Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghulam Mujadid

Pembelajaran Humanistik : Suatu Perspektif Teori Filsafat Romantisme Hingga Teori Belajar

Sekolah | 2024-07-30 20:53:49

Berbicara soal teori pembelajaran pasti dari kita semua tidak lupa akan suatu proses didalamnya, hingga pada titik tertentu kita semua memahami akan suatu esensi dimana suatu pendidikan telah menjadi kodrat kebutuhan manusia itu sendiri dan tak lupa kita juga mengetahui suatu bentuk dari penerapan psikologis dari suatu bentuk pendidikan. Didalam pembelajaran itu sendiri termuat banyak teori yang mengkaji aliran atau dasar-dasar dari suatu pemikiran tentang suatu bentuk psikologis didalamnya. Dan tidak lupa juga salah satu aliran dalam psikologi pendidikan itu sendiri ada yang mengedepankan aspek dari pada manusianya itu sendiri, hingga tercetuslah suatu pemahaman tentang teori pembelajaran humanistik. Tahukah apa itu pembelajaran humanistik ? teori pembelajaran humanistik itu sendiri lahir karena didasari pada suatu realisasi dari psikologi eksistensialis dan pemahaman tentang bahwasanya manusia itu pada dasarnya dan esesnsinya baik dengan segala atribut yang ada padanya dan dimilikinya.

Ilustrasi Proses Belajar Mengajar yang akrab karena suatu hubungan pembelajaran yang humanistik dengan suatu pendekatan kognisi afektif

Psikologi Pendidikan Humanistik yang melahirkan teori pembelajaran humanis itu sendiri menekankan pada perspektif yang memandang manusia itu secara utuh. Namun tahukah, bahwasanya pada pembelajaran humanistik yang dipengaruhi dasar dari psikologi humanistik dan eksistensialis itu berangkat dari salah satu pemaparan bentuk teori dari tokoh filsafat romantisme yaitu Jean Jacques Rousseau, yang dimana filsafatnya mendiskripsikan tentang keberpihakannya pada humanisme. J.J. Rousseau filusuf yang aktif dalam sosial revolusi Perancis tersebut, sangat menekankan aspek dari suatu bentuk ‘perasaan’ atau efikasi. Istilah “romantis[1] dalam konteks filsafat Rousseau berarti bahwa ia mengidam-idamkan masa lalu manusia yang bahagia, yaitu keadaan manusia yang amat dekat dengan lingkungan alamnya.

Menurut J.J. Rousseau[2] pada hakikatnya manusia mempunyai alam kodrat yang baik. Melalui proses pendidikan alam kodrat yang baik itu dapat dimatangkan agar mencapai aktualisasi potensinya. Pernyataan ini menegaskan bahwa Rousseau sangat optimis dengan peran pendidikan bagi perkembangan kepribadian yang lebih baik (Brubacher, 1962). Pemikiran filsafat manusia Rousseau tentang hakikat kodrat manusia yang baik dikenal sebagai aliran romantisme naturalistik. Karena alam kodrat yang baik itu manusia akan berkembang menurut hokum yang sudah pasti sesuai kodrat alamiyahnya. Dalam pendidikan, seorang romantis naturalistik seperti Rousseau sangat menghargai kebutuhan anak-anak secara individual. Ia terutama sangat menghargai keunikan anak sebagaimana hakikat manusia individual yang bersifat unik dan tersendiri (Brubacher, 1962).[3]

J.J. Rousseau sendiri beranggapan bahwa hakikat manusia pada esensinya baik, memandang secara menyeluruh manusia dengan sepenuhnya dan menyangkal suatu pandangan buruk atau menstigma sesuatu hal berkaitan dengan potensi yang dimiliki seorang individu manusianya. Seperti bentuk suatu pernyataannya,”manusia bukan hanya nalar tentang mempertahankan diri namun di beri suatu perasaan haru dan belas kasih (Pitty And Compassion). Dari pada mempersoalkan suatu bentuk penafian pada fitrah manusianya, Rousseau lebih mengedepankan mindset bertumbuh pada suatu bentuk eksentialisme manusianya, dan mengawalinya pada benuk State of Nature (Bagian Alamiah) yang merealisasi bentuk potensi diri pada keunikan individu manusianya dan tesis dasarnya ialah,”manusia pada dasarnya baik, dan segala sesuatu yang tidak alami telah merusak kita dari keadaan alamiahnya.” Wajarlah apabila manusia bertujuan untuk merefleksikan dan merealisasikan hakikat dirinya pada keselarasan dengan perkembangan naturalnya.

