Hebatkan Anak untuk Mengahalau si Bully
Parenting | 2024-08-05 10:38:37Perkenalan
Judul yang cenderung provokatif kali ini sesungguhnya untuk menjawab kegelisahan para orang tua belakangan ini. Istilah bullying atau perundungan memang santer terdegar sejak lama, dan peristiwa perundungan ini juga sudah sering terjadi. Namun akhir-akhir ini kejadian demi kejadian lebih sering terdengar, lalu apakah di zaman dahulu Bullying tidak pernah terjadi? Apakah benar adab dan prilaku anak zaman sekarang semakin parahnya sehingga menormalisasi tindakan bullying? mari kita bahasa satu persatu.
Latar Belakang
Bullying atau kita mengenalnya perundungan sudah terjadi berabad-abad lamanya, buktinya setiap cerita para nabi pasti mendapati banyak pembeci dalam menyampaikan ajaranya. Lalu apakah benar bullying saat ini jauh lebih parah? Jawabnya tentu tidak bahakan Rasulullah sendiri pernah dilempari kotoran. Pasti pembaca sekalian akan mengatakan “ya itu cobaan level Nabi bagaimana dengan kita manusia biasa?”. Bukankah Albert Einstein juga pernah di bully karena terlambat bicara dan sulit mengikuti pelajaran. Einstein kecil selalu mendapatkan nilai rendah dan pembangkan, dia hanya mau mengerjakan yang di sukai. Einstein sulit mengikuti pelajaran yang membuat teman sekolah sering membullynya, sehingga dapat di ambil asumsi bahwa sejak dahulu pembullyan sudah terjadi.
Permasalahan
Beralih pada pertanyaan selanjutnya apakah pada zaman dahulu pembulian begitu masifnya sama seperti saat ini?. Pertanyaan ini kita perlu melakukan kajian ulang tapi yang jelas ada satu factor yang bisa jadi menjadi bahan kita dalam berasumsi yaitu gadged. Pada zaman dahaulu orang masih sangat kesulitan mengkases informasi, informasi biasanya akan di dapat melalaui koran, itu pun hanya kejadian besar saja. Berbeda dengan sekarang dengan satu sentuhan kita bisa mengakses informasi apapun termasuk berita yang sedang viral. Hal ini bisa jadi membuat kasus pembullyian semakin sering terjadi karena sifat dasar manusia adalah mencontoh, ingin diakui dan melampiaskan. Dari sini kita melihat factor pendukung seseorang atau suatu kelompok melakukan pembullyan terbuka, yaitu banyak anak yang mencontoh pembullyan yang sedang viral, tujuan macam-macam tapi yang paling dominan adalah mencari pengakuan, bahwa dirinya superpower.
Selanjutnya pelampiasan, studi menunjukkan bahwa anak yang melakukan pembulian sebagian besar memiliki masalah dikeluarganya, salah satunya adalah kekerasan yang dilakukan orang tua. Karena si anak tidak mampu membalas perlakuan orangtuanya maka mereka mencari pelampiasan di lingkungan yang bisa dia kendalikan. Hal ini di tambah dengan game online yang menyajikan berbagai level kekerasan yang menjadi stimulus bagi anak untuk meniru apa yang dia lihat.
Cara Menghebatkan Anak
Lalu bagaimana agar anak tetap bisa bergaul tanpa rasa khawatir akan menjadi korban bullying? Maka kita harus menghebatkan anak kita. Belajar dari kasus Einstein, dimana saat dia sering mendapat nilai buruk ibunya selalu mengatakan bahwa ada sesuatu yang yang istimewa didalam dirimu. Perkataan ini yang terus memacu Einstein untuk menjelajahi kemampuanya. Mendorong dirinya menemukan hal yang Istimewa sehingga dikenal sebagai Ilmuwan sepanjang masa.
1. Tanamkan rasa percaya diri
Ayah, bunda sekalian hal ini terlihat mudah tapi pada praktenya sangat sulit, yaitu membuat anak percaya diri, mampu bertindak tanpa mudah dipengaruhi orang lain. Seperti mengambil keputusan untuk membela dirinya. Kemampuan ini penting untuk menghalau para pembully yang senantiasa akan muncul dimana saja.
2. Mampu mengambil keputusan
Dalam rangka menghebatkan anak maka anak untuk mengahalu si bully, maka anak perlu yakin akan tindakanya, memiliki keberanian dalan mengambil tindakan. Sifat ini tidak bisa muncul hanya dengan mengatakan pada anak untuk tetap berani melainkan dilatihkan. Coba bayangan bagaimana bisa anak bisa berani mengambil keputusan kalau kita saja selalu meremehkan kekuatanya dan kemampuanya. Rasa saying dan khawatir yang berlebihan membuat kita terlalu jauh ikut campur dalam pendewasaan anak.
3. Ajarkan anak berani menyelesaikan masalahnya sendiri
Problem solving muncul di saat anak mengalami kesulitan secara alami. Anak akan mulai berpikir cara menyelesaiakn masalahnya. Bayangkan jika kita tidak pernah menghadirkan kesulitan dalam hidup anak, maka anak akan memepercayai bahwa hidup itu mudah. Suatu saat bila anak di luar kendali kita maka anak belum terbiasa menemukan solusi dari permasalahnya.
4. Bedakan anatar berbagi dan konsep kepemilikan
Jika dilihat dari budaya kita selalu di jarkan untuk berbagi pada oranng lain. Orang tua cenderung langsung ikut campur bila anak mulai rebutan mainan. Kita akan meminta anak untuk mengalah dan merelakan mainnya untuk menghindari perkelahian. Sehingga anak terbiasa menghindari masalah dan mengalah jika haknya diganggu. Mengalah dan berbagi boleh diajarkan pada anak, namun konteksnya harus jelas dengan memperhatikan usia anak. Jika anak masih berusia 5 tahun ke bawah mereka masih belum mengenal konsep berbagi dan mengalah. Pada tahapan selanjutnya barulah anak akan mulai mengenal artinya berbagi. Moms tidak perlu khawatir anak tumbuh tanpa rasa berbagi jika tidak di ajarkan berbagi sejak kecil. Semua pendidikan baik namun harus menyesuaikan usia perkembanganya.
5. Ajarkan anak membela kepentinganya
Orang tua biasanya cenderung khawatir jika anaknya berkelahi, kita terbiasa langsung melerai dan mendamaikan anak. Padahal dari peristiwa ini anak akan belajar konsep salah dan benar, anak akan belajar konsekuensi, serta anak akan belajar membela kepentinganya. Selama berkelahinya tidak main fisik biarkan, baru saat sudah mulai tidak kondusif kita turung tangan. Ajak anak bicara 2 arah tindakanya salah apa benar dan konsekuensi dari tindakanya. Misal “ adek tadi kenapa mukul? Kira-kira temenya suka ndak kalau adik pukul begitu?”. Jangan lupa beri dia waktu untuk menenangkan diri, validasi perasaanya lalu ambil tindakan. Jangan ragu untuk membuat anak minta maaf jika dia melakukan kesalahan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.