwan di malam itu. Ia tidak serta merta menjawab. Dia tunda dan minta diberikan waktu. Ikrar untuk tidak berpacaran sedang teruji untuk kedua kalinya. Dalam kosnya Dewi bingung memilih, ingkar atau tetap teguh mengamalkannya.
Namun jika aku teguh, aku takut bakal membuatnya lari seperti yang sudah-sudah. Ah bingung.
Begitulah pikiran Dewie menjelang tidurnya. Sekian kalinya masalah seperti ini tak dapat membuat tidurnya nyenyak. Hatinya terus bergulat lagi dalam lamunan pilihan.
Tilulilulit..lulit..lamunannnya pecah ketika bunyi nada dering di HPnya menunjukkkn jika ada seseorang yang ingin menghubunginya.
Siapa jam segini menelpon gumamnya.
Tangannya meraba-raba dengan malasnya mencari ponsel yang tergeletak di sisi kasurnya.
Nomor baru, siapa ini matanya tertuju pada layar ponsel yang tertera nomor tanpa foto profil WA.
Assallamuallaikum, ini siapa? sambutnya.
Ini aku Wie Ibumu, sudah tidur toh.
"Hah.?? kaget bercampur sumringah saat Dewie mendengar suara Ibunya menelpon di jam tidur seperti ini. Dewi sama sekali tak mengira ibu menelponnya.
Oh belum bu," jawabnya santun. Ibu pakai HP siapa, jadi jam segini nelpon Dewie
Tadi siang Bu baru dapat rejeki lebih Ndo..terus temen ibu ada yang pengen nawari HP setengah pakai, setelah tawar-tawaran ternyata dia mau. Sekarang gak usah lagi minjam tetangga hehe.., jelas Bu Sumarni dengan nada ringan ceria. Ibunya senang sekali mendengar suara anaknya.
Piye keadaan di situ Wie., kamu sehat-sehat aja toh" tanyanya lagi.
Alhamdulillah sehat Bu"
Kemudian terdengar sedikit cakap-cakap Bu Sumarni dengan suaminya dari spiker HP. Bu Sumarni meminta Pak Darwis untuk gantian ngobrol dengan anak semata wayangnya.
Berdehem-dehem sejenak, hallo ucap ayahnya gugup.
Sang ayah memang tak biasa dengan telpon biasa atau WA sehingga ketika ia berbicara di ponsel tersebut, nampak suaranya tak terkontrol.
Dewie yang mendengar suara ibu dan bapaknya di malam itu sungguh riang. Lupa lagi ia dengan beban yang menindihnya. Ia tertawa geli mendengar ibu dan bapaknya bertengkar guyon dalam telepon tersebut. Saling salah-salahan dengan bumbu canda yang sungguh membuat Dewie semakin terpingkal. Suara ayahnya lucu saat di telepon, sengau mirip suara hidung yang tanpa cengkokan bass.
Pembicaran yang berlangsung kurang lebih 20 menitan itu pun usai. Ibunya seperti biasa selalu memberikan petuah-petuah bagi Dewie. Ia mengingatkan agar seberapa letihnya badan dan pikiran, tetap jangan lupa untuk beribadah. Syukur-syukur bila sanggup menagamalkan salat tahajudnya secara rutin karena itulah obat yang ampuh untuk semua permasalahan dan semua hal yang manusia inginkan.
Selanjutnya Dewie mencoba mengatur kosentrasinya. Mencoba rileks untuk mengistirahatkan tubuh juga saraf. Di atas busa kasur, badannya sekarang terlihat enteng, tidak geser kesana-kesini lagi. Tidak gelisah dan pandangannya pun mulai redup.
*
Siasat
Jam 01.00 WIB
Dewie bangun dari tidurnya. Empat jam berselang, nasihat-nasihat yang ia dengar dari Ibunya masih sangat jelas. Beranjak kaki-kaki Dewie yang bersih dari tempat tidur menuju dapur di kosannya. Hendak berwudu. Ingin dia mencoba menjalankan petuah Ibunya itu.
Mengenakan baju piyama dan membuka pintu kamar, udara dingin ternyata masuk ke dalam ruangan. Dewie mendekap bahu-bahunya sendiri untuk menamengi dirinya dari hawa. Pandangannya sipit oleh kantuk. Sering sesekali ia menguap dan tangan kanannya juga berpindah lagi menggaruk-garuk rambut. Dewie terus berjalan.
Ini hanya uap setan yang mencoba merayunya agar tidak sembahyang, gerutu Dewie yang sedikit banyak jengkel karena terus menguap. Berat benar memulai sebuah aktivitas yang banyak berpahala. Beda dengan melakukan kegiatan yang berbau sara, sungguh cepat dan tak terasa. Terus ingin tambah dan benar-benar tak kenyang.
Melewati jalan yang di samping kiri dan kanannya adalah kamar teman-teman Dewie, terasa sungguh lengang ruangan itu. Langkah kakinya gontai menuju kran air. Satu persatu pintu kamar ia lalui, namun langkah kakinya tepat terhujam dan tidak bergerak melangkah lagi pada sebuah kamar. Telinganya jelas mendengar suara sesuatu di dalam kamar itu. Kamar dengan pintu berwarna ping dan bertuliskan Dont Disturb tersebut, lama-lamat terdengar suara garau seorang pria.
Kesan ngantuk telah hilang kini. Mata sipit Dewie juga telah mulai terbelalak. Badannya sedikit membungkuk dan menempel di dinding.
Dewie ingin mengetok pintu. Telunjuk tangannya mulai ia tekuk sebagai tanda ia telah siap memastikan seuatu keadaan. Dan sekali lagi, gerakan tangan itu berhenti karena ia jua digelayuti rasa ketidakdopanan mengganggu aktivitas pribadi orang.
Jelas suara pria yang di dalam itu. Tapi bagaimana bisa. Ini kos-kosan putri dan mana mungkin pria boleh masuk, batin Dewie kebigungan
Saudara mungkin, tapi tidak masuk akal jua perepsi itu. Aku mengerti benar, suara itu adalah suara lelaki yang kira-kira usianya sepantaran saja denganku, lanjut herannya.
Dewie terus mendengarkan percakapan dengan tenang. Sesekali senda gurau terseruak di dalam kamar tersebut. Hingga ujungnya, suara cakap-cakap di dalam kamar itu senyap.
Tahukah mereka bila aku menguping? pikirnya cemas.
Dewie kemudian ditikam risih yang mekin mendalam, hendak kakinya ia langkahkan lagi menuju tujuan utamanya. Tapi kali ini, kakinya benar-benar terasa besi menempel di magnet lantai.
Tercekat dia di hantam sejuta keheranaan.
Percakapan yang menghening itu berubah menjadi suara yang tidak jelas di benaknya. Bunyi seperti decitan bercampur ringkikan kuda perlahan terdengar. Semakin meningkat kecepatan bunyi itu. Sesekali helaan nafas ngos-ngosan pria mendesis dari dalam kamar. Dewie makin bingung. Bingungnya menjadi-jadi, membuat replika khayal aneh-aneh. Ia tempelkan lebih rapat. Lebih lengket lagi telinganya ke dinding pintu.
Dengan posisi pipi yang menempel, dan kedua tangannya ikut jua menempel sebagai penyeimbangnya, Dewie kosentrasai mengamati suara khas dari dalam kamar itu.
Ngos-ngosan tiba-tiba luluh tak lagi ia dengarkan, suara garau itu hilang di telan malam, dan kini berganti dengan suara dari temannya. Masih tetap seperti suara ringkikan. Pikiran Dewie tiba-tiba kacau mendengar suara ini. Khayal-khayal seakan hidup dan merasuk. Memaksa dia melihat sebuah adegan yang terbuka blak di depan mata.
Gila mereka!!!, batinnya menghardik.
Dingin malam kembali menjentil kulit Dewie. Menggigil dia. Kini benar-benar melangkahkan kakinya menuju tempat kran air untuk berwudu. Sejuta halusinasi dan praduga masih berkecamuk di pikirannya. Ia tak mengerti dengan semua ini. Ia sadar pikirannya tertuju pada satu jawaban, dan kedewasaannyalah yang menuntunnya menuju jawaban itu. Secara pendengaran, dia menolak kejadian itu dengan hujatan. Tapi secara panca indera, entah kenapa hal itu seperti terterima jiwanya.
Ini Banjarmasin. Ini kebebasan berekspresi, ucap salah seorang temannya di dalam kelas yang masih dapat ia ingat raut dan gaya tangannya ketika menyampaikannya.
*
Lebih setengah tahun Sigit telah bekerja di perusahaan Tanjung Selat, dan tiap ada libur, biasanya ia akan menengoki orang tuanya. Begitu juga siang itu. Ia pulang. Namun walau bekerja di perusahaan itu lama, dan lebih naung ketimbang di persawahan, tetap saja badan Sigit hitam. Tak mengubah warna apapun. Ia tetap Sigit si anak pengaritan seperti terdahulu.
Ayahnya kemudian muncul dari horden yang menutup pintu depan. Dengan membawa secangkir kopi Kapal api. Duduklah ayahnya menemani ngobrol anaknya itu.
Kalau mau kopi buat sendiri di dapur sana ucap sang ayah.
"Inggih Pak
" Bagaimana kabarmu Git?"
Alhamdulillah baik Pak.
"Bagus. Terus selama di Banjar, kamu sering ndak nengoki Dewie Git? tanya langsung pak Ratno, sambil menyeropot kopinya.
Ah bapak kie..,kok langsung kesitu. Lagian buat apa Pak, nengoki Dewie. Nggak sakit juga kata Sigit dengan duduk bersila berhadapan dengan ayahnya.
Lho.? nada ayahnya heran. Bukan begitu Git.., bapak malah nyaranin kamu buat berdekatan dengan dia. Dewie itu anak tunggal lho Git?, gak punya saudara-saudara. Nanti aku hubungkan dengan ayahnya. Siapa tahu kalian berjodoh, dan hidupmu bakal makmur" ujarnya bersungguh-sungguh.
Cress!!!! Api kecil meliuk-liuk dari batang korek, dan dengan cepat membakar tembakau berbungkus papir putih dari pabrik.
Hyufff!!!..hembus Sigit dengan mulut penuh asap.
"Dewie itu anak kuliahan Pak? sanggah Sigit yang berlainan pandang dengan pendapat ayahnya.
"Yah jujur saja, dia itu cakep. Membuat laki-laki juga ingin menjadi teman hidupnya" lanjutnya sembari menjentikkan abu rokok kedalam asbak yang berada didekatnya. "Tapi sepantasnya, Dewie itu berjodoh dengan laki-laki yang seprofesi dengan dia Pak. Kalau dengan kita jauh banget. Sigit juga tidak tega Pak, jika nanti mungkin Tuhan menjodohkan Sigit dengan Dewie hanya untuk bertani. Kasihan dia, dan orang tuanya Pak" sambung Sigit.
Orang tuanya?" balas Pak Retno angkat bahu.
"Memang kenapa dengan orang tuanya Git? sambung sang ayah sambil seropotan kopi kembali membawa nada heran dari pak Ratno.
Orang tuanya menyekolahkan dia jauh-jauh selain biar jadi guru juga supaya ia ketemu jodoh yang mampu membuatnya tentram." Sigit menunduk dan menatap sarung yang dikenakan ayahnya. "Tidak setiap hari berpanas-panasan seperti kita Pak.
"Lho kalau orang tuanya setuju Git. Toh kamu dipandang baik di mata mereka."
Sigit sebetulnya memang masih mencintai Dewie. Dahulu ia sakit karena penolakan yang dilayangkan Dewie kepadanya. Tapi cinta tetaplah tak mau bersanding dengan logika. Cinta itu tak punya rupa dan bukan suatu yang perlu untuk dijelaskan dengan bahasa. Cinta untuk dijalani dan dipahami.
Selama bekerja di perusahaan, Sigit lebih mengerti tentang semua yang dijelaskan Dewie kepadanya. Dewie memang benar ingin membuat orang tuanya bahagia bersamanya. Aasan menjauhnya Sigit sampai saat ini, bukan lagi karena ia tak terima penolakan kala itu. Melainkan ia memang tak ingin mengganggunya, serta juga agar rasa di hatinya menjadi rasa yang murni kakak adik yang dulu pernah Dewie ungkapkan kepadanya.
Toh bila jodoh tentu ia takkan kemana, , batinnya suportif.
Kamu sekarang sudah dewasa Git? kata ayahnya dengan menggulung-gulung tembakau sekarang.
"Bapak cuma ingin mencarikan kamu pasangan yang bisa membuat masa depanmu tentram."
"Benar Pak." Jemari Sigit menjatuhkan abu lagi kedalam asbak. "Hidup Sigit nanti bakalan tentram. Tapi ya seperti tadi Pak, kasihan Pakde Darwis dan bude Sumarni, kalau punya mantu sepertiku.
Ah!!!.., kamu itu mbantah terus kok Git! nada sang ayah tinggi. Tampak muka ayahnya merah. Marah kelihatannya.
Jangan mikirin orang Git karena orang juga belum tentu mikirin kita!!. Lihat sawah dan kebun Dewie itu lho Git, nanti kalau kamu berjodoh, semuanya bakal lari kepadamu. Kamu yang mengolahnya dan membuatnya menjadi ladang duit buat masa depan kamu dan Dewie. Pokoknya bapak juga akan bujuk-bujuk si Darwis agar kelak jodoh putrinya jatuh ke kamu jelas Pak Ratno lalu pergi meninggalkan Sigit untuk mengembalikan gelas yang telah kosong oleh air kopi.
Kenapa ayahnya begitu terobsesi dengan idenya itu. Seolah ia tak memikirkan tentang bagaimana kedepannya kehidupan orang tua Dewie. Dewie kuliah karena ia tak ingin orang tuanya di umur yang uzur tetap berpanas-panas setiap hari. Ia ingin orang tuanya ketika usia lanjut, hanya duduk di kursi sambil minum teh memetik hasil yang mereka tanamkan. Dewie hanya ingin membalas semua budi orang tuanya. Dia tak mungkin ingin membiarkan mereka tetap bekerja di usia manula.
*
Jam kuliah telah usai. Jarumnya menunjuk ke arah angka 1 siang. Dewie berjalan menuju kos-kosannya. Tengah hari yang terik, tiba-tiba didapatinya Irwan sudah duduk ngaso di atas jok motornya. Pakaiannya rapi berkemeja putih kotak-kotak.
Mau apa anak itu, pikir Dewie.
Padahal sudah lama, Irwan telah menerima jawaban penolakan sama seperti jawaban yang diterima Sigit. Tapi tak sedikitpun Dewie menemukan perubahan dari sikap Irwan kepadanya. Bahkan semakin enteng percakapan di antara mereka. Saling mengisi dan hal inilah yang unik menurut Dewie. Pikirannya yakin jika Irwan memang benar-benar membutuhkan seorang teman berbagi cerita suka maupaun duka.
Dewie pun menghampiri Irwan dengan sambutan senyumnya,
Tumben siang-siang kesini Wan. Gak kuliah?.
Dengan senyum pula Irwan menyahut Sudah pulang Wie. Aku kesini sekadar muak aja. Di rumah seperti biasa bosan mendengar suara gaduh.
Pahamlah Dewie, jika suara gaduh yang dimaksud temannya itu adalah suara pertengkaran ayah dan Ibunya. Dewie pun kemudian menyuruh Irwan duduk di pelataran kos yang berlantai keramik tersebut.
Mereka berdua ngobrol dengan pakaian Dewie yang belum berganti. Dari nada-nadanya, Irwan sepertinya ingin membawa Dewie jalan-jalan siang itu.
Ada pertunjukan di taman Murjani Banjarbaru, dan acaranya mulai beberapa jam lagi jelas Irwan pada salah satu topik ceritanya.
Dia ingin membawa Dewie nonton acara tersebut.
Dewi menolak bujukan Irwan. Dewie belum salat dan juga belum makan. Namun Irwan dengan telaten terus meyakinkannya.
Nanti makan di sana saja Wie dan kita juga nontonnya nggak lama. Sepulang dari acara sempat saja buatmu salat Zuhur. Masalahnya jika kita terlambat nonton, pasti tidak dapat tempat" kata Irwan memelas.
Maafkan aku Wie jika usulku membuatmu tidak enak lanjutnya. Aku cuma perlu teman membuang semua unek-unekku ini. Aku ingin" rayunya sambil menatap Dewie dengan pandangan berharap-harap bahkan mengiba. "Kamu buat temani aku Wie."
Akhirnya karena kasihan dengan segala pengorbanan yang diberikan kepadanya sampai saat ini, siang itu Dewie mengamini usul Irwan. Dewi ikut melihat pertunjukan di taman itu. Ia meninggalkan salat Zuhurnya dengan beragapan, nanti setelah pulang dari acara masih sempat untuk menunaikannya.
*
Sampai di lokasi pertujunjukan, ke empat kaki yang sebelumnya menggantung dipijakan motor itupun turun lalu berjalan lirih berkumpul dengan ribuan kaki yang seakan riuh dengan suasana.
Dari bawah pangggung yang letaknya lumayan jauh, Dewie menyaksikan konser Band-band yang cukup favorit lagu-lagunya. Mereka berdua pun ikut larut dalam situasi itu, hingga badan Dewie serasa bergerak sendiri dengan beringkrak-jingkrak layaknya pengemis yang rebutan hadiah dari sang dermawan. Berjingkrak-jingkrak di kerumunan yang lumayan belakang. Tak berani ketengah karena suasana di sana seperti mulai anarkis.
Untuk pertama kalinya ia berpora siang itu. Tertawa-tawa dan saling senggol dengan penonton yang lain muhrim. Lupa dia dengan laparnya. Satu hal yang jelas dari itu, Dewi lupa salat Zuhurnya.
Di dalam keadaan itu, Dewie juga melihat muda-mudi tanpa malu-malu berpeluk-pelukan. Di tatapan puluhan pasang mata. Sejoli itu telah menganggap diri mereka seperti bintang film saja. Yang dengan ria bermesra-mesra di padang banyak. Tersenyum heran Dewie, tatkala tangan kanan lelaki yang merangkul pasangannya itu mencoba bergerak naik kedada pasangannya. Merogoh mulai baju dalam, dan dengan masih berjoget badannya, tangan pemuda itupun ikut pula berjoget-joget di sana.
Musik semakin keras dentumannya. Air disemprotkan panitia dengan kencang menyembur ratusan kepala yang banyak itu. Kepala Dewie pun ikut kena, untung ada kerudung yang masih menudunginya. Tapi lama ikut basah juga ternyata Dewie. Guyuran semakin menjadi-jadi. Di samping Dewi Irwan juga basah. Dewie melihat Irwan geleng-geleng sendirian. Kelihatannya, larut juga Irwan dalam hura-hura siang itu.
Lelah berjoget padahal musik masih heboh berdentum-dentum. Penonton lain masih kuat loncat-loncat. Tapi tak bagi Dewie. Keringatnya mulai bercucuran deras, hingga membuat lekukan-lekukan garis di kerudung Dewie yang belum sepenuhnya kering. Malu dengan keringatnya yang nampak, Dewie pun akhirnya melepas kerudungnya. Tergerai rambut hitam sepinggulnya yang terawat. Harum sampo Dove juga membesit hidung Irwan dari dekat. Sedikit banyak, wangi sampo dan geraian rambut Dewie sudah memberi nada lain di hasrat Irwan. Mengamati dengan diam-diam terus. Memendam hasrat dengan diam-diam pula.
Selanjutnya Dewie dan Irwan berjalan keluar kerumunan lalu beristirahat di bawah pohon sengon besar di pinggir taman. Dengan menawarkan minuman dingin dan cemilan irwan memulai obrolan basa-basinya. Obrolan yang harus membuat Dewie tertawa. Obrolan yang harus membuatnya terhibur, dan obrolan yang menyudutkan kata dari tenggorokannya.
Ah Wan? kenapa tanya itu lagi! mata Dewie menatap Irwan tajam ketika ia mengungkapkan kedua kali maksud hatinya itu.
Aku belum mau pacaran Wan" lanjut Dewie mengosok-gosok rambut agar hilang airnya.
"Tau sendiri?, pacaran itu yang ada malah ngerusak kosentrasi kuliah. Aku gak pengen kuliahku sia-sia. Maafin aku Wan."
Tidak apa-apa Wie. Kamu tenang saja. Kamu cuma belum menjalaninya, dan hanya mendengar isu dari mulut ke mulut ungkap Irwan tanpa menatapnya.
Mata Irwan memancang keluar taman melihati aneka Tronton dan mobil-mobil lain yang hilir mudik dengan kesibukan sendiri-sendiri.
Cinta untuk dijalankan Wie, bukan berupa teori. Kita gak akan pernah mengerti, jika hal ini selalu kita dekte dengan landasan teks yang ada di buku. Apalagi hanya gumam-gumam seseorang. Mungkn hatimu belum mempercayai aku Wie. Tapi aku yakin jika nanti aku terasa senyap di keseharianmu maka pasti hatimu pun akan merasa sesenyap seperti yang ku alami. Satu hal yang perlu kau tau jelas Irwan lagi sembari jari jemarinya bertekuk-tekukan yang berujung pada bunyi gemeretak yang timbul dari ruas jari-jarinya.
Jika kosong itu datang menyusup di pagi dan malammun maka itulah yang sedang kau ingkari Wie. Itu rasa sepi karena cinta yang kau ingkari.
Kata-kata Irwan membius Dewie dengan sejuta kelinglungan. Di satu sisi benar juga semua penjelasannya itu. Ketika dahulu Sigit perlahan menanggalkan semua perhatian untuknya, maka di saat itulah perlahan sunyi selalu menderu mengusik telinga dalam lamunan dan tidurnya. Hal itu pasti terulang hari ini. Tiba-tiba cemas bermain lompat tali di pikiran Dewie. Cemas muncul sebagai sosok tamu tiba-tiba. Tamu yang muncul karena ucapan Irwan.
Dewie termenung. Diam beberapa jurus sementara Irwan kembali menyuplai kata-kata yang menyerang psikologinya.
Apa kamu pernah Wie. Merasa seperti yang kukatakan tadi?"
Terkejut sedikit Oh tidak Wan? A.,akku belum pernah merasakan seperti yang kamu jelaskan tadi.
Senyum melihat responnya Irwan pun berujar lagi, Aku berharap kamu jangan sampai merasakannya Wie. Dahulu aku ini tipe cowo yang tak terlalu menghiraukan perasaan orang akui Irwan.
"Jujur saja, banyak cewe yang pernah mengungkapkan perasaannya kepadaku Wie. Tapi tanpa aku sadari, aku selalu menyepelekan keinginannya itu. Pada akhirnya, satu persatu mereka hilang dari keseharianku. Di posisi itulah aku merasa benar-benar terpuruk dengan kesunyian. Aku cerita kepada salah seorang sahabatku ternyata sama yang ku ucapkan kepadamu itulah jawabanya tegas Irwan.
Dewie percaya dengannya. Paras Irwan yang manis, putih dan berperawakan gagah itu tentu mengundang perhatian para wanita di sekitarnya. Apalagi dengan semua sikap ramah tamahnya. Cowo itu sungguh baik. Banyak benda telah diberikan untuknya, atau sekedar dipinjamkannya, seperti Laptop. Dewie tak meminta, namun Irwan yang memaksanya agar mau menerima berian atau bantuan yang ia anggap sebagai kenang-kenangan itu.
Obrolan berlangsung beberapa jam. Lewat dari perkiraan dan tak berasa kumandang azan Asar telah menyeru umatnya untuk beribadah.
Wah sempat tidak Wan aku sembahyang ini" ujar Dewie sedikit cemas.
Mungkin masih sempat? kata Irwan dengan menerawang-nerawang langit seolah tahu ia tentang waktu.
Ayo kita pulang Wie? serunya lagi.
Khawatir jika tidak sempat salat kamu nanti nadanya peduli.
Iya, ayo Wan.
*
Munajat
Dua hari lagi Dewie bayar SKS untuk semester empat. Bagaimana Bu. Apa ada tabungan lagi? tanya suaminya yang tengah duduk sambil menebas rumput.
Tabungan ibu cuma ada lima ratus Pak? ungkap Bu Sumarni.
"Aku cuma punya kiranya seratus lima puluhan juga Bu, bagaimana ya?.
"Ibu hendak jual beberapa karung gabah kita ke tempat Supri saja ya Pak? mudahan dia mau? usul isterinya .
Gabah sedang anjlok sekarang" jawab Pak Darwis sedikit sebal
"Andai panen kita tahun ini gak diserbu walang sangit, mungkin kita nggak terlalu kelabakan seperti ini Bu? protes Pak Darwis.
Ini juga bermula akibat ulah orang tua tolol itu Bu" terusnya bersungut-sungut. "Kalau saja mereka itu tida neko-neko main gila dengan isteri orang, tentu kejadian seperti ini tidak terjadi!
Seminggu lalu ada warga yang tetangkap basah selingkuh dengan isteri tetanggannya di kebun pisang. Masyrakat setempat meyakini bahwa melorotnya gabah di musim panen ini, juga akibat tingkah keterlaluan warganya yang berbuat dosa itu. Jelasnya mereka anggap walang sangit yang mendera padi adalah buah teguran dari kecerobohan salah satu warganya.
Sabar Pak. Ambil hikmahnya isterinya menenangkan.
Semuanya sudah ada yang mengatur. Biar saja gabah anjlok tapi semoga saja tidak berpengaruh pada dagangan Supri.
Malam itu juga Bu Sumarni bersepeda mendatangi rumah Supri untuk menawarkan gabah.
Aduh maaf sekali Bule, kiranya saya tidak dapat membantu. Bule tentunya sudah paham, gabah kita harganya turun. Gara-gara warnanya belang bertetol-tetol dan banyak jabuk, jadi gabah pun saya gak berani membeli kata Supri ketika ditemuinya di depan pintu gudang penimbunan gabah.
Itu Bule bisa lihat sendiri" terang Supri dengan menunjuk ke dalam gudang. "Dalam situ saya hanya ada beberapa tumpukan gabah tahun kemarin."
Oo ndak apa-apa Pri? ucap Bu Sumarni.
Iya sih Pri, tahun ini gak paham juga aku, kok nasib gabah jadi seperti ini keluh Bu Sumarni tanpa mau menyalahkan seseorang yang oleh sebagian kampung tersebut dianggap biang kerok penyebab semua musibah ini.
Bu Sumarni kembali ke rumah dengan raut wajah yang t gelisah sebagai orang tua yang ditekan dengan kebutuhan sang anak.
Bagaimana Bu.. sambut Pak Darwis yang duduk di emperan rumah .
Supri ndak berani nukar pak ucapnya lesu. Aku juga bingung mau kemana.
Bapak carikan hutangan saja ya Bu gagas Pak Darwis.
Jangan Pak!!.., hutang cuma jadi beban dan kebiasaan nanti tolak isterinya lagi.
"Kalau begitu seperti apa Bu? Apa boleh jika Dewie sedikit nunggak SPPnya, dibayar setengah dulu.
"Nggak tega aku Pak, jika Dewie harus nunggak. Yang ada dia nanti pasti malu dengan teman-temannya jelas sang isteri.
Sambil bersandar pada sebuah tiang emperan rumah, Bu Sumarni kembali mengungkapkan kepercayaan dan keyakinannya.
Jalan tentu ada pak.?, besok masih ada hari, berarti masih ada kesempatan.
"Aku gak mau behutang atau menunggak pembayaran SPP Dewie tegasnya. Allah SWT masih memberi jalan. Insya Allah pasti ada kemudahan dibalik semuanya Pak" semangatnya kembali dan bergegas ke pinggir rumah menata dagangan.
*
Waalaa aali sayyidinaa Muhammmad. Kamaa shallaita alaa sayyidinaa Ibraahim wa alaa aali sayyidinaa Ibraahim, wa baarik alaa sayyidina Muhammmad waalaa aali sayyidin Muhammad. Kamaa barak-ta alaa sayyidina Ibraahim wa alaa aali sayyidina Ibraahim, fil aalamiina innaka hamiidummasjiid.
Assalamualaikum warahmatulloh.........Assalamualaikum warahmatulloh...
Selesai mengucap salam nafasnya kembali mendengus ringan mengucapkan wiridan dan salawatan pelengkap salat malamnya. Dan pada bagian penutup kedua tangannya menangkup terbuka kedepan meminta rahmat dan kemudahan dalam menyelesaikan perkara yang mengujinya.
Ya Allah..Engkau segala pemberi kemudahan. Engkau Maha Melihat dan Maha Tahu tentang semua kejadian di esok hari. Hamba hanya semut dihadapn-Mu, menadahkan tangan dan tanpa malu mengeluh setiap waktu. Sungguh hamba hanya kecil dimata-Mu.
Hangat dan kemudian panas, cairan bening meleleh di tengah malam, tetes kemukena yang berwarna putih kusam. Keluar dari sela-sela kelopak matanya yang nanar.
Ya Allah, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berserah dengan semua peraduanku. Mudahlkanlah jalanku. Buatlah aku menunaikan kuwajibanku sebagai orang tua. Selamatkan keluargaku dari murka-Mu. Selamatkanlah anakku dari timpaan cobaan yang berat dan selalu membuatnya berjalan di persimpangan ragu. Tetesanya pedas menderas. Badannya bergetar hebat ketika doanya tertuju untuk keselamatan anaknya.
Suara itu kini tak berhayat dan tak berbunyi jelas. Hanya gumam dengan lekukan bibir menahan suara tangis yang ingin menyeruak keras di tengah malam.
Ya Allah Ya robbi ..,hamba mohon kepadaMu!!, kabulkanlah keinginanku..Amin ya robbal alamin.
Usapan kedua telapak tangannya mengawali kehidupan baru yang menunggunya. Ia berjalan ke dapur. Seperti biasa menyajikan makanan pagi untuk suaminya dan segera kembali membelah kabut di buta hari.
*
Memang membiayai anak kuliahan itu berat Wis, tapi yah begitu sudah kewajiban orang tua. Kalau aku sendiri tidak berani Wis ngambil keputusan kayak kamu. Anak perempuan itu resikonya besar Wis, gak bisa kena hasutan ungkap pak Ratno sambil bibirnya mencong ke kiri diiringi mimik wajah mengkerut ketika menjelaskan kata yang menurutnya sebuah pengingkaran.
Bagaimana lagi Nho, jika anak memang bulat pengen nerusin cita-citanya" tekan Pak Darwis.
Lha terus bagaimana pendapatmu? Tinggal sehari lagi SPP anakmu harus segera dibayar toh" ujar Pak Ratno sambil menebas-nebas rumput dengan arit dan membelakangi Pak Darwis yang duduk di atas batang pohon rebah.
"Kamu tadi juga bilang katanya Supri gak mau beli gabahmu. Maklumlah Wis, gabah kita cacat, jelaslah ia tidak berani beli. Gabah cocok buat makan ayam kok di beli! jelasnya yang jengkel juga dengan musim panen tahun ini.
Ah!! menghela napas. Ibunya tadi pergi ke pasar Selasa. Mungkin ada dapat kabar atau sesuatu di sana Nho. Aku juga pengennya gak nganggur-ngangguran seperti ini." Mata Pak Darwis melirik bawah kakinya dan tangannya mencoret-coret tanah yang ada di situ memakai ranting.
"Pengen cari sampingan, tapi sampingan apa musim tanggung kayak gini? ungkap Pak Darwis.
Ehh!!..,susah cari sampingan Wis?" Pak Ratno berdiri karena selesai membersihkan rumput.
"Kalau kamu mau, pinjem duitku dulu saja buat tambah-tambah sangu anakmu? usul pak Ratnho.
Wah ndak brani aku Nho."
Lho ndak begitu, jangan cemas dulu kata Pak Ratnho.
Ya caranya jangan sampai ketahuan isterimu toh, kamu kan bisa beralasan jika duit itu upah borongan dari bekerja lanjut Ratnho membujuk.
Sejenak suasana di pekarangan kebun pak Ratnho siang itu mendadak sunyi. Penuh pilihan pada satu pihak pemilih yang didesak dengan kebutuhan dan diserang rasa gelisah. Gelisah mencari tambahan di tengah keadaan yang tak pernah ia duga dan berusaha menolaknya.
Keputusasaan itu masuk lagi dalam memori Pak Darwis, hingga orasi-orasi Ratno begitu kental membeku dikeyakinannnya. Nalurinya tertarik dengan ide dari pak Ratno. Demi anaknya pikirnya. Demi Dewie yang ia perjuangkan. Dan kepercayaan dari sahabatnya yang tulus membantu. Pak Darwis pun sepakat.
*
Ini Bi ada titipan dari Abah buat Bibi kata Hj. Inun sambil menyelinapkan sebuah amplop untuk Bu Sumarni yang tengah menunggu pembeli.
'Apa ini, Jah? sahut Bu Sumarni sambil memandang ke wanita yang berbusana nyentrik Islami tersebut.
Dengan senyum Hj. Inun menjawab:
"Bukan apa-apa Bi. Bibi diterima ya?,Jangan menolak suatu pemberian orang. itu titipan dari H. Idrus untuk Bibi? jelasnya lagi.
Bungkusan amplop berwarna putih itu cukup tebal.
Terima kasih ya Jah? semoga keluarga selalu mendapatkan rezeki yang lebih dari yang sudah-sudah..Amin ya robbal alamin doa Bu Sumarni bersamaan dengan tanganya yang sigap mencari pisau. Bu Sumarni segera memotongkan batang umbud yang ranum dengan irisan besar beserta campuran waluh dan sayur mayur lainnya. Dia lalu bergegas memasukannya ke dalam bakul Hajjah itu.
Ini apa Bi..? kata Hj. Inun agak risih. Tidak usah repot-repot seperti ini? tambahnya sungkan.
"Sudah Jah..ini sekadar ungkapan banyak terima kasih dari saya, mohon Bu Hajjah terima."
Geh..terima kasih Bi sahut Hj. Inun tersenyum.
*
Sampai di rumah Bu Sumarni tidak langsung membuka amplop tersebut. Ia menunggu suaminya. Tampak suaminya belum datang ke rumahnya.
Di boncengan Bu Sumarni, terlihat beberapa puluh bibit karet yang ia peroleh dari hutan karet yang ia lalui sepulang dari pasar. Dia akan menanam karet-karet itu di sekitar rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ancang-ancangnya berharap kelak karet-karet itu bila telah tumbuh besar dapat dipanen getahnya untuk tambah-tambah biaya Wisuda putrinya.
Sebenarnya tidak hanya karet. Aneka tanaman sayur seperti kangkung, pucuk waluh, daun singkong, katuk, dan beragam pohon buah-buahan juga akhir-akhir ini mereka tanam di pekarangan belakang rumah. Inilah persiapan mereka.
Ditunggu lumayan lama namun suaminya tak kunjung tiba. Hari telah menjelang sore. Dia urungkan niat untuk menunggu suaminya berlama-lama. Sebaiknya aku mencari dagangan, pikirnya.
Amplop itu kemudian ia simpan di sela-sela tumpukan baju dalam lemari lalu dengan helaan napas semangat lagi ia gerakkan badan cekingnya untuk meluncur mencari dagangan.
*
Ayam-ayam kembali riuh bunyinya. Kali ini mereka menyambut kedatangan tuan prianya.
Pak Darwis langsung pergi ke dapur mengambil satu kaleng beras lalu disebarlah beras itu kepelataran rumahnya.
Ayam-ayam saling tabrak, saling desak, dan dorong memburu makanan yang diberikan sang majikan. Benar-benar lapar gencar menyerang. Padahal baru kiranya dua jam saja ayam-ayam itu diumpani Bu Sumarni.
Lelaki itu kemudian duduk di depan pintu. Dia keluarkan amplop dari dalam saku celananya. Ia mengingat jumlah uang yag ada diamplop itu kira-kira lebih lima ratus ribu. Dengan telaten Pak Darwis pandangi amplop itu dan kembali memasukkannya kedalam kantong. Laki-laki itu berharap, untuk malam ini menyampaikan maksudnya kepada isterinya bahwa hari ini ia mendapat sedikit rezeki. Pak Darwis mendekati Bu Sumarni. Akan tetapi niatnya terkatup manakala Bu Sumarni yang membuka topik.
Pak, aku tadi dikasih amplop oleh seseorang. Ndak tahu apa isi amplopnya. Itu masih ku simpan ditumpukan baju kata Bu Sumarni sambil menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya.
Amplop apa Bu? tanya suaminya heran.
Sepertinya uang sih Pak. Ingat H.Idrus?? Yang dahulu kita datangi rumahnya untuk minta pendapat."
Pak Darwis mengangguk Ya, Bapak ingat.
"Nah..,mungkin H.Idrus baru dapat rezeki lebih Pak. Oleh sebab itu beliau membagikan seperempat rezekinya kepada kita. Ibu yakin H. Idrus itu orangnya suka untuk bederma. Mungkin karena melihat penampilan ku yang kesannya seperti orang hilang ucapnya sambil senyum-senyum.
Beliau tau kalau kita kuliahkan Dewi. H. Idrus juga punya keinginan menyekolahkan anaknya. Sayang anaknya kecelakaan dan meninggal. Mungkin dari itu beliau memberi fitrah kepada kita ya Pak? jelasnya panjang lebar sampai nasi dalam piringnya sedikit terabaikan.
Yah syukur kalau begitu, Bu sahut Suaminya yang sedikit banyak heran, kenapa bisa sama. Dia juga punya amplop dan isterinya pun punya amplop. Tapi dua amplop itu beda statusnya. Satu pinjaman dan satu fitrah. Seperti dua bilik yang berbeda-beda.
Bu Sumarni berhenti makan. Sesaat kemudian kakinya berjalan membawa tubuhnya menuju lemari untuk mengambil apa yang sebenarnya ada dalam amplop itu. Sementara Pak Darwis yang melihat isterinya tengah mengambil amplop, menjadi enggan untuk bercerita tentang pekerjaan yang direka-rekanya. Ia tidak jadi menunjukkan amplop miliknya dan menyimpan amplop itu rapat-rapat dalam kantong celana.
Nah ini amplopnya" kata Bu Sumarni memberikan.
"Coba dibuka saja ya Bu? pinta suaminya.
Saat amplop dibuka senyum isterinya mekar Alhamdulillah, masyallah...Ya Allah dimudahkan juga semua urusan ini? ucap Bu Sumarni berkaca kaca.
Dari dalam amplop itu diambil semuanya. Sekitar 15 lembaran uang ratusan ribu. Bu Sumarni masih tersenyum haru. Tangannya tanpa perintah bergetar sendiri memegang rezeki yang ada di depannya.
"Sejuta lima ratus. Masyallah ini cukup sekali untuk bayar SKS Dewie, Pak."
Pak Darwis juga menunjukkan raut muka berseri. Ia berterima kasih kepada Tuhan meski entah mengapa selama ini ia sering melalaikan perintahNya untuk beribadah. Faktor letih dominan menjadi penyebabnya. Hal itu mengubah kebiasaan untuk taat beribadah. Jika sudah begini biasanyai susah untuk dibentuk karena malas sudah menjadi kerak di dalam hati.
Malam itu mereka berdua sungguh riang lepas dari sebuah belenggu yang menguji. Bu Sumarni terutama, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur dan doa-doa untuk sang pemberi zakat bagi keluarganya. Semoga ia mendapatkan balasan yang lebih dari apa yang ia bantukan untuk keluarganya.
*
Insiden dan Adaptasi
Musim penghujan ini adalah saatnya lahan sawah dibersihkan setelah banyak rumput liar dan damen basah menghambur memenuhi area tanam padi. Biasanya masyarakat Rawomangun yang tergolong mampu akan memakai jasa tlaktor agar cepat beres dan tanah menjadi gembur. Tapi seperti di bagian awal bahwa jika petani terlalu bermain dengan sewa dan hutang agar garapannya cepat selesai maka saat panen berkemungkinan besar dia akan los untung. Artinya hanya impas balik modal hasilnya karena pembayaran yang cukup besar.
Petani yang memikirkan itu atau memang berekonomi pas pasan cenderung membersihkan lahan sawah dengan cara manual. Ya. Dengan alat tajak yang mirip parang besar dan cara pakainya itu diayun macam main golf, petani perlahan akan membersihkan garapannya. Pagi itu juga seperti biasanya terlihat Pak Darwies menajak lahan.
Byurrr!!!...Crass...!!!! tepian tajak bertepi lebar nan berat, jatuh menebas rumput yang bersembunyi di bawah air. Sebelumnya sisi tajak besar itu melayang mengkilat di udara membias matahari. Setelah mengudara sekian detik kini tajak itu terjun lagi dengan derasnya.
Tiba tiba seru teriakan aduh!!!! menyambut suasana pagi itu jadi tegang.
Air bening dalam sawah yang dipijak Pak Darwis mendadak berwarna merah. Membuncah kental warna itu kemudian membuat Pak Darwis sulit untuk kokoh berdiri. Coba tetap ia bertahan, berusaha agar tidak oleng. Perih begitu terasa dan katur mulai merambat naik ke areal paha. Tiba-tiba mentari pagi di langit tampak silau beda dengan biasanya. Pandangan Pak Darwis pun membuyar. Perlaha kabut datang menjadi buram. Coba lagi tajak itu Pak Darwis jadikan penopang. Secara lambat ia angkat kakinya dari permukaan air. Pada bagian otot belakang mata kaki kanan tampak sayatan menganga berwarna merah kental. Keringat bagai hujan dan keburaman pandangan yang sejak tadi ia tahan langsung merangkum wajah Pak Dawis. Ia ambruk di tengah sawah.
Sekitar enam orang datang memburu melihat kejadian itu. Mereka segera membopong tubuhnya kepinggiran. Pak Ratno ada dalam segelintir petani itu. Percakapan mereka tak jelas di telinga Pak Darwis yang pudar. Tak terdengar, dan hanya menyisakan pedih yang berkepanjangan yang terbalut suasana alam ketidaksadaran. Mereka terus bopong tubuh Pak Darwis pulang ke rumah. Kaki kanannya terbungkus kain sobekan baju pak Ratno. Sobekan itu ikut berwarna dan tanpa ragu bertitikan cairan merah menghias rumput-rumput di tanah.
*
Bu Sumarni di tengah pasar bingung bukan kepalang. Wanita itu tiada tujuan lain terkecuali pulang ke rumahnya. Telepon beberapa menit lalu berhasil menggoyahkan kosentrasi berdagangnya.
Tanpa peduli dengan sayur mayur yang masih banyak, ia pesan ojek lalu ngebutlah ojek itu membawa ke pusat gelisah Bu Sumarni.
Setengah jam kemudian sampailah Bu Sumarni di Puskesmas desa.
Ya Allah Pak!!!!..Pak!!!! kamu ini kenapa.. mbo yo jangan melamun kalau bekerja! seru Bu Sumarni cemas.
Tangis tak mampu ia bendung, sementara tangannya yang bergetar-getar terus memijat lengan suaminya yang tergeletak tak sadar di atas pembaringan puskesmas. Tampak selang infus telah terpasang di pergelangan tangan Pak Darwies.
Ini tadi kok bisa seperti ini kenapa Nho!!" tanya Bu Sumarni khawatir, dan dengan muka yang benar-benar pucat .
Nggak tahu dia ngelamun apa tadi Mar. Tiba-tiba saja jatuh lalu kami langsung memburu mengerubung. Ternyata sobek otot kakinya kena tajak!!.
Satu jam kiranya Pak Darwis pingsan.
Dalam ruangan, Mantri mengatakan jika otot tungkai kaki kiri belakang Pak Darwis putus.
Tajak yang ia ayunkan benar-benar lepas tanpa halangan kata Mantri.
Syukur cepat ditolong Bule. Soalnya jika telat berapa puluh menit saja. Mungkin Pak Darwis akan kehilangan banyak darah!! nasihat Mantri yang usianya di bawah Bu Sumarni.
Cemas masih mewarnai muka Bu Sumarni. Keningnya mengkerut dan wajahnya tertunduk lesu menatap lantai Puskesmas. Sedikit mengangkat muka bicaralah Bu Sumarni.
"Lalu bagaimana nanti dengan ototnya itu San" tanya Bu Sumarni kepada Hasan, si mantri. "Apa dapat disambung?.
Tangan Hasan yang sejak tadi bertelungkup berjalin-jalinan antara jari-jemarinya pun ia renggangkan dan berubah tegap dengan lengannya maju menempel di meja duduknya.
" Kita lihat hasil jahitannya Bule nadanya meyakinkan.
"Yang jelas, kemungkinan besar suami Bule tidak dapat berjalan dengan tegap seperti biasa lagi
Tercekat Maksudnya San.
"Iya Bule," ucap Hasan yang menatap Bu Sumarni. "Pak Darwis jika telah sembuh, kemungkinan tidak dapat berjalan dengan kaki kirinya. Lumpuh karena otot kaki kirinya putus, kemungkinan kecil buat bisa dialirkan darah lagi. Otot susah disambung, paling dapat di jahit robekan kulitnya itu jelasnya masih dengan menatap.
Pak Darwis harus berjalan dengan ditopang tongkat untuk menyeimbangkan tubuhnya" imbuh Hasan.
Apa kata yang tepat untuk membalas ucapan Mantri itu. Mulut Bu Sumarni hanya terus beristighfar. Astagfirullahalazim!!. Badannya tak mampu bergerak hingga duduknya benar-benar kaku dengan keringat menjadi lem yang merekatkannya. Ujian yang kini Engkau berikan sungguh menguji nurani hamba ya Robb, gumamnya.
Pikirannya sejak awal tadi berimbun perasaan yang membeban. Ia sudah teringat dengan putrinya. Kata apa pula yang harus ia layangkan untuk mengabari Dewie. Sementara ia tak ingin anaknya tersebut terganggu kuliahnya. Tapi tetap harus ia beritahu putrinya itu.
Wie..' panggil Ibunya lesu di telepon.
"Ada apa Bu?.
Kamu sibuk toh hari ini tanya Bu Sumarni masih dengan lesu.
Ndak Bu..Dewie sedang tidur-tiduran saja siang ini. Kenapa?.
"Kamu bisa ndak pulang sebentar"
Dewie telah mempunyai prasangka yang macam-macam. Ia bisa dengar suara isak tangis dari mulut Ibunya yang ditahan-tahan. Kenapa ini. Pikirannya mulai dilanda kekuatiran yang kian menebal. Secepat ia berprasangka, secepat itu pula mulutnya bertanya kepada Ibunya
Kenapa Bu?, kenapa ibu menangis"
Bapakmu di sawah tadi Hening sebentar. Kakinya kena tajak Wie!. Sekarang bapakmu ada di Puskesmas.