Di dalam buku “The Social Contract[4] (Kontrak Sosial), Rousseau menegaskan penolakannya terhadap doktrin individualistic atas hak natural manusia. Rousseau berpendapat bahwa pada hakikatnya semua hak adalah sosial, yaitu senantiasa dihubungkan dengan hak-hak orang lain dalam suatu kesepakatan sosial. Sesuatu yang dinilaisebagai paling “alamiah” justru merupakan hal yang benar-benar paling “sosial.” Dan dari segi pandangan Rousseau yang paling mencerahkan yaitu tentang konsepsi suatu pandangan,”Hidup yang bermakna ialah kehidupan yang berkesesuaian dengan tahap perkembangan yang dialami seseorang atau individu dan tujuannya tercapai apabila mampu dan sanggup mewujudkan dan menyesuaikan keselarasan antara perkembangan alamiah hidupnya.”

Pada konteks zaman-nya, teori pendidikan Rousseau menawarkan suatu kecakapan pemikiran yang baru, ialah suatu bentuk pendidikan yang harus memperhatikan kebutuhan sesuai tahapan-tahapan pada perkembangan diri individu atau seorang manusia. Berdasarkan paradigma atau mengambil sudut pandang ini maka setiap tahapan perkembangan pada diri secar tegas digaris bawahi dengan suatu ciri dan suatu sifat serta peranan fungsi yang khas, khusus, dan unik karena mengacu pada adaptasi potensi yang dimiliki tiap-tiap individu.

Kemudian dalam bidang psikologi, pemaparan suatu pikiran Jean Jacques Rousseau banyak mempengaruhi suatu bentuk psikologi di wilayah humanistik, yang oleh karenanya J.J. Rouseau pada bagian sudut pandangnya memberikan corak pada penekanan kekuatan potensi-positif pada tiap diri individu manusianya secara menyeluruh serta memperhatikan suatu bentuk kebutuhan yang selaras dengan sifat alamiahnya yang berpengaruh pada pemenuhan-pemenuhan dan pengaktualisasian yang selaras dengan aktualisasi potensi pada diri manusia yang unik dan tidak menyalahi kodrat alamiyahnya. Dan dari pandangan Rousseau tersebut dapat mengambil sumbangsih pada aliran filsafat manusia bahwa perlunya memperhatikan konteks yang berpengaruh pada suatu bentuk konsruk humanistik yang memperhatikan suatu kepercayaan bahwasanya manusia itu baik dan mempunyai potensi hingga perlu memperhatikan bentuk dasar hakikat manusianya itu sendiri secara menyeluruh dan utuh.

Kalau berbicara tentang suatu bentuk pembelajaran humanistik, tentu tidak akan lepas dari bentuk pandangan aliran psikologi humanistik, psikologi humanistik[5] sangat terkenal dengan konsepsi bahwa esensinya manusia itu baik menjadi dasar keyakinan dan mengajari sisi kemanusiaan. Psikologi Humanistik utamanya didasari atas atau merupakan realisasi dari psikologi eksentialis dan pemahaman akan keberadaan dan tanggung jawab sosial seseorang. Dua psikolog yang ternama, Carl Rogers dan Abraham Maslow, memulai gerakan psikologi humanistik perspektif baru mengenai pemahaman kepribadian seseorang dan meningkatkan kepuasan hidup mereka secara keseluruhan.

Berangkat dari pernyataan paragraf sebelumnya, diketahui bahwa suatu pandangan mengenai pendidikan yang dicerminkan dari suatu bentuk pandangan dari aliran humanistik, baik filsafat dan psikologi-nya yang menerangkan tentang arti suatu kebahagiaan dan makna esensi keberadaan manusia secara utuh memanglah menjadi pokok penting dalam memaham proses belajar atau pembelajaran yang humanistik.

Psikologi humanistik[6] adalah perspektif psikologis yang menekankan studi tentang seseorang secara utuh. Psikologi humanistik melihat perilaku manusia tidak hanya melalui penglihatan pengamatan, melainkan juga melalui pengamatan atas perilaku individu meng-intergral dengan perasaan batin dan citra dirinya.

Dari pemaparan disini bisa diambil suatu kesimpulan pada dasarnya pada teori belajar humanistik menggambarkan suatu bentuk efikasi diri (proses perasaan pada diri seseorang) dan berkaitan dengan persoana (kepribadian yang dimiliki, dibangun, ataupun kepribadian yang ingin dibentuk). Studi psikologi humanistik[7] melihat manusia, pemahaman, dan pengalaman dalam dari manusia, termasuk dalam kerangka belajar mengajar. Mereka menekankan pada suatu bentuk karakteristik dan kaidah kepribadian yang dimiliki pada diri manusia yaitu diantaranya cinta, kepedulian, kesedihan, kesusahan atau hambatan, dan harga diri. Yang tentunya nanti menjadi pengaruh pada tingkatan kebutuhan manusia pada aktualisasi dirinya dan menjadi bentuk khas dari pengaruh terhadap motif dan motivasi.