Seettt!!!..penjelasan Ibunya langsung menelusup cepat ke ruang pikiranya. Menelusup dengan beringas, selanjutnya merusak alam logika dan menciptakan ilusi-ilusi gambar katakutan dalam akal kewarasan Dewie. Kini getaran yang dirasakan Bu Sumarni berpindah dengan segera mengerubung jasmani anaknya.
"Kamu hati-hati kesininya yo Ndo" kata Ibunya lagi dengan masih sesekali terisak.
Telepon terputus. Dengan gelisah, Dewie kemudian berlari kesudut-sudut kamar mengambil tas, dompet juga baju-baju seperlunya. Dewie nampak hilang rencana. Pikirannya hanya pulang. Sama seperti hal yang juga dirasakan Ibunya di pasar.
Dewie pinta kepada teman-temannya untuk mengantarya. Syukur temannya ada yang mau karena solidaritas. Drngan pakaian yang dikenakan tanpa teratur rapinya, pulanglah Dewie ke desa.
*
Jarum jam di dinding Puskesmas bergerak tanpa mau diprotes oleh siapa saja. Waktu berjalan membundar terus tanpa mau mempedulikan seseorang yang peduli dengannya.
Jarumnya menunjuk keangka 3. Bu Sumarni duduk termangu di kursi kamar. Di pinggir suaminya. Masih memijiti. Kini syukurlah suaminya telah sadar.
“Bu panggil anaknya dari balik pintu dengan iringan ketokan tiga kali.
Mendengar suara anaknya, Bu Sumarni datang membukakan pintu yang berwarna putih itu. Pintu berderit, dan masuklah Dewie bersama temannya kedalam ruangan kamar.
Dipandangnya, ayah sedang berselimut dengan motif garis biru putih belang-belang dalam tempat tidur pesakitan. Cairan infus terlihat masih mengalir naik turun dari selang yang dihubungkan pada tangan kanannya. Sementara kaki kananya terbalut perban, dengan bau alkohol begitu mencuat memusingkan kepala. Tergolek lemah nampaknya ia.
Ayahnya berbicara sedikit dengannya. Yah tubuh tua itu pasi, karena darahnya sempat mengucur hebat hingga membuat mulutnya kelu untuk berucap lantang.
Kamu tadi jam berapa berangkat dari sana Wie? lesu bunyi suara sang ayah. Jam setengah 2 Pak? jawab Dewi mendekati dan memijit-mijit tangan ayahnya.
Sudah, Bapak tidur saja dulu? lanjut Dewie menyarankan.
Ayahnya mengikuti bujukan Dewie. Memang obat yang masuk dalam kerongkongannya menimbulkan kantuk yang amat sangat. Ditahan tetap saja terus mendesak. Ditahan dengan berbicara, dengan dengan bergerak, dan dengan melihat kesemua sudut kamar, toh tetap saja obat itu kuat melawan. Tidurlah ayahnya karena kalah menahan rasa kantuk.
*
Sejak kejadian naas itu, berbeloklah semua rencana yang masak-masak dari Bu Sumarni. Meleset dari target yang telah disusun. Lumpuh Pak Darwis benar-benar berarti perubahan. Untuk berjalan saja sekarang tampak susah, apalagi untuk bekerja. Sawah tak ada yang bisa menggarap lagi. Siapa yang menggarap, sedang daya pengggarapnya telah layu bagai kembang disengat panas. Jika Bu Sumarni diberi kuasa untuk memilih, ingin rasanya badannya ia bagi dua agar mampu bertani dan berdagang.
Terus Bu Sumarni beriktiar disetiap salatnya, meminta petunjuk dan dijauhkan semua keputusasaan dari hati suaminya. Tekanan Bu Sumarni kembali membumbung, ketika mengetahui bahwa anaknya juga akan membayar SKS yang telah mulai mepet temponya.
Semester lalu, mungkin Bu Sumarni masih dapat lepas dari pelik keuangan karena mendapat rezeki yang berasal dari ketiadadugaan. Tapi apakah semester ini ibunya itu masih mampu juga mendapat pertolongan dari hal yang tak bisa untuk ditebak?
Untuk langkah pertama, akhirnya sawah diburuhkan, artinya di tangani orang lain dengan perjanjian, setiap panen yang punya sawah harus mendapat bagian 20-30% dari hasil panennya. Tanpa pertimbangan bahwa,entah melorot atau meningkat panen itu, yang jelas pemilik tetap mendapatkan bagian seperti pada perjanjian tadi. Alhamdulillah, tidak memerlukan waktu lama untuk mencari pemburuh, karena orang-orang di kampung Rawomangun memang tergolong petani yang keras-keras bila telah berusaha. Nekad-nekad bila menggarap sawah. Banyak dan Luas. Terkadang bila seorang pendatang dari luar daerah berkunjung di desa itu, maka ia akan terkagum. Melihat seorang pemuda yang mempunyai garapan sawah banyak, dan sulit dijangkau, apakah pemuda itu mampu atau tidak. Tapi begitulah masyarakat desa tersebut.
Tahap kedua adalah, memperbanyak tanaman pohon karet, pisang, jambu, bahkan salak dan sayur-mayur di belakang rumah. Uang hasil kebun itu sebagai tunjangan pembayaran segala iuran nanti.
Kemudian sedikit-demi sedikit, ayam yang jumlahnya telah mencapai 30 lebih itu diperbanyak lagi. Setiap harinya pasti ada bibit ayam yang dipertambah.
Tugas-tugas rumah itu, diserahkan Pak Darwis. Dialah yang menjadi pengelolanya. Kadang juga bila terasa berat, isterinya turut pula membantunya. Sedangkan Bu Sumarni, tetap terus berjuang berdagang umbud dengan banyak-banyak. Bu Sumarni lebih berlama-lama di pasar untuk memutar-mutar umbud yang juga ada di san biar memperoleh ujungan berlebih. Tak segan-segan pula bila ada pasar Ramadhan di Anjir sore-sore, ia berani terjun ke pasar itu, tanpa memikir kondisi fisiknya yang berpuasa. Dagagan ini ditunjukkan untuk jajan Dewie, yang sebulan sekali pulang ke rumah. Intinya sekarang Bu Sumarni benar-benar pengambil alih roda perekonomian.
*
Allahu Akbar..? sebut Bu Sumarni disertai helaan napas ketika ia sedang melamun di suatu sore di teras rumah.
Tek..tek..tek.. bunyi tongkat kayu dari dalam rumah perlahan mendekat. Suaminya datang menuju beranda depan.
Bu" tegurnya pelan,
"Ini ada duit sedikit, mudahan cukup untuk jajannya Dewie" ucap Pak Darwis ambil menyerahkan amplop putih. Dengan terperanjat sedikit, mata isterinya memacang lurus ke amplop yang ada di depannya. Penasaran beserta bingung, maka bertanyalah ia,:
"Bapak dapat darimana?. Bapak buruh? Buruh dengan siapa? berondongnya.
Tek..tek..tek berjalan lagi laki-laki itu mecari dudukan yang tepat, dan dengan payah terkikuk-kikuk duduklah ia di lantai yang terbuat dari ulin.
Matanya meluncur ke halaman depan rumahnya. Mencari-cari sesuatu namun ia pun tak mengerti apa yang dicarinya, alasan mungkin. Alasan yang tepat. Yang bisa memutus kesensitifan isterinya dengan asal uangnya itu. Yang bisa meredam ledakan kalau isterinya marah. Pak Darwis tahu tempramen isterinya tinggi ketika mendengar kata hutang.
Terus mata Pak Darwismencari-cari dan tangannya meremat-remat tongkat.
Pak Darwis ingin berucap, bahwa uang itu adalah hasil dari kerja kebunnya di tempat Ratnho. Kata-katanya telah bertumpuk berjubel-jubel laksana ribuan benih padi yang berdesak-desakan ingin menjadi beras di mesin penggilingan.
Glek.. liur terteguk membawa kata-katanya kembali ke dalam perut. Ia tak pandai berbohong. Tak pintar bermain lidah. Tak menentramkan hatinya juga. Ragu-ragu dia. Kata-kata bohong toh hanya sajian pertama. Mungkin akan aman beberapa hari. Beberapa minggu. Tapi bagaimana bila juga ketahuan? Bukankah cuma akan berujung perselisihan nanti. Dan perselisihan, bukan hal yang ku inginkan. Risiko diriku yang telah meminjam. Resikoku bila hal ini menjadi perdebatan. Tanggung semua resiko, dengan berbicara lembut-lembut. Berbicara sopan-sopan. Berbicara baik-baik. Yah.,tak boleh berbohong!!. Tak boleh berdusta!!, berdebat-debat terus batinnya. Maka dengan tekadnya yang mulai bulat-bulat untuk jujur, berkatalah Pak Darwis :
"Uang itu sebenarnya telah ada bersama dengan amplop yang aku tunjukkan dahulu. Bapak sengaja tidak memperlihatkan amplop dengan pikiran bahwa ibu telah mendapat bantuan.
"Ya Pak jawab Bu Sumarni.
"Terus dari mana bapak mendapatkan amplop itu pak? buru isterinya.
Sebagai seorang wanita Bu Sumarni sangat sering bertanya dengan lebih mengharapkan jawaban kepastian ketimbang jawaban yang memutar-mutar dengan tafsiran tak jelas. Sama dalam situasi ini, ia lebih mengharapkan suaminya terbuka langsung kepermasalahan ketimbang berkutat-kutat dalam cerita.
Bapak hutang dengan pak Ratnho!!"
Deg!!..Jatung Bu Sumarni berdegup dengan dorongan kuat saat mendengar nama itu adalah pendonornya.
Pak Ratnho itu kan lintah juga. Lintah yang menghisap pelan-pelan. Tapi tetap menghisap juga. Perasaan yang bagaimana yang musti ditunjukkan. Nada apa yang tepat. Marah? . Tidak!!. Semua telah berlalu lama juga. Tiada guna semua omel-omelan itu. Hanya memperburuk situasi. Hanya memperkeruh keadaan. Sabar!. Ya engkau harus sabar. Jangan tekan suamimu berlarut-larut. Lihatlah dia dengan mata penuh bimbingan, dan jangan kau pandang dengan dikte menyudutkan. Nasehati ia. Nasehati dengan cinta tekun seorang isteri, sanubari Bu Sumarni serasa berkomunikasi dengannya.
Ya sudahlah Pak, semuanya sudah terjadi. Tapi Bu mohon Pak, besok-besok lagi ndak usah berhutang. Apalagi kalau dari pak Ratnho" pintanya.
Sedikit banyak bapak telah tau bagaimanan sikap dia dibalik manis-manisnya itu, bukan? jelas isterinya.
Mengangguk Pak Darwis.
“Aku masih bisa mencari jalan lain buat nebusi ongkos kuliah Dewie tegasnya kemudian. Pak Darwis yang mendengar penjelasan isteri menunjukkan guratan sesal di wajahnya. Ia pun hanya diam sesekali mengangguk sambil merenungi kekhilafannya.
Besoknya, Bu Sumarni datang ke rumah pak Ratnho dengan maksud mengembalikan uang pinjaman suaminya. Uang jajan Dewie dan segala macam keperluan tentu masih tertinggal. Namun, rasa percaya dan kedisiplinannya mendorong Bu Sumarni untuk tegas tidak menghutang. Prinsip.
Satu juta lima ratus? ulang Bu Sumarni keheranan.
"Lha iya, Mar. Suamimu pinjam delapan ratus ribu rupiah. Nah sekarang sudah bula ke lima sejak pinjaman itu Mar. Yah mohon dimengerti. Memang kosekunsinya di kampung seperti itu Mar. Ada sedikit anaknya."
Tapi mbok jangan segitu anaknya. Darwis juga lgi kna musibah gitu. Duitmu juga masih utuh. Belum berubah secuil kertas pun. Pikirkan lagi."
Diam sejenak.
Prihatin dengan keadaanku Nho sambung Bu Sumarni dengan mata berkaca-kaca. Darwis temanmu, teman kecilmu. Masa tega toh kamu pepet gitu" kata Bu Sumarni.
Piye yo Mar. Suamimu menyanggupi itu ujar Pak Ratnho kekeh.
Tolong dikurangi Nho" desak Bu Sumarni memohon.
Ya sudah? Tiga ratus saja anaknya Mar. agaimana? usulnya.
Pelan-pelan Bu Sumarni pun menjawab
Iya nanti ya Nho. ini tak bayar hutangnya dahulu. Anakannya nyusul beberapa hari lagi ya.
"Oh iya Mar. Tidak apa-apa? katanya sambil menerima amplop hutangan Pak Darwis.
Terima kasih Mar
Senyum bibir Bu Sumarni mepermanis situasi
" iya sama-sama juga Nho.
Bercakap-cakap sebentar mereka berdua. Pak Ratnho menanyakan kuliah Dewie dan keadaan suaminya. Intinya pak Ratnho terus mencoba menyetabilkan keadaan, dengan berbasa-basi kepada Bu Sumarni.
*
Cara Pandang dan Simpulan Keliru
Dewie semakin tersedu-sedu. Bayangan terus slieweran di depan wajah yang tertunduk lesu itu. Matanya masih sembab memandang ke bawah. Memadang lantai keramik yang basah oleh air matanya. Tidak ada orang yang mengerti dengan kemauannya. Hanya ia sendiri. Slide demi slide kemudian berpindah, dan sekarang muncul layaknya layar bergambar memuat episode demi episode berbingkai. Dewie terus membenam wajah tatkala episode berbingkai itu berjalan sendiri.
Iya aku mau kata Dewie sambil mengangguk.
"Hah..beneran Wie. .Aduh makasih banget Wie..,aku janji bakal jadi pacar yang selalu menghiburmu sahut Irwan dengan muka cerah dan senyum mengembang-ngembang.
Pasangan itu kemudian resmi memiliki status baru. Pacaran.
Dewie sesungguhnya tidak terlalu mencintai Irwan. Ia cuma kasihan dan tak tahan dengan setiap rengekannya. Mirip anak kecil yang menangis memaksa meminta pistol-pistolan di tengah pasar. Lagipula banyak sekali sudah pengorbanan Irwan untuknya. Kuota, cemilan, dan makanan juga baju-baju ia tukarkan untuk Dewie. Hampir tiga juta lebih, modal dia mendekati gadis yang ditaksirnya itu.
Hal yang paling membuat Dewie yakin dengan Irwan adalah dukungan dari Rhiena temannya satu kosnya. Perkenalannya dengan Rhiena bermula dari sejak Fatimah selesai kuliah. Kala itu, Dewie masih bisa bercakap-cakap, kontek-kontekan lewat HP dengan Fatimah. Tapi Itupun berlangsung hanya beberapa bulan. Fatimah berencana menikah di kampungnya. Dan Dewie enggan mengganggu-ganggu acaranya, walau hanya sekadar chatan. Dari kerengggangan hubungan itu, akhirnya dia berteman dengan Rhiena. Satu kos juga dengannya. Rhina sangat baik pula dengan Dewie. Rhiena sendiri sangat mendukung bila Dewie jadian dengan Irwan. Sebab paling kuat karena peristiwa musibah ayahnya dulu.
Saat ekonomi Ibunya carut marut dan hampir saja membuat Dewie menunggak bayar SKS. Irwan mampu membuat Dewie percaya. Dia sisihkan beberapa duit hasil kerjanya untuk membatu Dewie bayar kuliah. Dewie pun menerima, lalu telah berani berbohong pula. Dewie meyakinkan Ibunya kalau ia telah mendapatkan bantuan beasiswa.
Kenapa ia mau menerima pertolongan dari Irwan. Sebenarnya tidak begitu saja ia terima. Semua berawal dari malam itu.
Ini malam larut terdengar cakap-cakap dari kamar orang tuanya. Dahulu Dewie tak menghiraukan percakapan seperti ini. Alam mimpi terlalu kencang mengikatnya ke dalam imajinasi-imajinasi. Sekarang tidak.
Uhuk..!!!..Uhukk!!!!..Uhuk!!!..Uhuukkk!!!.., aduh obat nyamuknya terlalu dekat Pak. Membuatku terbatuk-batuk!! kata sang isteri yang terbangun dari tidur.
Sebentar Bu" sahut Pak Darwis dengan kikuk menjangkau piring obat nyamuk dan mematikannya.
Tak tahulah kenapa juga malam itu mereka berdua tidur tanpa kelambu. Mungkin panas dan gerah bila memasangnya.
Bu" tegur sang suami yang telah duduk membentuk engsotan karena tadi menjangkau piring obat nyamuk dengan malas.
"Kenapa Pak?.
Menyibakkan sarungnya Pak Darwis pun bertanya Apa kamu benar-benar mau menjual cincin kawin kita Bu, buat tambahan Dewie besok?
Ehhh!!!! membalikkan badan, dan sekarang terlentang isterinya. Maafkan aku ya Pak. Aku terpakasa menjual berian Bapak. Sebenarnya sudah aku jual dua harian lalu. Besok tinggal Dewie bawa sendiri. Semoga dengan ini, Allah selalu membukakan jalan bagi anak kita untuk meraih cita-citanya ya Pak? tutur isteri pelan.
"Amin. Bapak yang minta maaf Bu. Gara-gara bapak, kita jadi kelabakan begini.
Sudah Pak, apa yang perlu disalahkan. Tidak ada?, orang tua memang tercipta untuk mendukung kehendak anak. Cita-cita anak. Bapak tidak salah, bapak telah membantu banyak. Kita adalah roda Dewie Pak!, jadi mari berhenti bersalah, dan ayo kita makmurkan anak kita Pak!! kata isteri menyemangati sang suami.
Iya Bu"
"Ya sudah, baiknya sekarang kita tidur lagi saja Pak. Besok siapkan tenaga" saran Bu Sumarni. Hening kemudian.
Dewie mencermati pembicaraan orang tuanya dari kamar. Benar saja cakap-cakap antara ibu dan bapaknya itu membuatnya sedih teriris. Membuatnya bersalah berkedalaman. Terpaku tak mampu membantu. Tak bisa menolong meringankan orang tuanya. Hanya bisa menambah beban, hingga saat ini.
Malam itu naik air matanya memenuhi kelopak, dan perlahan mulai tumpah merembes ke atas bantal yang disandarkan di kepalanya. Selanjutnya ilusi-ilusi kebersalahan mulai mengacau di pikirannya lagi. Bermain lagi, seperti itu adalah pekarangan rumahnya saja. Bermain dengan ceria. Dengan bebas. Tanpa tahu bagaimana perasaan yang dipermainkan ilusinya itu. Terus mengacau ilusi-ilusinya itu, dan sekarang sudah ganti lagi. Sekarang telah serupa kalender yang kadarluarsa, berganti bulan yang telah lalu. Setiap pergantiannya seperti menampilkan sebuah sketsa-sketsa kedodoran ortunya gara-gara memenuhi keinginan Dewie untuk bersekolah tinggi. Memperberat kerja mereka, seperti remusa-remusa penjajah.
. Apakah aku penjajah itu? Yah!!! akulah penjajah itu!!, teriak batin Dewie mengakui.
Dewi tak bisa tidur. Terus berpikir-pikir. Terus mencari jalan sendiri. Berargumen sendiri, dengan jawaban benar juga dari dirinya sendiri. Sampai keberangkatannya pulang ke kos, Dewie masih terpikir-pikir keluh Ibunya di malam tadi.
Setelah tiba di kost tekadnya sungguh teguh untuk mencari pekerjaan agar meringankan beban orang tuanya. Dia bertanya pada teman-temannya namun sulit kala itu. Tidak ada toko perbelanjaan atau penjaga kios yang memerlukan karyawan. Dewie tak mampu berbuat banyak .
Curhat dan curhat selalu terdengar di telinga Irwan setiap berjalan dengan Dewie. Dia pun kemudian tak tega. Entahlah, semua terbaca hanya dari wajahnya saja yang tampak simpati. Laki-laki itu selalu memberikan sokongan dana dan suport untuk kekasihnya tersebut. Sampai sebuah kepercayaan telah menempel seperti benalu dalam lubuk hati Dewie. Tumbuh mengakar lalu menjalar meracuni semua prinsip dan realita. Dewi akhirnya terjerembab dalam mulut serigala.
Di suatu sore Dewie duduk dengan kedua dengkul ditekuk menghadap ke atas dan kepala terbenam di tengah-tengahnya. Kedua tangannya memperkokoh pondasi duduk dengan memeluk dengkul itu erat-erat. Rambutnya yang sebahu menutup ruas wajah dan jari-jemarinya yang terjalin-jalin mengikat pelukan juga terarsir oleh helaian rambut yang sedikit seramwutan.
Di sudut kamar bercat hijau cerah itu masih tetap terasa muram baginya. Dewie menangis terisak-isak. Tubuhnya berkeringat. Bergetar, senada dengan bunyi cegukan di mulutnya karena tekanan batin dalam tangis. Dia depresi. Tekanan kian mencekik mental. Mulutnya yang tersembunyi dalam benaman wajah meringkik seakan ingin bersuara tangis dengan sehebat-hebatnya. Sekeras-kerasnya dan sepuas-puasnya.
Larutlah ia dalam keadaan buram yang tak ia pahami. Ingin ia putar balik jarum waktu dan ingin pula ia tendang jauh-jauh ceroboh yang terus jadi hantu di benaknya. Semuanya telah terlewat dengan cepat dan mendorongnya jatuh ke lubang sesal. Ya ..sesal!!. Sesesal-sesalnya.
Dahulu ia masih aktif menunaikan ibadah rutinnya. Menentang semua perkara yang haram menurutnya. Bersama organisasinya. Bersama sahabatnya. Lalu Setahun kemudian ia kehilangan sahabat organisasinya . Seperti kehilangan tangan. Dia tak mampu makan sendiri. Kehilangan kaki. Tak mampu berdiri. Dan dari kesemuanya itu yang paling payah, dia kehilangan arah.
Masih terisak..isak Dewie di sudut kamar berdinding hijau itu. Kiranya berapa puluh menit ia menangis. Raut mukanya tetap sayu tenggelam dalam kapitan lutut yang menopangnya. Tak bergerak, tak bergeming dengan kata-kata. Diam dan masih cegukan. Menggelayut lagi semua sesal dan kembali lagi keingatnnya. Tak dapat lepas tampaknya ia dengan sesalnya.
Janji-janji Irwan dia ungkapkan untuknya di dalam rumah bidakan di siang itu.
Percaya denganku Wie. Aku akan menjagamu dengan semua letih di ujung kemampuanku. Sungguh aku yakin mampu menjadi teman hidupmu yang merubah semua pelik menjadi manis."
Irwan menatap Dewie dengan simpatik. 'Bukan maksudku menghitung semua pemberianku. Namun hal yang ingin aku patri di hatimu ialah spakah dengan semua itu kau masih meragu?, akan aku lakukan semua yang aku bisa untuk menolongmu. Akan aku korbankan karena aku benar-benar ingin jadi pelindungmu kata Irwan dengan tanpa ragu mendekap kepala Dewie dari samping untuk ditempelkan di dadanya.
Dewie hanya mampu termenung. Diam seribu kata. Hanyut dalam hening yang dibuatnya. Ngiangan itu mengernyitkan keningnya lagi. Dengan bergetar ia gigit kedua bibirnya. Kata-kata ingin membludak lepas dari kerongkongan. Masih tertahan. Takut ia ledakkan.
Namun ketahanannya roboh dihantam sesal yang mendalam.
AAAAAAA......AAAA haaaaa!!!!.. haaaaa!!!! lepas kontrol Dewie ,suaranya memecah kesunyian sore. Teriakannya kian menjadi-jadi dan membuat geger tetangga kamarnya. Mereka pun berhambur dan memburu kekamar Dewie yang tak terkunci. Tanpa cakap-cakap, teman-temannya segera memeluknya. Mengerubung seperti semut mengerubung gula. Polah Dewie makin kuat meronta-ronta seperti sapi yang berontak karena luka sabetan parang di lehernya. Sejadi-jadinya. Sekuat-kuatnya.
Sabar Wie..!! Sabar!! teriak salah seorang teman yang memeluknya. Istighfar Wie!!!..Istighfar!!!!. Membelalak-membelalak mata Dewie yang sembab itu. Tidurkan dia di kasur dulu!!. Pegang kuat-kuat kakinya!!!. Itu badannya!!!. Pegang kuat-kuat!!! Ambilkan minuman!! . Ambilkan minyak angin yang di kamarku!!. Ini!!, itu!!!!, bising gaduh suara kebingungan mereka membuat kos itu seperti pasar dadakan.
Sejenak kemudian rebahlah tubuh kuyu itu di atas kasur. Cegukan masih terdengar. Tangisan masih berjaya menghiasi wajah. Kelopaknya bengkak memerah dengan air mata yang tetes melengket.
Mereka bertanya sebab musababnya, namun mulut Dewie tak ingin membalas tanya itu. Ia terus gigit tepi bibirnya dan pertanyaan itupun terabaikan.
Salah seorang temannya melihat HP Dewie tergeletak di sisi kasur tanpa bertuan. Tangan temannya meraihnya. Suasana masih kacau dengan tangisan Dewie yang di warnai cegukannya.
Di baca pesan WA yang belum sempat tertutup itu. Terulis demikian:
“Wie..selama kita berjalan. Terima kasih benar aku ucapkan kepadamu. Kamu gadis yang baik dan bukan sepantasnya aku berlaku demikian kepadamu. Sering kita lewati malam dengan dekapan hangat rangkulmu. Namun kini aku benar-benar minta maaf..aku berharap kau cari saja penggantiku, karena sebenarnya aku telah tunangan. Orang tua dan keluarga tunanganku telah setuju. Aku akan menikah. Maaf, benar-benar aku minta maaf. Terima kasih telah mempercayaiku!.
Tangan sahabatnya pun bergetar. Ia marah . Geram dan selekas ia baca selekas pula jempolnya memencet tombol pemanggil di HP Dewie.
Sial!!!. Nomornya tak aktif. Benar-benar masak rencananya. Ia tebar umpan untuk mendapat ikan. Puas kini ia makan. Bosan, ia pun menendangnya!. Tercampakkan sahabatku bagai sarang lebah kehilangan madu, gerutu temannya.
*
Suatu senja di musim penghujan bulan November, Dewie terduduk di kursi sederhana serambi depan. Matanya memicing kekerumunan muda-mudi yang tertawa di bawah kosnya. Di lantai bertingkat itu ia mampu mengamati. Mengamati segala raut wajah-wajah orang-orang. Orang-orang yang bertampang ria. Orang-orang dengan tatapan tak peduli. Orang yang tertawanya dibikin-bikin. Senyumnya dibuat-buat. Orang-orang yang sedang tertimpa masalah. Dilanda beban dan keprustasian. Jelas ia lihat semua.
Lalu apakah aku termasuk orang yang prustasi itu, tanya hatinya. Ya jawab batinnya juga.
Kamu masih kepikiran masalahmu seminggu lalu Wie? tiba-tiba suara Rhiena bertanya. Ia datang dengan muka penuh bedak basah dan handuk di kepalanya memuntal seperti kepala nanas.
Melengos sedikit muka Dewie, memandang kawannya yang datang. Kawanku ini termasuk orang ceria tampaknya. Orang yang tanpa suka mengaduh-aduh. Orang yang selalu humoris terhadap segala hal. Segala urusan. Tak mau ambil pusing bila sebuah masalah hanya menjurus ke kemunduran. Dia tegas dan juga santai, nilai hati Dewie. Lama Rhiena menunggu jawaban, akhirnya datang juga dengan nada lirih:
"Serasa hilang semua Rhien?"
Rhiena mendekat. Langkah gontainya berhenti saat bokongnya juga duduk di kursi itu. Masih dengan gontainya. Tangan kirinya asik mengaduk-aduk teh dalam gelas bermotif putih. Ada foto sejoli di dinding gelas itu. Foto Rhiena dengan sang kekasih berpelukan seperti foto praweeding.
Rhiena mengaduk-aduk gelas.
Sudahlah. Kamu sesali juga tak akan kembali saran Rhiena. Lantas apa kamu sudah bilang dengan orang tuamu dirumah, perihal kejadian ini? sambungnya.
Seet.!!! mata tanpa hasrat yang mengamati kerumunan sejak tadi berubah. Lebih terbuka dan lebih sadar. Sadar karena apa!. Mati aku bila bercerita dengan mereka. Pingsan pasti. Atau mungkin lebih parah lagi mereka, gejolak gumam mendesis-desis. Rona wajah Dewie beda. Hidungnya naik. Pipinya bergetar. Rasa muak benci berkerubut kembali. Ia mampu berbohong sekarang. Dan akan terulang terus. Sebab, hanya itu elakannya.
Tidak berani aku bilang Rhien, aku katakan jika aku baik-baik saja, kerja dan mandiri nyengir sudut bibirnya.
Salahkah kelakuanku demikian Rhien? tanyan Dewie balik.
Sruuup!!!!...ahh..?? seropotan tehnya.
Rhiena menikmati benar tehnya. Hangat dan segar.
Salah? katanya sejurus kemudian. Kini pandangan Dewie menatap teman di sampingnya itu. Rubah semua objek-objek yang ia pandang. Terus ia tatap pipi tembem Rhiena yang masih dengan seropotan tehnya. Rhiena kemudian menatap muka Dewie. Beradulah mereka. Tanpa berusaha menjawab. Dewie hanya menanti jawaban. Hanya bergeming dia. Embusan napas dari hidungnya saja yang terasa. Ia menunggu penjelasan.
Salah, karena memang itu perbuatan dosa. Tapi juga kita harus berusaha perbaiki. Manusia semua pernah salah. Pernah teledor tapi selama napas masih sanggup dihisap. Toh semuanya berarti masih ada kesempatan.
Kesempatan bagaimana Rhien?. Sungguh aku tak mengerti" wajah Dewie berbinar. Ingin sekali nampaknya ia mendengarkan.
Kau harus berusaha menebusnya". Rhiena meletakkan teh ke pinggir kursi.
"Balas dengan prestasi.
Prestasi??!! potong Dewie rendah.
Yah dengan prestasi. Belajar hidup mandiri. Jangan beratkan orang tuamu lagi. Buat prestasi di kampus ini dengan usahamu. Pasti mereka bangga lalu masalahmu tentu akan terselesaikan. Kesalahanmu akan tertebus. Oleh kreasimu. Yaaa.. kreasimu itu."
Rhena seperti dosen jika menjelaskan. Tangannya sering ia dapati beriring dengan ungkapan bibirnya. Kadang telunjuknya lebih rendah jatuh ke papan kursi. Masih lincah sama seperti bibirnya. Telunjuknya pun lincah pula membuat gambar-gambar di papan itu. Gambar abstrak yang mewakilkan idenya.
Aku sebenarnya sama seperti mu Wie aku Rhiena dengan memandang ke depan sekarang. Memandang keluar.
"Seperti aku?. Tak paham lagi aku Rhien jawabnya heran.
Hmm. Aku juga sudah hilang perawan. Hilang saat SMA.
Membesar mata Dewie tak percaya. Dia tak menduga temannya bahkan lebih parah darinya. Heran. Heran sekali dia. Tapi selama ini ia pandang temannya itu dengan muka yang amat santai. Tak nampak kalau bunganya telah hancur juga.
Aku sama seperti kamu" ulang Rhiena.
Dahulu aku masih ditindih masa puber. Masa gejolak di mana keingintahuan begitu dominan merangsek. Aku sendiri adalah remaja pencari. Suka aku dengan pencarian hal baru.
"Sruuuupp!!!..Ahh!!! Rhiena menyropot tehnya lagi. Teh yang mulai dingin karena cerita.
Aku punya pacar dalu" tukas Rhiena sambil mengingat dan senyum sinis. Bodohnya aku. Rasa ingin coba-coba itu tak tertahan lagi. Untuk pertama kali aku bercumbu dalam WC bau itu, yang wanginya serupa hamburan kembang Rose. Hahahahaha!!!!! kata Rhiena tertawa.
"Kau bercinta di WC? tanya Dewie dengan alisnya meninggi dan senyum heran.
Menengok ke muka Dewie yang senang benar mendengar ceritanya, Rhiena pun membalas senyumnya dengan senyum juga.
Begitulah. Itu terjadi 5 tahun lalu. Sampai sekarang tetap jadi kenangan. Tetap jadi rahasiaku." Rhiena menggeser tubuhnya untuk menguit lubang hidung karena gatal.
" Orang tuaku tidak aku beritahu, hanya kamu saja ucapnya meyakinkan.
Apa kamu tidak merasa bersalah Rhien? Dewie lebih bersungguh-sungguh menatapnya. Hilang semua bengongnya.
Huuhhh...." suara itu menampakkan ketidakpedulian.
Semua bagiku sudah jalannya Wie. Aku sekarang tak ingin merasa bersalah dengan kejadian itu. Salah hanya menimbulkan keterpurukan. Ada cara untuk mengubah. Dengan tetap membakti kepada orang tua, belajar menyelesaikan masalah sendiri, dan yah.., dengan prestasi tadi. Sepanjang tahun aku rengking di kelas, bahkan kau tahu sendiri kuliahku seperti apa? jelasnya tersenyum bangga. Memang kawannya sekelas itu selalu mendapat IP tinggi tiap semesternya. Dewie kerap meminta sarannya saat menjawab ataupun berdiskusi.
Kesalahan harus kita tebus. Orang tua tercipta dengan sejuta maaf asumsinya yakin .
Hanya masalahnya, tergantung kita sendiri yang harus pintar mencari sela maaf itu lanjutnya dengan tangannya melayang-layang di udara. Tangannya padu dengan hal yang ingin diterangkan.
Kau harus percaya Wie! seru Rhiena.
"Orang tua kita pun pernah berbuat salah, entah masa ke berapa. Namun, mereka pun juga bisa menebus kesalahannya dengan hal berguna yang meninggikan lagi posisinya.
Mengagguk mencoba mencari sisi kebenarannya. Dan, memang benar penjelasan sahabatnya itu. Banyak tetua-tetua kampung yang sering diceritakan ayahnya sebagai seorang bajingan di masa muda. Namun kini mereka menjadi tokoh masyrakat, dan malah dipercaya membina desa. Juga lurah di kampungnya, asal usulnya tergolong suram. Ia adalah pensiunan maling, namun ia mengubah presepsi masyarakatnya dengan kepedulian-kepedulian, cakapnya berbicara, bagus tentang saran-sarannya dan sokongan-sokongan yang gemar disumbangkannya ke masjid. Sekarang setelah menjabat Kades orang-orang pun makin hormat dengannya.
Banyak lagi contoh di televisi yang dipandang Dewie berkaitan dengan kebenaran presepsi Rhiena. Misal ada ustad yang mantan napi, tapi sekarang berwibawa setelah bertobat. Ada juga ustad yang punya isteri dua, bahkan di media gosip dikabarkan perceraian serta pertengkaran mendera biduk rumah tangganya. Tapi kesemuanya dapat kembali ke dasar. Kembali ke kejayaan. Dengan apa?. Dengan motivasi dan pola pikir. Berubah dengan langkah percaya. Percaya bagaimana? Percaya jika mampu terubah. Optimis setelah bertobat. Tapi tobat itukan mirip seperti baju?. Dipakai hanya sebagai tutupan sementara kala dingin. Kemudian untuk menutup dari hal yang kotor agar tak nampak. Tentunya hanya pribadi sendiri saja yang tahu tentang selamanya akan memakai baju itu atau tidak. Sementara untuk orang lain, semuanya seperti arca batu yang megiyakan saja. Tak ada yang tahu tentang kapan seseorang akan melepas baju tobatnya. Hanya perhubungan dia dengan Tuhannya saja yang tahu, begitulah penilaian Dewie sekarang.
Perempuan dengan keadaan sepertimu banyak di sini Wie. Ambil positifnya saja. Semangatlah dan jangan jadi pecundang yang terus lari dari bayang. Toh bayang hanya hilang di kala malam saja. Bayang akan muncul lagi di kala siang. Artinya, semua sesalmu takkan hilang bila tak berusaha kau ubah sendiri. Jangan terlalu berhayal tanpa gerak. Karena hayal sama seperti bayang. Ada rentan waktu akan terwujud, tapi itupun hanya sesaat dan seterusnya ia akan sirna. Khayalan hanya terwujud seperti mimpi sedangkan mimpi pun ada batas" kata Rhiena menggebu-gebu menyampaikan semangat pengandai-andaiannya.
Semakin percaya Dewie sore itu. Tebus kesalahannya dengan kemandirian begitulah tekadnya.
Aku ingin mengikuti nasihatmu itu Rhien. Aku membenarkannya ucap Dewie. Jika boleh tahu?" Dewie encoba beralih topik "Aku sering menjumpaimu bepergian di larut malam. Yah..? itu kau kemana dan dengan siapa? tanya Dewie penasaran.
Mata Rhiena tetap sayu diterpa angin sore. Ia seperti sengaja ingin berlambat-lambat mandi senja itu. Ada hal yang harus ia sampaikan pada sahabatnya. Hal yang seharusnya sahabatnya itu anggap benar.
Sambil menggaruk lengan kirinya, Rhiena pun menjawab:
"Aku jalan malam tersebut hanya sekadar melampiaskan rasa bosan.
" Bosan? Bosan bagaimana? Kenapa harus tengah malam. Padahal waktu itu sangat dingin dan nyaman-nyamannya untuk istirahat" tanya Dewie yang semakin penasaran.
Bosan saja Wie katanya tetap santai.
Lihatlah obat yang terdiri dari berbagai bentuk. Ada tablet, puyer, kapsul, dan tetes atau oles. Menurutmu kenapa mereka membuat jenis-jenis yang beragam begitu? tanyanya balik.
Dewie tetap diam. Bukan karena ia tak tahu, melainkan ia tahu jika ini hanya pertanyaan retoris. Pertanyaan yang tak penting dengan jawabannya. Pertanyaan yang akan dijelaskan oleh penannyanya sendiri.
Sejurus kemudian Rhiena meneruskan lagi pembicaraannya.
"Semua dibuat hanya untuk tuntutan konsumen yang akan bosan dengan obat jika bentuknya hanya sejenis. Muak pastilah ia. Dengan tuntutan dari konsumen maka obat beragam bentuk pun diolah. Sama seperti aku Wie." Tangan Dewie menepuk dadanya.
"Aku pun jemu dengana semua obat bosan yang ada." Rhiena bangkit dan mulai jalan lalu lalang. "Malam aku belanja ke Mall dan sebagainya. Kesemuanya itu sudah ku lakoni. Tetaplah bosanku tak hilang-hilang juga" ungkapnya sambil menggeleng.
"Maka aku coba larikan sejuta pelikku itu di taburan kerlap-kerlip lampu malam yang melarut . Ternyata tak seperti yang ku kira. Aku mendapatkan keceriaan di hari ngantuk itu. Dunia ku seolah hidup dan memiliki warna" jelas Rhiena.
Ada benar, ada juga salahnya pendapat sahabatnya itu di mata Dewie. Benar, karena memang untuk mengatasi suntuk itu, beragam orang selalu tidak habis akal dalam menyelesaikan masalahnya. Tidak harus tertuju pada satu kegiatan. Suntuk, lalu bawa belanja. Ada yang harus dibawa makan. Tidak demikian saja cara mengatasinya. Poin ini Dewie membenarkan asumsi Rhiena. Tapi juga salah, bila mengatasi rasa bosan itu harus dengan berjalan di tempat-tempat yang berbau dosa. Apakah tidak ada cara lain yang bisa dipikirkan lebih spesifik lagi. Jalan lain dan tempat lain. Dunia begitu luas juga lebar. Akal manusia tercipata dengan tak mampu dijangkau seberapa luasnya. Akan bertambah luas bila terus mau mengasahnya. Bukankah cuma akan memperbanyak dosa bila datang ke tempat seperti itu. Walau Dewie sekarang telah kotor. Telah zalim dengan dirinya. Telah bisa berbohong kepada Ibunya. Kepada Tuhan dan kepadanya sendiri,. Tapi entahlah, dorongan perlawanan ketidaksetujuan atas gagasan Rhiena tadi seolah membuatnya ingin bermain debat dengannnya.
Setahuku Rhein, hal yang kamu lakukan itu hanya menambah mudarat. Dahulu aku ikut organisasi dan sering membahasnya. Kegiatan yang kamu lakukan tentu tak lepas dari zina Rhein. Berkumpu-kumpul dengan orang-orang kotor. Orang yang telah usang dengan dirinya sendiri. Orang yang selalu bermandi dosa. Dosa yang tiada bisa ia jangkau dengan logikanya. Hotel yang berisi orang-orang maksiat. Orang-orang yang keruh agamanya. Kakimu kau langkahkan ke hotel itu pasti dengan iringan nafsu syahwat, bukan? desaknya.
Hahahahahaha..!!! Rhiena tertawa hebat. Sampai teman-temannya yang bercengkrama di lantai bawah mendongok ke atas, kagum dengan suara nyaringnya.
Masih ingat tragedi bom Bali? matanya bergerak naik turun memberi kode. Dewie mengangguk padahal dia belum bisa menebak kemana Rhiena akan menjelaskan.
Para pelakunya berdalih bahwa semua orang yang suka dengan DUGEM maka itulah orang-orang yang kafir. Tak terkecuali orang yang mencari nafkah dalam gedung itu. Contohnya seperti tukang sapu atau tukang mengantarkan minum. Padahal belum tentu mereka ikut dengan arus keramaian itu. Hura-hura?, belum tentu mereka berbuat demikian. Namun pandangan kelompok ahli jenggot itu ialah, memang banyak orang yang berlaku mudarat dalam gedung sehingga menurutnya wajib bila tempat itu dihancurkan. Rhiena duduk lagi. Ia melanjutkan.
Sebagai seorang yang mengalami aku berbicara seperti ini berdasar fakta yang kutemui di tempat itu Wie. Ada kenalanku seorang pengantar minum,. Wanita lebih tua dariku dan bersuami yang bekerja di sana sebagai pengantar minum. Aku tanya kenapa ia mau bekerja seperti ini. Bukankan jualan seperti ini haram?. Jawaban ia adalah, haram atau halal itu semua tergantung niat kita untuk memakainya. Ia memang bekerja di tempat haram. Namun hatinya tulus hanya untuk menghidupi keluarga di rumah. Temanku mengemukakan pendapatnya juga dengan contoh anggaplah seorang penjual buah yang telah mendapatkan untung dari hasil berdagangnya. Lantas ia pulang dengan uang keringatnya itu. Sampai di persimpangan jalan kampung, ia lihati ada segelintir pemuda tengah asik judi sabung ayam. Nah di situ ia ikut dengan acara itu. Ia ikut bertaruh. Bagaimana pendapatmu tentang status uang di tangannya. Tetap halalkah uang itu? Dari hal yang temanku sampaikan; aku pun mengambil kesimpulan bahwa prinsip manusia dalam sebuah kumpulan hiburan malam, takk semuanya berhati bejat. Semuanya punya kepercayaan. Keyakinan sendiri-sendiri. Semua itu hanya dapat diketahui jika kita mengenal baik dengan orang-orang itu. Bukan berdasar dari selebaran dan isu luaran saja urai Rhiena panjang.
Lantas semuanya kita pertalikan lagi melalui anggapanmu dengan anggapanku. Aku suka dengan glamour Banjarmasin. Aku suka dengan megah malam di sini. Tapi, dalam sekian kali perjalanku. Tahukah kamu tentang semua kegiatannku di dalam situ. Punya buktikah kamu jika setiap kunjungannku berbuat zina? Lalu bagaimana kamu tadi berkata-kata bila orang yang berada dalam hotel tersebut, yang suka dengan dunia gemerlap adalah orang-orang yang keruh iman. Bagaimana penilaian kamu tentang pendapat dari wanita yang ku ceritakan tadi?" nada Rhiena turun naik saat menjelaskan dan matanya tetap memicing ke mata Dewie sehingga membuatnya sering melempar pandang ke objek lain.
Aku terkadang hanya membuang bosan dengan lantunan lagu klubnya saja. Tidak berbuat macam-macam Wie."
Dewi heran "Terkadang? berarti kamu juga pernah berbuat seperti kamu SMA dulu di sana Rhien? tanyanya dengan kini berani menatap balik matanya.
Tampak ada hening di antaranya. Tukar pendapat itu pun kian seru dengan pertanyaan -pertanyaan desakan.
Dosa itu kan beragam tingkatan Wie: ada kecil, sedang, dan besar. Jika yang aku lakukan menurutku hanya dosa kecil kenapa dianggap suatu masalah. Toh orang tidak terganggu. Tidak meprotes. Kita diberi waktu untuk menebus dosa-dosa. Tebus saja dengan prestasi kataku di awal tadi. Orang tua kita akan bangga. Aku hanya mencoba mencari uang jajan lebih di sana." Mata Rhiena tajam dan tangannya ke depan dengan telunjuknya naik satu.
"Aku bukan jual diri Wie. Om-om dan pemuda-pemua itu yang memberiku jajan dan aku hanya bertugas melawani berbicara mereka saja. Bukankah itu gaji atau upah?"
Tidur dengan salah satu dari mereka?, tentu kamu pernah tanya Dewie menekan lagi.
"Hahahaaha!!! tertawa geli lagi Rhiena.
Dewie jadi terheran-heran. Mulai tak konsisten temannya itu berujar. Tadi mengatakan pengingkaran tentang segala perbuatan dosa yang ia lakukan. Sekarang ia menyatakan lagi tentang tingkatan sebuah dosa. Menilai dosa. Dosa yang ia akui telah dibuat.
Tapi pantas juakah Dewie, bila terus menyangkalnya. Dewie hanya melawan dengan semua rupa badannya yang belum disinggung Rhiena. Bila itu semua telah di singgung, toh apa bedanya dia dengan Rhien. Sebenarnya Dewie pun telah memikirkan ini. Namun rasa penasaran mendorongnya untuk mencari tahu. Lebih sekadar hanya untuk obrolan sore saja.
Memang aku pernah, namun itu hanya semata-mata pelampiasan bosanku karena tertekan masalah. Obat bosan itu bergam Wie? Sama lagi dengan kata-kataku tadi. Sekarang aku balik bertanya denganmu? matanya merangsek ke depan karena sebenarnya ia pun mulai tersudut.
"Setelah kejadian itu, kamu mau apa? Terserah.. anggaplah aku mungkin wanita penjaja lelaki. Jika memang tuduhan seperti itu mampu buatmu lega. Kamu masih pemula. Tentulah tekanan emosimu belum beradaptasi dengan lingkungan terangnya.
Sesaat hening percakapan itu, hanya terdenganr bunyi anak-anak kos lain yang tengah berkelakar hebat di ruang bawah. Suaranya tak Dewie sukai. Kesannya mengejek.
Plekk...??, lirih tangan Rhiena menepuk pundak Dewie, dan sejenak tangan itu masih bertengger di bahunya.
Nanti ikutlah denganku, dan nilai dengan cara pikirmu. Apakah perbuatanku salah di matamu dan merugikan orang lain.
Dewie terdiam. Pikirannya masih mencerna tentang saran sahabatnya itu.
Baiklah aku akan mencoba lain waktu. Tapi untuk saat ini, aku minta saran-saran saja darimu, karena itu aku sungguh perlu? katanya sambil tersenyum.
Rhiena membalas senyum lalu ninggalkan Dewie untuk mandi.
*
Kebangkitan
Senandung deru angin tengah malam sedikit menyibak-nyibak horden kamar. Angin dingin nampaknya masuk dari jendela yang belum terkunci. Hembusan membawa horden itu melambai-lambai menari. Di luar kos masih tampak benar gelap mengental. Padahal lampu-lampu telah berpijar-pijar menjadi benderang. Tapi tetap saja gelap lebih unggul ketimbang lampu yang menerang itu. Gelap lebih dekat. Lebih kuat. Kental dab nyata datang dengan semua luas serta lebar badannya menutup semua celah cahaya. Sedangkan lampu hanya datang ketika gelap telah menyelimut. Manusia juga demikian, kesalahan diperbuat dengan begitu berlarut-larut. Begitu bangga dengan salah. Begitu ambisius menumpuk dosa. Sementara cahaya petunjuk hanya datang samar-samar di dalam roh angkara nafsu seseorang. Angkara yang gelap dan cahaya itu pun lambat laun padam dengan terabaikan.
Sejak pergaulannya dengan Rhiena entah mengapa perampilan Dewi kian elit. Bisa dibilang perlente dengan sandang busana yang benar-benar modif. Dewie telah menjelma sebagai anak metro Banjarmasin asli. Parasnya seakan membuat laki-laki tambah ingin melumatnya. Kerudung kini ia tanggalkan berganti dengan ratusan helai rambut lurus mengurai. Tapi yang tak dapat dimengerti ialah sikapnya itu akan berputar 180 derajat bila ia tiba di kampungnya.
Dewie tetap kalem seperti tidak terjadi perubahan dengan dia. Ibunya tak merasa curiga dan yakin anaknya kuliah dengan sungguh-sungguh.
Sekarang Dewie lihai bermain kata jika orang tuanya menelponnya.
"Dewie sekarang sudah kerja Bu. Biaya SKS, jajan, dan kos-kosan, alhamdulillah Dewie bisa cukupi" begitu tuturnya.
Dewie terkekeh sendiri dalam lamunannya. Ingin tidur kelihatannya. Tapi di tunda-tunda dan bibirnya senyum-senyum. Senyum itu lucu malu-malu. Penuh dengan ingatan-ingatan lagi. Kadang berguling-guling badannya dengan piyama lembut yang ia kenakan.
Terawangannya menuju kejadian akhir-akhir ini. Sebenarnya Ia cela dirinya. Sekarang, ia benar-benar glamour metropolis. Bahkan mirip zionis anarkis kelakuannya itu. Tapi entah kenapa ia menikmati. Dengan masih berkamuflase sikap bila berhadapan dengan orang tuanya. Dewie kini telah menjadi seorang yang selalu pintar bersandiwara.
Kembali lagi ia mengenang kejadian lucu itu.
Tujuh hari yang lalu ia muntah hebat. Bukan di kos-kosan ini atau mugkin bukan sepulang dia dari toko buku dulu di mana hidungnya sensitif dengan AC dan berujung meriang.
Dewie muntah karena jantungnya terasa lepas. Agaknya sound system di klub itu biang keladinya. Menendang jantung. Memaksanya keluar, dan melakukan kerja detak haram yang seharusnya detakan itu menyebut sang Pencipta. Suaranya benar-benar merobek gendang. Terus terdorong masuk menjejali saraf.
Dewie cela dirinya untuk kesekian kali.
Memalukan benar!, gumamnya.
Ahh...?? geliatnya lagi di atas kasur. Kini ia tengkurap. Jemarinya asik lagi dengan tombol ponsel.
Bunyi pesan Wa untuk seseorang.
Jadikah malam ini. Nanti datang saja ke kos. Ya sekitar jam 2.
Layar ponsel berbunyi rendah, menandakan sebuah pesan telah terkirim. Ia balikkan badannya lagi keposisi awal.
Cepat nian seseorang merespon keadaan jika pribadi juga telah rapuh dengan suatu kemunafikan. Jika tumpuan sudah tidak ada dan kalah dengan hasutan maka hanya terombang-ambing arus yang di rasa benar.
Titit..titit..titit..!! bunyi ponsel Dewie. Kemudian jempolnya memencet untuk membaca pesan Siip..!! balasan pesan seluler itu.
Ia taruh Hanphone di sisi tubuhnya. Menggaruk sedikit tanggannya kedagu, ia kembali mengenang saat-saat tujuh hari lalu.
Kakinya berderap keluar dari mobil hitam merek Avanza. Dengan cekikikan keluarlah Dewie dan Rhiena diiringi beberapa pemuda sepantarannya menuju sebuah klub di Banjarmasin.
Warna warni putaran bola lampu dan sorot cahaya mengkilat kilat penuhi area. Kacau benar situasi itu. Orang-orang kepayahan terus senggol-senggol ketus dengan orang berlainan muhrim. Ada juga yang berseru-seru heboh. Kepulan asap membumbung rendah menjerat paru-paru. Perempuan modis berbaju tipis jjuga banyak yang merokok. Seorang pria sepantaran Dewie asik menghisapkan rokoknya ke mulut teman kencannya. Baju perempuan itupun lebih mirip sulaman benang transparan daripada pakaian. Jingkrak-jingkrak mereka, geleng-geleng juga. Tingkah mereka benar-benar brutal. Lebih brutal dari tingkah muda-mudi yang ia tonton di taman Banjarbaru. Sound juga sangat terdengar ganas memekakkan telinga.
Bising musik disko di klub ini begitu keras . Muak dan berujung pening!!!. Pusing berat!!!.
Dewie tak tahan, dan dentuman musik itu akhirnya membuatnya malu.
Dewie berjalan mual dengan tangan satu melilit pundak Rhiena. Berjalan terkopoh-kopoh ke toilet dan hampir pingsan. Terduduk Dewie di pinggir wastafel, dan sesaat..
Uuuueeekkkkkk!!!!!!..Uuueeekk!!!!! keluar semua makanannya diiringi keringatnya yang mengucur dingin membasahi bedak yang meriasnya. Lemas langsung Dewie.
Sahabatnya tertawa ngakak. Maklumlah ini pertama untuk Dewie berkunjung ke klub seperti ini. Fisiknya tentu membrontak.
Rhieana mengambil sebuah bungkusan. Dari tas mungil itu keluat jenis tablet kecil-kecil.. Pil-pil itu beraneka warna dan sampai saat ini sahabatnya terus bilang jika itu vitamin C, jawabnya.
Rhiena meminta Dewie meneguknya satu. Selang berapa menit ringanlah bangkit tubuh kuyu itu. Bertambah sayu matanya tapi sekarang mengapung-apung seperti menginjak awan. Dewie seolah melayang dengan jalan tangan-tangan penggemar yang membopong dan mengalunkannya menuju dudukan singgasana. Berjalan dengan aroma-aroma alkohol di dalam klub itu seperti aroma tumpukan kembang srintil. Dewie kembali lagi ke kerumunan yang bersorak-sorak . Ikut bejubel-jebel di dalamnya dengan tangan-tangan jail menjamah-jamah badannya.
Yah!!!, dia nikmati itu seolah benar-benar tangan-tangan itu ialah tangan penggemarnya yang membopongnya menuju pentas puncak pesta dirinya.
Dewie loncat-loncat lagi kemudian tertawa kocak. Seakan memainkan film India, kini ia serasa menari dengan artis idolanya . Disaksikan puluhan pemain figuran dan dalam balutan kabut indah.
Rhiena juga tertawa lepas. Jingkrak-jingkrak lagi. Terus semakin heboh. Semakin liar. Semakin ganas!!. Hingga tanpa ia sadar tali branya telah longsor satu.
Dewie terus menggila mirip bekantan ngamuk meloncat dari dahan ke dahan. Benar-benar ringan pikirnya. Terus ia terbang di udara dan melayang-layang di sana. Kemudian turun meluncur lagi dengan lembut lalu serasa berpijak di atas air sembari tanganya terlentang serupa salip. Merasakan angin laut menerpa membias tubuhnya layaknya samudra menerpa.
Hebat sekali vitamin C ini, batinya memuji-muji. Berfantasi ria dia selama satu jam. Tanpa halangan!. Tanpa beban!. Tanpa masalah!!. Tanpa bersalah!!.
Lelah dengan loncat-loncat dan geleng-geleng, kakinya lalu menuju tempat kerumunan untuk minum-minum. Botol fanta seperti di kampung berjejer rapi di tempat itu. Tapi kesannya botol itu berisi fanta mahal. Terbukti dengan tuangannya yang sedikit nian dalam gelas.
Pelit pelayan itu, gumamnya dalam ketidakstabilan.
Seett!!..Bukk!!! bunyi bokong duduk di atas kursi.
Tangan seseorang tergeletak di meja yang berbentuk U itu. Sesekali juga dia beringsut memusut celah di bawah hidungnya dengan telunjuk. Rambutnya carut marut. Masih tertawa-tawa dia, melihat mereka yang juga tertawa-tawa.
Paman, vodka satu! ucapnya tertawa-tawa. Matanya semakin terjerebab karena dosis obat.
Rhiena terkekeh memperlihatkan deretan gigi gingsul manisnya. Dia menyapa dan meminta Dewie gabung bersamanya.
Dewie melongo samar. Bergoyang goyang pandangannya. Masih dengan halusinasi hebat pedengarannya menangkap jika tadi sahabatnya seperti memanggilnya.
"Uek..ekkhhhhhhh..!!!!"bunyi sendawa Rhiena kian hebat. "Cheerss!!!!. sambungnya.
Dewie menyambutnya. Gelas pun berkemelinting.
Gluk..!! bunyi air yang sangat sedikit itu masuk ke kerongkongan Dewie. Matanya masak, dan bangun dari layunya. Lalu ubah dengan mengernyit menutup lagi matanya itu. Menahan sesuatu, diikuti pula dengan rona muka Dewie yang berubah masam.
"Minuman apa ini, pikirnya. Lucu dan aneh rasanya. Seperti minum parfum bercampur u Spritus. Sedikit dingin lalu berubah panas dan beruap pula.
Pandangan nyala redup itu lalu berpusing lagi. Ia memandang sekitar dengan gila. Tertawa, dan kadang mengejek-ejek. Kuat benar minuman kuning senja itu menurutnya. Semakin larut dalam lendir-lendir kegirangan. Pusing lagi dia. Mencoba menikmati, namun berat terasa kepalanya.
Musik DJ masih gencar menghentak. Bola lampu masih berputar warna-warni. Putaranya layaknya kincir yang membawanya berputar juga. Sorot lampu warna-warni juga masih silau-silau membias mata. Senyum lagi sudut bibir Dewie. Ia berusaha bangkit dari kursi. Dewie menyonsong kerumunan untuk duel jingkrak-jingkrak. Rambutnya semakin awut-awutan menutup satu matanya. Sementara celana levis yang ia kenakan nampak kedodoran memperlihatkan tulang ekornya.
Huuuuu!!!!!...Aseeeek!!!!! terus loncat-loncat tanpa peduli dengan sekitar. Senggol ia balas senggol. Tiga pria kenalan Rhiena melingkarinya. Mengikuti lagu dari DJ diskotik tersebut, tangannya melambai-lambai ke atas seperti korban bencana berebut sumbangan. Masih berkoar-koar girang. Tiga pria merapat lalu berpesta liar dengan Dewie yang mulai lemas.
Blukkk!!!..,tubuh berisi Dewie tekulai di lantai. Pingsan dia. Tiga pemuda tadi segera menghampiri dan membopongnya masuk ke dalam sebuah kamar. Dua diantaranya adalah sahabat pria Dewie dan Rhiena yang membawa mereka dugem.
Beberapa puluh menit kemudian.
Suasana kamar bernomor 28 itu begitu sayu. Lentera listrik bercahaya merah kekuning-kuningan meremang bertahan seolah lentera minyak yang mulai habis.
Pemuda-pemuda yang membopong tubuh Dewie masih ada di dalam. Entah apa yang mereka buat. Hanya deru tawa Rhiena terkadang masih nyliwer menelusup dalam celah jendela, celah pelapon, dan celah lubang anak kunci pintu.
Lalu hening suara.
Di luar cleaning servis hanya betugas beres-beres di luar pintu. Dalam jalan beraltar merah itu ia menyapu ratik-ratik dan abu rokok lalu memasukkannya ke tong sampah. Tukang bersih-bersih itu kemudian melewati pintu bernomor 28 yang terbuka sedikit. Pintunya tak terkunci dan dengan berani ia merayap lalu mencungulkan kepalanya masuk.
Hey..!!!! teriak Rhiena.
Tukang bersih-bersih itu pergi dengan tergesa-gesa. Geleng-geleng wajahnya sambi tertawa.
Rhiena terkulai tenpa busana di atas sofa sementara Dewie juga terkapar di tempat tidur. Di sekitarnya tiga pria malaikat bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam tengah mengurung bagai komplotan serigala mencabik buruan. Di atas meja berhambur juga beragam pil dan minuman energi. Berserakan pula di sekitar situ balon-balon karet kecil.
Begitulah cerita yang dituturkan Rhiena kepada Dewie saat terbangun dari pingsan. Semua yang Dewie dengar dari Rhiena membuatnya malu sebenarnya. Tapi juga hanya sesaat, karena setelah itu hasutan Rhiena agar menebus kesalahan dengan prestasi, dengan mandiri, dan dengan semua tata penjelasan semakin membuat sahabatnya itu enteng saja dalam menyikapi salahnya. Dewie tak menyesal. Menyesal hanya berujung pada keterpurukan . Itu slogan temannya yang sekarang jadi slogan Dewie.
Dewi beringsut dari tempat tidur. Kembali dari ingatan tentang itu kini ia terpekur di depan lemari baju. Sekarang sudah berbeda dengan dulu. Dewie bukan orang katro lagi bila menjejak kakinya di klub itu. Tubuhnya telah ikut suasana. Dewie berdiri. Dengan profesional ia pilih baju untuk malam ini. Rencananya dia akan party lagi.
Sambil mengenakan baju Dewie berpikir kalau segala keperluan kuliah, kini dapat ia penuhi. Dewie terus keras untuk menolak sokongan dari orang tuanya. Dalihnya sekarang ia bekeja. Bekerja dan bekerja. Berbohong dan membual, begitu akunya dalam percakapan di telepon. Ibunya hanya terus mendoakan keselamatan untuknya.
Tiba-tiba bunyi ponsel mengusik tidurnya. Di luar Rhiena mengetok-ngetok pintu kamar Dewie.
Wooy..bangun woyy..Jadi nggak nih. Itu mereka sudah datang" kata Rhiena menggedor pintunya.
"Dandan. Sebentar lagi."
"Oh. Ku kira kamu molor. Oke, aku juga"
Derap langkah Rhiena menjadi pelan dan hilang. Dia kembali ke kamarnya.
Di kamarnya, Rhiena pun tak kalah dandan dengan Dewie. Ia lebih suka memakai baju dan rok mini hitam. Tali bra hitam terlihat timbul menekan lemak di punggungnya. Ia lebih sering dibilang semok ketimbang gembrot oleh teman-temanya. Mungkin karena daging di tubuhnya yang offside itu. Tapi ia selalu percaya diri.
Dahulu sebenarnya dimata Dewie, Rhiena adalah gadis yang tidak gendut. Tubuhnya sedang, ketika kenal dengannya. Keseringan dugem mungkin membuatnya lapar. Kemudian semakin meningkatlah nafsu makannya. Seperti yang pernah Dewie tahu, bila seorang wanita yang telah berkeluarga, biasanya tubuhnya akan gendut bila sudah melahirkan. Jelasnya, tubuh Rhiena itu terlihat makmur.
Setelah selesai berdandan, mereka berdua keluar kos. Rhiena dan Dewie masuk ke dalam mobil. Duduk mereka di kursi paling belakang. Mobil itu berisi kiranya empat orang. Teman Dewie dan Rhiena semua.
Berbunyi lembut, kemudian mobil itupun melaju pelan.
Dewie suka keluar pada jam seperti ini karena ia tak ingin tampangnya banyak diketahui orang. Jam tengah malam biasanya warga Banjarmasin masih terlihat ramai berkumpul-kumpul di pinggir jalan. Ia tak suka. Dewie kadang masih malu dan risih kendati kesopanannya telah terbuang beberapa bulan lalu.
Sedangkan pada waktu seperti ini, biasanya klub saja yang ramai. Keramaian diskotik tentu beda dengan keramaian warga. Dalam diskotik Dewie tak merasa risih. Kebebasan itu haknya.
Ongkos masuk yang kadang gratis membuat diskotik jadi seru. Oleh karenanya diskotik cenderung ramai saat jam 2 dini hari. Keramaiannya bahkan di hiasai oleh cabe-cabe SMA yang juga menikmati pora di larut malam. Hebat mereka. Benar-benar bebas berekspresi. Dewie selalu suka pandangan larut malam. Ia temui di jalanan sahabat-sahabat dari kos-kos lainnya juga dijemput dengan mobil yang elit. Mereka pun memakai baju yang tak kalah menantang.
*
Ya..Allah!!! Ban sepedaku bocor lagi. Aduh!!!!..bagaimana ini keluh Bu Sumarni dengan berucap-ucap sendiri.
Jam 3 dini hari, Bu Sumarni ingin ke pasar Jumat Anjir. Mendung telah sayup-sayup menjadi rintik air. Dua keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Bu Sumarni coba ambil pompa di dalam rumah. Pentil ban ia cek lalu ganti. Merasa beres, Bu Sumarni segera memompanya. Sekitar dua menit menunggu, Bu Sumarni kemudian berjalan lagi menuju ban. Ia lalu menjongkokkan badan.
Hehhhhh!!!!...Allahu Akbar. Bu Sumarni mengamati ternyata ban terus keluar angin. Bahkan terasa deras embusan yang keluar dari dalam ban.
Dagangan padahal sudah selesai diurus, dari sayur yang telah dicuci dan umbud yang sudah rampung dipotong-potong. Sayang benar jika tak dapat dijual, sedangkan hari Sabtu dan Minggu, pasar Anjir letaknya sungguh jauh. Tak mungkin dijangkau menggunakan sepeda. Bakalan layu daganganku itu bila tak terjual, gumamnya sambil menggerutu.
Tangannya untuk sesaat menggaruk-garuk rambutnya yang basah dengan bingung. Sementara nyamuk berdenging-denging memburu darah. Banyak makhluk itu bila musim penghujan seperti ini. Mereka terbang seliweran menggerubung Bu Sumarni yang jongkok dengan separuh lemas.
"Plak!!!..Plook!!! bunyi tangannya berciprat-ciprat air saat menapak-napak nyamuk.
Bu Sumarni tertunduk dengan mata memejam.
Hmmm!!! Huuuu!!!.. Hirup lalu hembuskan napasnya sebentar. Lalu tanpa ingin berlama-lama dalam kepasrahan, segera saja dia berdiri dan langsung bergerak menata dagangannya di atas sepeda. Pompa ia selipkan dengan ikatan tali ban yang mengikat karung pembungkus sayur. Sebentar kemudian, ketika telah tersusun dagangannya, Bu Sumarni masuk lagi kedalam rumah, berganti baju dengan jaket, dan keluar lagi.
Malam masih rintik-rintik berhujan.
Maka dengan bekobar-kobar api semangat. Tanpa peduli lagi dengan hujan, langsung saja ia mendorong sepedanya menuju pasar.
Bismillahirrahmanirrahim!!!! sebut mulutnya yakin. Kemudian meluncurlah dia dengan keinginan hatinya. Tak peduli jam berapa ia akan tiba. Sungguh tak peduli.
*
Mobil itu telah sampai di jalan Pantai Jodoh dan secara pelan menyusurinya. Pantai Jodoh ternyata lumayan sunyi manusianya bila jam seperti ini. Dekat dengan itu terdengar lamat-lamat suara pengajian Masjid Sabilal.
Tiba-tiba Dewie teringat ibunya.
Dahulu ia terbangun jam seperti ini. Tenggorokannya haus dan kakinya beranjak keluar mencari air minum.
Sebelum ia sampai di dapur. Kupingnya telah menangkap bunyi-bunyi ayat Al-Quran dari kamar Ibunya. Bunyinya berirama naik turun nadanya membias dini hari yang melarut saat itu.
Langgar dan masjid di kampung sepi terkecuali Subuh datang. Suara ngaji Ibunya mewakili rutinitas dua tempat ibadah itu dengan lantunan ayat membumbung ke langit. Dewie tak ingin mengganggunya, dan berjalan pelan menuju dapur.
Sejurus kemudian lamunannya buyar lagi.
Rhiena menepuk bahunya, dan berucap, Heii..lihat!! tangannya menujuk ke arah luar. Bencong-bencong terkumpul di pinggiran Sabilal. Astaga, mereka itu. Di dalam masjid pengajian? mereka malah tanpa malu seliweran cari pelanggan" omelnya.
Lupa lagi Dewie dengan lamunan tentang rasa bersalahnya itu. Dibalik kaca mobil, Dewie fokus melihat waria-waria dengan busana minim warna mencolok keluyuran. Terdengar mereka menggonggong memekik suasana. Ada juga di antaranya menari brutal layaknya babon kehilangan pisang.
Rambut mereka merah-merah pirang. Sebenarnya mirip gadis Korea bila dilihat dari belakang. Jalan mereka juga ayu. Mereka punya liukan pinggul juga. Lampai. Berkulit putih walau sedikit bertelapak tangan kasar. Dibilang kasar karena otot tangannya tak mampu menutupi identitas jati diri mereka. Tanganya juga masih kekar walau berbagai olesan lousen dan pelembab-pelembab telah mereka kenakan.
Di bawah pohon sengon, tubuh kurus-kurus itu berhenti mengatur posisi. Menunggu jemputan nampaknya. Berdiri di pinggiran sambil senyum-senyum. Lalu tertawa-tawa, ada juga yang sembunyi di balik pohon. Hanya terlihat bias bajunya saja, itu pun samar-samar di antara gelap yang membedaki malam.
Mobil yang ditumpangi Dewie lebih mengalun pelan mengamati keadaan yang sedang mereka tonton. Dalam mobil itu teman-teman Dewie tertawa. Bahkan ada yang terpingkal-pingkal keras dengan geli karena melihat pakaian minim waria-waria itu. Dingin di luaran tetap membuat waria-waria itu cuek. Mereka tetap nekad mengenakan pakaian seksinya.
Lihat mereka Wie? ujar Rhiena, matanya masih tajam menatap keluar. Mereka lebih parah dibandingkan kita. Coba kamu amati. Tuhan menciptakan mereka,sebenarnya sebagai kaum laki-laki. Tapi ternyata mereka berubah dengan kata lain, mereka tak mensyukuri karunia Tuhan. Tak terima berian Tuhan. Ada di antara mereka beranggapan bahwa, naluri wanita sejati yang menuntun mereka jadi seperti itu. Menurutmu? Naluri wanita seperti apa? tanya Rhiena.
Dewie terdiam tak menjawab. Ia masih menatap keluar kaca mobil.
Rhiena kembali menjelaskan Itu bukan naluri wanita. Hanya rasa yang mereka besar-besar, agung-agungkan lalu jalankan. Ada juga alasan mereka karena faktor style!. Kau taulah.." ujar Rhiena menjawil. "Artis-artis TV yang naik daun dengan gaya kemayu, dan hal demikian mereka jadikan tren? ungkap Rhiena.
Kamu tahu darimana Rhien? Dewie bertanya tanpa menatapnya, masih asik dia dengan pemandangan luar.
Mobil mereka kemudian menepi dan akhirnya berhenti. Lumayan berjarak tapi masih mampu mengamati para ulat bulu itu.
Rhiena tersenyum aku pun banyak teman-teman kayak gitu di salon. Kadang saat aku sedang spa aku menyelingkan waktu untuk bercakap-cakap dengannya. Mereka itu Wie jelas Dewie yang semakin asik dengan ceritanya.
Jika melayani tamu, amboyy... rasa simpatiknya amat besar. Mereka memberi masukan-masukan kepada tamu. Bila tamunya perempuan yang sedang kerimbat atau apa. Mereka sungguh detail dalam memberi informasi perawatan yang benar, katanya: 'Aduh adik??? kukumu ini, bagusnya seperti ini, rambutmu cocok bila pakai sampo ini, badanmu itu harusnya dikasih lulur sebelum tidur?'" ulang Rhiena menirukan. "Macam-macam saran dari mereka. Perhatian sekali urai Rhiena lagi dengan raut muka masih kagum.
Kemudian apabila tamunya lelaki, apalagi cowo maco sambungnya meneruskan cerita. Aduhh..Wie. Ungkapan-ungkapan kagum dari mereka itu, benar-benar tambah membuatku jadi terpingkal-pingkal. Pujian yang mereka layangkan sungguh berlebihan dan lambat-lambat arah bicaranya pun sudah melenceng ke arah pornografi. Berandai-andai dan berhayal-hayal bila menjadi pacar cowo ganteng itu, dan lain sebagainya. Yang bila dituturka, pasti buatmu juga ikut tertawa cekikikan ungkap Rhiena.
"Lalu bagaimana hubungan antara mereka sendiri Rhien?, apa baik saja seperti kita-kita ini tanya Dewie semakin penasaran.
"Tidak terlalu baik Wie sosor teman prianya yang menyupir di depan. Dia juga asik sendiri dengan pacarnya di kursi depan. Bercanda-canda dengan sedikit bunyi erangan lembut dari si perempuan karena keusilan joki mobil itu.
Benar kata Jali itu" ujar Rhiena mengangguk. Tidak terlalu baik hubungan di antaranya, khususnya dari segi ucapan. Bila dengan sesama segala sumpah dan panggilan-panggilan yang tak pantas yang mereka pakai. Tapi itu juga sebatas canda, tapi tetap kurang baik. Cemburu mereka juga tinggi, ini karena susah buat mencari pacar yang sama sikapnya seperti mereka dan kadang berakibat pada tempramen yang buruk jelas Rhiena.
Sekarang Dewie paham tentang penjelasan sahabatnya itu. Dari pengetahuan Rhiena, ia jadi teringat sahabatnya. Fatimah. Yah dua orang sahabatnya itu sama. Sama-sama asik, sama-sama lihai dalam bercerita. Sama-sama luas pergaulannya. Bedanya, satu menilai dengan kebebasan, dan satu masih menilai dengan ikatan norma agama.
Lihat..? tunjuk Rhiena ke arah luar.
Dewie mengikuti arah telunjuk Rhiena.
Mereka dijemput seseorang, Mereka juga pasti akan fun-fun sama seperti kita? lanjutnya sambil mengangguk-angguk.
"Ah masa Rhien? sangkal Dewie.
Kamu belum tahu sih Wie" nada Jali datar.
"Menurutmu apa yang mereka perbuat di kala larut seperti ini. Berdiri di pinggir jalan beratap pohon sengon. Mereka menunggu pelanggan Wie jelas Rhiena dengan mimik bersungguh-sungguh.
Dan memang benar, waria-waria itu tidak hanya berdiri hanya sekadar menyambut Subuh. Banyak dari mereka juga dipesan seseorang. Ada beberapa pria bermotor yang berhenti lalu membawa mereka bercakap-cakap. Selanjutnya pria-pria itu ada yang membawanya jalan. Adapula yang hilang dibalik pohon sengon. Tak jauh dari pengamatan Dewie beberapa dum truk berhenti di sebuah taman kota. Usai terpal dan saund mereka pasang, saat musik berdentum empat sampai lima orang berdisko di sana. Lebih mencengangkan dua atau tiga orang adalah pria ulat bulu yang banyak mangkal tadi. Luar biasa.
Mobil klub itu berjalan lagi meninggalkan tempat itu.
Kita ini jauh masih mending dari mereka jelas Rhiena. Kita bonavit? Berkelas!, dan bukan penjaja lelaki setingkat wanita di persimpangan jalan atau setara bencong-bencong yang tak mensyukuri rahmat tadi ucapnya mencoba berargumen.
Menurutku kita sudah sama saja dengan mereka Rhien. Kita juga penjaja lelaki terang Dewie yang tidak lagi menatap jendela kaca luar, hanya duduk santai dengan tangan memutar-mutar Handphone.
Bukan! bantah Rhiena. Jali!!?, lewat jalan Sudi Mampir saja? teriak Rhiena.
Oke! balasnya.
Akan aku perlihatkan Wie. Kelas kita dengan kelas mereka. Nilailah sendiri, mana yang lebih terhormat kata Rhiena.
Dewie tak paham. Sementara mobil yang ditumpanginya melaju dengan sedikit kencang lagi. Seperti ingin cepat-cepat sampai pada sebuah tempat. Biasanya, mereka ketika Dugem, melewati jalan Benua Anyar dan langsung menuju jalan utama yaitu jalan A.Yani. Jalan itu cenderung mulus dan lebih cepat. Tapi malam ini agaknya joki ingin suasana baru dengan lewat jalan Pantai Jodoh yang lebih memutar-mutar dari lokasi klub.
Jam berderak pada angka 3 lewat sedikit, cakap-cakap di sana tadi tampaknya memakan waktu yang lumayan.
Mobil terus melaju, dan beberapa menit kemudian, mobil mereka telah sampai di jalan Sudi Mampir. Di mana jalan itu sebenarnya adalah jalan pasar. Sengaja joki menuntun mobilnya itu untuk berkelok-kelok pelan masuk ke lorong-lorong jalan. Mengamati keadaan sekitar.
Di luar, dari balik jendela kaca mobil.
Cahaya remang merias suasana. Terlihat pula, pria-pria keluar dari mobil dan truck, tertawa-tawa, dan duduk di sebuah warung jamu sederhana. Pria-pria itu bercakap-cakap dengan beberapa wanita muda penjaga warung berbusana ketat dan sesak. Tak kalah menantang, dandanan penjaga warung tersebut dengan perempuan-perempuan yang ada di dalam mobil itu.
Sebagian orang mencari Rezeki dibalik kesimpangsiuran hukum agama ternyata. Antara halal atau haram. Yang penting uang itu cukup untuk menyambung hidup. Keadaan tersebut mengingatkan Dewie dengan ucapan Rhiena tempo dahulu. Ucapan yang menegaskan argumenya tentang bagaimaa keadaan sebuah diskotik. Di mana pendapat mereka berdua beradu.
Rhinena mengatakan bahwa tidak semua penghuni dalam klub itu berdosa dan berbuat zina. Ada juga yang tulus mencari rezeki walau tempat rezeki itu adalah tempat buruk. Tempat yang sebagian orang mengaggap tempat laknat. Sedangkan Dewie berasumsi bahwa, meskipun mencari rezeki dengan tetes keringat lelah bercucur, namun bila rezeki yang didapat dari sarang prostitusi atau judi tentu rezeki itu akan berhukum haram.
Tapi apa yang ia lihat malam ini sepertinya lebih membenarkan lagi tentang penegasan Rhiena kala itu. Penjual-penjual jamu di tempat pelacuran. Mereka kuyu keriput, sudah uzur-uzur umurnya. Bahkan lebih tua mereka ketimbang ibu Dewie. Duduk terpaku di pinggir trotoar jalan. Matanya pucat menjaga malam agar tetap gelap. Agar dagangan mereka terus laku. Halalkah? .Haramkah?. Satu sisi mereka mencari rezeki untuk keluarganya, namun di sisi lain, jualannya itu adalah jalan untuk seseorang berbuat dosa.
Akh!!.. Pasti halal juga rezeki mereka, karena yakinlah aku, bila mereka itu memang tulus mencari rezeki untuk keluarga, tanpa niat untuk mendukung perbuatan zina diantara pembelinya, hipotesis Dewie dalam hati.
Mobil itu semakin masuk kedalam perut pasar Sudi Mampir.
Nah..lihatlah sendiri" Rhiena menunjuk beberapa wanita yang berumur sekitar 25-26 tahun dari dalam kaca mobil. Wanita-wanita itu berdiri di sisi jalan. Berdandan seksi dan bermuck-up pula. Tapi bukan wanita kantoran yang tengah menghadang taksi untuk pergi bekerja. Mereka menanti jemputan rupiah.
Kau mengerti Wie. Mereka tanpa seronoh berdiri di sana. Disaksikan semua orang. Dan cap kupu-kupu malam pun mereka sandang! Mereka mencari nafkah dengan pertaruhan harga diri dan membuang jauh rasa malu. Sekarang apa kita sama seperti mereka? Kita berdiri di tepian jalan sambil mengawai mobil yang lalu-lalang? .Tidak bukan?" ujar Rhiena jumawa. "Kita cewe klub Wie. Berkelas. Di mana ladang kita adalah tempat berAC bukan kipas angin. Perempuan jalan itu pesanan truk dan mobil rentalan sementara kita mercy dari anak gedongan."
Dewie mengangguk.
Aku tahu? tebak Rhiena lagi. Kamu pasti masih merasa malu, bukan ?.
Dewie menggeleng.
Aku sengaja lewatkan kamu di sini, supaya kamu dapat melihat sendiri bagaimana citra kita dibandingkan mereka jelasnya sambil mendongokkan kepala ke pinggir kaca mobil lagi.
Tidak Rhien, maluku telah hilang, santai saja ah? kata Dewie tak peduli.
Dengan diperlihatkan sisi ini. Rhiena berharap agar Dewie benar-benar membuang rasa malunya itu. Jangan ada sekecilpun yang tersisa. Karena menurutnya, Dewie dan para pengunjung klub lain lebih mewah daripada wanita-wanita di persimpangan jalan itu.
Iya, kamu benar Rhien. Kita jauh lebih terhormat dibandingkan mereka. Kita adalah persatuan klub dan hanya dapat diboking lewat kesepakatan antara kita dan pembeli di situs jejaring sosial tertentu. Kita kuliah! Tentu harga kita tidak murah" kata Dewie yang mengamini saja enjelasan Rhiena.
Sebenarnya Dewie merasa benar-benar sudah kecemplung. Tak mungkin kembali dan mengaku karena takut orang tuanya akan shok dan malu. Dewie pun terus melakoni petualangannya di Banjarmasin.
Agaknya kini kau telah paham? kata Rhiena yang tak tahu keputusasaan hati sahabatnya itu. Sekarang apa kau masih merasa tercela dan malu dengan hal ini? tanyanya lagi.
Tidak!!.., aku sudah yakin bila status kita lebih terpandang ucapnya dengan muka bersungguh-sungguh agar temannya tidak kecewa.
Terus susuri pasar, mobil itupun sudah masuk ke tepian jalan besar. Peralahan jalan telah berganti. Masih mereka jumpai wanita-wanita dengan celana ketat berada di sudut jalan. Tangannya mengawai-ngawai setiap mobil yang lewat.
Dalam mobil, Rhiena masih ceramah menganai pengetahuannya tentang wanita-wanita Sudi Mampir tadi. Saat asyik bercerita Jali ikut nimbrung.
Jali menjelaskan bahwa banyak dari mereka yang berstatus janda. Yang janda-janda ini tentu mempunyai harga yang setandar. Bahkan ada yang gratis . Jali akui pernah mencoba itu.
"Jadi simpanan tante, kita yang dibayari. Umbuyy" ucap Jali bangga lalu...
Plakkkkk....pipi Jali ditapak pasangannya dengan nyaring. Maka tertawalah seisi mobil.
Apa tempat itu tidak pernah di razia polisi Rhien? Kalau kita jelas ada surat resmi perhotelan dan ijin untuk hura-hura dalam gedung. Singkatnya ada yang melindungi? tanya Dewie.
Mereka pun ada yang melindungi Wie jawabnya.
Para pria bertubuh besar dan bertato yang kita jumpai tadi, itulah bodiguart mereka. Tidak ada polisi berani merazia. Di sana kekerasan sering terjadi. Seperti macan-macan merebutkan daging, di sana pun demikian. Di antara mereka kerap berkelahi hanya untuk berebut mencari perhatian pelayan yang diincarnya. Itu baru sesama pengunjung?. Apalagi jika hura-hura mereka diusik aparat, tentu para pria bertubuh bidang itu akan lebih garang lagi lanjut Rhiena.
Lalu? Apa kamu tahu darimana pria-pria itu Rhien? Dewie bertanya penasaran. Topik itu nampaknya membuat ia tertarik. Seru, pikirnya.
Kelayan!! sahut teman pria yang lain, yang duduk di kursi nomor dua dari depan.
Kelayan? Dewie keheranan. Di mana itu Kelayan?.
Tadi kita telah lewat dari persimpangannya jawab Rhiena. Ia kembali menjelaskan, daerah Kelayan itu terkenal dengan penduduknya yang bertempramen berani dan keras?, maklumlah, daerah itu termasuk pemukiman padat penduduk dan pekerjaan mereka juga didominasi pekerjaan kasar. Seperti pengangkut barang dagangan kapal, pekerja bangunan, kuli pasar, dan sebagainya. Bila malam mereka banyak menghabiskan waktu dengan kumpul-kumpul bersama teman. Sering juga datang di tempat seperti Sudi Mampir, ya untuk sekadar mencari teman wanita bercakap-cakap dan membuang lelah mereka. Itulah mereka. Oleh karenanya, kuat pikiranku bila pria-pria penjaga Sudi Mampir itu sebagian besar adalah orang Kelayan.
Oh!!? sahut Dewie mengerti.
Mobil yang mereka tumpangi telah sampai di diskotik.
Dengan sorakan hura-hura, mereka mendekat, dan masuk ke dalam. Sekali lagii Dewie akan menjemput Subuh dengan caranya. Meraih rezeki dari para tamu diskotik yang tertarik padanya. Berpora-pora di balik keriangan yang telah ia pahami.
*
Kamat Subuh telah usai berkumandang, bunyi-bunyi burung prenjak melantun-lantun bertembang-tembang menyambut pagi yang sedikit berkabut karena embun hujan malam tadi juga telah hilang.
Berapa puluh kali Bu Sumarni turun naik dari sepedanya untuk memompa ban. Hingga pagi itu ia baru sampai di pasar pada jam 9 siang. Badannya masih sedikit basah, meski telah memakai jaket. Ia kemudian langsung pergi ke warung pasar itu, untuk minum teh hangat.Bu Sumarni menatap sekitar pasar dengan masih kedinginan. Pasar telah sepi, mencoba terus mengambil hikmahnya, Bu Sumarni kemudian berniat menjual daganganya yang masih banyak itu ke desa-desa yang ia lalui kala pulang nanti. Seperti yang sudah-sudah.
*
Komunikasi
Dia duduk di emperan rumah. Mengenakan kaos oblong berukuran besar. Nampak kian kecil badannya itu karena kaos besarnya. Tangannya lincah memainkan jarum jahit untuk bajunya yang robek. Mungkin bajunya memang terlalu usang umurnya. Robeknya pun bekas jahitan robekan yang dulu-dulu. Duduk selonjor kaki, dan bersandar pada dinding pintu, ia tekun dengan aktivitas sore itu.
Apa Dewie baik-baik saja ya pak di sana? tanya Bu Sumarni sambil menyulam-nyulam baju.
Suaminya sedikit berhenti dari kegiatannya. Tepatnya memperlambat. Saat itu ia di samping rumah, sedang mencabut tanaman sayur-mayur. Kangkung, bayam dan pucuk waluh. Tanaman itu tentu untuk modal berdagang Bu Sumarni di besok pagi. Dan pertanyaan isterinya memperlambat gerak dia.
Kenapa ibu cemas lagi? tanya balik Pak Darwis.
Belakangan ini, aku selalu kepikiran Dewie lagi pak" tuturnya. Ibu perhatikan ketika Dewie pulang, semakin hari kok tubuh Dewie semakin berisi, lemak di tangan, pinggul, dan pahanya itu lho pak. Masa gara-gara banyak makan jadi seperti itu? jelasnya dengan kening yang mengernyit.
Pak Darwis meraih tongkat penopang tubuhnya. Berjalan tertatih-tatih meninggalkan kerjaannya. Berjalan lamban menuju emperan. Ia genggam kawat yang ada di ember dengan tangan kanan. Ember itu berisi tanaman sayur yang baru dicabutnya. Kotor penuh tanah. Tanganya juga kotor.
Terus ia berjalan.
Ketika telah sampai di teras, duduklah ia bersandar di tiang rumah, dengan rokok mulai disundut korek api.Hffffff...??? embusan asap putih meluncur lurus dari mulutnya.Jari-jari pucatnya menjepit rokok dengan bekas hitam menempel di batang rokok itu. Bekas itu dari tanah yang menempel pada jari Pak Darwis.
Anak kos-kosan itu biasanya jarang masak toh Bu. Padat dengan tugas, jadi gak sempat ngurus dapur, seperti juga Dewie. Biar di sini dia tekun masak. Pintar membuat makanan?, tapi kalau dia sibuk, yah tetap gak sempat juga toh buat masak kata suaminya sambil menyeka keringat.
Sebagai manusia dengan keterbatasan gerak, tentu kerjaan Pak Darwis itu banyak menumpahkan keringat dari badan dan mukanya. Keringatnya meluncur membasahi wajah. Ia berapa kali terus menyeka keringat itu dengan bajunya.
Pak Darwis melirik isterinya “Ibu ndak usah cemas. Bapak yakin, paling Dewie cuma lagi ngosumsi vitamin yang membuat tubuhnya jadi gembrot seperti itu."
“Ibu ini wanita pak, pernah muda juga nadanya menyanggah.
Dulu pernah ibu lihat, saat Dewie ganti baju di kamarnya. Itu lho pak? dadanya kok cepat besar?
Lah ibu ini" potong suaminya. Umur Dewie juga sudah 20an toh Bu?, ya wajar kalau dia sudah tumbuh jadi wanita dewasa
"Tapi yang dulu-dulu nggak sebesar itu pak, sahut isterinya ngeyel.
Terus saat Bu tanya?, kok susumu subur seperti itu toh Ndok?, Dewienya malah cengingisan dan menjawab: 'Dewie tambah gendut Bu, susunya ikut-ikut juga, wong makan tidur saja kerjanya' begitu katanya Pak. Aku juga pernah lihat dia Pak jelasnya yang ingin menyambung ucapan. Saat Dewie lari-lari ngeburu anaknya Paeman yang masih kecil. Kok gondal gandul ya. Seperti pernah dipegang laki-laki?.
Ahhh..ibu ini terlalu dibesar-besarkan? sanggah suaminya.
"Percaya saja Bu? nadanya datar. Dewie itu anak yang tahu keadaan orang tua. Untuk sampai di kuliahan itu saja, ia sadar betapa orang tuanya banting tulang mati-matian demi sekolahnya.
Hffftttt!!! keluar asap rokok Pak Darwis kemudian bilahan itu ia taruh di lantai.
Perasaanki tidak mungkin bila Dewie di sana melakukan hal-hal yang kelewatan. Dewie tahu mana baik dan mana yang tidak. Apalagi dia juga dengar toh bagaimana cercaan orang kampung?. Bahwa anak gadis itu ndak perlu direpot-repotkan kuliah, lebih baik langsung dikawinkan. Kemudian juga tentang keluarga yang tidak punya seperti kita ini, yang ingin nguliahkan anak?. Dibilang mau pamer-pameranlah. Mau seperti orang kaya yang bingung ngebuang hartalah. Terlalu ikut gaya kota-kotaan, nggak pernah sadar diri, dan lain-lain. Nah..itu semua pasti akan jadi motivasi buat dia Bu. Sekaligus jadi dinding pembatas bila ia ingin macam-macam. Nurani Dewie itu ada yang njaga. Jadi mohon kamu jangan cemas. Nanti malah nggak semangat bekerja dan sakit? terang suaminya panjang lebar sampai rokok sigaret yang ia letakkan di lantai, mati apinya karena tidak terurus.
Pak Darwis kini telah menjadi suami yang percaya. Tidak mudah lagi bagi tetangga-tetangga yang iri dengan keadaan keluarganya untuk menghasut dia. Setelah musibah tempo dahulu yang membuat kakinya cacat, sekarang ia tampak semakin gigih. Tapi tentu kesemua itu dengan dorongan sang isteri yang begitu kuat memberinya motivasi.
Bu Sumarni tetap masih cemas. Ia pernah muda, tentu seluk beluk wanita ia lebih paham. Dewie, di mata Ibunya telah berubah. Memang jika dari sikap, Dewie tetap anak yang baik. Tekun ibadah bila waktu salat telah datang, dan selalu ceria. Pakaiannya pun tidak berubah. Tetap memakai kerudung dan busana panjang. Rapilah intinya. Dari dua segi itu ia tidak ada berubah.
Tapi fisiknya. Fisik Dewie itu yang membuat Ibunya merasa was-was. Lemak di pinggulnya sedikit blewer keluar dan bokongnya juga lebih datar tidak timbul menonjol seperti punuk unta.
Diam sebentar, Bu Sumarni pun melanjutkan ucapannya.
Semoga tidak terjadi macam-macam dengan Dewie ya Pak? doanya.
Pak Darwis yang bisa membaca raut wajah gundah isterinya pun terus mencoba meyakinkannya tentang Dewie benar-benar belajar di sana.
*
Tengah malam ini Bu Sumarni bersimpuh. Menadahkan tangan dan menceritakan semua keluh kesah dan permohonannya. Gumam-gumam bibirnya berubah keras. Lama-kelamaan terdengar nyaring dengan isakan tangis. Ia gigit bibirnya menahan air yang bercucuran pedas dari kedua pelupuk matanya. Badannya bergetar hebat merasuk hening malam dalam pertemuan antara makhluk penyembah dengan majikan yang wajib disembah.
Ya Allah ya rabbi..,segala puji tiada yang patutku haturkan terkecuali atas nama Engkau..,segala pertolongan tiada wajibku pinta jika bukan pertolongan dari Mu..Tiada Tuhan selain Engkau wahai zat yang kekal. Engkau Maha memberi Petunjuk..,Maha Tau tentang segala urusan persoalan dan gundah setiap makhluk..,serta Engkau adalah Penerang keputusan dalam hati semua makhluk yang menyembahMu. Hamba berserah kepadaMu wahai Tuhanku...Hamba meminta pertolongan..Hamba meminta petunjuk dari persoalan yang menjerat pikiran. Ya Allah ya Tuhanku..,semoga Engkau selalu berikan lentera cahaya untuk anakku..Lentera terang untuk jalan yang benar..Lentera terang di mana kesimpangsiurannya melebur..Di mana ia selalu terlindung asmaMu, firmanMu, dan takut dari murkaMu..Sungguh hamba cemas jika ia tergolong anak bingung. Ya Allah ya Tuhanku..,kabulkan permohonanku. Amin ya robbal allamin.