Dan perlu diperhatikan juga, psikologi humanistik[8] mempelajari bagaimana orang-orang dipengaruhi oleh persepsi dan makna yang melekat pada pengalaman pribadi mereka. Aliran ini menekankan pada pilihan kesadaran, respon terhadap kebutuhan internal, dan keadaan saat ini yang menjadi sangat penting dalam membentuk prilaku manusia.

Para ahli teori humanistik[9] menujukkan bahwa (1) tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dan (2) individu bukanlah satu-satunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh ahli teori tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, di motivasi oleh keinginan untuk akualisasi diri (self-actualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai manusia. Dan disini juga pada Buku Psikologi Pendidikan dari Uswatun dan kawan-kawan pada halaman 32,”Pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan lebih responsive terhadap kebutuhan kasih sayang (affective) siswa.” Kebutuhan afektif yaitu kebutuhn yang berhubungan dengan perasaan, emosi, nilai, sikap dan moral. Kebutuhan-kebutuhan affective ini diuraikan sebagai tujuan pendidikan humanistik, yaitu:[10]

1. Menerima kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa serta mencipakan pengalaman dan program untuk perkembangan keunikan potensi siswa.

2. Memudahkan aktualisasi diri siswa dan perasaan diri mampu.

3. Memperkuat perolehan ketrampilan dasar (akademik, pribadi, antarpribadi, komunikasi, dan ekonomi).

4. Memutuskan pendidikan secara pribadi dan penerapannya.

5. Menganggap pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi dalam proses pendidikan.

6. Mengembangkan suasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti, mendukung, menyenangkan, serta bebas dari ancaman.

7. Mengembangkan siswa masalah ketulusan, respek, dan menghargai orang lain, dan terampil dalam menyelesaikan konflik.

Pendidikan yang humanistik percaya bahwa baik perasaan dan pengetahuan sangat penting dan mempengaruhi satu sama lain karena proses belajar memperhatikan domain keterhubungan kognitif dan afektif. Dan pendidikan humanistik percaya tentang suatu nilai evaluasi diri yang bermakna. Dan pada dasarnya pendidikan harus mampu mendorong minat dan keinginan siswa pada motivasi dan responsif siswa pada kaitannya proses belajar dan pembelajaran dan mengkaji materi yang dipelajari.

[1] Prof. Dr. Fattah Hanurawan, Filsafat Manusia Untuk Psikologi, PT Remaja Rosdakarya, (Bandung: Oktober 2020), Cetakan Pertama, Hal 48

[2] Prof. Dr. Fattah Hanurawan, Filsafat Manusia Untuk Psikologi, PT Remaja Rosdakarya, (Bandung: Oktober 2020), Cetakan Pertama, Hal 49

[3] Prof. Dr. Fattah Hanurawan, Filsafat Manusia Untuk Psikologi, PT Remaja Rosdakarya, (Bandung: Oktober 2020), Cetakan Pertama, Hal 49-50

[4] Prof. Dr. Fattah Hanurawan, Filsafat Manusia Untuk Psikologi, PT Remaja Rosdakarya, (Bandung: Oktober 2020), Cetakan Pertama, Hal 52

[5] Arina Restina S.Pd, M.Pd, Psikologi Pendidikan : Teori dan Aplikasi, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, (Februari : 2020), Cetakan Ke-2, Hal 129-130

[6] Arina Restina S.Pd, M.Pd, Psikologi Pendidikan : Teori dan Aplikasi, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, (Februari : 2020), Cetakan Ke-2, Hal 130

[7] Arina Restina S.Pd, M.Pd, Psikologi Pendidikan : Teori dan Aplikasi, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, (Februari : 2020), Cetakan Ke-2, Hal 130

[8] Arina Restina S.Pd, M.Pd, Psikologi Pendidikan : Teori dan Aplikasi, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, (Februari : 2020), Cetakan Ke-2, Hal 130

[9] Uswatun Hasanah, M.Pd.I., dkk., Psikologi Pendidikan, PT RajaGrafindo Persada, (Depok: Januari 2019), Cetakan Ke-2, Hal 32

[10] Uswatun Hasanah, M.Pd.I., dkk., Psikologi Pendidikan, PT RajaGrafindo Persada, (Depok: Januari 2019), Cetakan Ke-2, Hal 32-33

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image