Semakin tak tahan ia, tasbih itupun berputar kuat. Mencoba teguh dalam posisi ketegaran ia terus menahan diri. Laailaahaillallah..? embusan kata itu diikuti hela nafas penenangan. Ia kembali menata kosentrasi. Sebelumnya seratus biji tasbih telah berputar sampai pada pongkolnya. Kini seratus biji tasbih itu telah berputar lagi seperti pertama.
Diam sejenak ia. Sesekali masih terisak. Doa itu adalah doa penyelamat. Doa permohonan seorang Bu yang memohonkan anaknya selalu di lindungi dari rasa kebingungan. Dalam penghujung salat malamnya, ia tutup zikirnya dengan lantunan surah Al-Fatihah. Dengan diikuti usapan kedua tangannya menelungkup wajah.
*
Pagi ini Dewie terlihat mendung di wajahnya.
Malam tadi ia tidak klubbing bersama gengnya. Ia tidur dalam senja yang baru di mulai. Belum salat isa tapi kantuk begitu mendera. Ingin saat itu ia langkahkan kakinya untuk berwudu. Salatlah? Selama nafas masih mampu kamu hela nasehat Ibunya tempo dahulu.
Tapi kakinya berhenti karena suatu hal. Tontonan televisi di kamar temannya menarik perhatianya. Artis korea ternyata bintang utamanya. Ia tonton acara itu dengan mimik wajah kagum. Heboh sendiri seperti bertemu langsung dengan sang idola.
Selesai menonton, dengan mata payah ia malah terkantuk berat. Dia hendak melawan saat terbaring di kasur kawannya. Pikirannya tiba tiba melayang sendiri melintas bercampur dengan kantuknya.
Dahulu dalam syiarnya. Dewi pernah berceramah Dajjal adalah makhluk perusak alam yang akan muncul di hari akhir. Ia punya ciri bermata satu. Ia akan menghasut kita dengan semua fantasi-fantasi keinginan yang tampak nyata di depan mata. Apa saja. Bahkan bila kita menginginkan memiliki istana dengan seribu pangeran tampan atau permaisurinya pun pasti terkabul. Apabila kita telah tergoda dalam buaiannya, maka kita akan langsung masuk neraka tanpa bisa ditawar-tawar. Namun bila kita menolaknya dan tetap yakin bahwa segala yang punya nikmat yang kekal itu adalah Allah SWT. Maka kita akan dimusnahkan oleh Dajjal itu. Kita yang berani dan sanggup menolak rayuannya akan dimasukkan dalam golongan ahli surga. Identik dengan mata satu, sebenarnya Dajjal sudah muncul berpuluh-puluh tahun lalu. Dajjal ialah makhluk yang menylewengkan pikiran manusia dari keimanannya kepada Tuhan sang Pencipta alam. Mata satu yang mampu memblingerkan manusia dari kewajibannya sudah banyak contohnya. Seperti Televisi, Handphone, Laptop, Game dan sebagainya. Kesemuanya itu adalah anak-anak Dajjal yang telah keluar. Di mana kesemua hal itu sangat sering menyita perhatian manusia untuk beribadah kepada Allah SWT begitu penjelasannya.
Tapi dalam kasus Dewie malam itu. Agaknya dia sudah lupa dengan syiarnya yang lalu-lalu. Ia sendiri lena dengan acara yang ditontonnya. Tubuh makin berat serta kantuk berdenyut kuat dan menggelayut hebat. Dewie tidur pulas-pulas dan telah lena terbuai anak-anak Dajjal.
Ndo..bangun. Sudah mau pagi?. Ayo kamu siap-siap buat sembahyang Tahajud menjemput Subuh .
" Ndo? bujuknya lagi. Sekarang kamu telah banyak berkembang?. Semakin cantik?. Sikapmu dengan orang tua juga tulus bakti. Kamu bekerja untuk kuliahanmu sendiri. Maafkan orang tuamu Ndo, yang tak berdaya membinamu dan membiayaimu. Maafkan ibu ya karena melahirkanmu dengan kasta desa dan semua susah-susah di dalamnya terisak-isak Ibunya menjelaskan.
"Ibu?. Ibu kok datang kesini, kenapa ibu menangis. Maafkan Dewie Bu. Dewie telah lama bohong dengan ibu. Tapi Dewie seperti ini juga bukan karena Dewie menghendaki dengan hati? jelasnya juga sambil menangis.
Dewie tak tega merepotkan ibu dan Bapak? lanjutnya. Dewie berjanji bakal tebus semua dosa Dewie Bu?.
Bukan itu Ndo? tanggap Ibunya seraya nadanya bergetar-getar. Wajah Ibunya tunduk dengan masih tersedu-sedu. "Memang semua salah ibu karena tidak bisa menjagamu. Andai ibu tinggal bersamamu tentu ibu akan selalu menjadi tempat tampungan segala masalahmu? sambungnya.
Sekarang Bu ingin. Dewie kembali yang dulu? .Tidak baik benar Nak pekerjaanmu ini. Sungguh ibu melarangnya. Kamu hanya menganiaya diri sendiri!. Andai kata kaki ibu harus berdarah-darah pun dalam mengayuh sepeda dan berjalan, insyallah inu akan tetap berusaha mencarikan biaya untukmu. Masalah kuliahmu? Ibu dan bapak benar-benar mampu Ndo. Untuk membiayainya. Tidak usah kamu rusak kehormatanmu untuk ditukar dengan itu."
Dewie tertunduk menangis. Tetesan air matanya seperti nyata jatuh dan terasa. Maafkan Dewie Bu?. Dewie janji bakal berubah.
"Ubah sikapmu cah ayu. Ibu ndak ingin kamu jadi anak pembohong dan zalim!! nasehat Ibunya dengan isakan lebih keras.
Set..Sett!!!..Settt!!..Settt!!..Setttt!!!! mimpi itu berputar seperti kopi susu teraduk sendok. Semakin mengental dan membaur. Bayangan Ibunya serupa kukus hilang dengan kepulan asap membumbung ke pelapon rumah.
Hah!!!!. Dup.. dup..dup!!!! jantung Dewi berdagup berirama cepat. Napasnya tersengal-sengal malam itu. Ngos-ngosan seperti lari keliling kampus saat dihukum pasca Ospek dulu. Buru-buru ia pergi memburu dispenser yang berada disisi kamarnya.
Glukk..gluk..glukk.gluk!!! berapa tegukan ia minum. Sedikit tenang ia. Keringat berupa bulir-bulir merembes dikeningnya.
Dipandangi, temannya masih pulas tertidur di samping. Tak merasa ia bila Dewie terjaga. Matanya mencari-cari Handphone dan melihat dilayarnya tertera pukul 2 dini hari. Sama persis dengan jam di mana ia biasa klubing.
Ia ingat bukan hanya sekali itu Ibunya datang menengoknya di alam mimpi. Hampir tiga kali. Namun yang sudah-sudah Ibunya hanya muncul dalam mimpi dengan tidak berbicara. Ibunya hanya bermuka masam dan kadang juga ia jumpai Ibunya terisak menangis.Tak tahu Dewie sebab-musababnya. Ia hanya berasumsi bahwa mungkin Ibunya sedang dilanda rindu. Oleh sebabnya sampai sekarang pun ia sering beberapa minggu sekali pulang kampung dengan harapan kangen Ibunya dapat terobati.
Tapi malam ini beda. Tiba-tiba Ibunya menasihatinya. Bermuka masam dan menangis pula. Akhirnya malam itu Dewie sulit tidur lagi. Dan hanya terkantuk saat azan Subuh telah selesai berkumandang.
*
Mendung di wajah Dewie semakin kelabu. Pucat sayu sepertinya. Matanya merah kurang tidur. Biasanya hal ini lumrah baginya. Sering begadangan membuatnya biasa bermata sipit dan merah. Tapi kenapa pagi ini wajahnya benar-benar muram tak berdaya untuk kuliah.
Sampai di kelas ia duduk dengan malas. Menunggu dosen dengan dua lengan menjulur ke atas meja dan pipinya menempel di permukaan lengan-lengan itu. Poninya yang lucu, juga rambutnya yang lurus ribonding sedikit jatuh terurai menutup wajah.
Masih malas.
Saat ini ia hanya mampu mengingat. Ingatannya bukan tentang klub-klub, bukan tentang dugem ataupun semua kegiatan malam. Lebih spesifik ingatnnya itu meruncing pada sebuah peristiwa malam tadi dan malam-malam yang lalu.
Heii? ngelamun saja?. Itu dosennya sudah masuk? tegur salah seorang sahabat di kelas Dewie sambil menepuk bahunya
Wajah itu pun segera terangkat tegap. Ia berusaha menutup kantuknya. Berusaha membuang lamunannya tentang mimpi malam tadi. Terus berusaha menerima pelajaran, tapi toh matanya merah sayu. Ngantuk.
Pelajaran pagi itu benar-benar membosankan. Ceramah dan ceramah. Menutupi kantuknya Dewie pun sudah asik sendiri dengan ponselnya.
Kala usai pelajaran, Dewie pulang dengan wajah santai. Seolah lupa lagi ia dengan muramnya. Sifatnya yang tidak ingin serius-serius dalam menanggapi sebuah pembicaraan atau peristiwa seperti pada percakapan ia dengan Sigit dahulu, kali ini telah membawanya menjadi seorang yang ringan dengan sebuah gejala-gejala. Satu topik dari pesan singkat seluler membuat dia lupa total dengan keluh pikiranya saat itu. Ia bangkit semangat karena siang itu akan belanja baju dengan teman klubingnya di Duta Mall, lalu nonton di bioskop, dan makan-makan. Yah, kesibukannya telah mengalahkan tabir-tabir mimipi yang menderanya akhir-akhir ini.
*
Sang Pria
Sore terlihat warna kuning muncul berbaur di pucuk-pucuk matahari yang layu. Indah dipandang namun tidak terlihat menikmati. Menikmati dengan sang kekasih mungkin syahdu. Namun jika hanya melihat keluar dari jendela Mess dengan kesendirian. Nah inilah yang dinamakan tidak menikmati.
Sigit terus memandang hampa. Mendongokkan mukanya keluar dengan mata hanya mencecap angin yang sesekali seliweran menerpa. Sigit sebenarnya ada pacar. Tapi toh cuek bebek saja ia dengan pasangannya itu. Hingga hubungannya pun tak di ketahui lagi di mana sisi romantisnya. Sigit lebih fokus bekerja dan kumpul-kumpul bersama temannya. Sementara pacarnyapun sering di nomor duakannya saja.
Embusan angin kembali menyapa wajahnya.
Sore ini ia bosan. Ingin keluar jalan-jalan malas karena lelah. Tapi sebenarnya iapun tertarik. Daripada tercekik bosan, pikirnya. Bingung sebenarnya dia.
Apa dikerjakan malam ini? keluh Sigit sambil menimang-nimang sebilah rokok.
Teman yang tidur d sebelah kasurnya pun menjawab kita buat acara saja, keluyuran cari sensasi,.
"Kemana? sahut Sigit lagi.
"Pokoknya ikut saja, dijamin bisa membuat hilang semua masalah."
Oke..,tapi jam berapa?.
"Sepuluh malam"
Rokok sebilah telah terjepit bibir sudut kiri. Dengan muka condong kekanan ia sodorkan korek apinya menuju tumpuannya. Tangan kirinya serupa tudung melindungi ujung rokok yang tersulut api itu.
Sedot dan sedot. Pipinya memompa dengan bentuk kempot dan mengembang. Kempot dan mengembang lagi.
Hffftttt.....!!! asap rokok itu keluar dari mulut Sigit, sebelumnya kukus telah lebih dahulu meluncur keluar dari lubang hidungnya.
Aku penasaran juga?, seperti apa Banjarmasin jam segitu? jelasnya. Jari-jemarinya juga cantik memutar-mutar bilah rokok. Menjatuhkan abu sebagai arti jika batang sedikit demi sedikit termakan api.
"Bisa kita survei nanti malam" lanjutnya tertarik.
Siip? balas temanya itu.
Sigit sudah tidak lagi melongokkan kepalanya ke jendela. Ia duduk bersila berhadapan dengan kawannya. Ia lepas baju karena mungkin Mess itu masih terlalu panas baginya. Berbagi asbak dalam tuangan abu rokok, sesekali ia tertawa diiringi raut muka yang berbinar-binar.
Percakapan itu berlangsung lumayan larut. Azan Maghrib sudah selesai terdengar bahkan sang muazin sudah membaca lantunan shalawat-shalawat pendek guna menyambung azannya dengan kamat.
Kemudian terdengarlah kamat.
Sigit selesai bercakap-cakap. Berjalan kakinya mengambil anduk yang menggantung di kapstok. Ia taggaalkan celana kolornya bulat-bulat tanpa risih di hadapan sahabatnya itu. Kini ia hanya memakai celana dalam. Bergegaslah ia menuju kamar mandi dengan langkah tegap berselempang handuk dibahunya.
Malam tiba, sekarang Mess tak lagi terasa panas. Setelah selesai makan-makan dengan alakadarnya, untuk menunggu jarum jam sampai pada saat yang mereka nanti, Sigit dan teman-temanya bermain domino di dalam Mess itu. Hukumannya adalah jepitan jemuran baju. Memang beda dengan hukuman yang ada di desanya, namun permainan domino itu mengingatkan Sigit pada sahabat-sahabatnya di kampung. Dengar-dengar dari kabar kawannya yang lain, beberapa orang sahabat Sigit juga telah menikah. Kelakuan mereka setengah juga bisa dibilang brutal. Untuk mendapatkan jujuran murah, mereka berani menggauli calonnya itu terlebih dahulu. Norma agama juga kurang tampaknya di hati kawan-kawan Sigit tersebut.
Terus asik berlama-lama dengan kartu jam ternyata sedikit lagi menunjuk ke arah angka 10. Tak terasa benar bila penantian itu dijejali sebuah kegiatan yang ramai mengundang tawa-tawa lebar. Mereka pun meninggalkan permainan. Lalu bergegas sibuk sendiri-sendiri untuk memakai baju.
Selang berapa waktu tampak kerumunan kelelawar hitam-hitam. Di depan pintu keluar Mess yang berpagar tinggi-tinggi itu Sigit dan lima kawannya telah siap-siap berpetualang malam.
Ayo berangkat? seru teman yang lain.
Mereka berangkat dengan melaju sedang. Bunyi motor Sigit masih dominan penghambur keheningan. Namun dipresepsi teman-temannya, justru motor Sigitlah peramai perjalanan.
Sampai di jalan Sungai Lumbah Sigit tatap perumuhan di tepian jalan itu. Biasanya Sigit hanya mengamati jalanan di jam 8an malam. Tapi saat ini ia jamah jalan itu pada jam 10an lewat.
Banyak Truk singgah di rumah-rumah itu. Mobil dan Colt juga ada. Ramai sekali. Mirip pasar malam di kampungnya. Biasanya sehabis Isa memang ia jumpai ada Truk dan motor-motor yang singgah di tempat itu. Tapi toh tidak seramai pada jam mendekati tengah malam begini.
Beratapkan asbes dan juga sirap rumah-rumah itu hampir tidak sepi dari pengunjung. Bentuknya sederhana. Hanya warung kopi terbuka dan berlampu kuning-kuning. Remang. Di dalamnya banyak laki-laki juga pemuda yang bercakap-cakap dengan penjaga warung.
Penjaga-penjaga warung itu muda-muda dengan bedak menor membalut wajahnya. Kiranya 2oan usianya, bahkan mungkin lebih muda lagi. Berpenampilan dengan baju ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh, mereka berbincang akrab dengan para pengunjung. Tanpa kenal sebelumnya, tanpa ada ikatan keluarga. Tapi terlihat benar-benar akrab saja, dan seperti telah lama berteman. Kira-kira begitulah anggapan Sigit.
Motor Sigit melaju pelan terus mengamati bersama kawan pemboncengnya.
Sudah ramai?" kata temannya di belakang.
"Ada juga pemandangan bila keluar malam-malam begini. cewe-cewe seksi full senyum dan ramah" seorang berbicara dengan dagunya menunjuk kesalah satu warung di mana terdapat kiranya 6 gadis cantik di dalamnya.
Dasar Bajarmasin, apa mereka itu gadis baik-baik?. Jam segini apa tidak dimarahi Ibunya tanya Sigit.
Belum sempat sahabatnya itu menjawab, Sigit sudah ngomong lagi.
Kasian orang tua mereka. Pasti mereka benar-benar tak ingin anaknya jadi seperti itu?.
Kata siapa Git? sela sahabatnya. Orang tua mereka ada juga yang profesinya sama. Bisa saja seperti itu."
Tante-tante yang melayani para pengendara Truk itu bisa saja orang tua mereka. Atau mungkin memang keadaan ekonomi keluarga juga kacau, sehingga anaknya bekerja di warung begituan" jelas sahabatnya.
Lantas paman-paman supir Truk itu bagaimana?. Bukankah mereka juga telah berkeluarga?. Teganya mereka berbuat demikian tanya Sigit.
Dunia itu adil Git. Pernah dengarkah engkau bagaimana kehidupan pasutri seorang tentara? nadanya bertanya.
Tidak.."
Kasian sang suami!! Tentara sering ditugaskan terjun di wilayah yang sangat jauh dari rumah. Berjuang mati-matian demi negara juga keluarga. Gajih bulanan mereka tentu untuk isteri tercinta yang ada di rumah. Namun pernah kita jumpai, isteri tentara yang tak tahan dengan kebutuhan biologisnya. Ditinggal bertahun-tahun membuat mereka kurang kasih sayang. Tanpa suaminya sadar?, penghianatan pun kerap isterinya lakukan. Mereka mencari kebutuhannya di jalan yang dilaknat Tuhan. Namun itu juga hanya segelintirnya saja. Banyak juga sebenarnya isteri tentara yang bersungguh-sungguh setia menunggu suaminya. Nah? Kasus seperti itu adalah kebalikan dengan apa yang kita lihat sekarang. Jika dalam kasus tentara adalah kaum lelaki yang harus tertipu, maka dalam kasus ini ialah kaum hawa yang harus tertipu. Supir-supir Truk itu bermain serong dengan wanita warung. Tentu karena ada penyebabnya, mereka juga terjerat dengan pekerjaan. Kadang pekerjaannya sebagai supir memaksa mereka tidur di atas kursi Truk. Bahkan tak jarang pula tidur di mushola atau di mana saja. Singkatnya malam-malam jarang mereka lalui dengan kehangatan dari sang isteri. Sebagai manusia yang normal dan utuh. Supir-supir tersebut pun tak menahan kebutuhan itu. Akhirnya berkelakuan sama seperti isteri tentara-tentara tadi. Berkelakuan amoral dan anarkis terhadap keutuhan rumah tangganya. Semua dengan cara sembunyi-sembunyi ulas sahabatnya panjang.
Sigit terpaku mendengar penjelasan temannya. Masih dengan keadaan pelan, motornya tetap merayap menyusur jalan.
Itu lihat mereka? ujar Sigit sambil memajukan dagu menunjuk pada salah satu warung. Terlihat beberapa adegan vulgar antara sopir dan penjaga warung. Semua dilakukan untuk tontonan. Pasangan itu tertawa menikmati.
Sinting mereka? cerca Sigit.
Hahahaha!! temannya tertawa di belakang.
Banjarmasin benar-benar membuat seseorang kepanasan bila tak tahan dan akan ikut tergilas bila tak kuat tegas Sigit.
"Bisanya mereka berbuat gituan di padang umum. Tak habis pikir aku" ungkap Sigit dengan kening menekuk berlipat-lipat.
Santai saja Git sahut kawannya sambil menepuk pundak Sigit.
"Kebiasaan itu sulit dibuang. Benar-benar sulit. Sebisa kita saja jangan pernah mencoba hal demikian. Jika terlanjur akan susah untuk mencari titik hentinya dan akan terus ke sana. Takutnya jika yang kita rusak adalah anak orang baik-baik. Tentu dosa besar adalah hukuman bagi kita terangnya lagi.
Temannya itu memang punya akhlak baik. Sigit mengenalnya lama. Dia pintar bergaul. Hebatnya, Ia bisa menahan godaan kawannya yang menjerumuskan. Bergaul dia adalah dengan memakai logika dan pola pikir. Temannya bekerja lantaran ingin membantu orang tua sama seperti Sigit.
Benar anggapanmu itu ucap Sigit. Lebih baik jangan sesekali mencoba daripada kecanduan dan hanya membuat nestapa lanjutnya.
Beberapa jurus kemudian hening percakapan. Hanya terdengar terpaan angin karena laju motor. Dahulu ketika Sigit hendak pergi bekerja di Tanjung Selat, Ibunya juga berpesan bahwa laki-laki itu lebih tahan dari perempuan jadi jangan sampai kamu hanyut seperti mereka. Kamu tergolong kaum yang tegar. Sigit hanya mengangguk-angguk saat itu. Di lain waktu Sigit juga pernah mendengar ceramah yang mengatakan bahwa wanita punya sifat nafsu sembilan, akal satu sementara lelaki punya nafsu satu, akal sembilan ujar ustad.
Kini Sigit mengingat nasihat orang tuanya dan ceramah dahulu.
Falsafah perempuan mempunyai sifat nafsu sembilan, akal satu sementara lelaki memiliki nafsu satu, akal sembilan tampaknya benar. Apa yang ia lihat malam ini adalah pencerminan salah satu buktinya.
Perempuan bila telah terkena sentuhan dan buai-buai dari sang pria maka seperti mendapat sebuah tempat naung; senaung duduk di bawah pohon yang rindang. Buai-buai pria itu membuat perlindungan bagi perempuan. Sentuhan membangunkan semua panca indera. Sulit bagi kaum hawa untuk menahan, dan banyak yang larut dalam situasi itu. Larut sekali, kemudian larut terus.
Bukti yang lain ialah, berbentuk dari panca indera penglihatan yang mengahancurkan saraf kepala. Perempuan paling tidak tahan melihat satu benda yang bagus dan sering memandang benda itu dengan satu khayalan berlebihan. Tak jarang sampai terbawa mimpi tentang keinginannya itu. Rasa ingin memiliki terus menggebu-gebu mendobrak batinnya. Andaintak terwujud keinginannya itu, biasanya rasa kecewa akan sulit untuk terlupa hingga berapa hari. Hal ini pas karena nafsu mereka lebih banyak daripada. Nafsu yang cepat larut dalam sebuah potensi keinginan yang sulit diredam.
Laki-laki cenderung lebih mampu menahan nafsu karena berakal sembilan. Mereka mampu mengalihkan sebuah keinginan yang tak terwujud dengan cepat keluar dari penyesalan yang mendalam. Lelaki tak terlalu mengutamakan kehendak. Bila ia inginkan sebuah barang yang bagus, mereka kerap mengaguminya hanya sebatas saja. Bila telah hilang terambil orang, ya sudah; lelaki tidak terlalu sesal.
Lelaki juga mempunyai sifat pantang mundur untuk mendapatkan suatu hal. Tentunya dengan usaha dan bukan keinginan yang terlalu mendahului dari usaha. Bukti yang tampak, terlihat pada pengorbanan besar-besaran dari sang lelaki untuk sang kekasih. Walau terus mendapat penolakan, tapi bila laki-laki itu tergolong laki-laki serius, maka tentu ia akan terus berjuang mengejar cintanya. Sikap lelaki di atas tergolong sikap yang positif. Akan tetapi banyak pula sikap dari falasafah itu yang negatif dari kaum lelaki. Lelaki yang mempunyai watak jahat. Akan berusaha berjuang atas nama kezaliman. Tujuanya adalah kehancuran. Ini karena kepribadian lelaki itu memang telah terbiasa bobrok. Lelaki menjadi mesin judi untuk menemukan kelemahan pasangan melalui perjuangan. Saat perempuan terjatuh karena hal itu laki laki akan menyambut dan menikmatinya sebagai hadiah.
Banyak sudah dijumpai perempuan yang pecah perawan karena terbujuk rayuan dari laki-laki. Bila perempuan itu memang telah rusak terdahulu, mungkin itu bukanlah cerita yang terlalu menarik untuk dibahas. Tapi bagaimana bila yang dirusak adalah gadis baik-baik?. Bagaimana seorang gadis polos dapat dirusak kaum lelaki? Semua kembali pada falsafah.
Paham Sigit dengan asumsinya sendiri. Dia pun berpikir bahwa di antara perempuan-perempuan pelayan tersebut pasti mulanya adalah gadis baik-baik yang lena oleh akal sembilan lelaki. Perempuan sulit mencari penyembuhan dan kerap mevonis cepat tentang sebuah keadaan. Akhirnya karena merasa bahwa telah tercemar, kesalahan itupun kini jadi kebiasaan.
Jalanan Sultan Adam pada tengah malam masih ramai. Ada semacam warung juga ternyata. Dahulu Sigit pernah melewati rute ini bersama Dewie saat mengantarnya ke Banjarmasin. Tapi itu juga kala siang hari.
Sekarang mata Sigit kembali tersita dengan keramaian jalan itu. Tertulis salah satu warung lapangan dengan nama Gardu Gardan. Ia heran?. Warung itu berdiri dari sebuah perkumpulan yang rambutnya gimbal-gimbal dan berperawakan sedikit sangar. Tapi pengunjungnya bukan main padatnya. Tua, muda, semua riuh dalam obrolannya masing-masing.
Lebih tiga puluh orang, mereka tampak duduk di kursi yang dibuat panjang. Ada juga yang percaya diri, dan santai duduk di lesehan. Pengunjung yang datang mayoritas juga terdiri dari kelompok kecil. Kira-kira 5 sampai 10 orang. Ternyata warung tempat begadang. Tempat di mana muda-mudi itu melarung malam. Aneka pemandangan menarik, Sigit lihat bersama sahabatnya itu. Motor mereka terus melaju. Menelusur jalan-jalan remang. Masuk-masuk gang, dengan sekarang si penunjuk jalan bukan Sigit lagi, melainkan temannya yang membalap ke depan menjadi pemandu. Sang pemandu memang telah hapal jalan. Berkelok-kelok kecil jalan yang mereka lewati dan tujuannya memang sengaja mencari perempuan penanti di tepian jalan.
Setengah jam kemudian.
Walaaa..!!!. Perempuan penanti benar-benar mereka dapati di jalan Sudi Mampir.
Terdengar siul-siul nyaring dari belakang dengan maksud menggoda. Sigit dan kawannya yang membonceng pun menengok kemudian tertawa. Motor yang di kendarai salah satu temannya tersebut tertinggal di belakang dengan terus bersiul. Tak dapat dipungkiri bahwa mata sahabatnya itu menjilat pada keseksian perempuan-perempuan di sisi jalanan. Benar-benar seksi cewe Banjarmasin. Membuat hasrat memanas dan ingin lepas terbang mencari ruang pemicu panas itu.
Siulan semakin sering terdengar nyeliwer di telinga Sigit. Ia tersenyum-senyum terus. Tampak menikmati juga ternyata. Perempuan-perempuan dari yang muda sampai yang bermuka janda-janda, banyak berimbun di pinggiran jalan dan warung-warung. Mereka menanti kalong pemakan buah untuk datang mampir.
Sayangnya Sigit bukan kalong yang ditunggu perempuan-perempuan berbusana ketat itu. Ia bersama teman pemboncengnya hanya sehela angin lalu di batasi waktu. Datang menuju seperti arus tak menetap pada satu tempat.
Oooii!!!..,singgah dulu!!! sorak temannya yang di belakang.
Motor Sigit cuek membuat temannya itu mengejarnya. Tampaknya Sigit tak mendengar ucap temannya tadi.
Eh..Enggak mampir dulu ucap temannya sekali lagi dengan beriringan motor .
Motor mereka berhenti di pinggir jalan. Bercakap-cakap sejenak.
Apa kamu punya duit? tegur Sigit.
Hahahahaha!!! temannya tertawa. Kita cari cipika-cipiki saja Bro. Yang gratis-gratis dengan hanya modal gombal sahut teman yang lain.
Ah. Aku malas untuk Singgah? , takut kecanduan terang Sigit.
Ya sudah. Kami singgah sebentar. Kalian berdua silakan keliling lagi, nanti WA saja bila sudah ingin pulang atau datangi ke warung itu."
Oke.kata Sigit.
Mereka pun berpisah.
Sigit bersama temannya yang membonceng melanjutkan survei-surveinya, dan empat temannya tertinggal di tempat itu. Berpora-pora dengan pasangan yang mereka temui.
Di jalan A.Yani yang mereka lalui, cewe-cewe belia sepantar gadis SMA dengan lincah gemulai menyalip. Wuusss!!!!, angin langsung menubruk Sigit dan temannya. Angin itu membawa aroma yang sungguh mengetarkan hawa. Parfum yang gadis-gadis itu gunakan benar-benar membuat celana di bagian tengah Sigit dan kawannya bertambah sesak saja. Liukan pinggul cewe-cewe itu juga tak kalahseksi dengan model berisi di televisi. Mereka menyetir motor dengan posisi badan manja yang memancing mata agar terpaku memandangnya. Memancing jantung agar lebih cepat berdegup dan meobrak-abrik pikiran dengan ilusi-ilusi kotor.
Merambat dini hari kendaraan Sigit mengelilingi berbagai klub, hotel, dan tempat karaoke seputaran kota Banjarmasin.
Eh coba kau lihat itu Git. Sekelompok gadis-gadis dugem tengah asik menjamu malam tangan sahabatnya menunjuk ke arah sebuah mobil hitam yang parkir di pinggiran jalan. Dari dalamnya keluar kiranya empat orang gadis bertubuh binal-binal. Berpakaian tak kalah menantang dan mungkin lebih ekstrem. Mereka ditemani dua pemuda ceking-ceking berkaos hitam, celana levis dengan sepatu seperti sepatu rockers. Tertawa-tawa kedua pemuda itu. Salah satu pemuda begitu nyentrik penampilannya.
Iya kau benar mata Sigit mengamati.
Cewe-cewe kota Git, serasa ingin larut juga aku, hahahahaha kata temannya .
Husstt!!!!...sadar Bro.
Eh itu kok yang berkaos hijau seperti aku kenal? kata Sigit dengan reflek menunjuk seseorang gadis dalam kelompok dugem itu.
Motor singgah di tepian jalan. Di bahu jalan itu terdapat penjual pentol. Mereka berdua mengamati sambil mendekati jualan itu.
Yang mana. Yang dadanya paling besar itu bukan? tanya sahabatnya sembari senyum-senyum.
Diam sejenak Sigit. Berpikir-pikir sambil mengamati dengan saksama perempuan yang ia lihat itu.
Ah bukan? Nada Sigit seperti tidak jadi membahas. "Mungkin aku salah lihat? terang Sigit mengecoh pembicaraan.
Ah..rabun sudah matamu itu balas temannya sambil asik mencucuk pentol. Tak begitu peduli tampaknya teman Sigit itu.
Sigit memang sengaja mengelakkan pembicaraan. Ia seperti melihat Dewie tadi. Tapi tak mungkin rasanya gadis seperti Dewie keluyuran liar jam segini.
Malam itu Sigit sengaja mengajak temannya untuk berlama-lama duduk di pinggir trotoar jalan. Berharap akan melihat perempuan yang mirip Dewie tadi. Tapi sampai sekitar jam 3 lewat, perempuan yang mirip Dewie itu tak jua keluar dari diskotik. Sama sekali tak muncul batang hidungnya.
Teman Sigit bosan. Aduh!!!, sudah jam 3 lewat Git. Teman kita yang menunggu di Sudi Mampir juga sudah ngimprit. Aku benar-benar ngantuk banget Git. Ayo kita pulang, apa sih yang kamu jaga? keluh sahabatnya.
Ah..!!! tidak, tadinya aku hanya ingin melihat-lihat lagi bagaimana cewe-cewe Banjarmasin. Belum puas aku" kata Sigit sambil menaik-naikkan alis dan tertawa.
Ayo kita pulang? ajak Sigit kemudian.
Yah seperti ini saja Git. Tidak ada yang parah lagi jawab temannya.
Bila ingin melihat yang lebih panas? Coba saja masuk ke dalam sana. Pasti tahu? lanjutnya lagi.
Berapa masuk kesana? tanya Sigit kembali.
Kali ini tanya Sigit diikuti bunyi slengeran motor, dan temannya segera memburu terus duduk di belakangnya.
Tidak tahu pasti aku Git. Bawa saja setengah juta. Mungkin masih sisa kalau cuma lihat-lihat. Tapi kalau ingin berbicara dengan salah satu cewe-cewe klub itu. Ya tidak mustahil bahkan mungkin 2 juta pun akan habis dalam semalam jelas kawannya.
*
Kenalkan nama saya Hendra? ucap seorang lelaki tambun berumur 50an. Laki-laki itu mengayunkan tangan kananya untuk menangkap balasan.
Dewie Om? sambil menjabat tangan. Kini berentak-rentakan kedua tangan itu.
Keduanya ngobrol asik malam itu sambil minum-minum Wiskhey. Mata si pria tua tak pernah lepas dari pusat daging yang menonjol lewat jalur. Gumpalan-gumpalan ranum membuat benih lelaki itu bertetes tak terasa. Om Hendra berbicara, memuji, merayu, dan membujuk. Dewie pun melawanya dan menyetujuinya.
Kamar hotel bernomor 7 menjadi tempat peraduan mereka berdua. Kasur yang empuk seperti beludru menjadi saksi diam. Juga gagang pintu, lemari, dan lampu-lampu. Semuanya bisu.
Hendra melepas jas hitamnya.
Di meja sudah tertata segala tablet berjenis Viagra dan pil kobra. Tertata apik dan berapa butir telah diteguk masuk ke perut. Pikirnya itulah dewa penyelamatnya. Rokok klobot cerutu sudah ia padamkan apinya. Om Hendra mulai duduk di atas kasur dengan kini tiada berbusana. Gendut, pucat bergelambir perutnya termakan usia. Mungkin juga perutnya yang membuncit besar itu karena terlalu terisi minuman keras dan harta yang tak berlabel halal.
Sepuluh menit kemudian Dewie keluar ruangan lalu kembali lagi kekerumunan dugem. Ia tinggalkan om Hendra yang terkapar puas.
Cih! Bangkong tua, gumam Dewie geli. Di sebuah kursi dekat bartender Dewie tata lagi lembaran merah-merah itu seperti menyesak ruang dompetnya. Ia apik menata dan menyusun.
*
Jurang yang Dalam
Suatu malam larut di Banjarmasin, depan diskotik. Sebuah mobil Avanza hitam berhenti dan dari dalamnya keluarlah beberapa muda-mudi ingin berpesta.
Tiba-tiba.
Tunggu!!!!, kamu Dewie bukan!! ucap pemuda dengan suara keras seraya tangannya memegang erat lengan perempuan itu.
Terkejut bukan main Dewie. Matanya tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sigittt!! batinnya.
"Wie kenapa kelakuanmu seperti ini!. Kemasukan setan mana kamu Wie! katanya tajam menekan dengan cengkraman yang belum ia lepaskan.
Dewie tertekan. Tidak ingin ketahuan buru-buru ia berontak.
Lepas!!. Lepas kataku!!!!, jangan sok kenal kamu!!! bentaknya.
Iya jangan sok kenal!!! bantu Rhiena dengan juga membentak.
Lepas Broo!!! teriak teman pria Dewie.
Lepas!!!.. Ku bilang!!!, atau ku hajar kau!!! ancamnya lagi.
Sigit tak peduli,
Wie..! sudah jangan seperti ini lagi!. Tidak kasihankah kamu dengan Ibumu!. Dia menunggu di rumah dengan doa-doa selamat untukmu!! kata Sigit.
Kau ini siapa!!. Jangan sok kenal!!!. Jangan sok tahu kehidupanku!!! ...Lepaskan kataku!! hardiknya dengan memberontak.
Bukkkk!!!!!!
Satu jotosan keras menghantam rahang kanan Sigit. Terhuyung ambruk ke sudut trotoar, ia lepaskan cengkramannya. Dua orang lagi datang menghampirinya. Mereka cengkram bahu dan perut Sigit. Berontak Sigit berusaha lepas.
Kurang ajar!!!... Sok kenal!!!!!. Suka ganggu orang!!!.
Bukkkk!!!!!. Bukkkkk!!!...Bukkkkk!!!!. jotosan lagi mengarah ke rahang kiri. Kepala dan perut. Berdarah mulut Sigit.
Dua orang tadi segera menjungkangkan Sigit. Sigit ambruk lagi. Masih tiga pemuda itu memburu dan tanpa ampun menyepak-nyepak perutnya. Mereka injak. Mereka tendang!!!.Buta memang, bila seseorang telah teracuni pikirannya oleh alkohol, hingga nurani pun sungguh tertutup angkara yang meledak-ledak.
Berdarah terkapar Sigit. Miring tubuhnya. Terasa pening sangat. Berpusing sekitarnya dan lemas. Coba bangun lagi Sigit dengan ceceran darah merembes jatuh di trotoar. Jatuh dari hidung dan mulutnya.
Wie? panggil Sigit tersengal-sengal.
Aku yakin kamu Dewie yang kuantar dulu. Dewie satu kampung denganku.
Sudahku bilang aku bukan Dewie!!. Namaku Nia!!! elaknya sambil sama sekali tak berani menatap mata Sigit, hanya sebatas badan saja tatapan Dewie.
Dewie sungguh kasihan melihat Sigit. Tak tega ia, tapi enggan juga ia mengaku.
Sigit tentu akan membeberkan kelakuanku bila aku mengaku dan berujung malu di mata orang tua di kampungku,itulah pikiran Dewie.
Bro!!! bentak salah seorang pemuda yang masih mendidih darahnya.
"Lebih baik kau pulang!! Kau salah orang!!!.
Sigit bergeming. Tak juga takut beradu pandang dengan mereka bertiga. Dia hanya berdiri sambil tangan kanannya memegang perut. Ia kemudian menatap tajam muka Dewie yag tak berani membalas tatapannya.
Sudah sana pulang!!!!! hardik seorang pemuda dengan mencoba merangsek menyerang Sigit lagi.
Sudah!!!!..Sudah!!!.. Hoy!!!!.. Sudah!!! teriak seorang pemuda yang langsung menghalang tubuh kawannya yang marah itu.
Sudah Boy!!!!..Sudah!!! cobanya meredam amarah sahabatnya.
Tidak takut berkelahi sebenarnya Sigit. Sakit, bila telah tenggelam dalam angkara, seibarat sengatan nyamuk di tidurnya yang buta. Tak berbekas. Tak terasa. Terus Sigit tatap Dewie yang masih tak berani menatap balik ia. Tiba-tiba Sigit menangis.
Tak tega, Dewie pun bergegas meninggalkan Sigit. Masuk ke dalam diskotik. Dikawal teman-temannya. Tiga orang pemuda berjalan mengiring Dewie dengan mulut cengegesan. Tak tahu pemuda-pemuda itu jika Sigit sedih lantaran kelakuan orang yang dikuliahkan mati-matian ibu bapaknya ternyata melacur begini.
Geram benar Sigit. Tapi ia tahan-tahan dan hanya mampu menghujat pemuda-pemuda itu dalam hatinya.
"Pemuda yang hanya mampu meminta jajan pada orang tua!. Pemuda yang merepotkan!!. Yang manja!!!, dan hanya menjadi beban!. Mereka tak tahu bagaimana hidup yang sebenarnya, yang bekerja dengan berderaian keringat. Mereka hanya parasit!!!.
Dalam diskotik, sebenarnya teman-temannya membenarkan bila memang pemuda tadi itu adalah kenalan Dewie. Mereka sadar Dewie tak ingin diketahui identitasnya. Teman-temnnya hanya sebatas membantu menutup. Menutup alibi seseorang.
Siapa pemuda tadi Wie, kenapa ia paksa-paksa kamu? tanyanya.
Itu Sigit. Orang yang mengantarku ngekos di Banjarmasin. Tepatnya itu pemuda satu kampung denganku yang membatuku untuk kuliah di sini jelasnya. Aku sengaja tak mau mengaku, sebab pasti gawat bila sampai aku ketahuan. Syukur kalian paham? lanjutnya.
Santai saja Wie ucap salah satu teman prianya. Kami sudah paham walau tak tahu asal usulnya. Bagi kita . Satu community itu harus saling tolong-menolong sambungnya lagi.
Iya terima kasih cuy balas Dewie.
Mereka pun kemudian masuk ke dalam diskotik. Teman-temannya melupakan kejadian awal tadi. Tapi tidak untuk Dewie pribadi. Harap-harap cemas bergelantungan seperti lintah menyiksa pikirnya.
Bagaimana bila nanti Sigit mengadukan hal ini keorang rumah?. Mati aku. Harus bagaimana aku, batin cemas hatinya.
Pulang dari dugem, Dewie kelojotan terbayang khawatir yang mendalam. Temannya benar telah mencoba melipur laranya. Namun tetap saja cemas masih menggigit darah saraf-sarafnya serupa pecot.
Kenapa Bro, benjol-benjol mukamu tanya teman yang tidur di samping Sigit tengah malam itu.
Ah tidak aku tadi terjatuh di A.Yani. Motorku masuk got! .Ngatuk mungkin aku ucapnya sembari cengar-cengir.
Ditanggalkan baju Sigit dan sejenak berebah lah ia.
Tak mungkin itu bekas jatuh!!, warnanya biru lebam?. Pasti bekas pukulan!. Nyopet di mana kau Git canda kawannya.
Ah kau ini?. Jatuh kataku, jawabnya tak peduli dan langsung diam hening dengan tidak mendengarkan kata-kata temannya lagi.
Berpura tidur Sigit. Padahal sungguh ia tak dapat tidur. Hatinya tercabik-cabik dengan apa yang ia lihat malam barusan. Banjarmasin benar-benar jahat menurutnya. Membawa temannya sesat dalam alam glamour maksiat. Kasian Ibunya yang ia dustai, pikir Sigit. Merembang mata Sigit malam itu.
Pagi-pagi teman-teman Sigit sudah menggrubung. Solidaritas menjadi peran utama.
"Siapa yang menggincuimu malam tadi Git! tanya salah seorang temannya. Ah tidak ada kataku?. Aku cuma jatuh.
"Git tidak usah takut atau khawatir. Kami siap membantu bila memang kau butuhkan. Itu aku yakin bekas hantaman!!! menunjuk muka Sigit yang semakin bengkak.
Sigit hanya diam masih tidak peduli.
Teman-temanya itupun lama-lama, sudah asik dengan cerita sendiri-sendiri dan pergi bekerja lagi. Sigit juga ikut bekerja.
*
Sore seperti biasa Dewie duduk sambil membaca-baca buku di beranda depan kosnya. Seminggu lagi ujian. Tak berasa ia sudah semester 7, dekat lagi untuk lulus dari kuliah.
Tit..tit..tit..tit...tit!!!!!! bunyi pesan WA menyela kosentrasinya. Tanpa komando dari otak, tangan itu sudah merambat reflek mengambil ponselnya yang tergeletak di kiri tempat duduknya.
Sigit? ia membaca nama pengirimnya.
Dewie buka pesan itu dengan sedikit was-was. Pikirannya langsung terhujam pada kejadian kemarin malam. Tak biasa lagi Sigit menengoknyandan entah pesan apa yang akan ia sampaikan kali ini.
Sejenak layar Handphone itu pun telah berisi pesan.
Assallamuallaikum.. Dewie bagaimana kabarmu?, semoga engkau baik-baik saja. Wie, aku bukanlah lelaki buta yang tak mengenal siapa yang ku kenal. Apalagi bila orang itu adalah orang yang pernah aku cinta. Bahkan sampai sekarang pun, entah kenapa kau tetap jadi hal istimewa dalam pikiranku. Wie, bila engkau masih Dewie yang kukenal, aku mohon hentikan kebiasaanmu yang mudarat itu. Kau anak baik-baik Wi. Tempatmu bukan berkumpul bersama mereka!!.
Dewie tertegun. Berpikir ia untuk mencari balasan yang tepat .Bagaimana ini? Haruskah aku mengaku. Ia tak tahu masalahku. Tak mengerti dia?. Haruskah aku marah.
Tekanan-tekanan lembut kemudian dilancarkan jari-jarinya. Tatapnnya tajam. Kini, tak tergubris lagi buku bacaan itu.
Kamu ini bicara apa toh Git?, mabuk yah. Macam-macam saja. Emang aku kenapa. Oh iya, terima kasih sampai sekarang aku tetap menjadi orang yang kamu sayang dan ingin kamu jaga. Tapi tulisan terakhir itu aku kurang paham. Ada apa sih Git?"
Hening dan lama tak ada balasan. Mungkin Sigit menyerah dan memang ia merasa salah orang, duga Dewie agar lega pikirannya.
Terus Dewie tunggu balasan Sigit, tapi tetap tak ada. Lega sekali dia mampu mengelabuhi Sigit. Tapi juga ia minta maaf untuk itu semua. Maaf yang tak mungkin disampaiakn lewat peraduan pandang atau peraduan suara. Hanya angin yang mendengar ucapan maaf Dewie.
Beranjak dari kursi, Dewie lalu berdiri dengan kedua tangan bertopang pada pagar kos.
Ia lancarkan pandangannya keluar. Tidak lagi fokus ke layar Handphone, apalagi buku pelajaran. Pandangannya lepas jauh menuju rumah-rumah, menuju tower, menuju rerimbunan pohon, awan, dan langit. Jauh ia pandang lepas-lepas.
Maafkan aku Git, kau tak paham bila terjerat dosa seperti aku. Semua berawal dari aku. Dan inginku akhiri dengan aku sendiri. Penyesalan hanya membuat keadaan semakin sempit. Dulu-dulu sudah lalu dan batas-batas pun sudah kulangkahi. Apa lagi yang harus kembali. Kembali juga sudah tiada berarti. Kau suruh aku kembali. Dengan apa? Dengan semua aib ini? Dengan semua hinaku ini? Agaknya kau tak mengerti, bagaimana keluarga kami tecerca. Dan dengan pengakuanku ini. Tahankah aku bila melihat mereka berdua menagis mati dengan segala kenyataan yang mereka terima nanti. Biarlah sudah!!!. Ku pendam sendiri dan kucoba perbaiki sendiri!, lamunanya.
Tiba-tiba ia berhenti melamun.
Dewie merasakan sesuatu yang memuakkan mendorong semua inderanya. Kepalanya pusing hebat. Bergoyang tempat itu di penglihatannya. Kabur dan terlihat menjadi dua semua yang ia tatap. Masih bergoyang pandangannya ia berusaha kokoh tetap bertahan. Bergumul-gumul membulat-bulat tekanan rasa itu, seperti pukulan menyeruak naik dari dalam perutnya. Menekan dengan deras bukan seperti riak-riak air, melainkan laksana gelombang bah. Ia berbalik badan dengan pinggul kini jadi penopang menempel pagar. Coba ia tutup mulutnya dengan satu tangan sedang tangan lain memeluk perutnya.
Sekonyong-konyong tak tahan lagi ia.
Uuuueeeeeekkkk...Uuuueeeekkk!!!!! lantai itu lalu terhambur sari-sari seperti bubur bekas gilingan yang belum sempurna.
Terdengar kedalam kos. Rhiena yang sedang nonton TV pun kaget dan segera memburu keruang tempat suara itu.
Rhiena berlari secepat mungkin dan berusaha melupakan lemak tubuhnya agar segera tahu apa yang terjadi.
Kenapa kamu Wie!! tanyanya kuatir, ketika melihat Dewie sudah terduduk lesu bersandar pagar.
"Tak tahu aku? jawabnya lemas. Rhiena segera membopoh temannya untuk berdiri lalu membawanya masuk kedalam kamar. Pandangannya masih kabur dan perutnya sesekali masih mual-mual.
Kamu positif Wie? jelas Rhiena yang melihat tanda-tanda dari tespeck yang ada di kamarnya.
Maksudmu Rhien? tanyanya dengan mimik cemas.
Iya. Ada orok dalam perutmu, lihat saja tandanya? memberikan tespeck itu kepada Dewie.
Dewie terdiam melongo tak percaya. Kenapa aku tak dapat membaca hal ini? Kenapa jadi seperti ini, ucap batinnya mengelak.
Apa kamu sering berhubungan tanpa kondom? tanya Rhiena.
Seingatku tidak?, aku selalu berhubungan memakai kondom. Tak ingin aku kecolongan bantahnya.
Tapi lihatlah sekarang?, ada janin di perutmu, sulit dipahami kata Rhiena menggeleng-geleng.
Dewie mengingat-ingat, kejadian-kejadian kencannya akhir-akhir ini. Tidak ada yang tak memakai pengaman. Semuanya wajib memakai kondom.
Tapi??...Ya.. mungkin itu! Mungkin?. Ah sial!, gejolak batinnya mulai mendidih.
Pernah sebulan lalu aku mabuk berat Rhien, kau pasti tak ingat, karena kala itu, kau hanya menceracau tak karuan dan aku tak sadarkan diri di mobil. Mungkinkah mereka yang usil berbuat demikian? Dewie mengingat-ingat.
Mereka?. Masa mereka?. Teman kita sendiri? kata Rhiena, menyudutkan semua praduga kepada dua teman komunitasnya.
Bisa saja Rhien, sebab aku merasakan sesuatu meraba dan masuk, tapi aku mabuk berat hingga aku tak peduli?.
Binatang!!!. hujat Rhiena. Mungkin benar katamu!! Tapi kenapa mereka begitu tolol melakukan itu tanpa gunakan kondom!! lanjutnya dengan raut muka geram.
Aku yakin?. Mereka pun tengah mabuk berat juga, hingga tak mereka amati apa tingkahnya itu terang Dewie lagi. Mereka berdua terus bercakap-cakap dalam kamar itu. Menghujat-hujat rekannya satu community. Menghujat kecerobohan mereka.
Tapi sebelumnya?. Apakah kamu tak merasakan sebuah firasat akan terjadinya hal begini? tanya Rhiena. Tidakkah kamu pernah telat?? katanya lagi.
Dari SMA memang aku sering dalam setahun itu telat, sampai sekarang pun aku biasa telat, entah mungkin bawaan lahir. Tiga hari lalu aku telat, tapi toh itu tak buat aku gelisah. Ternyata sekarang malah begini." Rhiena ikut menatap perut Dewie juga. Ia masih jengkel, dan ingin sekali menjambak-jambak rambut dua orang teman prianya itu.
Setelah lama membahas, dan bercakap-cakap lagi maka diambillah keputusan untuk segera menggugurkan janin Dewie. Daripada ia lahir bakal membuat hidupnya malu, asumsi Rhiena. Dan dititik ini, sungguh Dewie benar-benar merasa kacau lagi. Ia semakin ambruk dalam kenistaan. Ambruk, dan semakin jauh melewati batas-batas.
Tengah malam kemudian, kedua teman komunitasnya benar-benar diamuk Rhiena dalam pertemuan mereka di sebuah taman.
Kocak!!!. Otak ditaruh didengkul!!!.
"Plakk!!!!!..Plaaakk!!!!! Plakkkkk!!!...Plaakkk!!! tangan kanannya menampar pedas pipi mereka secara bergantian.
Benar-benar Rhiena itu berani dengan laki-laki, gumam Dewie yang sedikit ngeri. Tak hanya terbiasa bicara kotor, tapi berani pula melawan, bahkan menyiksa. Babak belur pipi, rambut bahkan kemaluan mereka ditampar dan ditendang Rhiena. Kesakitan keduanya, tanpa ingin melawan dan hanya coba terus menenangkan angkara Rhiena.
Kedua temannya memang merasa bersalah. Khilaf? akui salah satu teman pria itu. Meski brutal, mereka menerima amukan Rhiena, tapi tetap solidaritas is solidaritas. Mereka berdua masih sepakat membantu urunan untuk mengaborsi janin Dewie.
*
Seribu hujat Dewie layangkan untuk kesekian kali, untuk dirinya yang telah bobrok. Betapa dosa telah lama ia lakoni. Betapa seringnya ia dustai kedua orang tuanya dengan semua sikap serta tutur kata yang abstrak.
Dewi memegangi perutnya yang masih nyeri. Seminggu lalu Dewie telah berbuat anarkis pada darah dagingnya. Bejat nian kelakuannya itu. Dahulu ketika ia kecil, ia selalu mencaci-maki setiap berita kriminal yang ditontonnya di televisi. Terutama berita tentang seorang ibu yang tega menggugurkan atau membuang anak kandungnya sendiri. Dia sumpah-sumpah, dan marah-marahi dengan hidung yang terangkat serta pipi bergetar-getar menahan geram.
Sekarang, ia malu berkepanjangan. Tokoh sikap laknat itu seperti merasuk sukmanya. Mewariskan semua perangai setannya. Zionis dan amoral. Seorang clepto!. Seorang psikopat!. Yang tega bunuh darah dagingnya sendiri.
Nglamun lagi Wie? Rhiena menegur.
Rhiena siang itu sudah selesai mandi dan ingin menjemur baju-baju dalamnya di beranda kos. Kebiasan buruk anak kos-kosan yang senang jemur baju di padang umum. Rhiena melihat Dewie bermuka muram lagi. Ia datang dan duduk bersamanya memberinya motivasi.
Aku ini benar-benar tergolong anak zalim. Anak yang durhaka? keluh Dewie.
Kenapa kamu berkata seperti itu?.
"Iya sahut Dewie sambil menoleh ke Rhiena. Kelakuan menggugurkan janin itu. Bahkan binatang pun tak pernah berbuat demikian. Banyak orang di luaran sana yang berharap hadirnya buah hati. Tapi kenapa?, seperti aku kemasukan iblis yang tega memusnahkan anakku sendiri."
Lalu? ujar Rhiena. Jika tidak kau gugurkan, kau mau apakan?. Mau merawat?. Apakah mungkin orang tuamu di rumah dapat tahan jatung, bila mengetahui kau punya anak tanpa ikatan perkawinan! serang Rhiena.
Semakin lemah hati Dewie terkatung-katung antara teguh atau putus asa. Ia tertunduk. Masih menangis.
Tiba tiba Rhiena memeluk Dewie. Lihat dirimu Wie, kau masih muda. Panjang jalan untuk merubah takdir dengan kemenangan matanya ikut menangis, memberi Dewie motivasi.
Aku lebuh rusak darimu?, tapi aku masih ingin bahagiakn orang tuaku nanti. Dosa kita akan kita tebus sama-sama. Kita tanggung sendiri tanpa ikut campurkan mereka berdua. Toh selama sebelum tidur kita selalu berdoa, pasti bila kita matipun yang penting kita sudah menyebut asma Tuhan. Tenang juga roh kita anggapnya.
Entahlah...serasa tobatpun pasti bakal tak diterima. Lebih baik tubuh ini beradu dengan Truk saja ucap Dewie lirih.
Rhiena menengok tajam.
Rhiena lepas rangkulannya, dan sesaat kemudian ia angkat muka Dewie yang tertunduk lesu. Ia plototi raut wajah Dewie. Benar-benar pucat hilang riang. Hilang percaya diri.
Sadar Wie!! sentaknya. Apa ucapmu tadi!! matanya melotot. Kau ingin berbuat seperti itu?. Pasrah dan jatuh ke neraka. Kekal abadi!!!, dan biarkan orang tuamu mati perlahan dicekik kesedihan!!!...Jangan bodoh!!! bentaknya lagi.
Dewie terisak-isak terus.
Rhiena tak tega, dan karena naluri wanita yang mudah tersentuh, ia pun memeluk Dewie dengan erat lagi.
Jangan pernah berpikir pendek seperti itu. Tuhan pasti menerima tobat kita, dan membiarkan kita memperbaiki keadaan sebelum bertobat. Karena Tuhan itu Maha Mengerti!! nasihatnya.
Menggigil badan Dewie. Terasa sekali gigilannya oleh Rhiena. Sahabatnya paham temannya memang lemah hati. Benar-benar lemah hati. Tapi bukan kepasrahan yang hendak ia baca dari raut mukanya. Rhiena ingin Dewie bangkit lagi. Percaya walau sesusah keadaan pasti Tuhan bakal menolong meringankannya, dan paham dengan membuka seribu pintu tobat-Nya.
Siang itu di beranda depan yang dinaungi atap genteng dan gantungan kain jemuran. Pada hari di mana tidak ada mata kuliah, Rhiena terus menyuportnya hingga Dewie benar-benar menemukan titik semangatnya.
*
Selesai kamat Isa. Sigit dan temannya yang ikut membonceng motornya dulu ketika jalan-jalan tengah malam bersamanya, sedang serius berbincang-bincang. Mereka berdua duduk di atas kasur sambil berokok.
Mimik wajah keduanya benar-benar tajam. Membicarakan sebuah topik yang penting. Sigit menjadi dalang malam itu. Ia banyak bercerita tentang sebuah rencana. Rencana kotor bersama temannya. Rencana terperinci. Detail. Bertahap dan masak. Rencana yang akan membuat kartu As untuknya. Untuk masa depannya.
*
Mendung
Musim penghujan datang untuk kesekian kali. Hujannya berjatuhan membawa perubahan demi perubahan. Pohon-pohon karet dan jambu mulai bersemi lagi. Sebelumnya mereka hampir mati. Hampir rapuh dahan-dahannya dihantam panas kemarau dan serangan semut. Sungai yang kering karena musim kemarau telah terisi air lagi. Ikan-ikan yang hilang pun secara ajaib ada di kolam yang semula kering tersebut.
Perubahan keadaan juga perputaran waktu dan saat ini, waktu sudah bersahabat dengan mereka berdua. Tahap pertama tentang langkah Dewie untuk keluar dari STIGARAYA kini hanya tinggal hitungan hari. Perjuangan panjang ibu dan ayahnya, terutama sang Bu yang mati-matian mencari dana untuk kuliah Dewie pun akan berakhir.
Tepatnya sehari lagi Dewie Wisuda. Tinggal memikirkan tentang Yudisium saja, kemudian kuliah Dewie benar-benar rampung. Di dalam kos pun, pakaian-pakaian Dewie telah mulai habis, juga barang-barangnya. Tepatnya seminggu lalu, Dewie sudah mulai beres-beres kos. Mengangkut hampir semua pakaian dan peralatan masaknya dengan Pickup, untuk dibawa pulang ke rumah.
Pagi itu mereka berdua bingung mengenai baju mana yang harus dipakai dalam acara. Pak Darwis ingin pakai jas dan Bu Sumarni ingin pakai kebaya. Tapi salah lagi usul masing-masing itu.
Dalam kamar, mereka saling menilai.
Tidak pantas pakai jas?. Badan bapak hitam kok pake jas guyon isterinya sambil tertawa-tawa saat melihat Pak Darwis mengenakan jas.
Ah..kaya kamu ini putih saja sahutnya sedikit jengkel, namun tetap dalam situasi senda gurau.
Bapak itu pakai batik saja, lebih luwes. Kalau pakai jas sudah mirip wayang kulit. Bapak itu wayang yang hanya kelihatan tulang. Jadi gak cocok benar pak, jika pakai jas."
Iya...iya jawab Pak Darwis, sambil melepas jas yang dipinjam tetangga, lalu mencoba memakai batik yang sebelumnya telah ditukar isterinya.
"Nah..,kalau pakai itu kan lebih rapi. Terus tinggal pakai peci? puji isterinya.
Pak Darwis senyum-senyum di depan kaca lemari ketika melihat penampilannya yang berbusana batik. Jarang-jarang ia ditukarkan batik selama Dewie berkuliah. Uang tetap dikirim untuk Dewie, walau akui Dewie ia telah memiliki pekerjaan sendiri. Tapi toh, pesangon dari orang tua tetap mereka selip-selipkan di saku-saku Dewie tanpa ia sadari dan baru tersadar ketika telah sampai di kosannya. Orang tua cukup dengan pakaian seadanya dan makanan seadanya. Semua ikhlas mereka korbankan semata-mata untuk perubahan keadaan putrinya.
Nah coba sekarang gantian aku lagi yang pakai kebaya? bujuk suaminya.
Bu Sumarni menurut. Dia kenakan kebaya cokelat barunya yang juga dibeli bersamaan dengan batik suaminya. Bagaimana pak? katanya meminta pendapat. Badan ibu juga kekurusan?. Kebayannya kebesaran?. Tapi tetep cakep kok Bu. Cakep di mata Bapak puji suaminya.
Bu Sumarni sedikit manyun-manyun malu, mendengar pujian juga pendapat suaminya. Ya sudah?, besok pagi Bu tak kecilkan baju ini di pasar Senin. Ibu punya langganan jahitan di sana, sekaligus menjual sayur-sayur itu. Lumayan pak, buat tambah-tambah sangu ujar Bu Sumarni.
Lho..,apa sempat Bu, Dewie acaranya jam 10an. Ibu pulang kesini saja nanti jam berapa?, apa tidak terlambat bila pergi ke Banjarmasin.
Yo..caranya toh Pak?" Wajahnya binar-binar ingin menjelaskan. Bapak kan tau pasar Senin itu di mana. Nanti bapak cari ojek saja dua motor. Bapak tunggu saja di depan pasar, lapak ibu dekat juga kok dari jalan masuk pasar itu, Bapak tinggal cari lalu mengikuti jalan masuk, nanti ketemu juga. Nah kita langsung berangkat mulai sana. Jadi tidak telambat terang Bu Sumarni sambil tangannya melipat-lipat baju kebaya juga batik yang sudah ditaggalkan suaminya.
Ibu tidak mandi? raut Pak Darwis serius dengan bibirnya sedikit manyun.
.Di pal 25 itu ada Wc umum. Mandi yang penting basah dan tidak bau kan sudah cukup?. Nggak sampai 3 menit."
Ya sudah..?, bagaimana baiknya Bu saja. Nanti sore ku coba cari ojekan di seberang kali, buat mengantar kita ke Banjarmasin" ucap Pak Darwis menerima keinginan isterinya.
Iya pak, sekitar jam 7an saja berangkatnya. Lewat sawah kita itu lho pak, jalannya biar rusak karena hujan, tapi masih bisa bila dilalui kendaraan?. Kalau lewat H.Gardu, jalannya pasti lengket sarannya.
Iya Bu."
*
Wah..tak terasa kita sudah mau lulus ya Wie? kata Rhiena saat duduk-duduk bersama Dewie dan menonton acara pagi di televisi.
Iya, tidak kerasa waktu. Orang tuamu datang Rhien?. Dewi menengok ke arah Rhiena yang matanya membelalak melihat TV.
"Mereka pasti datang, walau jauh dari Sungai Gampa sana, namanya juga orang tua?, masa tidak mau datang di cara anaknya? timpal Rhiena mengambil gelas yang berisi kopi susu.
Sruuuuppp...sruupp!!! Ahhh!!!.
Kalau orang tuamu sendiri? tanya balik Rhiena.
"Ya..,mereka datang, tapi tak pasti jam berapa. Paling sekarang mereka masih bingung memilih baju. Rencananya nanti, kepengennya aku membawa mereka berdua melihat-lihat masjid Sabilal?
"Hahahaha...kenapa jadi kamu lihatkan ke situ?. Lebih baik dibawa jalan ke tempat wisata saja. .Biar pikian mereka bedua refresh" saran Rhiena.
"Bagaimana lagi? Ibuku ngebet banget pengen melihat Sabilal. Selama ini ibuku hanya bisa melihatnya di televisi.
Sebelum-sebelumnya apa tidak pernah kamu ajak Ibumu ke Banjarmasin sini?.
Pernah, sering juga aku ajak mereka berdua ke sini. Tapi tidak mau?, katanya kalau kesana sayang pekerjaan tertinggal, dan juga biaya lagi."
"Orang tuamu perhitungan ternyata nilai Rhiena mengangguk dan menyeropot kopi susunya lagi.
Sruup..sruuup...!!! Ahhh!!.
Bukan begitu? sanggah Dewie. Kalau ku runut sendiri, dari bagaimana mereka mati-matian mencari dana buat kuliahku?, aku paham. Mereka tak mau kesini lantaran mereka tak ingin menyia-nyiakan waktu, itu saja."
Tapi kamu mulai semester 4 juga telah membantu perekonomian mereka? gantian sanggah Rhiena.
"Benar? datar nadanya. Aku sering bilang pula, bila kerjaanku telah mapan di sini?. Tapi tetap saja aku selalu menemukan uang jajan lebih di tas dan kadang di kantong celana, tanpa aku sadar. Memang unik yang namanya orang tua. Sama sekali tak percaya dengan ucapan anaknya dan lebih mengutamakan naluri mereka. Salut aku puji Dewie.
'Begitulah orang tua sahut Rhiena.
Selain itu sambung Dewie lagi. Orang tuaku juga berargumen bahwa jalanku masih panjang. Aku masih membutuhkan lebih besar biaya lagi untuk jadi pegawai nanti. Lebih 30an juta mungkin. Itu juga salah satu sebabnya mengapa mereka tidak mau ku bawa kesini bila tidak ada urusan penting.
Memang benar katamu Rhiena membenarkan. Setelah kita keluar dari STIGARAYA ini, pasti kita akan membutuhkan biaya yang lebih besar lagi. Inilah hidup yang harus kita jalani. Yang pintar belum tentu menang melawan yang bodoh, zaman sekarang kebanyakan pakai pelicin untuk menyukseskan segala urusan. Itulah kenyataannya.
Rhiena tak lagi menyeropot minumannya, mungkin telah dingin. Kini ia asik menotok-notok dengkulnya seperti orang yang memainkan ketipung.
Dari dahulu juga memang hal seperti itu telah jadi tradisi. Budaya kotor menurutku" jelas Dewie.
Bagaimana tidak kotor? lanjutnya. Kasian yang ingin menjadi pegawai priofesional, seperti penjelasan dosen kita pipinya menengok cepat kekiri jauh, seperti menunujuk sesuatu.
"Bukankah beliau berkoar-koar meledek pegawai yang mengajar memakai teknik lampau dan menyuruh agar kita, sebagai pegawai masa depan harus menggunakan metode dan sikap keprofesionalan dalam mengemban tugas sebagai seorang pembimbing?. Tapi fakta yang bicara berlainan protes Dewie.
Pernah aku ikut seminar, yang topiknya membahas posisi pendidikan di Indonesia ini yang sangat jauh tertinggal di mata dunia, bahkan dengan negara tetanggapun telah tertinggal. Tak ingat aku Indonesia menempati urutan yang ke berapa. Nah yang menjadi permasalahan di situ katanya adalah, kurangnya guru Indonesia yang menguasai teknik atau cara jitu untuk meningkatkan kualitas belajar siswa-siswanya, yang pada akhirnya membuat mereka memakai cara lama dalam mengajar. Ujungnya berimbas pada melorotnya mutu pendidikan di Indonesia. Itu sih kata para pakar penyaji seminar itu. Apa benar pendapat seperti itu Rhien? tanya Dewie.
Rhiena menggeleng tidak tahu. Ia sadar juga, bila tanya itu hanya sekedar pengalih untuk mengambil nafas panjang. Dan akan dijawab temannya sendiri.
Penyelesaian seperti itu kurang tepat menurutku. Tidak kena sasaran. Permasalahannya bukan pada teknik apa untuk meningkatkan mutu pendidikan siswa. sebenarnya itu tahapan kedua, bukan untuk tahapan pertama. Tahapan yang lebih dini seyogyanya ada pada penyaringan yang benar-benar jurdil pada tes PNS. Sehingga calon guru yang lulus itu benar-benar calon guru yang bermutu, dan punya niat memajukan pendidikan bangsa. Memang" Muka Dewie sedikit menggeleng-geleng " Pada hakikatnya semua ingin menjadi guru juga, lantaran gajih yang diterima itu lumayan. Tapi alangkah bagusnya?, bila dalam test PNS itu, permainan sodor-sodoran amplop tidak jadi tradisi lagi" nerocos Dewie berpendapat.
Menurutku? hela nafasnya lagi dan ingin menyambung penjelasan. Jika lulusan gurunya saja sudah asal saring maka yang benar-benar belajar dan ingin menjadi guru bijak malah jadi calon sarjana nganggur termakan umur. Bagaimana mungkin mutu pendidikan di negara ini akan berkembang? urainya.
“Aku juga pernah mendengar tentang test yang dilakukan untuk guru-guru SMA Rhien? kembali lagi bercerita ternyata Dewie. Tampaknya belum puas ia.
“Jadi diambil berapa orang guru dari masing-masing sekolah dengan bidang mata pelajaran yang berbeda-beda. Kemudian dilakukan test soal dengan materi adalah UAN di sekolah masing-masing. Kau tau setelah dilakukan test? Dewie bertanya.
Rhiena tetap diam menggeleng. Pendengar setia kali ini dia.
Ada guru yang tak lulus, bahkan minim sekali menjawab soal test UAN itu, padahal soal-soal UAN itu mereka yang mengajarkan pada masa Try Outnya. Bervariasi dari kalangan guru-guru yang gagal menjawab. Ada yang memang guru itu mengajar di wilayah pelosok sehingga bahan yang berkembang dan metode sangat lambat masuk di sekolah itu. Namun yang lebih mirisnya ada pula guru yang tidak lulus dan berasal dari sekolah favorit pula. Padahal prasarananya menunjang dan metode lengkap, lalu kenapa guru itu tak lulus mengerjakan soal UAN? Tanda tanya harusnya ada pada penyaringan pertama guru yang bermasalah itu? simpul Dewie.
Kita ini ikut budaya saja Wie? ucap Rhiena yang membenarkan pendapat Dewie tadi.
Begitulah Rhien, ikut apa yang diucap di sana saja? balasnya.
Oh iya? lulus dari sini kamu kemana? tanya Dewie.
Pulang kampunglah mungkin nikah di sana, Kalau kamu sendiri? tanyanya balik.
"Belum terpikir nikah aku, ingin cari kerja dulu, membenarkan biduk orang tua dulu?. Eh..tunggu? Dewie menyela penjelasannya sendiri.
Kamu mau nikah? Padahal bukannya dahulu kamu bilang ingin membahagiakan orang tuamu kata Dewie bingung.
Iya? datar nadanya, dan sambil kini ia rebahkan badan gendutnya di kasur kamar itu.
"Aku juga ingin melamar kerja dahulu? sambungnya. Tapi mungkin orang tuaku punya jalan lain, umur kita juga sudah matang. Sebagai orang tua, wajarlah bila mereka lebih sensitif keberlangsungnya ikatan keluarga ketimbang acara pekerjaan. Syukur bila mereka belum ada calon, namun bila telah ada?. Ya sudah, seperti tadi ku bilang,ikut budaya saja hahahahahah!!! tawanya lebar.
Dewie ikut tertawa dan memahami pikiran temannya itu, Temannya tak ingin membantah-bantah kehendak orang tuanya. Walaupun di sini perangainya kasar dan berani terhadap laki-laki, namun temannya yang bertubuh tambun itu tetap hormat pada orang tuanya.
Setelah ini, semuanya aku serahkan pada mereka kata Rhiena.
Topik telah berganti-ganti tak menentu, dari orang tua, meluncur ke dalam dunia pendidikan, dan pernikahan. Panjang mereka bercakap-cakap, terutama Dewie yang nerocos, hingga tak terasa sudah jam 11an.
*
Wah kok mendung-mendung lagi harinya? kata Bu Sumarni khawatir.
Musimnya dasar musim penghujan Bu. Mau diapakan lagi? balas Pak Darwis.
Mereka berdua tengah memetik sayuran di kebun mini belakang rumah, untuk dijual besok pagi. Tumben-tumben hari ini banyak sekali orang yang mengantar sayur kepada Bu Sumarni. Belum lagi ditambah dengan pesanan langganan seperti H.Idrus di pasar Senin besok. Bu Sumarni senang benar. Bakal mendapat banyak rezeki , pikirannya.
Tapi Bu," tukas Pak Darwis sambiln menyeka peluh. "Apa ndak berat bawaan dagangannya?. Kok Bapak mengira-ngira terlalu banyak nanti bila ditaruh di sepeda? ucap suaminya .
Tidak apa-apa Pak, dekat juga pasarnya. Lagian?, paling mulai jalan keluar desa ini saja aku mendorong sepeda karena becek. Bila nanti sudah sampai di jalan beraspal mudah saja? kata isterinya sambil mengangkat karung yang sudah penuh dengan sayuran pucuk waluh. "Tidak perlu didorong lagi? sambungnya.
Hehehe!!??. Maafin bapak ya Bu, kalau selama ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk si Dewie? akui Pak Darwis yang duduk ngedemprot di bawah pohon karet.
Apa yang salah Pak?, jadi minta maaf? Bu Sumarni berjalan menuju pohon karet untuk ikut bernaung.
Hmmm!!!!! hela nafas isterinya saat sudah duduk dekat Pak Darwis. Bu Sumarni mengusap keningnya yang penuh keringat, dan sesekali Pak Darwis dari samping mengipasinya dengan topi purun yang ia kenakan.
Bapak itu yang penting sudah tidak bingung-bingung lagi?, sudah percaya dengan kemampuan keluarga, sudah yakin dengan rezeki yang Allah bagikan untuk kita. Itu saja aku sudah bersyukur, tidak ada yang disalahkan. Kalaupun bapak merasa lemah dengan keadaan bapak sekarang, itu memang Allah telah memberikan jalan yang lebih baik untuk kita pak. Percaya saja dan jangan itu dijadikan sebagai sebuah kemunduran mutlak, nasihat isterinya.
Iya Bu. Bapak berjanji bakal semangat dan lebih mampu menata sikap walau dalam keadaan dadakan yakin pak Darwis.
Ya sudah. Sayuran juga sudah penuh. Ayo ke rumah. Aku belum masak-masak untuk nanti sore ajak isteri.
"Iya Bu? berdiri dari duduknya. Ehh!!!.. bunyi lepasan nafas dari mulut Pak Darwis ketika mau berdiri. Susah ia berdiri, dan Bu Sumarni dengan sigap menangkap tangan kanan suaminya. Membopohnya agar pondasi tongkat dapat berdiri tegak dan cengkraman tangan kiri lebih stabil.
Sejurus kemudian setelah berdiri.
Sudah Bu? suara Pak Darwis meminta isterinya melepaskan bopohannya. Mereka berdua pun meninggalkan kebun kecil itu untuk menuju kedalam rumah. Bu Sumarni menggendong karung berisi sayur dan Pak Darwis berjalan mengikuti tertatih-tatih dengan tongkat selalu dikapit ketek kirinya.
*
Jam 2 dini hari.
Darrr!!!...Dar!!!! Dar!!!! bunyi petir menyambar-nyambar. Mendung siang tadi terlampiaskan pada tengah malam ternyata. Hujan belum reda sejak jam 11an malam. Gemuruh guntur disusul petir menyambar-nyambar memekik gendang telinga. Semua pohon bergoyang-goyang terhuyung condong dipermainkan angin. Genting-genting kemelotekan karena bunyi hujan yang deras.
Allahu Akbar... Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. takbir-takbir dilantunkan Bu Sumarni. Kencang sekali angin yang membawa hujan ini? lebat seperti topan, gundah hatinya. Ia cemas bila hujan tak jua reda, tentu ia tak dapat berdagang di pasar Senin. Ingin Bu Sumarni keluar rumah menuju sumur untuk berwudu, namun masih maju mundur nyalinya. Dia pun tak berani mengingat petir masih menjilat-njilat bumi. Bu Sumarni berjalan ke dapur dan di samping rumahnya, ia berwudu dengan air yang terisi penuh di gentong.
Ushalli sunnatat-Tahajjudi rakataini lilaahi taaala..Allahu Akbar!!!.
Berserah tubuh itu. Ia lupakan semua kecemasannya. Ribut badai di luar dengan guntur-guntur meledak seperti bom bertaburan tak mengusik heningnya. Tenang. Bibirnya bergetaran. Mukenanya separuh basah oleh taburan air bekas terciprat-ciprat rintikan hujan yang melumasi tubuh dan tembus keluar mukena. Dengan khidmat ia lewati tahap demi tahap penyelesaian percakapannya dengan sang Tuhan.
Seperti biasa dalam khusunya ia selalu panjatkan doa sebagai harapan dari seorang manusia yang percaya betul dengan kekuasaan Tuhannya.
Ya Allah sang Pemberi segala rahmat. Sang Penujuk jalan penerang bagi semua umat. Terima kasih dan berBu syukur hamba utarakan kepada-MU Ya Tuhanku..Engkau telah luluskan anakku, Engkau telah kabulkan doaku agar dia tak menjadi anak durhaka yang melawan dengan orang tua..Terima kasih Ya Allah..Hamba hanya debu diluasnya jagat ini. Semua hal pernah hamba perbuat. Entah itu pahala ataupun ketelodoran hamba dalam melakukan dosa. Hamba minta pengampunan dari-MU wahai Tuhanku..,Selamatkan hamba dari amuk-MU. Selamatkan hamba dan keluarga hamba. Sungguh kami tak berdaya tanpa ridho-MU. Ya Allah Ya Tuhannku, terangkanlah langit, dan keringkanlah jalan?, Biarkan hamba kais rezeki dari-MU di pagi nanti, Ya Allah Ya Tuhanku kabulkanlah permintaanku, Amin ya robbal alamin.
Usapan kedua telapak tangan mengakhiri serunya dalam berdialog dengan sang Khalik.
Hujan di luar masih gencar meyapu semua bidang. Dinding, batang pohon, dan rerumputan tak luput dari amukanya. Bu Sumarni melepas mukenanya, masih berharap-harap cemas. Pergi kaki-kakinya itu menuju dapur. Lebih baik sekarang memasak dahulu dan nanti mengurus dagangan, gumamnya. Bu Sumarni mengambil segala panci dan diisi air lalu panci tersebut ia taruh di atas besi pemanggang untuk masak. Memasak airlah ia.
Selang setengah jam, reda juga hujan deras itu.
Alhamdulillah...? sebut syukurnya. Nasi yang baru dimasak bisa ditinggal sejenak, maka bergegaslah ia keluar rumah. Di pinggir rumah, dengan telaten ia susun dagangan berupa umbud 4 batang dan belum dipotong-potong, kangkung 50ikat, pucuk waluh kiraya 5o-an ikat juga , 3 buah waluh dan ubi jalar. Ya ubi jalar, jarang-jarang Bu Sumarni dikirimi dagangan ubi jalar. Sekarang ia membawanya sekitar 100 buah. Berat ubi itu. Tapi tetap saja Bu Sumarni ingin menjual semua, mubajir bila ditinggal. Di depan untuk penyeimbang sepeda, Bu Sumarni membawa dua bakul berisian mangga mudadan juga jambu merah untuk rujak, biasanya Bu-Bu Anjir suka merujak. Perbakulnya terisi 3o buah.
Sambil menyelam minum air, pepatah ini tepat untuk kegiatan Bu Sumarni. Tubuh itu seperti terbagi dua. Sekarang ia kerjakan perkara masak, setelah tadi ia mengurus daganganya. Nasi ternyata sudah matang tinggal dipindah kepanci yang lebih besar untuk ditanakkan
. Selesai itu, beralih lagi ia tata dagangan, umbud telah dia potong menjadi 8 bagian. Empat di karung kiri dan empat dikarung kanan. Kemudian Ia campurkan semua ubi jalar masuk kemasing-masing karung goni itu. Setelahnya, ia isi lagi celah-celah yang masih ada dengan buah waluh. Tapi seperti tak muat, maka ia pindahkan 2 buah waluh besar-besar itu ke depan. Masuk dalam bakul dan menjadi teman untuk mangga serta jambu di situ. Pucuk waluh ia keluarkan dari karung, kangkung pun seperti itu. Kemudian kaki-kakinya berjalan bolak-balik kolam untuk mengisi bak besar dengan air. Setelah 5 kali bolak-balik, bak itupun sekarang telah penuh dengan air. Ia ambil satu persatu pucuk waluh. Bu Sumarni cuci bersih-bersih sayuran itu, lalu ia keringkan di atas amparan karung lebar yang dia gelar diatas tanah. Setelah pucuk waluh?, kangkung pun sama dan diampar pula di atas alas karung yang berbeda.
Pekerjaan itu beres, tinggal menunggu pucuk waluh dan kangkung supaya kering agar kurang beratnya. Bu Sumarni berjalan ke dapur lagi, kali ini tampak ia ingin memasak sayur untuk suaminya di pagi nanti. Di dapur tersedia jantung pisang, tanpa berpikir tetek bengek mengenai menu khusus seperti koki-koki, segera saja dia potong jantung pisang itu dan mengolahnya menjadi oseng-oseng. Tempe sisa malam tadi juga ia panasi agar masih nyaman untuk dijadikan lauk bagi suaminya. Sebenarnya hal seperti ini lumrah dalam keluarga itu, memanasi makanan agar tidak basi dan agar masih enak untuk dikosumsi lagi.
Jam berputar menuju angka 4 dini hari.
Masakan telah siap. Pucuk waluh dan kangkung telah ditata, dia telungkupkan ujung-ujung karung menuju satu sisi. Gulung, dan membuat pucuk waluh juga kangkung terbungkus seperti makanan kebab yang membungkus sayur dan daging dengan tepung. Ia ikat satu persatu karung dengan tali ban, dan setelah itu dia tumpuk pucuk waluh serta kangkung di atas boncengan sepeda. Ia ikat semua dagangannya perlahan hingga dirasa kuat erat menali semua sudut dagangan.
Maka selesailah, dan siap berangkat.
Bunyi pengajian di langgar Poyo dari kejauhan telah disetel melalui kaset. Sebentar lagi azan. Bu Sumarni sedikit mengistirahatkan tubuh di emperan samping rumahnya. Ia mengamati kaki-kakinya kotor kena lumpur. Benar?, hujan tadi juga membuat samping-samping rumahnya becek berair.
Berhenti dari beristirahat, dan masih sambil mendengarkan azan, segeralah Bu Sumarni berjalan menuju sumur untuk berwudu.
Kantuk sudah hilang sejak tadi ia terjaga karena hujan. Kini hanya dingin embun yang mendekap. Ia basuh mukanya dengan air sumur. Hidung, siku tangan, ubun-ubun dan kaki juga ia basuh. Kali ini Bu Sumarni tak menunggu kamat, selesai azan ia langsung salat. Sekitar delapan menitan beribadah, lalu selesailah ia menunaikan salatnya itu.
Mengenakan jaket anaknya sebagai penangkal dingin,dia lalu keluar rumah. Tak lupa bungkusan plastik merah berisi kebaya yang hendak ia kecilkan ia bawa dan gantungkan disetang kirinya. Bismillahirrahmanirrahim!!.., ia dorong sepedanya melancar menuju pasar.
Menyusuri jalan desa, dingin benar-benar datang dan hinggap di tubuh yang bisa mereka serang. Tetesan hujan menjadi embun menempel di dedaunan dan terus tersibak tubuh juga kaki Bu Sumarni. Tetesannya dingin air, basah menggeletukkan gigi. Nyamuk juga kian berdenging-denging, membuat kaki-kakinya polah untuk mengusir hewan itu. Tapi tanganya benar-benar tak mampu bergerak, fokus menyetang, hingga terasa sekali bila nyamuk-nyamuk itu begitu gemuk menghisap darah Bu Sumarni. Sesekali mengaduh juga dia karena gigitan nyamuk itu. Gelap masih kental, apalagi di langit ia pandangi juga ada warna abu-abu. Mau hujan lagi?. Belum puas nampaknya bumi meminta langit untuk mengguyurnya. Laju-laju ia dorong sepedanya, walau beratnya lebih dari yang sudah-sudah, dan ban juga telah menjadi sosis dibalut roti, tapi tetap berputar juga jentera itu.
Kamat berkumandang terdengar lamat-lamat dari kejauhan.
Masuk di jalan areal persawahan penghubung jalan utama. Remang-remang Subuh memperlihatkan banyak kubangan yang tergenang air. Hati-hati nian ia meniti jalan becek dengan sisi kanan adalah belukar tumbuhan kelakai, dan sisi kirinya ialah areal persawahan yang baru ditajak.
Terus berhati-hati, tiba-tiba sekonyong-konyong tikus menyebrang mulai semak belukar menuju persawahan. Allahu Akbar!!!!!...Teriaknya.
Kaget benar Bu Sumarni karena kaki kiri menginjak badan tikus itu. Menjingkrak kaki kirinya melangkah kepijakan lain. Tapi pijakan itu tak kokoh tampaknya. Pijakan pun amblas. Terberusuk kaki kirinya, ke persawahan. Terhuyung perempuan itu ke sudut kiri. Genggaman setang sepeda serasa mati sulit terlepas, dan dengan liatnya ikut bergerak juga ke sudut kiri. Kaki kiri masuk semakin dalam ke dasar areal persawahan. Namun sayang, pijakan nipun benar-benar naas. Tajakan dimusim penghujan memang dalam airnya. Sebatas lutut kiranya. Tak mampu bertopang dan berpijak kokoh, beban berat sepeda itupun terus condong menekan.
Ya Allah!!!...Ya Allah!!!!....gema keras meluncur dari mulutnya.
Byuurrrr!!!!! sepeda itu rubuh menimpa sosok tubuh manusia. Tenggelam di dasar kubangan sawah, Bu Sumarni coba berontak. Bekubuk-kubuk bunyi air sawah karena berontaknya. Tangan kanan dan kaki-kakinya tertindih karung umbud. Sementara karung alas pucuk waluh beserta kangkung, membungkam wajahnya. Membenamkannya dia di dasar air. Jaketnya yang terendam, benar-banar serasa sekarung beras bersih. Berat, dan sulit melawan untuk bangun. Tangan kirinya mencoba menggapai-nggapai setang untuk memperoleh genggaman. Inginnya semua tenaganya ia kerahkan dititik itu untuk perlawanan. Tapi apa daya, bakul berisi puluhan jambu , mangga, dan buah waluh besar-besar menjadi beban lantas setang itupun menjadi perangkap lengannya. Menimbunnya bisu dengan dinginnya besi setang. Menelungkupkan semua bebannya tanpa ampun dan belas kasihan.
Berusaha terus berontak dalam heningnya Subuh. Bermenit-menit tubuh itu coba gagah bangkit. Mulutnya ap..up ap..up !!! terisi air kotor. Bu Sumarni terus menyebut asma Allah Laailaahaillallaah!!!!!..Laailaahaillallah!!!..Lailaahaillallah!!!... . klupuk!!!klupuk!!!..klupuk!!!...bunyi gelebung-gelembung air menggelebuk-glebuk ke permukaan. Zikirnya tak terdengar siapapun, bahkan untuk ikan-ikan di air itu. Asmanya hanya vertikal ke atas, menembus goni-goni yang membenamkan wajahnya. Zikir itu menusuk kabut dan merobek langit, untuk sampai kepada sang pemilik-Nya.
Tetap tak berdaya tubuh kurus itu ditekan beban.
Sekitar 6 menitan kemudian klepuk-klepuk air sudah tak lagi muncul. Tangan kirinya diam terhening.Panca indera telah menutup. Senyap dan sunyi. Udara Subuh berseru aneh. Dinginnya membias semua kesenyapan. Sedingin sukma-sukma yang masih terbang melayang-layang dalam mimpi seseorang.
Jam 7 pagi.
Pak Darwis telah selesai mandi pagi itu. Subuh tadi Dewie menelpon, kira-kira jam berapa Pak sampai ke Banjar? tanyanya.
"Paling sekitar jam 9an Wie, soalnya Bapak ingin menjemput Ibumu di pasar, dia mau mengecilkan baju katanya?.
Oh iya. Hati-hati di jalan saja ya Pak? pesan Dewie.
Iya?, kamu juga banyak-banyak makan di sana, biar nanti kuat kalau menunggu di gedung? saran bapaknya.
Inggeh Pak.
Kini Pak Darwis siap. Batik ia kenakan dengan rapih, bersanding dengan peci dan celana kain hitam. Bagus?, ganteng pak? ingat Pak Darwis saat isterinya memuji kemarin pagi.
Ia senyum-senyum, seperti apa isterinya nanti memakai kebaya. Kemarin kebaya isterinya itu kebesaran, membuat suaminya tertawa-tawa meledeknya. Tapi pasti hari ini ia melihat isterinya telah cantik dengan kebaya pressnya.
Duduk ia di emperan depan. Tongkat penopang tangannya telah ia taruh disisi kiri. Menunggu dua ojek dia.
Brum..Brumm..Brummm..Brumm?? bunyi kendaraan lamat-lamat datang mendekat . Dan benar, itu adalah dua kendaraan pesanan Pak Darwis.
Kedua motor itupun kini telah berhenti dipelataran rumah Pak Darwis.
Ayo langsung saja? pinta Pak Darwis.
Ayo mari Pak? sahut salah seorang ojek yang turun kemudian membantu Pak Darwis untuk naik keojeknya.
Pak Darwis mengenakan helm pinjamannya,satu helm telah dipersiapkan juga untuk isterinya. Kemudian tanpa banyak basa-basi, motor-motor itupun berangkat menuju Banjarmasin.
Lewat persawahanku saja di rei-5, kurang becek di sana? saran Pak Darwis.
Iya Pak?.
Wah ternyata banyak kubangan juga di sini? keluh Pak Darwis saat motor boncengannya melalui areal persawahan.
Benar Pak, becek sekali. Jangan lupa Bapak berpegangan? usul tukang ojek.
Iya.., tampaknya memang hujan telah meng...??, tunggu!!!.., apa itu Men!! potong Pak Darwis tak meneruskan kalimatnya, dan bertanya kepada Imen, tukang ojeknya.
Menunjuk kesebuah ban sepeda yang muncul dipermukaan sawah, Pak Darwis lalu berseru berhenti..berhenti...berhenti!!!, itu roda sepeda!, coba berhenti dulu! kata Pak Darwis dengan raut muka mulai cemas.
Dua motor berhenti .
Imen segera mengecek dengan terjun ke area berair itu.
Sesaat kemudian.
Benar pak! ini sepeda? teriaknya.
Tanpa menunggu balas jawaban, Imen langsung mengangkat sepeda itu. Tapi betapa ia terkejut ketika melihat tangan kiri yang sedikit muncul pucat kepermukaan. Allahu Akbar!!!. Jo!!!..Tejooo!! teriaknya memanggil teman ojeknya.
Bantu aku!!!, cepat kesini Jo!!.. Ada mayat!! teriak Imen lagi dengan suara ketakutan.
Secepat kilat, Tejo langsung memburu dengan ikut terjun ke kubangan. Masya Allah katanya. Dan langsung membantu Imen yang kualahan mengangkat sepeda.
Semenit kemudian sepeda telah terangkat, dan dijatuhklan ke sudut kanan di areal persawahan. Bress!!! bunyi hempasan sepeda berbeban berat jatuh kepermukaan air.
Hahh!!!!! seru Imen.
Mata keduanya makin tercekat tatkala melihat sesosok wajah yang tak asing bagi mereka. Lho ini kan Bu Sumarni!!. Ini Bu Sumarni!!!!... Bapak!!!!Koar-koar Imen. Isterimu!!!...Isterimu Pak!!!... Astagfirullah hal adzim!!! terus Imen Berkoar-koar sambil mencoba mengangkat tubuh kaku itu.
Masya Allah Bu!!!!... Ya Allah ya Rabbi!!!.. Allahu Akbar!!! teriak Pak Darwis dengan langsung terjun dari jok motor. Terjun dengan berat.Terjun dengan nekat.
Namun apa daya, kaki kirinya benar-benar lemah, ia pun terjatuh tersungkur ke dalam kubangan air. Byuurr!!!! basah semua pakaian. Ia terus melawan, merangkak-rangkak kemudian menyeret-nyeret badan. Kuat tenaga ini!!!.. Kau pasti kuat Wis!!!.. Jangan lemah oleh cacat!!! Persetan dengan kaki mu!!!.. Buru isterimu!!!.. Temui dia!!!.. Rangkul jasadnya!!!! berderik-derik batinnya. Terus merangkak dengan mengglepar-glepar mendekati isterinya.Baju batik, peci dan celana sudah penuh dengan lumpur. Juga wajahnya. Dan Mulutnya yang kemasukan air keruh. Terus Wis!!!..Terus!!!..Datangi dia!!!..Dekap dia!!!!. Semua tak ia pedulikan.
Allahu Akbar!!!.Huaa..hua...hua..huaa!!!!..Kenapa kamu Bu!! kenapa jadi seperti ini!!!..Kenapa Bu!! sebutnya dengan tangis sejadi-jadinya. Sekuat-kuatnya.
Ayo Wis!!!!...Merangkak!!!..Terus kau merangkak!!!!.. Tak mau kah kau dekap isterimu!!!.. Tak mau kah kau peluk jasadnya!!!! mendidih hebat hati Pak Darwis,
Tejo melihat gejolak kalut dari Pak Darwis segera menyongsongnya dan membopohnya. Pun, bujangan itu tetap kualahan ketika mengangkatnya. Berontak-berontak terus tubuh Pak Darwis yang memaksa mendekati jasad isterinya.
Semua badan Pak Darwis bergetar hebat, air mata panas berjatuhan deras. Pikirannya labil, dan hanya terus menyebut-nyebut asma Tuhan.
Sudah Pak!!!!..Eleng Pak!!!!!. Eleng!!!! Nyebut....Nyebut Pak!!!!! teriak Tejo menenangkan.
Tubuh Pak Darwis masih berontak, badannya tetap bergetar tanpa mengurangi tekanannya, matannya tetap membelalak, deras memancarkan air mata.
Eleng Pak!!! Eleng Pak!!!!... saran Tejo lagi, dan kali ini sediki berhasil menyadarkan Pak Darwis dari sikap labilnya.
Masih berderaian air mata, tubuh yang kuat mendobrak-dobrak itu kini lunglai dipelukan seorang tukang ojek. Lemas benar terasa. Hilang semua berontak. Hilang semua asa.
Tejo membawanya duduk di pinggir jalan, dan Imen membopong tubuh kaku Bu Sumarni ketepian jalan mendekati suaminya.
Dengan terisak-isak, dan kata-kata terpotong oleh cegukannya ia pandangi jasad pucat itu. Innalillahiwainnalilahirajjiun!!! serunya, memangku tubuh isterinya. Dingin terasakan, tapi tak sedingin pikiran Pak Darwis kini.
Ibbbuu...!!! bbbaaannngun bbuuu!!," panggil Pak Darwis menepuk-nepuk pipi isterinya. .Ibbu ini kkkennnpaa....Hihihihihih!!!..Ya Allah ggustti...Kkkennnapaa jjadi sseperti iiini!!! Muka Pak Darwis terbenam kedalam perut jasad isterinya yang dingin. Ayo Bu!! mengangkat lagi wajahnya. Ini hari Dewie llluluss Bu?? mmmana kkebayya ibbu?" Memandang isterinya. ' Ayo pakai bbu!!! " Tangannya menggoyang-goyang jasad isterinya "bbaapak ssudah ppakai bbatik ssessuai pppesan ibbu!!! kata Pak Darwis tersengal-sengal karena cegukan lalu membenam lagi wajahnya kedalam perut jasad itu.
Tidak pantas pakai jas?... Badan Bapak hitam kok di jasi. Ah..kaya kau inii putih saja.... Bapak itu pakai batik saja?, lebih luwes?. Kalau pakai jas sudah mirip wayang kulit?. Bapak itu wayang yang hanya kelihatn tulang. Jadi gak cocok benar Pak, jika pakai jas....Iya...iya..Nah..kalau pakai itu kan lebih rapi?. Terus tinggal pakai peci?..Nah coba sekarang gantian ibu lagi yang pakai kebaya?... Bagaimana pak?... Badan mu juga kekurusan?. Kebayannya kebesaran?. Tapi tetep cakep kok Bu, cakep di mata Bapak .
Menggigil badan Pak Darwis. Seperti tak berhayat lagi raganya itu. Kaku di galengan pinggir jalan, dengan kaki-kakinya tetap selonjor membenam kedalam lumpur persawahan.
Tak tahan benar melihat sikap shok Pak Darwis. Seolah adadi posisi dia, Imen dan Tejo pun merembes air matanya. Mereka berdua hanya berdiri memandangi sebuah kenyataan bahwa keluarga kecil itu kini telah ditinggal satu anggota lagi.
Sabar Pak?..Bu Sumarni sudah enggak ada?.. Bu Sumarni juga pasti bakal tentram di sana" Tejo menenangkan.
Iya pak? sahut Imen.
Sekarang ayo sama-sam kita urus jenazahnya?. Kita bawa pulang pak? bujuk Imen halus.
Pak Darwis tetap tak menyahut. Wjahnya masih membenam. Menangis. Bibirnya masih terus bergetar-getar. Sudut pipinya juga bergetar-getar. Badannya pun sama. Tetap ia pangku jasad isterinya. Tetap ia peluk dalam dekapannya. Dalam hening Subuh yang telah berganti pagi. Dalam halimun-halimun yang mulai hilang seliweran membias udara. Mengapung-apung menjadi saksi, seolah tau tentang kejadian apa di kala Subuh tadi.
Beberapa bujukan lembut terus mereka berdua ucapkan ayo Pak? kata Imen. Tidak enak nanti bila ketahuan warga yang ingin ke sawah?, nanti malah geger? jelasnya.
"Benar Pak? sahut Tejo.
Lagian jasad ini kan harus segera dimakamkan , tidak baik bila memperlambat pemakaman Pak? sambungnya lagi.
Saran kali ini tampaknya berhasil mencairkan hati Pak Darwis yang telah beku. Ia pun mau dengan kode mengangguk. Dengan tetap tanggannya erat merangkul jenazah isterinya.
Ditaruh di tengah saja Men?. Biar Pak Darwis menahan mulai belakang dan kamu yang menyetangnya usul Tejo. Iya timpalnya.
Imen dan Pak Darwis kemudian menaiki motor. Tejo gantian membopoh jasad kaku itu. Ia angkat perlahan dan membentangkannya di tengah-tengah jok antara Pak Darwis dan Imen.
Pak Darwis dengan wajah pucat pasi langsung memeluknya lagi. Menjaganya agar tidak jatuh. Mendekap dengan rasa kehilangan yang amat sangat.
Sedikit masih tersedu-sedu ia memanggil Tejo, Jo? panggilnya lirih. Tolong ambilkan kantongan plastik merah itu?.
Tanpa bertanya tentang apa isinya, Tejo dengan sigap langsung terjun lagi ke sawah berair dan mengambil barang yang dikehendaki Pak Darwis.
Ini Pak? tangannya mengunjuk kantongan plastik. Tangan Pak Darwis meraihnya dan menaruhnya diperut Bu Sumarni yang ia bopoh.
Kebayamu Bu? ucapnya lirih. Belum sempat kamu pakai di hadapan Dewie, belum sempat anak kita tahu kalau orang tuanya juga mampu dandan untuknya? mataya kembali meneteskan air hangat.
Pak pegangan? tegur Imen dari depan. Pak Darwis mengangguk, dan motor itupun melaju pelan.
Mereka tinggalkan lokasi naas itu. Kabut masih samar-samar mengapung. Masih sedikit congkak nampaknya, serasa tetap sombong dengan dalih bahwa, ia tahu semua kejadian. Awan mendung kelabu Subuh tadi mulai memutih. Tak jadi hujan . Ceciut burung seperti melepas roh yang melihat mereka bertiga terisak-isak. Melihat, kemudian ceciutan burung prenjak-prenjak itu pula yang melepasnya pergi ke langit. Tetesan air mata juga melepasnya dengan pilu mendayu-dayu.
Tak dapat dipungkiri, para warga yang pagi-pagi telah pergi ke sawah pun ada yang melihat. Keget bercampur cemas, mereka yang melihat pun bertanya tentang apa yang terjadi. Tapi ke tiga orang itupun diam tanpa menghiraukannya.
Imen dan Pak Darwis terus berkendara menuju rumah, sementara Tejo langsung menuju langgar Poyo dan masjid untuk memberi tahu bila pagi itu ada warganya yang telah meninggal dunia.
Pengurus langgar dan masjid yang menerima informasi duka itu segera langsung mengumumkannya melalui speaker pengeras suara.
Jam berderak ke angka 8 pagi.
Di rumah duka semua tetangga telah berkumpul. Walau mereka sering memandang setengah mata tentang kemampuan almarhum, toh tetap saja mereka bedatangan untuk bertakziah atau membantu persiapan pengurusan jenazah.
Pak Ratno yang juga datang melawat pagi itu bertanya kepada Pak Darwis Wis? katanya menghampiri Pak Darwis yang tengah duduk di samping jenasah dengan baju kokonya.
Apa Dewie sudah diberitahu prihal musibah ini? tanyanya. Lirih karena masih terpukul, Pak Darwis pun membalas kita tunggu dia Wisuda dulu?. Semoga tidak sampai jam 2 siang gilirannya. Aku ingin minta bantuanmu" Pak Darwis menatap pak Ratnho, "tolong wakilkan Dewie buat pergi ke scara itu? pinta Pak Darwis.
Kaget, pak Ratnho pun menjawab aku tidak tahu Banjar e Wis, biar si Sigit saja yang ku suruh pergi kesana. Biar dia yang wakilkan? usulnya.
TToh sekarang dia juga lagi nganggur di rumah? lanjut pak Ratnho.
Lho? sudah berhenti bekerja toh Sigit?.
Sudah seminggu ini dia berhenti. Katanya cukup saja sudah untuk mencari pengalaman?."
Mengagguk Oh..ya sudah?. Tolongi aku ya Nho, suruh dia temani Dewie, dan nanti bila Dewie tanya?, jangan sekali-kali Sigit bilang kalau Bu Dewie meninggal? pesan Pak Darwis.
Lho?. kenapa begitu?. Kenapa tidak boleh diberitahu bila Ibunya kena musibah? tanya pak Ratnho bingung.
"Jangan Nho? sarannya sambil mundur ke belakang dengan tetap duduk bersila dan kemudian bersandar di dinding. Pak Ratnho juga mengiringinya dan menghadap di samping Pak Darwis, menanti ulasan penjelasan darinya.
"Dia di sana sedang fokus dengan acaranya. Sebelumnya aku dan almarhumah isteriku pernah berjanji, bila bagaimanapun keadaan kita, tetap jangan sekali-kali membuat Dewie tergoncang dengan acaranya, terkecuali bila acaranya telah selesai jelas Pak Darwis.
Lalu nanti Sigit suruh bilang apa Wis? tanya pak Ratnho lagi. Dengan masih lirih Pak Darwis menyahut Bilang saja bila Ibunya sedang sakit, kalau sudah selesai acara, baru Sigit suruh dia untuk pulang. Jika Sigit bilang kalau Bu Sumarni telah meninggal, dikhawatirkan Dewie malah ngamuk, kalut di sana dan melakukan hal yang macam-macam yang merepotkan orang Nho?.
Mendengar penjelasan temannya itu agaknya kini pak Ratnho mulai paham. Mengagguk dia, dan saat itu juga pak Ranho menelpon Sigit untuk segera menemani Dewie ke acara Wisudanya di Banjarmasin.
Jam 8 lewat.
Sigit yang telah tahu perihal musibah yang ditimpa Pak Darwis segera besiap tanpa tetek bengek membahas apa-apa lagi. Cukup ia saring tiga amanah dari ayahnya barusan yaitu, temani Dewie keacara, bilang bila Ibunya sakit, dan jemput dia bila acara selesainya cepat. Bila belum selesai sampai jam 1an, tetap temani dia di sana.
Beberapa menit kemudian, melancarlah motor Sigit.
Mentari merambat menuju tengah hari. Jenazah masih terbujur di tengah ruangan, dikelilingi para pentakziah yang tanpa henti membacakan Yassin. Mereka mengucap maaf dan menyesal saat itu, menyesal sekali atas perbuatannya dengan almarhum. Bu Sumarni hanya seorang yang ingin membantu meluluskan cita-cita anaknya. Mereka selalu berkata-kata yang tidak mengenakan di hati almarhumah. Sungguh sesal yang mendalam mereka rasakan. Sungguh tak pantas kata-kata itu, batin salah seorang pentakziah.
Di luar, kerumunan orang melawat juga banyak, herannya orang-orang dari daerah Anjir pun datang. Tahu darimana mereka?, mungkin dari pedagang lain yang nekat pergi kepasar pagi itu. H. Idrus salah seorang pelawatnya, Diapun merasa sangat berduka dengan kejadian dadakan ini. Terkejut dan terpukul bukan main.
Sebagai seorang yang senang berderma, tidak mengherankan bila pagi itu ia menyokongkan dana untuk zakat duka yang lumayan besar. Sebuah amplop tanpa nama ia paksa masuk ke kantung baju koko Pak Darwis. Pak Darwis menolak-nolak, namun karena niat H.Idrus tulus untuk membantu, akhirnya amplop itu pun Pak Darwis terima.
Melaju terus motor Sigit.
Dalam perjalanan masih ia teringat-ingat, batinnya bertanya-tanya. Sudahkah anak itu mengakui perbuatannya selama ini kepada orang tuanya?, sudahkah ia minta maaf?, minta maaf seaku-akunya, seterbukanya, sejujur-jujurnya dengan Bu dan bapaknya. Bila sampai sekarang ia belum sempat mengutarakan maaf dan pengakuan tentang semua tabiat buruknya, benar-benar anak itu kelewatan dosa? batinnnya setengah mencela.
Jalanan Banjaramasin seperti biasa padat di jam-jam pagi. Deretan kendaraan berjajar penuh mengantri dengan sabar. Hal ini terjadi di jalan Sultan Adam. sebenarnya lebih tepat, kemacetan itu selalu terjadi di setiap lajur lampu merah. Di mana kebanyakan kendaraan sering melaluinya.
Sigit telah sampai di muka kosan Nilam.
Siang ini Sigit tak menjumpai gadis-gadis berwajah pucat yang nongol dari dalam kosan dan berjalan malas untuk membeli sayuran. Sadar ia, jam menunujuk ketanda di mana aktivitas itu sudah berlalu.
Duduk diatas jok motornya, Sigit mengambil ponsel dari dalam saku untuk menghubungi Dewie.
Ting..Tung!!!..Ting..Tung!!! bunyi ponsel Dewie mengusik percakapannya dengan Rhiena.
Sigit? ucapnya reflek ketika mengetahui orang yang menghubunginya .
Tut bunyi kyepad ponsel ditekan.
Hallo ada apa Git? tanya Dewie.
Ah tidak?. Apa kamu sudah siap untuk pergi ke scaramu, ini aku ada di depan kosmu. Ada yang mau aku sampaikan?, terang Sigit datar.
Hah!!! (kaget).
Dewie yang penasaran segera keluar menemui Sigit. Ia sudah mengenakan baju sarjana hitam kuning dan menenteng topi toganya. Terlihat besar badannya itu oleh busana yang ia kenakan.
Dewie bertambah ayu. Perubahan demi perbuhan terus mengkuasinya dengan warna baru. Tambah manis, tambah seksi bodinya. Sigit pun tersenyum-senyum, mirip kejadian seperti pertama kali Sigit melihatnya berbusana dulu ketika mengantarkannya pertama ke Banjarmasin. Tapi sejurus kemudian pun dahinya juga mulai berkerut jika melihat kelakuan anak itu selama kuliah.
Ada apa Git kamu kesini? tanya Dewie pelan sambil berdiri menempelkan bahu kirinya ke tiang kos.
Aku diminta menemani ke acara Wisudamu. Itu amanah dari ayahmu" jelas Sigit.
Dewie mengernyitkan keningnya, wajahnya juga terlihat heran dan bentuk bibirnya sedikit melengkung ke bawah mewakilkan rasa keheranannya itu.
Lho?..Bapak sama ibuuku mana? Dewie minta kejelasan.
Ibumu sakit? Sigit berbohong.
Bapakmu tak berani meninggalkannya sendiri. Pakde Darwis mau menemani Mbokde? ujar Sigit lagi.
Entahlah? pikir Dewie. Ibunya sakit?. Tak punya firasat apa-apa dia, bila Ibunya sakit. Tangan Dewie kemudian mengambil ponsel di sakunya dan langsung menghubungi orang tuanya.
Tut..Tut!!!..Tut..Tut!!! handphone Pak Darwis berbunyi.
Lho? sedikit kaget. Anak itu menelpon?. Pasti Sigit sudah sampai di sana. Iyakan Nho? tanyanya kepada pak Ratno. Iya itu Wis? sahutnya pelan.
Jempol Pak Darwis ingin menekan tombol hijau pada layar ponsel untuk menerima panggilan Dewie, namun secepat itu pak Ratno melarangnya.
Jangan di sini Wis? kata Ratnho dengan sedikit mendadak.
Kenapa Nho? tanya Pak Darwis tidak tahu.
Banyak pentakziah?. Nanti Dewie bingung kenapa terdengar bunyi-bunyi surah Yassin. Dia kemudian bakal curiga dan menjadi gelisah" jelas pak Ratnho.
Oh benar itu" sadar Pak Darwis.
Pak Darwis langsung berdiri dibantu pak Ratnho dan berjalan keluar menjauhi dari suara orang bertakziah.
Tulalit!!!..Tulalit!!!..Tulalit!!!...Nomor yang anda tuju tidak dapat di hubungi silahkan tunggu beberapa saat lagi.... ucap operator di layar ponsel Dewie.
Lho..kenapa tidak diangkat? Dewie bingung.
Mungkin Pakde lagi di dapur dan tak mendengar telponmu Wie sahut Sigit sambil melihat-lihat kesekitar kos-kosan.
Dewie mengangguk emm.., bisa juga seperti itu Git?.
Dewie mencoba menghubungi orang tuanya lagi. Hemmm!!.. Dengusan suara hidung malepas sedikit demi sedikit penasarannya. Tergerai sedikit rambut samping kanannya yang lurus itu dengan diikuti gerakan muka dan tangan menelusup , maka menempel lagi layar ponsel itu di telinganya.
Setengah menit kemudian.
Assalamualalikum? salam Dewie. Kali ini terangkat juga panggilannya.
Pak? panggil ayahnya sedikit nyaring.
"Kata Sigit Bu sakit, apa benar Pak? Ibu sakit apa? tanya Dewie cemas. Pak Darwis membaca nada suara anaknya yang terlalu nerocositu menyimpulkan bila memang Dewie mulai berpikiran cemas. Ayahnya pun segera tanggap dengan kata-kata yang menenangkan putrinya itu.
"Ibumu kehujanan malam tadi saat mau salat, terus paginya malah bersin-bersin, inggusan, dan panas. Sekarang panas dingin?. Tapi sudah Bapak keroki dan diminumi Procold terang bapaknya dengan nada ringan.
"Maaf yo Ndo? nadanya memelas. Bapak tidak bisa temani kamu di acaramu. Bapak suruh Sigit buat ngewakilkan kamu, tidak apa-apa toh Wie? tanyanya meminta pengertian.
Memang terasa kecewa. Di mana semua orang tua berkumpul menonton dan menemani anaknya di acara paling ditungggu-tunggu, namun malah orang tuanya sendiri tak dapat hadir. Kecewa, benar-benar kecewa. Tapi Dewie harus lapang dada. Bersikap dewasa. ibuku sakit?, wajarlah sebagai suami bila ayahku menemaninya. Biarlah aku berusahA tetap mandiri. Tak didampingi orang tua bukan halangan batin Dewie berpendapat.
Ah tidak perlu minta maaf Pak? balasnya. Terus bagaimana keadaannya?. Ini Bu sendiri sedang apa?.
Cussss!!!!! pertanyaan anaknya itu benar-benar membuat ayahnya terpojok. Hampir ia menangis mendengar tanya polos anaknya. Matanya telah merah, membesar. Sebentar lagi akan terjadi banjir bah. Mendung juga tampak lagi di raut muka Pak Darwis. Kerutan dahi berlipat-lipat, dan bibir mulai bergetar-getar ditahan-tahan.
Sabar Wis? bisik pak Ratnho pelan sekali di telinga Pak Darwis sambil menepuk-nepuk bahu kawannya itu.
“Ibumu baik-baik saja Ndo? balas Pak Darwis ringan, mencoba tidak memperlihatkan suara yang aneh.
"Ibumu sedang beristirahat?, oh ya nanti bila telah selesai acaranya, langsung pulang segera Ndo? Ibumu mau melihat kamu memakai baju sarjana katanya? pinta Pak Darwis.
"Oh inggeh Pak? sahut Dewi.
Setelah itu Pak Darwis mengatakan bahwa ada lagi yang harus dikerjakan, jadi Dewie harus ditinggal sementara. Ayahnya hanya berpesan itu saja dan juga doa-doa keselamatan untuknya. Semoga lancar urusan, dan selamat dalam perjalanan datang ke rumah, itulah doa Pak Darwis.
Sekarang benar-benar jadi hujan tanda-tanda di wajah Pak Darwis itu. Ia menangis. Terceguk-ceguk dengan kebohongannya. Kebohogan yang telah disarankan oleh almarhumah isterinya. Terkenang terus saat percakapan rancangan ide itu. Percakapan malam dengan guyon sang isteri, senyum-senyum dia sambil mengikat sayur katuk. Mata almarhumah tampak berkaca-kaca bila menyinggung langkah terbaik untuk masa depan anaknya. Yah Pak Darwis ingat itu. Di kala petang,seusai Maghrib.
Iya ndak apa-apa Bu..? Semoga saja anak kita berhasil dan Dewie jangan sampai kita buat kepikiran tentang keadaan orang tuanya di sini ya Bu..?. Amin..?, benar Pak..biarin saja Dewie tenang di sana. Yang muda bergelut dengan pikirannya. Jangan kita campuri dengan masalah kita. Kasian nanti pikiran dia kacau. Pokoknya jangan pernah kita perberat dia, terkecuali ia telah rampung dengan sebuah kesBukannya Pak. Tugas kita hanya memberinya semangat dan mencarikan dana untuknya . Iya Bu.?.
Menggigil lagi tubuh Pak Darwis di pinggiran sawah . Yang mana tempat ia berpijak telah jauh dari kerumunan pelawat dan suara pentakziah. Dan pak Ratnho terus menyemangatinya agar tegar menerima sebuah keadaan.
Ayo segera bersiap-siap saja kamu Wie, nanti terlambat keacaranya tegur Sigit yang membuyarkan sedikit lamunan Dewie. Tadi Dewie melamun.
Semoga Bu baik-baik saja? ah..nanti pasti akanku buat ibu segera sembuh?. Akan aku tunjukan baju ini di hadapannya?. Beserta peringkat yang ku dapat?. Tentu hal itu akan membuat Bu dan Bapak jadi senang dan Bu akan lebih cepat sembuh harap Dewie dalam lamunannya.
Okee..!!.., tunggu sebentar aku mau ngambil helm dulu? ujar Dewie.
Melalui lorong kamar, Dewie menjumpai Rhiena baru saja mandi. Sahabatnya itu mengenakan handuk dua. Satu untuk membungkus badan tambunnya dan satu membungkus rambutnya. Seperti biasa, rambutnya mirip kepala nanas. Tenang sekali rona wajahnya, seperti tak menghiraukan jam. Heran Dewie, kenapa temannya itu begitu santai.
Tak terlalu berlama-lama mempedulikannya, Dewie lalu masuk kamarnya, sedikit berkaca dan dandan secepatnya, Dewie pun segera mengambil helm, dan kemudian menuju motor Sigit. Aku duluan Rhien? pamit Dewie.
Iya..,hati-hati sambut Rhiena.
Breng....Teng!!!..Teng!!!Teng!!!Tengtengteng!!!! bunyi motor Sigit menyambut.
Dewie segera membonceng di belakangnya. Nyess!!!! Semerbak parfum Dewie langsung melilit tubuh Sigit. Lebih wangi dan kini badan Dewie tanpa hirau telah menempel kepunggungnya. Benar-benar terulang saat dahulu. Tapi walau demikian toh sekarang rasa Sigi telah hambar. Melihat Dewie yang bertubuh sintal dengan paras cantik, entah kenapa kini tatapnnya berkesan biasa saja.
Yah, begitulah pandangan lelaki, bila melihat sosok perempuan yang bertubuh sintal atau bodinya binal. Sebenarnya, kagum dari laki-laki hanya berasal dari nafsu syahwad yang menyelimut di bola matanya saja. Semua dipandang dengan syahwad apabila seorang pria telah berhasil mencicipi tubuh yang dikagum-kaguminya itu. Maka perempuan tersebut sama sekali tak lagi untuk laki-laki megaguminya.
Namun pandangan lain memang unik. Kerap sekali kita jumpai perempuan-perempuan bertubuh semok yang di goda-gadai oleh laki-laki, dan tersenyum-senyum saat mendengarkan aneka pujian dari sang pria. Perempuan pasti menganggap bahwa, memang pujian-pujian itulah yang sesuai dengan faktanya. Dikatakan cantik, memang perempuan itu yakin bila ia cantik. Dikatakan seksi, tentu juga dia akan beranggapan bahwa itu memang tulus sebuah pengakuan dari seorang pengagum. Padahal semua itu hanya pancingan dari laki-laki yang telah berkeinginan memuncakkan semua nafsunya di ujung tujuannya. Dan bila sudah tercapai, maka seandai kaum hawa itumampu mendengarkan percakapan serta pengakuan diantara cakap-cakap pria yang mengaguminya tadi. Tentu perempuan itu akan teriris hatinya saat mengetahui pengakuan yang sejujurnya.
Wah seperti itu saja ternyata. Sudah ini. Sudah itu. Banyak yang ini. Banyak yang itu, dan beragam lainnya.
Pria yang baik-baik, tidak serta-merta memandang semuanya dari fisik, dan akan memandang hormat pada kekurangannya. Namun jarang sekali pria dengan watak seperti itu ditemui.
Seperti pada pandangan Sigit sekarang, ia pun merasa hambar lagi karena telah tahu kelakuan Dewie sekarang. Dan sungguh ia tak berkesan lagi, beda sekali seperti yang dulu-dulu. Sigit tak lagi kagum, walau penampilan Dewie telah berubah cantik. Jauh beda dengan Dewie yang dulu.
Dan Dewie sendiri tidak pernah tahu bagaimana pendapat sejujurnya hati Sigit tentang perubahan fisiknya sekarang. Ia merasa telah tinggi, dan bangga dengan puji-puji laki-laki di luaran, tanpa tahu kebenaran dari pujian itu. Maksud dari jilatan mata mereka. Karena semua kembali hanya ke pandangan nafsu saja.
Melaju di jalanan besar, tangan Dewie tanpa malu lagi telah memeluk perut Sigit.
Dewie? Dewie?, kenapa kamu ini?, kamu seperti hilang bentuk tergerus Banjarmasin batin Sigit. Diam tanpa menikmati, tanpa banyak bercakap seperti dulu, Sigit terus mengantar Dewie sampai ke gedung di mana acara Wisuda akan dilaksanakan.
Gedung Bundar menjadi tempat untuk acara Wisuda tahun ini. Banyak benar mahasiswa-mahasiswa STIGARAYA yang berjubah-jubah masuk kedalam perut gedung. Dewie ikut turun dan menunggu di depan pintu gedung, menunggu Sigit agar pemuda itu tak tersesat di dalam nanti.
Orang tua yang mendampingi anak-anaknyaberbusana beraneka. Kebanyakan memang memakai jas, dan yang isteri mengenakan kebaya khas masing-masing daerah.
Mobil-mobil berjejer seperti barisan tentara yang sedang upacara di pagi hari. Banyak. Juga kendaraan bagus-bagus.
Bingung Sigit hendak menaruh motor jagoannya itu di mana. Banjarmasin tampaknya sudah tak ada tempat lagi untuk menyimpan motor berasap timbal itu. Rata-rata motor tipe matik yang ramah dengan lingkungan. Lalu kemana Sigit ingin memarkir motornya. Ah tanpa berpikir panjang, ia taruh saja motornya itu bergabung dengan motor-motor nyentrik yang lain. Dan ia pun segera menyongsong Dewie dengan percaya dirinya.
Sigit masuk kedalam gedung dengan memakai baju batik. Seperti ingin ke pengantenan. Rapi ia, tapi sedikit tampak tua. Tapi biarlah, toh enteng-enteng saja dari caranya berjalan dan menatap peserta yang lain.
Mereka berdua pun duduk di barisan nomor dua dari depan. Sigit kemudian bercakap-cakap dengan Dewie, Wie jika bisa, tolong kamu bilang dengan dosenmu untuk menyebut namamu yang lebih dahulu, dengan alasan keluarga? sarannya.
Lho kenapa harus minta seperti itu Git? tanya Dewie tidak paham.
Sigit mencoba memberi bayangan, supaya Dewie segera menyelesaikan acaranya ini, agar bisa selekas mungkin menemui almarhumah Ibunya sebelum dimakamkan. Namun tetap mengikuti amanah Pak Darwis dengan tidak membeberkan langsung duduk permasalahannya.
Kan gini Wie? ucap Sigit pelan. Ibumu sedang sakit di rumah dan ayahmu menemaninya. Kenapa harus ayahmu yang menemani?. Apa kamu tidak merasa curiga? Kenapa tidak tetangga saja dan ayahmu menamanimu kesini Aku cuma kuatir, takut-takut sakit Ibumu itu lumayan berat. Jadi saranku, lekas-lekaslah kamu selesaikan acara ini, daripada nanti dapat kabar yang tidak diinginkan terangnya.
Woo sembarangan Git! nadanya sedikit jengkel. Kamu doakan Buku meninggal ya?, ku tempeleng lho nanti! candanya dengan menjotos manja lengan Sigit.
"Hehehehe!! terkekeh-kekeh Sigit. Bukan seperti itu Wie, aku cuma memberi penjelasan dan saran, coba kamu renungin sendiri.
Hening sejurus kemudian.
Benar juga kata Sigit, mengingat umur manusia itu gaib. Tak terlihat dan tak terbaca, bisa saja apa yang dikhawatirkan dia itu terjadi. Akh...!!! kenapa aku malah mengamininya. Jauhkan bala itu ya Allah, Jauhkan bala-Mu dari ibuku?. Belum sempat aku membuatnya bangga, dan belum sempat pula aku mengakui semua dosaku tentang kebohonganku kepadanya. Semoga ia selalu dilndungi rahmat-Mu, batin Dewie.
"Benar Git?, lebih baik aku datangi dosenku. Minta kebijaksanaan beliau? kata Dewie sambil berjalan kedepan menuju stadium tempat duduk dosen.
Sigit duduk menunggu Dewie dengan tidak mau berhenti bergerak. Kaki kirinya bergoncang-goncang menginjak-injak cepat seperti kaki pendrumm. Tangannya mengelawai kebelakang bertopang pada kursi, seperti bos tengah berleha-leha. Mulutnya terasa kecut,masam hebat. Ingin sekali dia hisap rokoknya, tapi ruangan itu ber AC.
Dia tahan-tahan terus. Tapi tetap tak tahan juga ia. Candunya benar-benar kuat. Kecut, sekali dan semakin kecut saja rasanya. Akhirnya berjalan ia meninggalkan tempat duduknya. Berjalan keluar gedung melihat-lihat pemadangan kota. Clinguk kesana clinguk kesini, tak tetap tatapannya, dan mulut itupun kini telah tersumbat sebilah rokok LA.
Belum ia sulut rokonya, tiba-tiba kali ini tatapannya menetap pada satu arah. Bahkan tetap sekali.
Motorku kemana, gumamnya. Keluar ia ke halaman gedung.
Au ingat di tempat ini. Aku parkir jagurku, batinnya. Sekarang ia clingak-clinguk bukan karena menikmati pemandangan kota, melainkan karena kebingungan kendaraannya tidak ada.
Mas!! suara Sigit memanggil seorang pemuda yang kira-kira tepaut 3 tahun lebih tua darinya.
Mas-mas itu pun menengok, tukang parkir ternyata dia.
Sigit kemudian berjalan menghampiri tukang parkir itu.
Mas ada melihat motor Posh-Oneku tidak. Warnanya merah, seperti warna ini" Menunjuk motor serupa.
"Tadi parkirnya di mana? .
"Itu Mas, dekat sama pintu gerbang, gabung sama motor matik-matik? jelasnya sambil menunjuk lagi tempat ia parkir.
"Wah saya tidak tahu Mas balas tukang parkir setelah melihat lokasi parkir motor Sigit.
Sigit terdiam sejenak.
Waduh!!!. Hilang motorku, mati aku!!!, motor kesayanganku?. Setan mana yang maling!!! Sigit bersuara cemas.
"Bentar Mas, saya tanya dengan teman parkir yang lain ". Tukang parkir itu beranjak dari tempat berdirinya, dan menuju teman-teman sepekerjaanaya.
Sigit masih diam tak bergeming.
Kalau sampai hilang!. Gawat ini? mau pulang pakai apa. Kantongku cuma ada 50 ribu, malu aku dengan Dewie kalau merengek minta telaktir. ,Dasar maling tidak sekolah!!. Tidak tau tata kerama!!!!, motor seperti itu kok tega dicuri juga!!, ngelamun lagi Sigit dengan perasaan benar-benar dongkol.
Semenit kemudian.
Mas..Mas!! sorak tukang parkir tadi sambil mengawai.
Sigit melihat kawaian itu langsung memburu tempat di mana arah kawaian tersebut.
Motor Mas ada di samping belakang gedung." Tukang parkir menunjuk tempat yang dimaksud. "Tadi teman saya yang memindahkannya. Katanya?, panas parkir di situ.
Berubah lega berseri-seri raut muka Sigit Oh syukur saja Mas. Bila motor saya tidak kenapa-kenapa. Terima kasih Mas? timpal Sigit sambil berjalan menuju tempat yang ditunjuk tukang parkir tadi.
Sampai pada tempat yang dimaksud, ia lihat satu persatu motor yang parkir di situ. Motor-motor itu terdiri dari motor-motor yang ebret-ebret juga ternyata. Adakah motornya?. Ternyata ada juga jagurnya. Parkir di pojok dekat tong sampah yang dindingnya bercoret-coret di samping gedung. Sadarlah ia, berarti tadi tukang parkir yang memindahkan ini, bukan semata-mata karena letak parkiranku panas, padahal aku lihat, tadi teduh-teduh saja parkiran pertamaku. Wahhh!!".., Sigite menggeleng-geleng sambil kacak pinggang. Motorku dipindah pasti karena bentuknya jelek dan tak pantas dilihat publik, makanya ia pindahkan kepojok bersama kumpulannnya seperti ini. Kurang ajar!! gerutunya.
Ia dekati motornya yang berdekatan dengan tong sampah itu. Sigit elus-elus joknya, menyayanginya. Namun sejurus kemudian matanya beralih pandang. Matanya memicing isi di dalam tong sampah. Apa itu?, bentuknya seperti balon kecil-kecil dan panjang, kiranya ada lima buah. Berserakan di dalam situ, bekas dipakai. Ah!!! itu kan?, tak diteruskan sebutannya. Ia lalu cuek dengan menggeleng-gelengkan lagi kepalanya. Batinnya benar-benar heran dengan adat pergaulan sekarang.
Sambil berjalan lagi kedalam gedung, Sigit juga terlintas kembali kekejadian-kejadian yang ada di Tanjung Selat tempat dulu ia kerja. Pemandangan yang membuat dia takut dan lebih baik berhenti.
Di dalam WC, yang memang sedikit sunyi dan strategis tempatnya, lalu di sudut ruang antara Mess putra dan putri, nah di situ kiranya ia juga menemukan balon-balon kecil berhamburan sama seperti yang ia lihat di dalam tong sampah tadi. Di mana saja. Di tempat seperti apapun. Lebar sempit, terang gelap, pagi malam, jika memang nafsu sudah membelenggu akal, maka sikap manusia tak ubahnya lagi seperti hewan.
Masuk ke dalam mulut gedung, pikirannya hanya tertuju pada jengkelnya paman parkir tadi. Tak lagi tertuju pada hal yang ia lihat di tong sampah. Masuk terus, lalu kemudian duduk lagi bersama Dewie. Kini Sigit mendengar sambutan-sambutan dari Dosen-dosen Dewie. Dan hilang juga kejengkelannya pada paman parkir, beralih lagi kupingnya tersita oleh sambutan dari orang penting itu.
Jam menunjuk ke arah angka 1 siang.
Bagaimana Wie?, apa boleh minta dipanggil duluan? tanya Sigit. Alhamdulillah Git, tadi aku beralasan dengan memohon-mohon kebijakan dosenku, dan akhirnya beliau mengizinkannya jelas Dewie.
"Iya syukur saja Wie.
Kamu tadi darimana Git? tanya Dewie gantian.
Sigit pun bercerita tentang kedongkolannya kepada paman parkir, namun ia tak bercerita mengenai apa yang ia lihat di tong sampah, malas ia membahasnya. Pancingan pertanyaan Dewie membuat dia menggibah paman parkir saat itu. Dewie pun cekikikan mendengar cerita Sigit. TerhBur sekali ia. Dan Sigit juga tertawa-tawa karena mengingat kebingungannya tadi.
Sambutan demi sambutan perlahan berakhir, dan sekarang memasuki acara di mana penyerahan ijasah serta pemberian penghormatan dari sang pimpinan STIGARAYA.
Nama Dewie dipanggil pertama kali, tak ada yang curiga sebenarnya, karena peserta lain juga tak peduli dengan urutan NPM, lalu abjad nama, dan yang jelas peserta lain juga tak peduli tentang kapan ia akan dipanggil. Jadi kesannya cuek saja saat nama Dewie pertama dipanggil oleh pembawa acara.
Maju dengan muka mantap dan tegap, Dewie pun menerima ijasah dan gelar sarjana. Penghormatan dilakukan oleh pimpinan STIGARAYA dengan menyibakkan tali yang berada di atas topi toga Dewie. Dewie tertunduk yakin. Kini ia telah lulus dan bergelar Sarjana Kependidikan, Strata 1. Spesialis Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.
Selesai giliran Dewie, hanya berhitung beberapa menit, seterusnya gantian nama-nama lain yang dipanggil oleh pembawa acara.
Kita langsung saja ya Wie? ajak Sigit.
Temaku Rhiena belum dipanggil Git? ujarnya.
"Ya terserah saja sih? kata Sigit cuek. Mau pilih teman atau orang tua yang sedang sakit dan menunggumu di rumah" takut-takutinya.
Deg!!! dadanya berdegup lebih kencang. muka Dewie langsung melengos menatap Sigit. Tanpa berpikir apa-apa lagi Dewie pun menyetujui usul Sigit.
Ya sudah ayo Git setujunya.
Motor Sigit langsung keluar dari sisi gedung dan di pinggir jalan Dewie telah menghadangnya. Mereka berdua segera pergi menuju kos.
Mentari di jam siang memang panas. Angin pelit bertiup jika berdiam diri. Lihat saja para penjual bensin dan para pedagang kaki lima itu. Di pinggir jalan dan bersembunyi pada kios-kios mini, baju mereka basah oleh keringat. Tangan kananya mengipas apa saja yang bisa digunakan menjadi kipas, topi lah, koran, bahkan ada juga yang memakai piring plastik. Dewie mengamatinya sambil senyum-senyum lagi.
Untung aku berkendara hingga angin leluasa dapat ku rasa, batinnya.
Mendung di langit bercampur-campur warnanya. Ada putih dengan awan yang membentuknya tipis-tipis lembut laksana kapuk, ada pula yag berwarna abu-abu kelabu, seperti mau hujan oleh duka. Tapi toh sekarang adalah musim penghujan, dan Dewie anggap biasa saja tentang gejala alam itu.
Jalanan Banjarmasin makin riuh oleh motor di jam siang. Padat bersesak-sesakan seperti antri sembako. Panas tadi pun kini bertumpu tepat diubun-ubun. Tidak lari-lari memburu seperti bila mereka melaju dengan motornya, panas kini benar-benar memaku kepala pada simpang lampu merah.
Sampai di kosan, Dewie langsung masuk kedalam. Panas benar jubah itu. Ia bungkus jubah dan topi toga serta ijazahnya dalam tas. Tanpa makan ia langsung keluar lagi mengenakan jaket putih, celana levis panjang dan kerudungnya lalu ikut pulang bersama Sigit.
Nanti kita stop di jalan H. Bakti dulu ya Git,, aku mau beli kelengkeng favorit Buku buat oleh-oleh kata Dewie dengan wajah riang, sambil membonceng.
Kasian Dewie, malang benar nasibnya. Tak tahu kondisi Ibunya yang telah meninggal, batin Sigit.
Siip Wie? sahut Sigit kemudian.
Di rumah duka, pelawat mulai menyepi di jam 2 siang. Salat jenazah sudah usai 3 jam lalu. Mereka sebagian kini pulang untuk melanjutkan aktivitas rutinnya. Bertani.
Pentakziah di dalam pun mulai minum-minum air aqua , memang setelah beberapa jam mereka melakukan pembacaan surah-surah, jelas terasa benar haus mulai menclekit-clekit kerongkongan.
Bagaimana Pak?, apa masih ingin menunggu Dewie pulang? tanya H. Idrus yang masih setia melawat.
Inggeh Pak, sebentar lagi. Aku kasian dengan Dewie, bila ia tidak melihat muka Ibunya untuk yang terakhir, tapi aku kasian juga bila ia tidak bisa bersenang-senang dalam acara terakhir kuliahnya itu" jelas Pak Darwis yang duduk memadang wajah almarhum isterinya dari samping.
Iya Pak?, aku paham?, bagaimana baiknya Bapak saja? sambut H.Idrus sopan dan sesakali menepuk-nepuk bahu Pak Darwis agar terus tabah.
Setengah jam sekarang.
Sigit dan Dewie menyusuri areal persawahan yang menuju kampungnya. Terus mereka sisir jalan setapak itu secara hati-hati. Ban sepeda berkelok-kelok mengkuti lajur jalan. Dan lewatlah mereka di lokasi musibah yang menimpa almarhumah Bu Sumarni.
Pelan Sigit mengendarai motor, tampak di pinggiran sawah seperti bekas tlaktoran, rusuh, berantakan, rumput berpuntal-puntal membentuk seperti sebuah stempel besar. Atau bila modernnya bisa dikatakan acak-acakan di lokasi itu lebih mirip Crop Cyrcle. Semua itu dikarenakan Pak Darwis yang meronta-ronta, mengacak-acak segala rumput sawah, dan juga karena sepeda yang berbeban berat itu lama terbenam, dan ketika diangkat, maka jadilah seperti bekas stempel.
Dewie cuek saja, hanya Sigit yag lebih mengamati dengan mengalun hormat melawati tempat itu. Ia tau dari ayahnya yang lebih cepat mendengar kabar kalau di situlah tempat Bu Sumarni wafat. Diam terus tanpa berkata apa-apa dan tak ditanya apa-apa, Sigit terus mengendara dengan pandangan nanar.
Kiranya sesak sekali tertindih, beban dagangan dan terbenam air selama bermenit-menit bahkan berjam-jam?. Sungguh kasian almarhumah Bude, semoga ia mendapat tempat istimewa di sisi Allah SWT. Amin, batin Sigit berdoa.
Tiga puluh menitan kiranya mulai lokasi itu, akhirnya Sigit dan Dewie sampai di rumah. Sebelumnya Dewie tentu terkejut ketika motor masih berjarak 100 meteran dari rumahnya.
Kenapa berkumpulan orang-orang, berpeci dan berkerudung warna-warni dengan mimik wajah pasi. Seperti melawat, pikirnya. Dan sejak pandangan pertama itu, sampai kini motor telah sampai di pelataran, tetes air mata Dewie berlinang mulai tak terbendung. Firasatnya cemas, secemas-cemasnya. Pudar kesadaran dan tak memikirkan apapun lagi terkecuali pikiran buruk tentang sebuah hal.
Dengan langsung turun dari motor, Dewie bertanya dengan tiada kontrol lho ini ada apa!!!
Dari depan pintu ia pandangai sesosok jasad pucat berselubung kain batik Jawa, panjang cokelat-cokelat berukir daun, menyelimut kaki hingga dagunya. Terbujur di ruang tengah. Terbujur rapi, tanpa terlihat goresan apapun. Tangan-tangan mayat dapat di lipat lemas, dan wajah yang tampak pucat. Wajah yang terbuka, tak tertetutup kain itu sungguh tak asing di mata Dewie. Di samping kiri jasad itu, ada ayahnya yang menunduk dengan tangan kanan menopang kening dan peci perot. Tak kelihatan muka ayahnya,karena terbenam dalam ketidakjelasan pikiran. Badan Pak Darwis menggigil makin kuat saat menyadari anaknya telah datang dengan polosnya berdiri di depan pintu.
Kerumunan banyak di dalam, membuat Dewie makin hilang bentuk dalam kekalutan. Kelopaknya terus mengalirkan air mata.
Spontan, larilah ia dengan tas yang langsung ia lemparkan. Melayang berat tas itu, sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Jatuh gedabuk!!! layaknya hatinya yang telah gugur dari tempatnya.
Dewie menyongsong jasad Ibunya, tubruk langsung dengan tangan kirinya juga langsung mengelus-elus rambut Ibunya.
Buuuu!!!!!!....Buuuu!!!!!!. Huhuhuhuhuhu!!!!..Buuuu!!!..Buuu!! Kenapa Bu!!!.. Bangun Bu!!!. Bangun!!!.
Istighfar Ndo!!!," Pak Darwis memburu dan mendekap. "Istighfar!! Nyebut Astagfirullah hal adzim...Astagfirullahal adzim!!!..Astagfirullahal Adzim!!!! ucap ayahnya dengan menahan rontaan dari Dewie. Semua sudah di atur sang Gusti Allah, Ibumu sudah tentram!!!, jangan kamu persulit arwahnya Cah ayu!!!" imbuhnya lagi. Tetap Dewie meronta dalam semua kesedihan, dalam semua rasa bersalahnya, Dalam maaf yang bersembunyi di hati selama bertahun-tahun.
Semua Pentakziah hanya diam, menatap sayu. Menatap pilu. Tangan mereka masih memegang Yassin, dengan duduk bertahyad. Semua tetap diam. Ikut tenggelam bersama lara.
Dewie belum mau ditinggal Bu!!! Dewie masih mau bersama Bu!!!.. Bu bangun!!!.. Dewie bawain kelengkeng kesukaan ibu !!!" Dewie terbesit ingatan tentang Ibunya yang suka dengan buah itu. "Huaa!!!!..huaahuaa!!! huaa!!!!! makin berteriak-teriak menangis memanggil Ibunya, dengan rasa hati yang liar. Lepas tanpa kontrol dari saraf.. Keadaan makin tak terkendali. Dewi duduk ngedemprot di lantai dan menangis sekuat-kuatnya. Kaki-kakinya bergelojoh menjejak-jejak karpet, karpet pun terlipat-lipat.
Udara ruangan panas. Sepanas hati-hati orang yang tergulung sesal. Sesal terlambat dalam mengucap maaf. Terlambat dengan alur yang serasa bisa dikendalikan sendiri. Bisa di atur sendiri!. Congkak dengan logika sendiri!!. Dengan pendapat sendiri!!. Dan semua pertalian kegiatan yang dimulai tanpa berpikir panjang. Berpikir matang!!. Bilamana sesal terucap dalam kata-kata yang tanpa didengar jasad berhayat. Tentu sesal itu seumpama orang yang melanglang samudra dengan tiada tau arah pulau tujuannya.
Maafkan Dewie Bu" ucapnya sambil mencium tangan Ibunya. "Maafkan Dewie selama ini telah sering merepotkan ibu dan Bapak!!, maafkan Dewie sering berbohong Pak Darwis hanya dapat terus mengelus ubun-ubun anaknya.
Sudah Ndo?, Sudah" kata Pak Darwies menangis,, "Ibumu telah memaafkanmu. Sudah dan berhentilah menangis, kasihan dia. Berat nanti arwahnya Ndo?? kata Pak Darwis sambil terus mendekap Dewie. Ayahnya tak tahu bila pengakuan itu memang sesuai dengan kelakuan buruk anaknya selama ini. Pak Darwis anggap ucapan anak itu adalah kewajaran dari sebuah ucapan peminta ampunan dari anak untuk almarhum orang tuanya.
Di luaran, sejak tadi pelawat-pelawat yang masih setia, selalu berusaha mendongokkan kepalanya. Apa yang terjadi di dalam?. Teriakan seseorang membuat mereka beranjak berdiri. Penasaran terus berpuntal-puntalan dalam sanubari. Tak tenaglah duduk mereka, dan hingga kini masih clinguk-clinguk wajah pelawat-pelawat itu mencari tahu.
Sigit duduk di bawah pohon galam. Bergabung dengan pelawat lain. tak kuasa juga ia menahan untuk tidak merembeskan air matanya. Matanya merah bukan karena debu, bengkak karena air. Ia terus mencoba membaca-baca keadaan psikologi Dewie. Ia dengar dengan jelas betapa anak itu tak menerima kematian Ibunya. Penyesalan mendalam dapat ia tangkap dengan pendengarannya. Tentu Dewie masih memendam rahasia kotornya. Hingga Ibunya wafatpun. Rahasia busuk itu tetap terkubur dalam hatinya, pelajaran besar bagimu Wie!, simpulan hati Sigit.
Ayo Pak?, segera saja kita makamkan jenazah almarhumah? ucap H.Idrus yang juga tadi ikut membantu menenangkan Dewie.
Benar Wis, segera saja? sela pak Ratnho. Menganggukkan kepala dan mengusap matanya yang bengkak, menjawablah Pak Darwis baik pak, ayo Wie segera ikut bapak kemakam? bujuk sang ayah.
Inggeh Pak? sahut Dewie masih dengan suara bergetar-getar dan sesekali cegukan.
Mega terlihat di langit, putih seperti kapas-kapas mengapung. Tak ada mendung. Di Banjarmasin tadi, hari nampak campur aduk, ada mendung dan ada juga awan cerah. Tapi di kampung Rawomangun tidak. Awan putih dominan muncul dan iring-iringan awan itu melindungi lampu raksasa yang tegas menyinar. Jika dahulu semasa hidup, panas matahari terus menembakkan sinarnya membuat Bu Sumarni mengusap dahi dan mereguk air. Entah kenapa, kini panas itu sebagian sudah terhalang awan yang memayung.
Pak Darwis berjalan terpincang-pincang mengiring pikulan jenazah dari samping. Tak mampu buat dia untuk ikut menggotong keranda hijau lusuh itu. Walau sulit nian untuk mengimbangi gerak kaki-kaki penggotong yang waras, tapi Pak Darwis tak mempedulikannya. Ia berjalan secepat mungkin. Sekokoh mungkin. Seolah ia melangkahbersama isterinya yang membopohnya dari samping. Yah dari samping!.
Dewie membawa toples berisi kembang dan berjalan di belakang keranda yang di pikul empat orang. H.Idrus, pak Ratno, Sigit dan seorang tetangga, mereka adalah penggotongnya. Ke empatnya berjalan menerebas rerumputan menuju perkuburan. Tanpa berkata-kata,terkecuali hanya suara dengung lantunan ilahi Laillahailallah!!!!..Laillahailallah!!! dan bunyi derap kaki menandakan kehilangan.
Iring-iringan rombongan terus berjalan. Mereka lewati jalan setapak di tengah kampung dengan pohon-pohon galam di pinggir jalan itu seperti ikut memendam duka. Angin selentingan berembus menerpa barisan tubuh manusia-manusia juga daun-daun pohon. Banyak jumlah barisan itu, seperti barisan pasukan semut yang berjalan mengikuti ratu mereka.
Sampai di pekuburan, segera saja proses pemakaman dilaksanakan, dan setengah jam kemudian acara pemakaman itupun telah selesai.
Pelawat-pelawat yang tersisa tapi tetap jumlahnya lumayan itu semua sudah pulang ke rumah. Hanya keluarga yang tertinggal di pekuburan, yang mana corak makam itu terhias dengan akasia dan daun kamboja.
Masih dengan sesekali terisak. Tetes air mata Dewie begitu membenam cahaya pandangnya. Mengaburkan segala rupa dan bentuk. Kabur menuju alam yang tak mungkin ia bernegosiasi dengan-Nya. Ditaburkanlah bunga-bunga diatas pusara Ibunya, Dewie menyesal begitu sesal. Saat ini pastilah Ibunya melihat dan tentu ia bakal menangis mengetahui perangai anaknya yang lepas dari susila. Bagaimana pelontaran maaf yang sejati?, bingung ia?,pupus semua ancang-ancangnya. Bermaksud ingin mempamerkan semua hasil kuliahnya di depan Bu untuk menutup semua kelakuan buruknya, tapi orang yang menilai itu telah tiada. Hilang senyap ditelan bumi.
Bagaimana menuju pengampunan dari Allah dan Bu?. Apakah dengan doa?. Dengan mengaji?,apakah diterima lagi orang sepertiku untuk membaca ayat suci itu?. Tapi aku harus punya sikap positif sekarang. Aku akan bertobat dan memomong ayahku. Mungkin inilah cara terbaik untuk memperbaiki semua keteledoranku dulu hatinya berargumen.
Ayahnya hanya mampu menunduk dengan tangannya menempel di gundukan. Antara ikhlas dan tak ikhlas, perasaan itu sulit dilukis juga sulit dimengerti, dan ditemukan jawabannya. Hati masih egois dan nurani masih larut sedih.
Siang kian berkemelut dengan jam. Putaran jam seperti mengatur kerjanya, perlahan gerak mentari mulai condong menurun dari tegaknya yang mengambang. Pancarannya pun makin surut. Doa-doa telah teruntai dari mulut anak dan bapak untuk keselamatan bunda yang telah tiada. Hari-hari kini harus mereka lalui tanpa perempuan yang kuat itu. Tanpa nasehatnya, tanpa senyumnya, tanpa marahnya dan tanpa gerak kesehariannya. Semua rasa menjurus pada satu bidang. Bidang yang memacu ke arah kesenyapan.
*
Kunci Luka
Dua bulan berlalu kenyataan ternyata berbalik . Tegar justru dimiliki Dewie, Yudisium telah lama berlalu, Dewie juga tegar menghadapinya. Raut sedihnya berusaha ditutup-tutupi, dan ia tetap terus selalu memotivasi diri. Memotivasi dengan semangat kerja itulah visinya. seolah punya semangat bangkit ia malah terus mengunci semua rasa keterpurukannya jauh dalam alam ketidaksadarannya. Bangkit menuju kesuksesan dan tak ingin jatuh dalam keprustasian. Terbukti setelah musibah itu ia bangun, dan kini Dewie sudah menghonor di sebuah SMP yang berada dekat dengan kampungnya. Tak ingin berpikir kawin dahulu. Ia akan terus memomong orang tuanya yang masih tersisa itu.
Pak Darwis ternyata yang jatuh. Kematian isterinya membuat mentalnya roboh berserakan seperti bangunan terhantam badai. Walau awalnya ia berusaha bersikap tegar, tapi toh siksaan hari-hari yang ia lewati cenderung membuat jiwanya mengalami erosi, dan kini mental itu benar-benar longsor.
Pak Darwis mengalami depresi berkepanjangan, tiap pagi ia hanya duduk mendongok ke langit dari emperan depan rumah. Mirip orang sengong. Matanya menatap kosong. Tiap hari sering berjalan tertatih-tatih keluar, hanya untuk berlama-lama melihat kebun sayuran yang telah tandus kering tak terurus. Entahlah perasaan apa yang tengah ia pendam. Kadang Dewie melihat ayahnya itu menangis di tempat tidur, di sudut rumah, dan di pekarangan belakang. Badannya tambah tirus, layaknya balutan kulit saja. Kotor dan sedikit kumuh penampilannya. Ini karena mengurus kepribadian diri yang tak lagi Pak Darwis jamah. Dewielah yang setia menyeka peluh di tubuh bapaknya itu. Menangis juga kadang ia, jika memandangi ayahnya.
Sigit menatap keadaan Pak Darwis pagi itu, ia baru mengarit rumput dan melihat ayah Dewie berjalan memutar-mutar pekarangan. Ada juga anak kecil yang masuk bebas di rumah Dewie, tak menanyakan apa-apa Sigit kepada anak itu. Cuek masih Sigit terhadapnya.
Sebagai pemuda sopan, sebenarnya Sigit selalu menyapa Pak Darwis, sesekali ia membawanya ngobrol. Tapi raut muka hampa terpasang di wajah Pakdenya itu. Hingga sangat sering obrolannya tanpa ada balasan. Hanya balasan senyum darinya. Senyum yang Sigit tak paham maksudnya. Tapi Sigit sebisa mungkin memakluminya.
Terus Sigit melihat keadaan Pak Darwis. Ia amati ruangan rumah sepi. Mungkin Dewie masih bekerja, jadi tidak ada di rumah pikirnya. Benar-benar prihatin ia. Sigit pun punya inisiatif.
Suatu malam, di tengah-tengah antara selesai Maghrib dan menjelang Isa, terjadilah percakapan di rumah pak Ratnho.
Bapak? panggil Sigit. Sigit sudah dewasa Pak, apa boleh sekarang Sigit di berikan pilihan untuk mencari pendamping hidup? mohonnya.
Saat itu di rumahnya sedang ada acara kumpul makan-makan. Ada ayah, Bu, Sigit dan adiknya. Sigit yang berbicara seperti itu tentu membuat ayahnya merasa geli, karena omongannya terucap saat tengah makan-makan.
Ngaco kamu ini Git? jawab pak Ratnho senyum-senyum.
Mau modal apa kawin itu?, bekerja saja plonga plongo.
"Lho, bapak?. Ini Sigit serius tekannya lagi.
Sudah Pak?, dengerin anak kita ngomong dulu, jangan langsung dipotong keinginananya? ujar ibu Sigit.
'Nanti Git. Kita makan dulu setelah makan baru kita rembuk maksud kamu dengan matang? lanjut Ibunya.
Mereka pun diam masing-masing dan meneruskan makan.
Angin di luar rumah berembus aneh, penuh teka-teki seolah itu ialah soal yang harus diselesaikan seseorang. Menyeruak angin itu, menabrak dedaunan akasia dan galam dengan kencang lalu lirih lagi. Kencang lalu lirih lagi seperti denyut keberanian seseorang dalam bertindak dan membuat keputusan. Bulan memancar dengan awan hitam menutup setengah wajahnya. Rona putihnya itu samar layaknya rahasia yang belum terkuak dan masih terpendam dalam diri. Baru ingin diungkapkan dengan jalan yang juga rahasia.Bintang hilang dari atap langit, mungkin tabirnya tertutup mega yang sedikit mendung. Bintang sembunyi di belakang punggung awan. Bersembunyi diam untuk muncul kembali dengan sebuah kejelasan. Malam itupun senyap-senyap penuh intrik hening sebuah permainan nurani.
Selang berapa puluh menit acara makan pun kemudian usai. Mereka berempat lalu pindah berkumpul diruang tengah.
Begini Pak maksud Sigit? memulai pembicaraan. Sigit sudah punya keinginan kuat Pak?, mau menikah. Keyakinan Sigit sudah bulat? jelasnya.
Menggiling-giling tembakau strongking, ayahnnya itu duduk bersandar di dinding tanpa baju dan hanya memakai sarung, kepanasan ia karena kenyang. Ayahnya itupun merespon kamu belum matang Git?, isterimu kamu mau makani apa? makani tanah kering apa? Dulu Bapak mau jodohkan, kamunya yang minder. Padahal pas dulu itu, karena kamu juga telah kerja sekarang kamu pengangguran, malu toh le?.
Rezeki itu pasti ada Pak, gak bakalan sampai sengsara kalau di kampung itu, asal mau bertani tentu hidup saja. Nanti Sigit tidak usah minta jatah sawah dari Bapak, karena Sigit bisa menggarap sawah punya calon isteri Sigit? bujuknya.
Hahahahahaha!!!!! tertawa lebar ayahnya. Mana ada Git zaman sekarang? kawin tanpa punya modal sendiri, kok enak? cuma modal muka saja, mau kawin sama siapa?. Sama sapimu opo jawab ayahnya dengan mimik wajah meledek.
"Ada Pak?. Sigit sudah punya calon. Zaman sekarang yang penting rajin bekerja Pak, perkara jujuran itu bisa saja seadanya urai Sigit bersungguh-sungguh.
Nggak ada Git, yang seperti itu! bantah ayahnya. Bapakmu ini lho yang sudah tua, lebih banyak makan garam dari kamu!. Bapak hapal seluk beluk pandangan perempuan. Perempuan itu Git, paling utama tidak memandang calon suaminya giat atau tidak. Yang penting mapan atau tidaknya dulu. Kamu itu dipermanis pacarmu saja, jadi dia bisa berkata-kata seperti itu. Coba saja kalau kamu nekati, paling tiap hari berkelahi! terangnya panjang.
Memang siapa toh Git calonmu itu? sambung Ibunya datar.
Sigit terdiam sejenak dan terlihat menunduk di seberang dinding tempat ayah dan anak itu duduk. Dewie bu? jawabnya pelan.
Mendengar jawaban anak laiki-lakinya itu sontan ayahnya sedikit kaget. Dewie Git?, Dewie? raut muka ayahnya terlihat cerah. Tapi Dewie itu sudah sarjana?, kamu sekarang belum punya pangkat apa-apa. Apa mungkin dia mau Git Roman muka Pak Ratnho mulai bersungguh-sungguh kali ini.
Dewienya juga telah setuju kok Pak? kata Sigit.
Padahal sebenarnya Dewie pun belum ditanya masalah ini oleh Sigit.
Semakin heran, ayahnya pun menatap Ibunya yang duduk di depan televisi namun badannya tetap menghadap Sigit. Beneran Git?. Memang sudah pernah kamu tanyai? kata ayahnya tambah bersungguh-sungguh.
Sudah Pak, Sigit katakan, kalau Sigit kepengen ikut menjaga ayahnya, ayahnya tidak ada yang mengurus, dan keadaannya pun Dewie tahu sendiri. Atas dasar itulah akhirnya Dewie setuju wajah Sigit menjelaskan dengan ekspresi yakin.
Diam beberapa jurus.
Yah kalau memang seperti itu ceritaya, ya orang tua harus terus mendukung saja Git? terang Ibunya.
Tapi, apa dia benar-benar sudah yakin. Sudah mantap, soalnya kamu ini pemuda sawah dan tidak punya sawah sendiri lagi?, apa kata-kata dia itu sungguh-sungguh? sambung Ibunya.
Sudah Sigit tanya semua Bu? desaknya meyakinkan.
"Anak itu mau, dia tidak pemilihan mengenai calon suaminya. Yang penting secepatnya suaminya itu bisa mengurus sang ayah yang sedang sakit, bilang dia seperti itu Bu? ucap Sigit lagi.
Ayahnya hanya diam dengan hati girang sebenarnya. Masih menggiling rokok tembakau keduanya, sejurus kemudian jadilah tembakau itu rokok kretek, lalu asap mulai berkukus lagi, buyar pencar-pencar saat mulut kebiru-biruan itu menyedot rokoknya.
Bagaimana Pak pendapatmu? tanya Ibunya.
Dengan jari-jarinya menjentik abu yang berada di ujung rokok, dan akhirnya gugur juga abu itu kedalam asbak, menyahutlah ayahnya bila memang dia sudah mantap dan punya calon yang setuju, ya sudah, terusin saja.
Bapak tidak usah cemasin Sigit, dia sudah besar. Dia pasti bisa berumah tangga, meski sawah pun belum punya? bela Ibunya.
Nanti biar sawah Bapak yang bersebelahan dengan sawah Dewie itu saja yang diberikan separoh untuk Sigit, biar dia tidak malu, sebab, tau sendiri bagaimana sindiran dari tetagga kalau kawin tanpa punya pegangan hidup terus Ibunya.
Iya , bisa saja itu bu balas suaminya.
Mereka lalu berbicara mengenai hari, tanggal dan waktu, kira-kira kapan dapat diadakan pelamaran, dan segala tetek bengek urusan perkawinan. Semua dibahas malam itu, seolah-olah keputusan telah mutlak punya mereka. Dan juga pengaturan waktu, keadaan itu seperti hak paten milik mereka. Semua karena penjelasan dan pengakuan Sigit yang coba membujuk dengan memberi keyakinan serta kepastian bagi orang tua dia. Dan tentu hal itu membuat mereka menjadi percaya dan segara cepat merencanakan pelaksanaanya.
Hari minggu sore Sigit mendatangi rumah Dewie, ingin berbicara dengannya perihal keinginannnya dua hari lalu. Motor telah sampai di teras. Dan Dewie juga paham, bila bunyi motor itu adalah motor Sigit, maka langsung saja Dewie memburu keluar.
Eh kamu toh Git?, ayo masuk dulu?
tawarnya. Tidak usah Wie, tidak baik dilihat orang, di emperan saja? sahut Sigit dan duduk bersandar di tiang rumah.Sebentar ya, tak buatin minum dulu sambil langsung berjalan lagi kedapur.
Kali ini tak sempat buat Sigit mencegahnya.
Sigit lalu melihat-lihat sekitar, dengan sebilah rokok telah ia sulut dan ia isap-isap dengan mulutnya. Bunyi tongkat tek!!tek!!tek!! membuat telinganya tersita. Dari dalam ternyata Pak Darwis berjalan keluar, badannya yang kurus itu begitu nampak, dan sejenak menyapalah Pak Darwis kamu toh Git, sudah lama?"
Ah baru saja Pakde?, baru datang? jawab Sigit.
Bagaimana kabar ayahmu dan Ibumu? tanyanya lagi.
Alhamdulillah baik Pakde?, Pakde sendiri bagaimana? tanyanya balik.
Entahlah, kali ini tak disahut pertanyaanya.
Pak Darwis hanya terlihat membersihkan peci yang ia kenakan sambil tetap duduk di depan pintu. Tak mendengar kah dia. Terasa tak mungkin bila tak mendengar. Mungkin kambuh lagi ia dalam arus ngelamun. Dan tak tahulah, sesaat kemuadian ia beranjak berjalan lagi kedalam rumah. Misterius sekarang sikap Pakde Sigit itu.
Di dalam, Pak Darwis berpapasan dengan anaknya yang hendak keluar membawakan teh hangat diatas lapak tembikar sederhana. Berhenti sejenak langkah kaki Dewie. Bapak?. Jangan lupa makan ya? Dewie sudah buatin makanan buat Bapak? bujuk Dewie dengan sopan.
Iya Ndo? sahut ayahnya lirih.
Dewie telah sampai di teras, maju dengan sedikit membungkuk, Dewie pun menyodorkan minuman itu lebih dekat dengan Sigit Plekk?? bunyi gelas bersentuhan dengan lantai .
Ini diminum dulu Git? tawar Dewie sambil mundur dan duduk di depan pintu.
Ah tidak usah repot-repot Wie? jawabnya.
Oh iya?. Tumben kamu kesini? Ada apa? tanyanya lagi. Ahhh??..,aku cuma mau nengoki keadaan ayahmu saja? urainya peduli.
Beliau baik-baik saja kan? . Hmmm!!!" Menghela napas. "Ya seperti itu Git, kamu bisa lihat sendiri kan keadaanya. Jiwa ayahku benar-benar terguncang saat musibah itu, aku benar-benar iba dengannya? kata Dewie dengan raut wajah mulai pasi.
Lalu, apakah kau tak terpikir untuk mencari seseorang yang dapat menjaga ayahmu dari pekerjaanmu Wie? Sigit memulai pembicaraan yang mengarah keniat dia yang sebenarnya.
"Maksudnya apa Git? tanya Dewie yang memang kurang paham.
Kamu tak ingin mencari pendamping hidup Wie, agar pria itu bisa menjaga ayahmu?. Mata Dewie menatap Sigit tajam.
Dewie yakin pasti hal yang dahulu akan terulang lagi. Di mana Sigit mengutarakan cintanya dan kali ini tekanan itu lebih serius dengan topik pernikahan.
Segera saja Dewie mematah harapan Sigit dengan berujar aku masih bisa mengurus ayahku Git?, honoranku tidak full dalam seminggu, jadi aku masih sanggup mengurusnya. Lagian aku belum terpikir nikah Git?.
"Wie?, kamu itu sudah saatnya mencari pegangan" Sigit menatap sungguh-sungguh. "Tidak bisa seperti ini terus, itu ayahmu siapa yang mengurus nanti? Sigit mulai mendesak.
"Biasanya, aku menyuruh Arif untuk menjaga bapakku setengah hari. Biasanya aku suruh dia dengan ku beri upah 15 ribu buat jajan, itu juga untuk hari-hari tertentu kalau aku mengajar, bila tidak mengajar, ya aku sendiri yang mengurusnya terang Dewie.
Lalu sawahmu, juga kebunmu yang telah kering itu?.
Masalah sawah, aku dapat bagian setiap tahunnya dari hasil garapan, dan tentang kebun, lihatlah sendiri beberapa bibit waluh, juga sayur yang sebentar lagi akanku garap.
Ah!!!. Tak bisa kau emban sendiri seperti ini, sungguh aku hanya mencoba meringankan masalahmu yakin Sigit. Dewie tersenyum.
Prinsip Dewie benar-benar keras. Ia tak ingin kawin dulu untuk beberapa tahun ini. Ingin selalu setia menemani ayahnya dan dia sejujurnya takut bila kawin, justru desakan mertua nanti membuat dia harus meninggalkan ayahnya. Benar-benar anti dia dengan perkawinan. Ia beasumsi jika alasan yang dikemukakan Sigit itu hanya tameng awal yang menutup semua maksudnya. Dewie kuatir bila ia mengamini kemauannya, ayahnya akan kalah. Dan tak terurus lagi.
Tapi di pandangan Sigit, bahwa dia benar-benar ingin menjaga Dewie beserta ayahnya . Hanya mungkin Dewie benar-benar trauma dengan masa lalu pertama dia mempercayai laki-laki, hingga pendiriannya itu serupa karat besi yang sulit hilang.
Jadi benar-benar kamu tak ingin menikah dulu Wie, padahal akulah yang ingin sekali melamarmu Wie? akui Sigit.
Dewie telah tahu maksud Sigit, jadi ia tak merespon kata-kata Sigit itu dengan mimik wajah kaget. Biasa saja kesan wajahnya itu. Senyum-senyum saja. Dengan bernada halus, ia pun mencoba memberinya pengertian maaf ya Git?, terima kasih sampai sekarang kamu masih menyayangi aku, tapi aku ingin sikap pengertianmu, karena aku masih ingin menjaga ayahku. Semoga kamu mengerti Git?. Menunduk muka Sigit mendengar penjelasan Dewie.
Keras benar hatinya. Batu sudah nuraninya itu. Kamu yang tak mengerti Wie, tak paham, dan selalu bisa menyelesaikan persoalanmu sendiri. Batu!!!. Benar-benar batu pendirianmu! batin Sigit dongkol, dan marah.
Masih terdiam, Sigitpun mengeluarkan ponsel dari dalam saku bajunya. Ia pencet-pencet tombol Handphonenya itu, mencari-cari sesuatu, dan sejurus kemudian Dewie mendengar seperti suara video berasal dari ponsel Sigit.
Ini Wie silahkan melihat? mengunjuk ponselnya ketangan Dewie.
Gllaaaarrr!!!!!! Glaaarrrrrr!!!! guntur bergemuruh di hati Dewie.
Kilat menjilat-jilat lagi menghantam sasaran. Menghancurkan apa saja yang disentuh, diraba, dan dilihat. Sepertinya akan terjadi badai besar. Topan dahsyat bahkan tak mungkin terjadi Tsunami. Wajahnya cemas bukan main. Bergetar-getar bibir dan mukanya tak percaya. Matanya tajam menatap layar ponsel tanpa berkedip. Tangannya mulai menggigil ketakutan.
Sebuah video dewasa tengah Dewie saksikan, dan mirisnya bintang utama wanita dalam video itu adalah ia sendiri. Bermain bebas di kamar sebuah hotel, dan peran lelakinya seumuran saja dengannya. Itu adalah teman dari temannya Sigit , yang dulu Sigit pernah suruh untuk mengerjai Dewie dengan menyuruh teman yang satunya untuk membacking Dewie selama semalam.
Tak tahan dengan apa yang ia lihat, video berdurasi 10 menit itupun tak sampai habis ia putar. Ia matikan tombol untuk memberhentikan tayangan itu. Dengan wajah mendung, bergemuruh. Dan selanjutnya hatinya mulai mendidih berkecupakserupidalam kancah. Ia pun berontak dengan nada bicara tinggi.
Darimana kamu dapat video ini!!!! bentak Dewie.
Suasana kian kacau sekarang, bukan seperti tamu lagi Sigit dimata Dewie. Melainkan seperti musuh yang benar-benar jahat. Benar-benar licik. Benar-benar bengis. Kejam.
Darimana kamu dapat video ini kataku!!!!! bentaknya lagi dengan mata kian melotot.
Sigit hanya tersenyum dingin. Meneguh teh yang telah dingin juga ia, kemudian mejawab dengan nada santai sambil memutar-mutar rokok dengan jari-jemarinya.
Tak penting juga buatmu, tahu tentang asal muasal video itu. Bukannya kamu bangga dengan atraksimu itu Wie" ucap Sigit dengan wajahnya menatap Dewie penuh kemenangan.
Tangan Dewie serasa memegang sampah kali ini. Matanya benar-benar kalut, dan HPitu benar-benar sampah sekarang. Ia genggam Handphone Sigit dengan kuat-kuat. Dengan angkara yang menjadi gelombang besar. Berubah Tsunami. Siap tumpah menerejang. Meluluh-lantahkan. Memporak-porandakan.Wajahnya merah mewakilkan amarahnya itu.
Semakin bergetar-getar tangannya.
Banting saja Wie!!!!, Silahkan banting!!!!!! gantian hardik Sigit.
Aku punya salinan video itu di HP satunya. Banting saja kuat-kuat!! suruhnya lagi.
Luapan amarah itu tiba-tiba reda Syut..Syut..Syut!!!, syut!!! mengempis, kecil dan kemudian hilang. Terdiam lemas, sekarang Dewie hanya terisak-isak tangis. Handphone tak lagi ia genggam, dan tak jua ia banting, hanya ia letakkan sayu di atas lantai. Gantian terpojok ia, dan tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Kamu tak paham Git? Dewie mencoba menjelaskan maksudnya. Aku berbuat demikian, lantaran keadaan ekonomiku yang berantakan, dan aku tak tega melihat mereka berpayah-payah mencari dana untuk kuliahku? jelasnya.
Lalu! dengan cara seperti itu kamu ingin merubah mereka, meringankan mereka. Dengan berbohong hingga ajal menjemput Ibumu Wie! balas Sigit menekan.
Tidak!!!, kamu belum paham dan tak mungkin mengerti!!! Dewie berbicara sambil menahan ucapannya agar tidak membongkar masa lalunya yang hina bersama pemuda yang awal kali merusaknnya .
"Baiklah, tak tahu kelihatannnya aku tentang semua rahasiamu itu, dan tak pernah coba untuk ku ungkit. Itu pribadimu, yang ku ingin hanyalah, aku mau kamu jadi isteriku? desaknya lagi.
Aku tak ingin bersuami dulu, apa kurang yakin ucapanku tadi! bersungut-sungut mukanya.
"Kiranya, kau tak mengerti dengan maksudku menunjukkan video itu, sekarang terserah kau mau memilih, pilih bersuami denganku atau pilih ayahmu tersiksa batinnya lagi, ketika melihat video mesum anaknya tersiar ke segala sudut desa? tekannya dengan nada datar.
Kamu!,..Kamu mengancamku Git! hardik Dewie dengan semakin memplototkan mata.
Tidak?, aku tidak mengancammu?, aku hanya berusaha memberimu pilihan.
Keterlaluan kamu Git! terus terisak-isak.
"Aku sungguh tak menyangka, tega kamu berbuat licik seperti ini?, kecewa aku mengenalmu, dan bahkan menganggapmu sebagai kakak!..Jijik aku sekarang!! lantang suaranya.
Hhffffffftt... asap rokok meluncur lurus dari mulut Sigit, hampir bersentuhan dengan wajah Dewie. Raut wajah Sigit santai tak peduli dengan apa yang ia dengar. Meski terisak, bahkan menangis darah pun sungguh Sigit tak peduli. Keputusannya bulat untuk meminang Dewie, dengan semua rencana jangka panjangnya. Walau cara yang ia gunakan sama sekali tak senonoh.
Pikirlah sendiri Wie?, pikir dengan bijak, aku hanya ingin merawat ayahmu?, aku akan datang 3 hari lagi, dan kuharap pilihan darimu itu tepat jawabnya sambil mengambil Handphone yang tak jadi dibanting dan masih tergeletak dilantai. Setelah itu Sigit pulang meninggalkan Dewie dengan mata Dewie yang bengkak dan masih duduk di depan pintu.
Ketika debat tadi, Pak Darwis sama sekali tak mendengar, ia ternyata tengah ada di kebun sayur miliknya yang tandus, dan bersandar di bawah pohon karet. Tempat ia dan almarhumah isteri yang memberi nasehat baginya.
Malam hari terasa panjang bagi Dewie, benar-benar tak bisa tidur. Gelisah dan terus membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari ketenangan. Namun tetap tak bisa. Benar-benar tak percaya Dewie dengan orang yang telah ia anggap kakak itu. Sebegitu tega menurutnya. Malam ini pun ia harus cepat ambil keputusan. Dan keputusan itu terasa berat sebelah. Lebih tepat jika di katakan tidak ada pilihan, dari semua pilihan yang ada. Semua hanya tekanan yang menjurus pada satu keputusan. Sekali lagi tidak ada kata pilihan.
Di lain pihak, malam ini juga membuat pak Ratnho terus terbayang-bayang dengan impiannya. Ia yang sedang duduk-duk dikursi mulai meraba-raba bagaimana pucuk dari pernikahan Sigit dan Dewie Jika nanti Sigit berjodoh dengan Dewie, otomatis sawah Dewie pun akan menjadi hak anakku. Darwis melihat keadaannya sih bakalan pendek umurnya?. Temanku itu dilanda tekanan hebat, palingan kiranya berumur 3 tahunan lagi. Sigit bakal mendapatkan bagian dari sawah isterinya. Dan ujung dari ujung?, pasti aku juga ikut mengelolanya. Wah???... Bakal bertambah lebar lagi sawahku? lamunannya kotor sambil senyum-senyum sendiri.
Tiga hari telah berlalu, sebelumnya Sigit dan Dewie telah mengatur tempat untuk bertemu. Dalam percakapan itu, Dewie tak punya lagi perlawanan untuk menolak. Ia pun menerima. Dewie juga telah mendapatkan restu dari sang ayah yang tidak tahu perkara apa-apa. Pak Darwis menyetujui lantaran Sigit itu anak baik dipandanganya. Tidak serta-merta karena tekanan ucapan dari Dewie. Pak Darwis tulus menerima Sigit menjadi mantu.
Sesuai rencana awal, acara pernikahan pun diselenggarakan kiranya seminggu dari acara pertunangan. Tetangga-tetangga sebenarnya heran dan bingung juga dengan tindakan yang dilakukan Dewie. Sebagian ada yang membodohkan sikap yang dijalankan Dewie untuk kawin dengan pemuda kampung seperti Sigit. Dengan beralasan bahwa, Dewie itu guru, lebih pantas bercalon dengan guru juga. Sebagian lain ada yang memakluminya, karena ayah Dewie perlu untuk ada yang menjaganya. Yang jelas kesemua warga desa Rawomangun, tetap tak mengetahui rahasia antara Dewie dan Sigit.
*
Dia yang Terempas Berulang Kali
Waktu beredar dengan putaran sia-sia bila arah keputusan selalu terhimpit oleh sebuah tindakan ketidakyakinan. Keyakinan akan termimpi-mimpi oleh keraguan dari diri pribadi atau desakan dari luar. Keraguan dikarenakan kecemasan dari bayangan kejadian-kejadian buruk yang tercipta oleh alam khayal sendiri.
Begitulah yang dialami Dewie. Telah dua tahun ini ia dan Sigit resmi menjadi pasutri. Walau telah menikah, tapi perangai Dewie yang terkenang dahulu, membuat Sigit enggan untuk berbuat layaknya suami isteri. Sigit berprinsip sebelum Dewie mengakui semua salahnya kepada ayahnya, maka ia tak akan menjamah badan isterinya itu walau sejengkal jari. Bukan karena ia mengingat betapa menjijikkan kelakuan Dewie dahulu, namun itu semua berdasarkan prinsip.
Dewie sekarang telah menjabat sebagai guru resmi. Bukan guru honorer lagi. Agaknya doa Iibunya dahulu terkabul. Ia lulus dari tes yang diikutinya di Kapuas. Uang tabungan untuk memperlancar jalan Dewie ternyata juga cukup. Itu hasil kumpulan Iibunya untuk dia, semasa Ibunya masih hidup. Sekarang Dewie mengajar di SMA, dan alhamdullilah Dewie dapat membeli motor kredit untuk penunjang aktivitasnya. Sawah Dewie semua diserahkan Sigit, ia yang mengelolanya, mengingat penggarap terdahulu sudah habis masa perjanjian garapannya. Sekarang Sigitlah yang menggantikanya.
Urusan ayah Dewie, mereka berdualah yang bergantian mengurus. Setiap selesai bekerja dari sawah, Sigit selalu pulang ke rumah untuk memperhatikan kondisi Pak Darwis. Keadaan mertuanya itu kian layu saja. Ia benar-benar hilang segala tenaganya untuk bangkit. Kini mertuanya itu hanya bisa berbaring di tempat tidur. Kaki-kakinya semakin tak berdaya menopang badan.
Dalam berbagai kesempatan, sebenarnya Sigit selalu membujuk Dewie untuk mengakui semua kesalahannya kepada sang ayah yang keadaannya kian sakit. Akui semua perbuatanmu sebelum sang ayah berhenti bernafas? salah satu saran Sigit. Namun Benar-benar takut oleh alam ilusi sendiri, Dewie tak berani bila perkataannya itu malah membuat ayahnya mempercepat umur yang tersisa. Ilusi-ilusi kecemasan Dewie oleh karena kejadian itu.
Suatu hari, pernah Dewie ingin mengakui semua khilafnya di masa lalu.
Saat itu, ayahnya sedang duduk-duduk di teras sembari mendongok-dongok ke langit-langit rumah. Nanar benar Dewie melihat hal itu, ia pun segera mendatangi ayahnya dengan membuatkan secangkir kopi. Hari itu ingin dia bercakap-cakap dengan ayahnya.
Pak?.., Ini tak buatin kopi buat Bapak?, ayo di minum bujuk Dewie. Pak Darwis menatap kopinya dan tangannya langsung memburu gelas yang telah tertaruh di lantai tersebut. Diangkatlah gelas itu mendekati bibir, hendak diseropot ayahnya. Ketika telah bersentuhan antara air dalam gelas dengan bibir Pak Darwis. Laki-laki itu mendadak batuk terpingkal-pingkal.
uhukk!!!!..,uhukk!!!!..Uhukk....huuuk!!!!! suaranya tersisksa, gelas pun turun ke lantai lagi dengan cepat. Tak jadi diseropot. Menaruh dengan sembarangan hingga setengah airnya tumpah.
"Pak!!!!.. Kenapa Pak!!!..tanya Dewie cemas dan langsung mengurut-urut leher belakang ayahnya.
"Uhukkk!!!!!...Uhukk!!!...Uhuuuk!!!! semakin berat lagi batuknya. Tersengal-sengal setelah itu alur nafas ayahnya. Dewie pun tambah cemas, berlari tunggang langgang ia untuk pergi ke dapur mengambil air putih, beserta minyak angin yang tergeletak di kamar ayahnya. Lari dia seperti maling ketahuan.
Sampai di teras ini Pak diminum air putihnya, dan pakai minyak angin ini?? menyurung air putih. Pak Darwis menurut apa kata anaknya, ia langsung reguk air dalam gelas, gluk!!!..,gluk!!!!..gluk!!, bunyi air masuk ke kerongkongan hahhh!!!! Suara ayahnya sedikit reda dari batuk-batuknya .Terjangkau gelas itu sekarang, dan masih ada sedikit airnya. Tertaruh rapi di sisi kiri duduk ayahnya. Dewie langsung mengoleskan minyak angin ke leher juga perut ayahnya, agar hangat. Itulah menurutnya.
Sambil mengoles-oles Dewie ingin berbicara lagi dengan topik awalnya, yaitu mengakui segala kebohongannya. Pak Darwis terlihat diam pucat hendak mendengarkan.
Pak..sebelumnya maafkan Dewie Pak?" ungkapnya mengurut leher belakang ayahnya).
Kenapa minta maaf Wie? tukas ayahnya.
Begini Pak? Dewie ingin masuk ke topik. Dahulu Dew..???!!!. Sett!!!!!!..tertahan ucapan Dewie tak jadi disambung, seperti mati ngilu pita suaranya. Kata-kata terjun kembali masuk keperutnya. Gagal berloncatan keluar. Gerak urutan tangan berhenti. Mata Dewie terpancang kini kedalam gelas. Samar-samar terlihat ada warna merah di bibir gelas itu. Ia jangkau gelas itu, kemudian mengamatinya lebih dekat, lebih detail.
"Darah??? kataya dengan nada khawatir benar sekarang.
Gelas terabaikan lagi, sama nasibnya seperti gelas pertama, gelas kedua ini pun diletakkan dengan sembarang. Tumpah juga sebagian isi di dalamnya karena tergoncang kala menaruhnya di lantai. Bergerak tubuh Dewie dengan cepat, dari membelakangi ayahnya kini segera langsung berhadapan dengannya. Berhadapan, kemudian ia tatap wajah ayahnya. Tatap dengan tangan Dewie menyangga rahang-rahang ayahnya .
"Bapak kenapa berdarah mulutnya!!!..Buka mulutnya Pak!!!..,coba Dewie periksa!!! kata Dewie dengan pelupuk mata telah banjir lagi.
Pak Darwis tersenyum dengan menggeleng-geleng, tak apa-apa bapak Ndo?, mungkin gigi bapak copot, jadinya keluar darah?, maklum sudah tua? urai ayahnya.
Ah!!!, tak mungkin Pak!!! desak Dewie terus.
"Bapak jangan melawan Dewie, tolong buka mulutnya Pak!! bujuk Dewie lagi.
Uhukk!!!!!..Uhukkk!!!!! suara batuk lagi, dengan tetap membawa degup jantung yang semakin ngos-ngosan. Dewie sedikit melengoskan muka. Batuk ke tiga ini, langsung memunculkan lelehan darah yang keluar dari mulut ayahnya. Sedikit darah itu, tapi tetaplah terlihat darah. Dewie lalu merangkul ayahnya, mendekapnya dengan kasih, Menggigil karena tangisan. Tak sanggup saat itu ia untuk mengaku, karena keadaan ayahnya seperti itu.
Bapak!!!!... kata Dewie menggigil. Bapaknya hanya mengelus-elus rambut Dewie, dengan mengangguk-angguk Bapak tidak apa-apa Cah ayu, kamu tenang saja. Bapak ini masih sehat.
Dewie tak percaya, Ia lepas pelukan ayahnya, dan secepat kilat langsung menunggang motornya untuk menjemput Mantri.
Sekitar 30 menit kemudian, datang Mantri yang langsung memeriksa tubuh ayahnya dengan stetoskop.
Bapak mu kena paru-paru basah Wie? kata Mantri setelah usai memeriksa. Paru-paru basah! Kok bisa kena Pak, soalnya, paru-paru basah itu setahu saya, hanya terjadi bila seorang suka berkendara Subuh-Subuh tanpa tameng dada sangkal Dewie.
"Iya??.., Seperti itu kebanyakannya, tapi paru-paru basah juga dapat menyerang, bila tubuh tak terurus pola makannya dan sering juga tidur tanpa baju. Dan yang paling penting paru-paru basah, sering disebabkan kebiasan merokok jelas Mantri.
Sejak saat itulah, Dewie benar-benar lebih telaten mengurus ayahnya. Sigit juga tekun, ia mengurus selalu mertuanya. Tapi tetap saja, sang ayah berpolah seperti bayi lagi. Enggan makan bila belum lapar, dan lapar itu juga datang tanpa mau diamini oleh kehendak pikiran ayahnya. Tertahan saja lapar itu di tenggorokan ayahnya. Kejadian itu membuat Sigit juga terus memberi isterinya ingatan. Cepat minta maaf. Namun mulai saat itu pula, Dewie semakin takut mengaku. Benar-benar sebuah waktu yang tersia-sia.
Hingga peristiwa pilu itu terjadi.
Tengah malam, saat semua orang sedang larut kedalam buaian mimpi, tiba-tiba Sigit dan Dewie terjaga. Pak Darwis batuk terpingkal-pingkal. Mereka cemas bukan kepalang. Kejang-kejang juga ayahnya itu. Entah rasa apa yang ia emban, karena sebelumnya ayahnya itu menolak bila dibawa berobat ke Puskesmas untuk di tangani lebih lanjut. Pak Darwis trauma dengan hal yang dulu-dulu, yang hampir berujung pada carut-marutnya kuliah Dewie, gara-gara musibah yang menimpa dia.
Mengetahui sang ayah tengah berjuang dalam koma, Sigit berlari keluar dan langsung menggas motornya menuju rumah Mantri. Dan Dewie berlari menju kamar ayahnya, dengan menangis sejadi-jadinya, lalu memeluk badan ayahnya yang terbaring kejang di kamar itu. Nafas ayahnya kembang kempis. Batuk itu benar-benar terdengar berat.
Terus terbatuk-batuk Pak Darwis, lelehan darah juga tampak di bantalnya ternyata. Entah darah kapan itu. Sejurus kemudian, sadarlah Dewie bila ayahnya itu tengah berhadapan dengan sakaratul maut. Ia pun membimbing ayahnya untuk menyebut asma-asma tuhan dengan isak tangis yang mendalam.
Sayangnya untuk kedua kalinya, ia sama sekali tak terlintas untuk meminta maaf buat ayahnya. Ia panik dengan kondisi sang ayah. Mulut ayahnya bergetar-getar mengikuti kalimat yang dibimbingkan Dewie. Laaillll.....a. terbata-bata suaranya, dan lepas penghujung nafasnya.
Roh telah terangkat, terbang memandang jasad atau terbang melayang buana, ini tidak ada yang mengetahuinya. Semua gaib.
Hening udara malam larut itu, membawa sebuah cerita duka. Rumah itu perlahan merasakan lara untuk kedua kalinya. Semua senyap menjadi saksi bisu. Horden pintu kamar melambai-lambai diterpa angin yang sejak tadi dBuka oleh jendela. Melambai-lambai layaknya suruhan alam untuk segera seseorang bertemu dengan tuan-Nya. Rayap-rayap di perut dinding sudut kamar itu pun diam tak beraktivitas lagi. Tampak benar bentuk mereka yang liliput itu begitu kuasa merusak medan yang keras. Seperti tekanan mental yang begitu halus tak berbentuk, yang dahsyat mampu membawa seseorang menuju alam senyap tanpa nafas.
Membludak-bludak perasaan Dewie. Terulang lagi rasa panasnya. Wajahnya berapi nyala dengan mata bengkak terisak-isak. Ia dekap tubuh dingin ayahnya yang hilang roh itu, dingin ia rasakan dan ia dekap terus. “Innalillahiwainnalillahirojiuun.. Dekap erat-erat. Selanjutnya baru sadarlah dia, bila belum mengakui semua dosanya.Belum ia minta maaf. Belum ia minta maaf dengan kedua Bu bapaknya. Tolol. Benar-benar tolol kau Wie! hujat batinnya. Tuhan benar-benar membuntukan segala panca indera untuk menangkap maksud yang melayang-layang dipikiran. Hingga maksud itu kini seakan telah terbuang hampa. Sesal yang mendalam berada di palung hatinya membuat sebuah gelombag besar dari sanubari menerejang keras melalui tenggorokan. Menerejang keluar dan menghantam semua yang ada.
Bapaaaaaakkkk!!!!!!!....Maafin Dewie..Pakkk!!!!, Maafin Dewie.....!!!!! teriaknya dengan menggoyang-goyang tubuh ayahnya yang mulai kaku.
Beberapa menit kemudian tetangga yang kaget segera datang menuju tempat arah teriakan itu. Mereka langsung masuk dan mengrumbungi Dewie yang lunglai ngesot-ngesot di lantai. Ayahnya telah menjadi mayat dan terbujur diatas kasur ranjang.
Tetangga-tetangga itu mencoba menenangkan Dewie dengan menyuruhnya mengucap istighfar dan merelakan kepergian ayahnya.
Di emperan depan, Sigit sudah datang membawa Mantri, namun ia pun segera pupus harapannya mengetahui rumahnya telah ramai oleh kiranya 10 orang dengan raut wajah pasi semua. Sigit langsung masuk kedalam kamar tanpa menghiraukan Mantrinya. Dan sampai di kamar, ia juga melihat keadaan yang sama. Dengan penerangan lampu bohlam bercahaya kekuning-kuningan, Sigit melihat bola mata mereka remang-remang. Cahaya mata-mata itu seperti mengatakan duka. Sedih, prihatin dan pilu melihat kisah tragis Dewie. Sementara Dewie hanya tersedu-sedu dipelukan seorang Bu-Bu bertubuh tambun.
*
Seminggu setelah wafatnya Pak Darwis
Jadi kamu belum sempat mengakui semua kelakuanmu kepada almarhum ayah! kata Sigit tak percaya.
Kamu anak keterlaluan Wie anak tak punya iman dan benar-benar durhaka! bentaknya.
Akkkuu.. terbata-bata suaranya. Akkku.... takut mengakui semua itu Git!, karena ayah benar-benar rapuh pikirannya kala itu, ku pikir keadaannya akan membaik, dan baru aku akan mengakuinya, Ttttapi... semua lepas dari perkiraanku dan bodohnya aku karena di saat sekaratnya aku tak ingat untuk meminta maaf?.
Kau memang bodoh!, tak pernah paham dengan apa yang dinamakan pelajaran!. Kuliahmu tinggi-tinggi, bahkan kau telah jadi guru, tapi moralmu seperti penjahat-penjahat di sudut jalan kota! berkoar-koar suaranya, membuat tetangga terkejut dan terlihat sembunyi-sembunyi mendengarkan pertengkaran keluarga itu. Bersembunyi dan mengintip di balik jendela pintu atau celah-celah lubang dinding.
Kau sudah banyak terminum kencing iblis!, hingga telah terputus saraf nuranimu Wie. Semua kau sepelekan, dan seperti ini yang terus kau terima. Belum cukup ternyata kau belajar!. Dan nanti, alam pasti memberimu bimbingan tentang arti jalan yang kau pilih! kata Sigit dengan semua kedongkolannya yang meledak-ledak.
Kala itu Dewie hanya menangis dengan duduk di sudut pintu. Menangis sesal yang semuanya telah terlambat. Sigit terus marah, bahkan membanting-banting gelas. Sebenarnya dia kasihan sekali dengan isterinya. Kenapa sampai sekarang hati isterinya masih juga terhasut dengan semua khayal-kahayal ketakutan yang diciptakan setan itu.
Kenapa aku tak sanggup membimbing isteriku untuk berpandangan dengan kejadian buruk dimasa lalu. Mengambil intisari dari sebuah peristiwa duka?, itu yang ku mau. Tapi sampai detik ini pun aku tak mampu batin Sigit menangis dengan semua kelemahannya.
Prustasi berkepanjangan karena rasa prihatinnya, Sigit pun keluar dari rumah mencari ketenangan. Ia tak khawatir isterinya itu nekat bunuh diri. Karena Sigit pun yakin bila isterinya tak sudi juga untuk berbuat itu.
Sigit terus berjalan keluar dengan hatinya berkata-kata maafkan aku Wiei!. Maafkan kelemahanku sebagai suami yang tak bisa mendidikmu. Maafkan aku baPak Darwis, Bu Sumarni jalan terus Sigit dengan menangis meratapi ketidakberdayaan untuk menyadarkan isterinya.
Dua hari berselang, wajah Sigit tampak mulai mereda. Tidak marah dia bila bertemu Dewie, tidak ditemukan kejengkelan di raut wajahnya yang hitam manis itu. Hingga isterinya itupun berpikir, mungkin suaminya itu telah melupakan perkara yang lalau-lalu. Sekarang, tiap hari selalu terukir senyum di bibir suaminya itu. Dewie pun mulai merasakan arti cinta dan kasih sayang yang selama ini jarang ia dapat. Khususnya kasih sayang jasmaniah. Dan ketika malam hari datang, hasyrat lelakinya kini mau untuk menjamah isterinya. Dengan bahagia sang isteri pun memenuhi permintaan sunah itu.
Hari-hari terus mereka berdua lewati dengan layaknya suami isteri yang rukun. Tentram dan damai. Tak tahu isterinya itu bila suaminya mempunyai rencana lain untuknya. Rencana yang akan membuat pelajaran berarti baginya. Senyum dan kasih sayang yang diberikan Sigit kepada Dewie, tak lebih hanya sebagai pengiring salam pisah untuk isterinya.
Dua minggu kemudian, di sebuah warung sederhana yang berjarak kiranya 500 meter dari rumah Dewie.
Oh..iki toh guru lonte itu!! ucap menghina dari seorang ibu-ibu kepada Dewie yang sedang berbelanja di warung.
Iya...anak yang tak tau diuntung, sampai orang tuanya mati-matian nyekolahkan tinggi-tinggi, malah kerjaannya di sana nglonte! sahut Bu yang lain sambil mencibir. Pagi itu itu pengunjung warung tengah banyak, hampir semuanya Bu-Bu yang berbelanja kebutuhan dapur.
Dengan ucapan-ucapan mencemooh itu, betapa malu dan hancur hati Dewie. Ia pun tak tahan dan mengurungkan niatnya untuk belanja. Ia pulang dengan masih merasa bahwa puluhan pasang mata orang-orang, terus menatapnya dari tepi-tepi jalan dengan pandangan cemooh mereka. Dewie gelisah dan sesekali pula terdengar samar-samar umpatan-umpatan dari kejauhan jalan. Umpatan Bu-Bu kepadanya.
Masuklah ia kedalam rumah dengan menangis. Kenapa mereka berkata-kata kasar dan tak beradap seperti itu. Apa yang terjadi, Apa mungkin mereka tau, batinnya menebak-nebak. Ia gelisah dan tertekan lagi. Hal apa lagi yang akan menimpanya kali ini.
Saat jam telah menunjuk tengah hari. Sigit pulang dari sawah menuju rumah. Turun dari motornya ia tampak berwajah santai saja walau keringat bercucuran dan lumpur berclemotan di wajahnya. Beranjak kakinya menuju waduk belakang untuk mandi. Namun langkah kakinya terhenti kala isterinya memanggil namanya dan muncul dari pintu samping.
Git" panggil Dewie. Sigit pun menengok kebelakang
Apa Wie" sahutnya santai. Dengan wajah merekah marah ia pun langsung melabrak suaminya dengan pertanyaan ketus kenapa orang-orang mengatakan aku lonte Git!. Tau darimana mereka!. Video itu kau kemanakan!, aku tak rela bila sampai video itu tersiar kemana-mana. Aku tak rela Git terus Dewie membentak.
Suaminya hanya diam cuek dan beranjak lagi mandi.
Git panggilnya dengan nada tinggi.
Kenapa berpaling!, kenapa menghindar dan tak menjawab! tanya Dewie nerocos. Sigit tetap berjalan dan menjawab dengan kata-kata membingungkan hati Dewie, biar keadaan baru memberimu pelajaran untuk mandiri Wie?. Dewie semakin menjadi-jadi di dalam rumah, ia berontak menghardik gantian suaminya itu. Kenapa ia tega sebarkan aib rumah tagganya sendiri. Kenapa dia berbuat demikian!. Dewie terus bertanya dan memaki dengan semua ketidakpahaman dari kelakuan suaminya itu.
Sang suami hanya diam mendengarkan hujatan si isteri, setelah selesai mandi Sigit langsung pergi keluar lagi tanpa memberi senyuman salam seperti senyumnya yang lalu-lalu.
*
Suatu pagi.
Maaf Bu?, saya selaku kepala sekolah mewakilkan dari semua pihak, terpaksa memberhentikan ibu.
Dewi kaget "Lho!!! kok seperti itu Pak?, salah saya apa Pak!!! ucap Dewie .
Begini Bu?" Kepsek dudul dan mulai menjelaskan semua perkaranya. Bingung lagi Dewie, begitu cepat videonya tersiar kemana-mana. Sampai ke sekolahan pula. Dan akhirnya Dewie harus menerima keputusan dari sekolah, bahwa ia resmi di keluarkan dari mengajarnya.
Malam harinya masalah tidak berhenti di situ, kiranya lima orang datang bertamu ke rumah Dewie.
Assalamualllaikum!!!. ucap salam dari salah satu orang itu dengan mengetuk pintu.
Dari dalam Dewie menyahut dengan pucat waalaikum sallam? dan membuka pintu. Mata Dewie sedikit terbuka, dari kesayuannya setelah puas seharian menangis dan mengurung diri, kala gagang pintu mulai berderit membuka dan menunjukkan wajah-wajah tamunya itu.
Mereka adalah pak Kades, RT, pak Ratno, seorang warga dan Sigit suaminya sendiri. Ada apa kiranya laki-laki itu berkunjung kesini? batin Dewie bertanya cemas.
Ada apa ini Git? langsung Dewie bertanya kepada Suaminya.
"Tidak Dik, mereka hanya ingin meminta penjelasan jawab Sigit menunduk.
Sepertinya hal ini membuat nuraninya pilu juga. Kasian benar ia dengan Dewie. Tapi dengan cara ini mungkin anak itu dapat belajar. Tegasnya berpendapat dalam hati. Boleh kami masuk Wie? mohon pak Kades.
Oh..?? terlihat kaget karena melamun.
Silahkan Pak, silahkan masuk? Dewie mempersilahkan tamu-tamunya masuk, dan kemudian ingin berlari ke dapur namun langsung dicegah pak Kades.
Tttidak usah Wie? burunya. Terhenti langkah Dewie.
Tidak usah repot-repot kami hanya sebentar? lanjut pak Kades.
Dewie pun tak jadi membuatkan minuman, dan setelah itu ia duduk saja, selanjutlah dimulailah pembicaraan malam itu. Dewie berada di pinggir dekat dengan dinding dan ke lima orang itu seperti duduk membundar berbentuk kurung yang menghadapi Dewie.
Begini Wie", Kades memulai pembicaraannya.
Kami datang kemari hanya untuk membahas perkara kasus yang menggegerkan warga kita?. Masalah video yang tak senonoh itu. Sebelumnya saya minta maaf apabila ucapan saya kurang menyenangkan di pendengaranmu kata Kades.
Dewie terdiam masih mendengarkan. Tapi hatinya yakin bila malam ini kabar buruk pastilah ia terima.
. inggih Pak? sahutnya kemudian.
Dewie tentunya tau?, betapa warga di desa kita ini begitu rentan gaduh bila mendengar berita yang sedikit miring. Dan parahnya lagi, berita semacam itu sangat sulit lama untuk hilang dari pembahasan" Kades bercerita dengan tangannya menggambar-nggambar bentuk abstrak di lantai yang berlapik karpet hijau.
" Berapa minggu atau bahkan bulan, kabar cerita yang miring pasti akan masih terus santer jadi bahan pergunjingan Wie, apalagi jika hal yang mengolah gempar itu bersumber dari sebuah video mesum!. . Fatal ternyata dampak video ini, beberapa kali saya mendapatkan komplain dari warga, dan akhirnya malam ini saya datangi Dewie dengan maksud lebih menggamblangkan tentang jalan keluar masalah ini.
Hmm..?? menghela nafas sebagai peristirahatan sejenak dari bercerita , Kades lalu memulai lagi bicaranya kasian anak-anak yang belum mengerti apa-apa Wie, dan melihat adegan-adegan yang tak layak itu. Moral mereka akan hancur, memang berat mengatakan ini.
Berhenti berucap sementara, dan memandang Dewie, kemudian menyambung lagi tapi dengan terpaksa, saya selaku Kades di sini mewakilkan dari sebagian keluhan warga, untuk menyarankan agar Dewie meninggalkan desa" jelasnya dengan tegas.
Dagumm!!!!!!! bom atom meledak dahsyat di hati Dewie. Begitu keras. Tanpa ampun. Benar-benar sebuah situasi seperti juga tertekan dua bilik dinding besi. Menjepit. Dan melenyapkan sebuah pemahaman. Dewie tatap nanar mereka berlima, tadinya ia hanya membungkukkan muka dengan melihat kaos lusuh yang diikenakan Kades. Tapi setelah penjelasan itu ia dengar, pandangannya berubah tajam seperti singa lapar. Menghujam ke wajah Kades yang tenang, lalu beralih kepada pak Ratno yang memandang balik dengan sinis, beralih lagi kepada Sigit. Tertunduk tak berani menantang pandang Dewie ternyata ia. Terakhir tanpa beradu pandang dengan RT dan satu warga yang turut serta. Dewie pun memandang jatuh ke bawah lagi. Memandang karpet hijau yang mulai samar. Mata Dewie lalu menyipit. Mengedip sesaat dan terasa dingin air yang ikut. Ia kucek sesekali. Dan merah sekarang warnanya, lalu kabur tergenang luapan air mata yang ingin tumpah.
Tapi Pak? sanggahnya lirih .
Apa tidak ada kesempatan untuk saya memperbaiki kesalahan itu? mohon Dewie, menahan tangis.
Kades menatap Dewie dengan muka kasihan Saya benar-benar minta maaf Wie?, bukannya saya tak punya nurani. Usulanmu sudah saya coba rembukkan dengan sebagian warga yang perotes itu. Namun mereka tetap bersih kukuh. Memintamu segera meninggalkan desa. Alasan mereka mengarah pada anak-anak. Di pos, anak-anak kampung dini tanpa diketahui orang tua mereka, ternyata anak-anak itu suka melihat tontonan dewasa tersebut. Dan ujungnya berimbas pada mental pribadi si anak itu sendiri. Ardi cucu mbah Karjo contohnya terang Kades bersungguh-sungguh.
Di sekolahannya yang baru tingkat SD, dia telah berani mendorong putri anak Bu Sumiyati ke tembok, dan seperti mempraktekkan gaya di video itu, tangannya menjamah-jamah kasar ke payudara anak Bu Sumiyati. Cucu mbah Karjo itu pun masuk kantor, dan mendapat sangsi berat. Setelah didesak, dan diancam oleh kepala sekolah. Ternyata ia berbuat demikian karena terpancing video yang ditontonnya. Dan video itu, Dewielah pemainnya.
Hela napas sejenak lagi, pak Kades pun melanjutkan bercerita.
Kisah lain datang dari anak pak Kirman, yang ketahuan melakukan manstrubasi di dalam kamar, saat ayah dan ibunya pergi ke sawah, dia ketahuan karena ayahnya lupa untuk membawa bekal minuman, lalu kembali ke rumah lagi untuk mengambilnya. Padahal anak pak Kirman juga masih tergolong kecil, baru kelas 2 SMP. Tapi moralnya juga mulai teracuni karena video yang ia tonton itu .
Betapa penjelasan pak Kades membuat hati Dewie seperti dicabik-cabik kuku-kuku tajam dari besi. Apalagi kalimat dari bibir Kades itu yang berbunyi dan video itu kaulah pemainnya dengan tatapan Kades itu seolah mendesaknya agar kalah berargumen.
Badan Dewie panas sekali. Mungkin karena panas bingung yang bercampur dengan malu. Matanya tak tahan sekarang, dan kemudian tumpahlah air mata itu untuk kesekian kalinya, perlahan!. Lalu deras!. Dan bercucuran lebih deras lagi!!.
Maafkkkkan ssss...aya pppak" Dewie menundukkan kepala dan terbata-bata suaranya. "Ssssaya bbbbeennnnar-benar menyesal dddan sedih dengan ini semmmua... katanya dengan menyeka air mata yang jatuh mengalir di pipi lalu masuk ke dalam mulutnya.
"Sssaya tak mengira semua terjadi hhhingga.. seperti ini jelasnya dengan tersedu-sedu.
Yo jelas tak mengira!. Wong ndak bisa mikir!!!. Apa bisa mikir toh kamu itu! Ndo? ejek pak Ratnho yang merokok-rokok dengan wajah masam.
Sekolah tinggi-tinggimu itu kan cuma buat ganti-ganti lakian toh. Gak kasihan dengan arwah bapak Ibumu kan kamu!, gak kasian dengan suamimu toh!, dapat corengan jelek sekarang aku. Gara-gara punya mantu kayak kamu!! lanjutnya dengan nada marah.
"Sudah pak, sudah? pinta Sigit. Tidak baik mengungkit orang yang telah meninggal. Sudah?. Tenang pak! terus Sigit berusaha meredam amarah ayahnya.
Begini Pak? Dewie mencoba cari pembelaan.
Video itu tentu ada yang mengedarkannya?, apa Bapak tahu siapa pelaku yang menyebarkan video itu. Saya rasa tidak adil bila hal itu tidak diusut dan orangnya tidak mendapat hukuman yang setimpal seperti yang dilayangkan kepada saya" Mata Dewie memicing ke arah Sigit. Dan Sigit pun tak berani menatap. Langsung membuang muka ke dinding, tempat kalender-kalender usang tertempel.
Yah?, benar! Saya telah mencoba menyusuri asal muasal kasus video itu. Saya tanya terus, dari siapa-dari siapa video itu, hingga pada telusuran puncak, saya mendapat pejelasan dari seorang pemuda, yang mengatakan bahwa, ia mendapat video itu dari temannya yang bekerja di Banjar!, sedang temannya itu kini merantau lagi ke Palangka Raya jelas pak Kades.
Bohong itu Pak!
Dewie memberontak. Wajah kuyu itu seperti terisi baterai lagi. Kuat lagi. Kokoh lagi. Siapa pemuda itu! desaknya. Saya minta, dia dipanggil kesini! ucap Dewie tak menerima penjelasan dari pak Kades.
Memang benar. Ini adalah rekayasa panjang yang telah disusun Sigit hingga masak-masak. Penuh muslihat, yang hanya ia dan teman-temannya saja yang tahu. Dan untuk yang lain, semua hanya seonggok benda yang terus hanyut oleh arus ciptaan Sigit.
Sudah!, buat apa toh panggil-panggil pemuda itu malam-malam begini! tekan gantian dari pak Ratnho. Ini sudah larut!, mbok terima saja. Semua tidak bakal pulih seperti asal" Wajahnya bersungut-sungut. "Terima Ndo! dan tolong tata sikapmu setelah ini! terangnya.
Bapak sebenarnya sayang sama kamu, dan kasihan melihat kenyataan pahit yang terus menimpamu. Tapi mbok coba tengok ke belakang dari semua kejadian-kejadian itu. Semua peristiwa tentu punya sebab, dan kejadian-kejadian pilu itu mungkin teguran buatmu untuk segera merubah watakmu Ndo? lanjutnya lagi.
Diam Pak! bentak Dewie.
"Bapak tidak mengerti keadaan Dewie tempo dulu" Bergetar-getar badan beserta bibirnya Dewie.
"Ibu dan Bapak Dewie semasa hidup berjuang mati-matian untuk Dewie. Saya tahu itu semua. Dan apakah salah bila Dewie sebagai anak, ingin meringankan penderitaan biaya yang mereka cari untuk Dewie? mendelik matanya.
Video itu, Sigit sendirilah yang menyebarkan!!!" tuduh Dewie menunjuk Sigit. Dengan suara masih berderik-derik marah ia menyambung lagi Entah apa yang ada di otaknya!!, hingga tega berbuat seperti itu!!.
Ke empat peserta sidang termangu. Bukan karena terkejut. Tapi lebih ke arah iba tentang pembelaan Dewie yang muskil tak masuk akal itu. Sedih ke empat laki-laki itu. Dan hanya pak Ratnho sendiri. Laki-laki ke lima, yang nampak mulai mengumpulkan tenaga yang ia simpan untuk ia ledakkan menghantam perkataan mantunya itu. Tapi buru-buru diredam Sigit. Sudah pak! jangan dibahas lagi! selanya mematah ucapan tajam yang telah rucing lurus siap menghujam Dewie. Dia enggan ayahnya itu bentrok dengan isterinya dan hanya akan memperkeruh suasana.
Cukup Wie saran Sigit. Cukup, tak perlu dilanjutkan. Semua tak ada yang akan paham. Tak ada yang akan percaya.Semua tetap bakal memojokkanmu, hal ini telah menjadi kobaran api besar. Sulit untuk dipadamkan. Andai kamu ingin tetap tinggal di sini pun, apakah mungkin kamu bisa tahan mendengar cercaan dari para tetangga dan warga desa ini! Sigit menerangkan sambil merembeng matanya. Berkaca-kaca basah oleh penerangan lampu philips. Hatinya robek juga melihat isterinya yang sendiri di sidang habis-habisan.
Terdiam kalah Dewie. Berontakannya telah ia sadari tiada guna. Tak mempan. Sekarang larut semua batahan, terkena abrasi penjelasan Sigit. Penjelasan yang memelikkan pikiran. Dan benar-benar pilihan yang kasar mentah untuk ditelan.
Eling Ndo? saran pak Kades. Ini bukan akhir dari cerita, dan jangan kamu merasa kecil mental dengan keputusan ini?, tegarlah seperti almarhumah Ibumu. Baja dan kokoh mental dia. Hingga membuat orang-orang desa yang dulu pernah mencibirnya karena niatnya ingin mengkuliahkanmu sedang ia saja dari keluarga sederhana. Tapi sekarang ia bisa dan bahkan tabungannya itu masih dapat kamu pakai buat Wisudamu dulu nasehat pak Kades lembut.
Memang Kades harus bijak. Tidak ada kesan pihak-memihak. Pilihan yang ia ambil memang bukan lantaran hasutan dari warga, itu sebenarnya hanya kamuflase Kades saja untuk lebih memantapkan pendapatnya. Ia sayang warga-warga desanya, oleh sebab itu pilihan ini ia landaskan karena ia sayang juga dengan Dewie. Kades tak mau Dewie malah ciut akal dan bunuh diri bila dia tetap tinggal di desa, karena setiap hari nanti ia harus mendengar dan melihat cibiran pedas serta cemoohan warga kampung. Ia lebih baik disarankan untuk pergi.
Pak RT, dan seorang warga yang ikut serta dalam sidang itu hanya terus bungkam. Tak ikut debat. Semua kata-kata telah diwakilkan Kades yang lebih menjabat kuasa dibanding dua orang itu.
Sunyi kemudian suasana itu. Isak-isak Dewie pun telah berhenti. Mereka berlima juga diam. Menanti lontaran kata dari Dewie tampaknya. Layaknya pemain bulu tangkis yang siap menerima servis dari lawannnya, dan segera mengembalikan servis itu dengan smash keras. Sama seperti ungkapan itu, mereka pun siap mematahkan lontaran kata Dewie dengan sanggahan yang mematah gerak lidahnya.
Dengan pelan Dewie pun berucap lagi kiranya, baiklah bila keinginan warga sini meminta saya untuk pergi meninggalkan desa. Lalu bagaimana dengan rumah beserta sawah?, itu memerlukan waktu untuk menjualnya Pak?.
Lho! apa yang dijual? sanggah pak Ratnho.
"Sawah dan rumah ini harus dibagi dua. Sigit masih suamimu!. Dia berhak mendapatkan warisan peninggalan orang tuamu! pojoknya.
"Tidak bisa begitu Pak! protes Dewie.
"Rumah dan sawah, ini mutlak hak saya. Punya ibu dan Bapak saya. Dan telah dijatuhkan semua kepada anak satu-satunya. Yaitu saya. Adapun bila Sigit berhak mendapatkan jatah tanah. Itu oleh aturan dan ijin saya. Orang tunggal yang mempuyai hak tanah ini! terang Dewie tegas, dan berhadap pandang dengan pak Ratno mertuanya.
Tidak bisa seperti itu Ndo! bantahnya tak terima.
Kalau masalah ini lari ke hukum. Kamu kalah!. Coba saya tanya, apa kamu punya sertifikat tanah rumah dan sawahmu ini? desaknya sambil nyengir.
Ucapan kali ini, sekali lagi membuat lidah Dewie kelu tak mampu berucap. Memang pada dasarnya, kebanyakan penduduk yang tinggal di kawasan transmigrasi ini belum mempunyai sertifikat rumah, kebun dan sawah. Belum ada yang membuat karena pemutihan belum sampai di desa itu. Sampai sekarang pun masih banyak warga yang belum punya sertifikat. Semua tanah disetujui berdasarkan saksi-saksi. Sementara penentuan batas lebar dan luas itu diambil dari seberapa mampu seseorang membabat alas di tempo dulu, ketika kawasan itu masih benar-benar ortodok.
Tapi kini ada juga yang nekad membuat sertifikat sebenarnya. Pak Ratnho salah satunya, walau biaya yang dikeluarkan benar-benar tinggi, tapi ia tetap maju. Pak Ratnho beranggapan bahwa setifikat memang wajib ada. Agar kelak tidak menimbulkan suatu permasalahan.
Kembang kempis dada Dewie menahan pukulan yang terus datang menghantam. Bagaimana lagi harus berpikir, sempat ia menyahut lagi untuk melawan, saksi-saksi hidup! kata Dewie.
Walau tanah saya tak punya sertifikat, tapi saya masih punya saksi-saksi hidup yang akan memperjelas akan hak saya ini Pak! serunya.
Mertuanya semakin senyum mengejek dengan matanya membesar menatap ke segala dinding dan atap dan TV dan semua ruangan. Lepas ia tatap dengan balasan kemenangan yang ingin ia lontarkan, bawa semua saksi-saksi itu kemari Ndo!, bawa saja!, dan tanyai nanti!, tanya satu pesatu. Bapak tidak takut! tantangnya.
"Kamu pikir mereka akan membelamu?, membela seorang mantu yang kerjaannya merusak desa dengan tebaran dosa!, membantu seorang penyial desa!. Pembuat desa menjadi kotor! kamu berpikir mereka akan membantumu Ndo? nadanya turun naik dengan muka yang kadang maju merendahkan dan mundur lagi mukanya dengan maksud menang berpendapat.
Kelimpungan Dewie dengan lontaran kata-kata mertuanya. Ingin ia menangis lagi. Tapi air matanya benar-benar telah habis. Tidak keluar lagi pelampiasan semua sebalnya itu. Keruh sudah. Suasananya keruh jua. Sekeruh air kali yang surut. Ia pun tertunduk. Rambut panjangnya melampir di sepanjang pipi-pipinya dan sesekali goyang menutup barisan alis dan matanya yang sembab.
Semua peserta yang lain hanya diam. Tak ikut bicara. Kades hanya menunduk, ia pun tahu keputusan ini benar-benar berat sebelah. Curang menurutnya, tapi bagaimana. Sementara ini, ia juga tengah berpikir penyelesaiannya. Kedua pihak tak mau kalah. Dan saling dorong untuk menumbangkan musuh. Masih diam Kades. Menunggu suasana yang tepat.
Dalam hening, tiba-tiba Sigit memberi masukan Wie? nadanya lembut. Dewie yang kuyu tenggelam dalam ketundukkannya pun menengadah melihat wajah Sigit.
Aku ada tabungan buat bekalmu. Ini benar-benar telah kronis. Tak ada tempat lagi untuk bertahan. Kau tetap pasti akan kalah. Biar aku saja yang rawat tanah ini. Dan nanti bawalah ganti rugi tanahmu ini. Meski jauh dari nilai yang sebenarnya, tapi tolong gunakan untuk hal yang baik jelasnya dengan kini air mata jatuh lengket-lengket dipipi Sigit.
Tak perlu Git kau berlaga jadi pahlawan! timpal Dewie menyeruak.
"Jadi seorang yang suka menggurui!. Jadi priyayi yang suka menasehati!, semua cuma akal-akalanmu Git!, cuma sandiwara dibalik sengsarakkkku..!!!. ucapnya bergetar-getar dan tiba-tiba kedua dengkulnya menekuk ke atas dan membenamkan mukanya kedalam sela-sela lututnya itu sambil tangannya merangkul kedua kakinya, seperti keadaan dulu di mana ia terpuruk.
Terserah Wie?, mau kau anggap apa aku ini. terserah saja balas Sigit juga dengan nada terbata-bata, tersedak tangis.
Ndak usah nangis Git, kalau dia tidak mau, ya sudah. Tidak usah lagian duitmu itu mana, mau ngasih pesangon dia. Seperti jutawan saja kamu ini? sindir ayahnya.
Terdiam Sigit, dan sekarang Kades pun mulai ikut bicara lagi.
Begini saudara-saudara" Matanya lebih melihat pak Ratnho.
"Perkara tanah, nanti akan saya carikan pembelinya,dan semoga ada yang berminat. Soalnya bila langsung diambil keputusan secara sepihak, dengan jalan adik Dewie tidak menerima bagian dari haknya, menurut saya ini benar-benar tidak adil buat dia? kata Kades mencari titik tengah.
Yoh adil saja toh Pak!. Lagian siapa yang mau nukar tanah tanpa ada sertifikat seruduk pak Ratnho.
"Lalu untuk apa juga mantu kayak Dewie mendapat jatah dari peninggalan orang tuanya. Kebanyakan harta kalau tidak bisa mengurus, toh bakal jadi jalan membuat dosa lagi! serunya mendorong keadaan Dewie.
" Tetap tidak sepihak seperti ini Pak! Pokoknya nanti akan saya urus surat-suratnya" nada Kades sedikit menekan.
Jika dipaksa, tanah itu akan bertuah, akan membuat celaka bagi siapa yang menggarapnya. Karena tanah itu bukan murni hak seseorang, terkecuali Dewie sendiri belanya.
Masih menyangkal dengan ekspresi muka tidak peduli, pak Ratnho terus menghimpit kata, ah..? kata siapa seperti itu Des, itu cuma tahayul. Mitos?, tidak ada yang seperti itu, percaya dengan yang gitu-gitu cuma membuat diri tak bisa maju jawabnya dengan gerak tubuh berayun kekiri dan kekanan, dan mata sipit melihat Kades dengan tatapan tak percaya.
"Ini benar Pak? jelasnya lagi.
Tan...
Sudah pak!,Sudah! Sigit memotong ucapan ayahnya.
“Berhenti berdebat dan membicarakan masalah gono-gini tanah orang kata Sigit.
"Bapak panggilnya dengan memandang wajah ayahnya.
Bapak, jangan seperti itu. Sudah cukup kita menghakimi Dewie. Jangan diperberat dengan tindakan-tindakan yang makin menyeleweng" terang Sigit masih menatap ayahnya. Pak Ratnho hanya menggerkkan dagu serta menatap dinding-dinding.
"Ini telah salah Pak. Benar kata Kades tadi" jjempolnya menunjuk badan Kades. "Llebih baik mencari pembeli dulu, agar Dewie juga mendapatkan separuh haknya? bujuk Sigit.
Tertegun kali ini pak Ratnho. Berhenti ia memandang-mandang, tatap matanya jatuh pula ke lantai.
Hmm..!!!; hembusan nafasnya.
Baiklah bila demikian keputusannya. Lalu berapa hari untuk mendapatkan sebuah pembeli? apa mungkin Dewie tahan bila tetap berminggu-minggu menunggu di sini menanti kedatangan seorang pembeli. Dan apa terjamin bagi Bapak Kades, bahwasannya nanti, tidak akan menerima segala keluhan lagi dari warga, bila Dewie masih tinggal di kampung sini terus pak Ratnho menghasut.
Memang segala kemungkinan itu tentu terjadi ujar Kades tenang.
Tapi langkah dini yang cepat harus segara ada sebagai penanggulangannya. Saya akan meminta nomor Handphone Dewie, dan biarlah ia dalam beberapa hari meninggalkan desa. Namun tetap nomor Dewie saya miliki, dengan maksud bila sawahnya dan rumah ini ada yang membeli, saya akan mengabarinya lalu mengatur urusan dengannya di telepon saran Kades.
Kalah pak Ratnho kali ini. Ia berhenti membantah. Bila tetap ia melawan dengan perkataan yang menyudutkan. Tentu masing-masing pihak akan tahu bila gelagatnya itu di latar belakangi oleh ketertarikannya dengan semua tanah milik mantunya. Mata pak Ratnho hanya memancang menatap Dewie tanpa iba sedikit pun. Tatapannya bagai seorang sipir penjara yang menatap resedivis-resedivis tahanannya, mata sipir itu penuh pandangan arogansi dan tempramental melihat sampah-sampah masyrakatnya.
Dewie yang terus diamati pak Ratnho benar-benar terkulai lemas. Serasa tak bertulang belakang tubuhnya, hingga ingin ia ambruk karena tak mempunyai penopang. Tapi tak bisa ia seperti itu. Kata-kata Kades berapa menit lalu membuatnya lebih tabah. Ibunya adalah orang yang tegar di pandangan warga, dan iapun harus seperti itu. Tak lagi ia menutup diri dari wajahnya yang bersembunyi di belakang dengkul-dengkulnya. Wajahnya terbuka sekarang, dan terihat berkerut-kerut kulitnya, tertekan dorongannya tadi yang lebih dalam mendesak mukanya agar tenggelam di sela-sela lutut. Rambut-rambut terlihat beberapa helai menempel dipipi-pipinya, menempel oleh lem air mata. Dan matanya masih sayu.
Bagaimana Wie tegur Kades.
Inggih Pak, saya siap menerima kosekuensi ini. Dan perkara tanah, saya serahkan urusannya kepada bapak Kades katanya pasrah.
Malam itupun benar-benar malam pilu. Malam ironis. Malam di mana seorang perempuan dikeroyok lima kaum adam dalam beradu asumsi. Perempuan itu tanpa daya, tanpa kekuatan dan hanya mirip seperti seekor kecebong di kubangan kecil yang diintai anak-anak itik yang lapar. Melawan dengan dayannya yang sungguh tiada berguna. Sia-sia.
Untungnya mukzizat masih dapat ia rasakan. Mukzizat dari kebijaksanaan seorang Kades yang memberinya tekanan kepada pak Ratnho, agar tidak berlarut-larut dalam tindakan kezaliman.
Keputusan telah dibuat dan disetujui. Malam yang kian melarut benar-benar terasa sakit bila harus dilalui dengan cucuran kesedihan. Mereka berlima pun pulang. Sigit sekali lagi tak tidur di rumah isterinya. Ia yakin isterinya tak mungkin nekat, karena janjinya akan menebus semua salahnya untuk kedua bapak Ibunya itu ialah pedomannya. Tak bakal ia ngawur dalam membawa dirinya lagi.
Dewie masih terdiam duduk lemas bersandar pada dinding. Tekanan masalah yang dialaminya belakangan ini terus menerus membuat bentuk tubuhnya kurus. Tak terurus lagi dia.Pucat dan kurus. Ia jangkau Handphone yang berada di sekitar dudukannya. Hadphone yang sejak sore tadi diam, olehnya menjadi saksi bisu vonis yang telah dijatuhkan kepada majikannya. Jempolnya bergerak lemas menekan dan memencet nomor. Malam itu menelpon seseorang dia.
Subuh setelah kamat, tiba-tiba datanglah Sigit masuk ke dalam rumah isterinya. Ia membawa amplop tebal yang ia selipkan di kantong kiri celananya. Masuk kedalam rumah, ia melihat Dewie tertidur duduk bersandar di dinding. Pulas barangkali hingga ia tak merasakan kedatangan Sigit. Sedih mata Sigit melihat kondisi isterinya. Benar-benar menyayat nurani. Tapi inilah pelajaran yang coba dia berikan tanpa sepengetahuannya. Dalam pulasnya tidur Dewie. Ia ambil Handphone yang tergeletak di telapak tangan kanannya dengan pelan. Sesaat kemudian matanya telah menyusuri layar ponsel isterinya itu. Membaca dan mengamati, siapa saja orang yang terakhir dihubunginya. Dan dengan cepat menyalin beberapa nomor dari dalam Handphone Dewie kedalam Handphonenya. Usai dengan hal itu, ia pun menggerak Dewie. Wie pelan suaranya penuh kasihan. Wie?, bangun Wie, panggilnya. Mata yang tertutup pucat itu kemudian terbuka. Perlahan membuka dengan sipit-sipit.
Kenapa kau datang kesini? tanyanya sedikit terkejut.
Tidak ada Wie, Mas minta maaf atas kejadian malam tadi kata Sigit.
Sudahlah Git, jangan berpura denganku, kau urus Ayah ibumu saja yang masih lengkap, tidak ada perlu lagi kau mengunjungiku."
Aku peduli denganmu Wie ucap Sigit dan mendekap erat isterinya itu dengan terdu-sedu.
Aku hanya ingin kamu belajar dari ini semua. Aku ingin kamu tidak menyepelekan sesuatu mengambil keputusan secara sepihak, karena keputusan itu belum tentu benar dan bermanfaat bagi dirimu sendiri kata Sigit terisak-isak.
Dewie ikut mengeluarkan air mata. Di balik pelukan Sigit, Dewie benar-benar menyesal dengan sikapnya yang dulu-dulu. Ia pun hanya diam dibalutan kasih sayang seorang suami di kala subuh.
Ini ada amplop" ujar Sigit melepas pelukannya dan meraih amplop itu dari dalam saku celana. , "isinya hanya 5 juta saja. Hasil tabunganku selama bekerja di Tanjung Selat dulu? jelasnya.
Pakailah buat bekalmu, jjaga baik-baik dirimu. Aku tak mampu menjagamu Wie. Tatalah hidupmu dengan sebenar-benarnya. Urusan tanah, percayakan akan ku gunakan tanahmu untuk berderma. Aku janji Wie, tanahmu akan kembali kepada ibu bapakmu." Terisak-isak kali ini Dewie. Hilang semua ngantuknya, dan dengan tangan bergetaran ia terima amplop itu terima kasih Git. Entah?, tak paham aku dengan kesimpang siuran pikiranmu itu, tapi kali ini, aku percaya padamu. Terima kasih."
Hati-hati Wie?, pilihlah temanmu dengan bijak pesannya. Dan Subuh pun berlalu, membawa langkah Sigit pergi meninggalkan isterinya.
*
Surau dan Subuh
Tahun ke tiga selepas kepergian Dewie dari desa. Hampir semua tampak biasa bila masuk kedepan desa itu. Namun cobalah masuk ke desa dan menyusurinya sampai keujung-ujung. Maka akan ditemuilah perubahan yang mencolok.
Dua tahun lalu, konflik terjadi antara Sigit dengan ayahnya. Ayahnya tak rela dengan keputusan Sigit mengenai sawah Dewie. Sebelumnya sawah Dewie yang ingin dicarikan pembeli oleh pak Kades, itu diambil alih oleh pak Ratnho. Sawah yang seharusnya tidak boleh ditanami karena itu milik orang lain. Malah nekad pak Ratnho garap hingga musim panen pada tahun pertama. Tapi sungguh sebuah teguran!. Saat padi telah kuning-kuning karena masak, sawah Dewie itupun kebakaran hebat. Habis semuanya dimakan api. Sigit yang mengerti jika ini adalah teguran mencoba memberi saran ayahnya, namun ditolak dengan tetap keras pada sikap ngototnya. Itu hanya kebetulan!! katanya.
Tahun kedua musibah kembali menerpa pak Ranho, kali ini bukan padi. Tapi bibit padi yang siap menunggu panen. Semua bibit padi tiba-tiba kuning, Dan mati. Seolah menanam di atas tanah tandus saja. Mati kuning dan kering. Dan akhirnya untuk kedua kalinya, ia mengalami gagal panen.
Hal ini membuat Sigit geram, dan pada tahun itu, ia lawan ayahnya dengan habis-habisan. Eling pak!!!..Eling!!! ini teguran dari sang Maha Kuasa. Mbok sadar!!!, mbok tobat!!!, jangan terlalu maruk dengan harta!!! bentaknya di suatu debat dengan jengkel yang berapi-api. Akhirnya hati ayahnya luluh dan menyerah. Ia lepas keinginannnya untuk menggarap sawah Dewie, dan menyerahkannya kepada anaknya. Terserah ingin diapakan tanah itu.
Pada tahun ke tiga ini, suara azan lebih ramai berkumandang. Surau kini ada dua. Surau milik pak Poyo dan kini surau baru yang dibangun di tanah bekas rumah Dewie. Yah, Sigitlah penggagasnya. Tanah Dewie atas seizinnya tempo dulu itu, kini dibangun sebuah langgar kedua. Langgarnya tergolong mewah karena fasilitas yang lengkap. Luasnya lumayan. Lebar 10 meter dan panjang 10 meter. Langgar ini diurus oleh seorang santri perantauan dari Martapura yang datang ke desa itu untuk menemui salah seorang keluarga. Dan atas permintaan Kades, ternyata santri itu mau untuk tinggal didekat surau.
Agar lebih nyaman untuk mengurus langgar, santri itu dibangunkan sebuah rumah sederhana di belakang surau. Tepatnya di kebun sayur milik almarhum Pak Darwis dan Bu Sumarni dulu. Bangunan rumah itu diambil dari sisa dinding-dinding rumah kosong Dewie yang dibongkar, untuk diubah menjadi langgar, namun tetap tidak mengubah sebagian bentuk lantai-lantainya rumah Dewie itu.
Sementara untuk mata pencahriannya, oleh Sigit diusulkan bahwa santri itu boleh menggarap sawah Dewie yang 45 borong, terdiri dari empat balur atau baris. Dengan bagian, dua baris untuk santri dan dua baris saat panen itu untuk wakaf masjid, surau dan zakat untuk kaum fakir miskin yang membutuhkan.
Santri pun setuju. Semua wakaf, dari tanah hingga hasil panen dari tanah itu atas nama almarhum Pak Darwis dan Bu Sumarni. Semua juga atas urun rembuk antara Sigit dan Dewie. Yang telah bercerai sehari setelah pertemuan di kala Subuh dulu.
Setiap malam selalu ramai langgar itu. Mengaji dan membaca syair-syair. Agaknya lain juga bila pengurus langgar itu adalah santri asli yang telah belajar lama dengan guru-guru terkemuka di Martapura. Seperti tak pernah berhenti bersenandung ayat-ayat Al-Quran langgar itu di setiap malam.
Dan tergolong unik, nama yang digunakan untuk penamaan langgar tersebut . Dari cakap-cakap mereka yang rahasia, maka disepakatilah bahwa bangunan itu bernama Langgar Ummi dan Abi.
*
Sebagai seorang mantan Suami yang sebenarnya cinta dengan isteri ,namun karena faktor edukasi yang ingin ia terapkan untuk isterinya. Sungguh Sigit pun benar-benar merasa kehilangan. Tapi ia berusaha tabah, dan dengan mengetahui di mana tempat tinggal Dewie sekarang, serta kabar-kabarnya, itu telah cukup untuk membuatnya tenang. Sigit memperoleh kabar-kabar itu dari tindakan diam-diamnya yang sampai saat ini masih berhubungan dengan teman dekat Dewie di mana Dewie tinggal di situ. Awalnya begitu susah untuk meyakinkan sahabat Dewie itu, bila Sigit ini benar-benar tulus ingin mengetahui kabar dia dengan tetap tanpa sepengetahuan Dewie. Terus berusaha meyakinkan, akhirnya sahabat Dewie itu mau percaya, menginggat ia juga telah paham karakter Dewie dulu saat satu kos dengannya.
Fatimah nama sahabat Dewie itu. Telah menikah, sekarang ia dan punya anak satu berusia 6 tahun. Dan Dewie tinggal dekat dengan rumahnya yang berada di Palingkau, menjaga nenek Fatimah yang sudah tua. Dari Fatimahlah Sigit tahu tentang keadaan Dewie.
*
Bisik rindu menyelusup dari celah rinai hujan. Kemukus halimun mengarsir malam yang mulai lelah berjaga. Derai embun tampak menari di atas daun. Sementara daun terus bergoyang menahan keseimbangannya. Dewie duduk termangu dalam amparan sajadah. Telapak tangannya mengatup memohon ampun dan pertolongan dari sang Maha Pencipta. Tangisannya di salat malamnya itu benar-benar tagisan seorang hamba yang ingin bertobat. Air matanya begitu belinang deras. Mengucurkan semua dosa-dosa yang pernah ia buat. Dan membuat lembaran baru, untuk dia dan kedua almarhum ayah dan Ibunya. Sesal-sesalnya telah ia rela untuk telan. Dan kini dia berharap semoga tidak salah jalan lagi.
Seusai salat dan doa-doa di akhir salat Tahajudnya. Jam sudah berderak menuju keangka empat pagi. Dia tanggalkan mukena. Ia pandang nenek angkatnya masih pulas tertidur. Dengan tubuh kurus karena tekanan beban dulu yang belum sepenuhnya pulih, beranjaklah ia ke dapur membuat masakan untuk nenek Fatimah. Tekun ia kerjakan tanpa sedikitpun mengeluh. Sekarang dimatanya, nenek angkat itulah orang tuanya.
Usai membuat masakan, terdengarlah suara pengajian dari langgar. Tanpa menunggu azan dan kamat, ia bergegas menuju padasan tempat untuk berwudu. Ingin salat Subuh tampaknya ia.
Ushalli far-dlash shub-hi rakataini mustaqbilal qiblati adaaan lillahi taalla...Allahu Akbar??!
Semenit kemudian gerakan-gerakan khusu penuh dengan kepasrahan hati terus mengalun menjangkau semua alam gelap menjadi terang. Buram menjadi putih, dan mendung menjadi cerah. Semua hening dalam alunan khidmat. Hingga lima menit berlalu dengan lembut tanpa panca indera yang terbuka.
Dalam berdoa, ia mengucurkan air matanya lagi.
Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dalam lemahku hamba hanya mampu meminta, memohon dan mengemis pada-Mu. Ampunilah hamba dan kedua orang tua hamba. Buatlah mereka damai di sisi-Mu Ya Rabb..!!!, Sungguh hamba sudah berlaku aniaya terhadap diri hamba sendiri. Berlaku curang terhadap mereka berdua. Hamba menyesal! (terisak-isak). Hamba tak pernah menemui jalan ketenangan. Hamba selalu dijerat dengan segala ketakutan khayal-khayal hamba sendiri Ya Allah!!... Ya Allah yang Maha Mengetahui segala rencana. Tuntunlah hamba menuju rahmat-Mu Ya Allah... dan kabulkanlah segala tobat, dan doaku...Amin ya robbal alammin .
Termenung sejenak Dewie di atas lapik sejadahnya. Dan beberapa menit kemudian bangkit. Langsung ia ganti mukenanya dengan pakaian kumal yang ia taruh di atas bangku dekat pintu depan. Tubuhnya kurus benar sekarang, hitam pula. Hingga serasi sekali dengan kaus kumal yang hendak ia kenakan.
Keluar ia dengan semua persiapan. Kerudung ia kenakan untuk membalut rambutnya yang telah ikal sebahu. Matanya yang cekung jarang tidur itu berkaca-kaca. Wajahnya yang tirus itu yakin, semua akan menjadi baik. Tangan kananya menggenggam bara semangat.
Sampai di emperan, ia berhenti sejenak. Ia tatap halaman depan rumah masih gerimis. Azan di langgar masih belum berkumandang.
Dewi injak tanah basah sebagai pijakan pertama dengan sandal jepitnya. Di punggungnya tergendong bakul besar. Berisi sejenis pisau torehan, air minum, bungkusan bekal, dan obat nyamuk. Ia terus berjalan keluar. Menuju kebun karet milik nenek Fatimah. Terus berjalan memotong angin dingin keadaan!. Dewie dengan pasti membelah kabut yang tampak seperti khalayalan penyesalan. Berjalan semakin laju mencari cahaya berkah. Zikir dari mulutnya nembisikkan pada kesenyapan arti pengampunan. Hatinya menyambut rahmat dan menyambut rezeki sebagai penoreh getah karet. Dengan tegak sepeda ia ambil dan dorong. Dalam remang malam, perempuan itu menjemput Subuh.
***
Sekian
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.